Tafsir Mendalam QS At-Taubah 122: Fondasi Ilmu dan Peringatan

Surah At-Taubah merupakan surah Madaniyah yang diturunkan pada periode akhir kenabian, penuh dengan hukum, arahan militer, dan penataan masyarakat pasca-perjanjian. Ayat-ayatnya seringkali membahas tentang keharusan jihad, kesiapan perang, dan klasifikasi kelompok masyarakat (mukminin, munafikin, dan ahli kitab).

Di tengah tekanan untuk mobilisasi total demi kepentingan pertahanan dan penyebaran Islam—terutama pasca Perang Tabuk—datanglah sebuah ayat yang memberikan keseimbangan luar biasa antara tugas fisik dan tugas intelektual, antara kewajiban di medan tempur dan kewajiban di majelis ilmu. Ayat tersebut adalah Surah At-Taubah ayat 122, sebuah fondasi utama bagi pembentukan ulama dan spesialisasi keilmuan dalam Islam.

Lafazh dan Terjemah At-Taubah Ayat 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS At-Taubah: 122)

Ayat ini, dengan keindahan redaksinya, mengajukan pertanyaan retoris (فَلَوْلَا - *falawlā*) yang berfungsi sebagai penegasan dan instruksi ilahi. Pesannya jelas: partisipasi dalam perjuangan fisik (jihad) tidak harus dilakukan secara totalitas oleh seluruh komunitas. Sebaliknya, harus ada porsi yang dialokasikan khusus untuk perjuangan intelektual dan spiritual, yaitu memperdalam pemahaman agama (*tafaqquh fid-din*).

1. Konteks Ayat dan Pengertian "Nafar"

1.1. Jihad Al-Kifayah vs. Tafaqquh Al-Kifayah

Ayat ini sering ditafsirkan sebagai respon terhadap situasi di mana seluruh kaum Muslimin merasa wajib untuk bergabung dalam ekspedisi militer besar, khususnya setelah Perang Tabuk. Dalam kondisi ideal, Allah SWT memberikan arahan untuk menghindari kekosongan ilmu dalam masyarakat. Jika semua pergi, siapakah yang akan menjaga ajaran, mengajarkan generasi mendatang, dan memberikan bimbingan hukum ketika mereka kembali? Konsep ini memperkenalkan Fardhu Kifayah ganda: Jihad sebagai Fardhu Kifayah (jika telah ada cukup orang yang melaksanakannya, gugurlah kewajiban yang lain), dan Tafaqquh fid-Din sebagai Fardhu Kifayah yang tak kalah pentingnya.

Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ketika kewajiban jihad adalah fardhu kifayah (bukan fardhu ain), maka kewajiban untuk menuntut ilmu juga merupakan bentuk fardhu kifayah yang harus dipenuhi secara seimbang. Jika umat Islam gagal dalam memenuhi salah satu dari dua kewajiban kifayah ini—baik itu jihad atau ilmu—maka seluruh komunitas berdosa.

Konsep *Nafar* (pergi/mobilisasi) dalam ayat ini memiliki makna ganda yang esensial. Secara harfiah, ia merujuk pada kepergian untuk tujuan perang. Namun, konteks ayat mengubah maknanya menjadi kepergian yang bertujuan spesifik, yaitu kepergian untuk mencari ilmu. Sebagian dari mereka harus pergi untuk berperang, namun sebagian lagi harus pergi (meninggalkan aktivitas normal mereka) untuk mendalami agama, yang menunjukkan bahwa perjalanan menuntut ilmu memiliki status yang setara dengan mobilitas untuk perang dalam hal urgensi komunitas.

1.2. Pentingnya Spesialisasi (Taifah)

Ayat ini menggunakan kata طَائِفَةٌ (*tā’ifah*), yang berarti 'sekelompok kecil' atau 'bagian'. Ini menegaskan prinsip spesialisasi. Allah tidak mewajibkan semua orang menjadi ahli fiqh, sebagaimana Dia tidak mewajibkan semua orang menjadi prajurit. Namun, setiap kelompok, komunitas, atau wilayah harus memiliki *tā’ifah* yang berdedikasi untuk tugas tertentu. Tafsir klasik menegaskan bahwa *tā’ifah* di sini merujuk pada sekelompok orang yang mencukupi kebutuhan masyarakat dalam hal ilmu agama.

Pentingnya pembentukan kelompok khusus ini menekankan bahwa ilmu agama bukan hanya pengetahuan umum yang dapat dipelajari sambil lalu, melainkan membutuhkan dedikasi penuh, meninggalkan kesibukan dunia, dan melakukan perjalanan (Nafar) jika diperlukan. Ibnu Katsir menguatkan pandangan ini, menekankan bahwa tugas *tā’ifah* ini adalah tugas fundamental untuk menjaga bangunan syariat setelah para mujahid kembali dari medan perang.

Gambar 1: Simbolisasi Nafar (Perjalanan) untuk Ilmu

Alt Text: Ilustrasi yang menggambarkan arah panah ke atas dan buku terbuka, melambangkan perjalanan fisik dan spiritual untuk mencari pemahaman mendalam tentang agama.

2. Hakikat Tafaqquh Fid-Din

2.1. Membedakan Ilmu dan Tafaqquh

Ayat ini secara spesifik menggunakan frasa لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ (*li yatafaqqahū fid-dīn*), yang berarti 'agar mereka mendapatkan pemahaman yang mendalam dalam agama'. Ini berbeda dari sekadar *ta'allum* (belajar biasa) atau *ilm* (pengetahuan umum). *Tafaqquh* (fiqh) secara bahasa berarti pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu. Dalam konteks syariat, ia merujuk pada pemahaman yang tajam, kritis, dan komprehensif terhadap sumber-sumber hukum Islam (Al-Qur'an dan As-Sunnah) serta kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari dalil-dalil tersebut.

Kebutuhan untuk *tafaqquh* sangat tinggi karena urusan agama melibatkan hukum yang rumit, dalil yang mungkin bertentangan (secara lahiriah), dan aplikasi syariat yang berubah sesuai konteks. Oleh karena itu, *tafaqquh* membutuhkan kecerdasan, ketekunan, dan metode ilmiah yang kuat. Orang yang ber-*tafaqquh* adalah benteng spiritual dan hukum masyarakat.

2.2. Ilmu Pengetahuan yang Dicari

Para ulama tafsir sepakat bahwa *tafaqquh* mencakup semua disiplin ilmu syariat yang mutlak diperlukan untuk memahami hukum Allah, termasuk:

  • Ilmu Akidah dan Tauhid: Fondasi keyakinan yang benar.
  • Ilmu Fiqh (Hukum Praktis): Pengetahuan tentang tata cara ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat.
  • Ilmu Ushul Fiqh: Metodologi untuk menurunkan hukum dari sumbernya.
  • Ilmu Tafsir dan Hadis: Pemahaman kontekstual dan autentisitas dalil.
  • Ilmu Bahasa Arab: Karena Al-Qur'an dan Sunnah diturunkan dalam bahasa Arab yang membutuhkan ketepatan makna.

Diskusi tentang *tafaqquh* tidak pernah selesai. Dalam karya-karya tafsir kontemporer dan klasik, penekanan selalu diletakkan pada kualitas pemahaman. Tidak cukup hanya menghafal, tetapi harus mampu menganalisis, mensintesis, dan menerapkan ilmu tersebut secara bijaksana. Kualitas ini adalah hasil dari kepergian (nafar) yang penuh pengorbanan, sebagaimana yang disyaratkan dalam ayat 122 At-Taubah.

2.3. Peran Keseimbangan dalam Masyarakat

Ayat At-Taubah 122 berfungsi sebagai piagam konstitusional untuk pembagian kerja dalam komunitas Muslim. Jika seluruh kaum Muslimin pergi berperang, kekosongan ilmu akan menyebabkan kerusakan syariat dan kebodohan dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika semua fokus pada ilmu dan tidak ada yang berjihad, pertahanan komunitas akan runtuh. Ayat ini mengajarkan moderasi (wasathiyyah) dalam pelaksanaan kewajiban dan penempatan sumber daya manusia yang strategis. Spesialisasi ilmu agama dianggap sebagai benteng pertahanan internal yang setara dengan benteng pertahanan eksternal (jihad).

3. Kewajiban Memberi Peringatan (Li Yundziru)

3.1. Tujuan Akhir dari Tafaqquh

Setelah menuntut ilmu, tujuan kedua dan yang terpenting yang disebutkan ayat ini adalah وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ (*wa liyundzirū qawmahum idhā raja‘ū ilayhim*), yaitu "dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada mereka." Ayat ini menegaskan bahwa menuntut ilmu bukanlah kegiatan akademis semata-mata, melainkan mempunyai tujuan praktis dan dakwah.

Kata *Indzar* (peringatan) dalam Al-Qur'an seringkali merujuk pada penyampaian kabar buruk atau konsekuensi dosa, dengan tujuan agar orang-orang berhati-hati dan takut kepada hukuman Allah. Ini adalah peran kenabian yang kini diwarisi oleh para ulama. Para ulama harus kembali ke komunitas mereka, bukan untuk mencari status atau harta, melainkan untuk melaksanakan tugas penyampaian risalah dengan penuh ketulusan, memperingatkan dari kesesatan, bid'ah, dan kelalaian terhadap hukum Allah.

Gambar 2: Simbolisasi Indzar (Peringatan) dan Ilmu

Alt Text: Ilustrasi seorang pembicara di mimbar yang memegang buku, mewakili penyampaian ilmu dan peringatan kepada umat.

3.2. Mengapa Perlu Peringatan?

Tugas *indzar* menjadi krusial karena beberapa alasan, yang dijelaskan secara berulang dalam berbagai tafsir:

  1. Mencegah Kekosongan Hukum: Mujahidin yang kembali dari medan perang mungkin mengalami perubahan dalam pelaksanaan hukum atau membutuhkan fatwa baru terkait situasi yang mereka hadapi. Ulama berfungsi sebagai rujukan utama.
  2. Melindungi dari Syubhat: Selama sebagian besar masyarakat sibuk dengan urusan dunia atau peperangan, mereka rentan terhadap kesalahpahaman agama (syubhat) atau penyelewengan akidah. Ulama yang telah melakukan *nafar* dan *tafaqquh* adalah benteng yang membersihkan keraguan tersebut.
  3. Tujuan Akhir (Lā‘allahum Yaḥdharūn): Peringatan tersebut bertujuan agar mereka لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (*la‘allahum yaḥdharūn*), yaitu "supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (berhati-hati)". Kehati-hatian ini mencakup kewaspadaan terhadap dosa, fitnah, dan hukuman Allah.

Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang diwujudkan dalam dakwah dan pembinaan umat, yang berorientasi pada peningkatan ketakwaan dan kewaspadaan. Ilmu yang disimpan dan tidak disebarkan dianggap menyalahi tujuan utama dari *tafaqquh* yang diperintahkan oleh At-Taubah 122 ini.

4. Implikasi Fiqh dan Hukum Kontemporer

4.1. Kedudukan Hukum Menuntut Ilmu

At-Taubah 122 adalah dalil utama yang membagi hukum menuntut ilmu menjadi dua kategori besar:

Diskusi fiqh tentang ayat ini sangat luas. Para Fuqaha (ahli fiqh) menekankan bahwa jika suatu wilayah kekurangan ulama, maka kewajiban untuk melakukan *nafar* (pergi menuntut ilmu) beralih dari sunnah atau fardhu kifayah menjadi fardhu ain bagi orang-orang yang memiliki potensi untuk menjadi ulama. Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman kekosongan ilmu dalam pandangan syariat.

4.2. Penerapan Konsep "Nafar" di Masa Modern

Di era modern, konsep *nafar* tidak selalu berarti berjalan kaki melintasi padang pasir. *Nafar* dapat diterjemahkan sebagai:

  1. Dedikasi Penuh: Meninggalkan kesibukan duniawi untuk mendedikasikan waktu bertahun-tahun dalam pendidikan formal keagamaan (pesantren, universitas Islam).
  2. Mobilitas Intelektual: Perjalanan ke pusat-pusat ilmu yang otentik (misalnya, perpindahan dari desa ke kota, atau dari negara asal ke pusat studi Islam global) untuk mendapatkan kedalaman pemahaman yang tidak tersedia di tempat asal.
  3. Spesialisasi Disiplin: Memilih satu bidang ilmu syariat (Tafsir, Hadis, Fiqh Muamalah, dsb.) dan menguasainya hingga tingkat ahli, sehingga memenuhi syarat sebagai *tā’ifah* yang dapat memberikan *indzar* (peringatan/arahan) yang kredibel.

Ayat At-Taubah 122 memberikan legitimasi teologis bagi profesionalisme keilmuan agama. Ilmu agama yang dibutuhkan masyarakat tidak bisa diperoleh secara sambilan; ia memerlukan institusi dan individu yang rela berkorban waktu, tenaga, dan harta untuk mencapainya.

4.3. Hubungan Timbal Balik antara Ulama dan Umat

Ayat ini juga mengatur hubungan timbal balik yang sehat antara ulama dan masyarakat:

Ulama berkewajiban untuk pergi, belajar, dan kembali untuk mengajar (indzar). Masyarakat, di sisi lain, berkewajiban untuk memberikan dukungan (finansial dan moral) bagi *tā’ifah* yang sedang melakukan *nafar*, dan yang terpenting, mereka berkewajiban untuk mendengarkan dan mengindahkan *indzar* (peringatan) tersebut (لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ).

Jika masyarakat mengabaikan ulama atau ulama gagal menyampaikan *indzar* yang relevan dan otentik, maka tujuan ayat 122 ini tidak tercapai, dan umat Islam secara keseluruhan berada dalam bahaya spiritual dan hukum.

5. Pengembangan dan Perluasan Konsep Tafaqquh

5.1. Tafaqquh dalam Ranah Non-Fiqh

Walaupun *fiqh* (jurisprudensi) adalah makna inti dari *tafaqquh* di kalangan fuqaha, para mufasir modern memperluas cakupan pemahaman mendalam ini. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Islam modern membutuhkan para ahli yang dapat melakukan *tafaqquh* (pemahaman mendalam) dalam konteks global dan modern, seperti:

Inti dari At-Taubah 122 adalah kebutuhan akan kepakaran yang berakar pada wahyu. Kepakaran ini harus mencakup pemahaman akan realitas kontemporer sekaligus kemampuan untuk menarik garis hukum dari sumber-sumber otentik, sebuah tugas yang hanya bisa diemban oleh mereka yang telah melakukan *nafar* ke majelis ilmu.

5.2. Mengatasi Krisis Kualitas dan Kuantitas Ulama

Ayat 122 sering dijadikan landasan untuk mendirikan dan mempertahankan lembaga pendidikan tinggi Islam. Tujuannya adalah memastikan kontinuitas produksi ulama yang berkualitas. Kualitas ilmu (tafaqquh) harus diutamakan daripada kuantitas ulama.

Jika *tā’ifah* (sekelompok kecil) yang pergi mencari ilmu kembali dengan pemahaman yang dangkal, mereka tidak akan mampu menjalankan tugas *indzar* secara efektif, dan masyarakat tetap berada dalam kegelapan. Oleh karena itu, *nafar* harus dilakukan dengan keseriusan maksimal. Keberhasilan *tā’ifah* ini akan menentukan kemaslahatan seluruh komunitas. Keseriusan dalam proses pembelajaran, penguasaan metodologi, dan pengamalan ilmu adalah barometer utama pemenuhan perintah dalam At-Taubah 122.

Ulama Abad Pertengahan, seperti Imam Al-Ghazali, seringkali menekankan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak mengarah pada peningkatan ketakwaan dan tidak memiliki efek *indzar* (peringatan). Dalam konteks ini, *tafaqquh* di At-Taubah 122 adalah ilmu yang bermanfaat secara spiritual dan sosial. Ia harus mengubah diri pelajar dan kemudian mengubah masyarakat yang kepadanya ia kembali.

Kewajiban untuk kembali (*idha raja’u ilaihim*) setelah menuntut ilmu menggarisbawahi bahwa ilmu bukanlah komoditas pribadi. Ilmu adalah amanah sosial. Seseorang yang telah mencapai tingkat *tafaqquh* tertentu tidak berhak menyimpan ilmunya hanya untuk dirinya sendiri. Keharusan untuk kembali ke kaumnya menunjukkan pentingnya melayani komunitas asal, di mana kebutuhan akan bimbingan dan peringatan paling mendesak.

Fenomena globalisasi dan migrasi ulama telah mengubah dinamika *nafar*. Kini, *nafar* bisa berarti pergi ke pusat studi di luar negeri. Namun, kewajiban untuk kembali dan memberikan peringatan tetap berlaku, menegaskan tanggung jawab seorang pelajar terhadap akarnya. Ulama yang sukses menjalankan amanah ini adalah mereka yang mampu menjembatani ilmu yang mereka dapatkan di pusat keilmuan dengan realitas sosial dan budaya masyarakat tempat mereka melakukan *indzar*.

6. Kesimpulan: Keseimbangan Tugas Spiritual dan Intelektual

Ayat 122 dari Surah At-Taubah merupakan salah satu ayat terpenting yang menetapkan status mulia menuntut ilmu agama. Ia mengangkat *tafaqquh fid-din* dari sekadar kegiatan individu menjadi sebuah kewajiban komunal yang strategis, setara dengan pertahanan fisik komunitas.

Pesan kunci ayat ini adalah: Keseimbangan adalah Keharusan. Umat Islam tidak boleh didominasi oleh satu jenis tugas saja. Jika semua berperang, umat akan buta hukum; jika semua belajar, umat akan rentan terhadap serangan fisik. Dibutuhkan pembagian peran yang terencana, di mana kelompok yang berperang (mujahidin) dilindungi oleh kelompok yang berilmu (ulama), dan sebaliknya.

Ayat ini menetapkan tiga pilar utama bagi kelangsungan umat:

  1. Nafar: Pengorbanan dan mobilitas untuk mencapai sumber ilmu.
  2. Tafaqquh: Kualitas pemahaman yang mendalam, bukan sekadar hafalan.
  3. Indzar: Pengembalian dan penyebaran ilmu sebagai peringatan yang mencegah umat dari kesesatan dan menjamin ketakwaan (yahdzarun).

Tugas para ulama, yang lahir dari *nafar* ini, adalah tugas mulia para pewaris nabi. Mereka adalah mercusuar yang, setelah kembali dari perjalanan mencari cahaya ilmu, harus menyinari kaumnya agar mereka senantiasa berada dalam kewaspadaan dan bimbingan syariat yang lurus. Implementasi dari QS At-Taubah 122 memastikan bahwa umat Islam senantiasa memiliki kedalaman spiritual dan kekuatan hukum untuk menghadapi tantangan zaman.

Penting untuk dipahami bahwa keharusan *tafaqquh* ini tidak hanya berlaku pada masa lampau. Di setiap zaman, masyarakat menghadapi masalah-masalah baru yang membutuhkan solusi berdasarkan syariat. Oleh karena itu, proses *nafar* (dedikasi) dan *tafaqquh* (mendalami ilmu) harus terus-menerus terjadi agar *indzar* (peringatan/bimbingan) tetap relevan dan efektif bagi setiap generasi. Tanpa ada kelompok yang berdedikasi penuh pada ilmu ini, umat akan kehilangan arah dalam kompleksitas dunia modern.

***

7. Pengembangan Filosofis Tafaqquh dan Peran Pendidikan Tinggi Islam

Dalam konteks modern, institusi pendidikan tinggi Islam—madrasah, pesantren, dan universitas—secara fundamental adalah manifestasi kelembagaan dari perintah *nafar* dalam At-Taubah 122. Institusi ini berfungsi sebagai tempat *tā’ifah* berkumpul, mendedikasikan waktu mereka, dan melalui kurikulum yang terstruktur, mencapai tingkat *tafaqquh* yang memadai. Keberadaan institusi ini memastikan bahwa kebutuhan umat akan ahli fiqh, ahli hadis, dan mufasir terpenuhi sebagai bentuk pelaksanaan Fardhu Kifayah.

Jika kita tinjau dari sudut pandang sosiologi agama, At-Taubah 122 adalah cetak biru untuk menciptakan elite intelektual agama. Elite ini berbeda dengan pemimpin politik atau militer, namun memiliki otoritas moral dan hukum yang tinggi. Otoritas ini tidak didapatkan melalui kekuasaan, melainkan melalui pengorbanan (nafar) dan kedalaman ilmu (tafaqquh). Otoritas ini kemudian digunakan untuk tugas yang sangat sensitif, yaitu memberikan peringatan dan bimbingan yang terkadang tidak populer namun esensial bagi keselamatan rohani umat.

Perluasan makna *tafaqquh* juga mencakup integrasi ilmu-ilmu umum yang mendukung pemahaman konteks. Seorang mufasir modern yang ingin menjalankan *indzar* secara efektif harus memahami dinamika media sosial, politik global, dan teknologi. Pengetahuan kontekstual ini menjadi alat penting untuk menyampaikan ajaran agama secara persuasif dan relevan, tanpa mengorbankan otentisitas sumber-sumber syariat.

Ayat ini memberikan keleluasaan bagi umat untuk berfokus pada berbagai bidang. Sebagian besar orang dapat fokus pada urusan mata pencaharian, ekonomi, dan pertahanan. Namun, *tā’ifah* harus tetap berfokus pada satu hal: agama dan pemahaman mendalamnya. Ini adalah investasi jangka panjang umat. Kekayaan material dapat hilang, kekuasaan politik dapat runtuh, tetapi ilmu yang otentik dan ulama yang berintegritas, yang dihasilkan melalui *nafar* dan *tafaqquh*, akan menjadi sumber kekuatan abadi bagi komunitas Muslim.

Para ulama tafsir kontemporer, seperti Syeikh Muhammad Tahir bin Ashur, menekankan bahwa kewajiban *nafar* ke pusat ilmu bisa berlaku di dalam negeri jika pusat ilmu tersebut memiliki kualitas yang sama dengan pusat ilmu di luar negeri. Yang terpenting bukanlah jarak tempuh, melainkan kualitas dari ilmu yang dicari dan tingkat dedikasi yang diberikan oleh pelajar.

7.1. Tafaqquh dan Ketakwaan Individual

Meskipun *tafaqquh* adalah Fardhu Kifayah, dampak individualnya sangat besar. Proses *nafar* dan pendalaman ilmu seharusnya meningkatkan kualitas ketakwaan pelajar itu sendiri. Sebelum seorang ulama dapat memberi *indzar* kepada kaumnya, ia harus terlebih dahulu mengaplikasikan *yahdharūn* (kehati-hatian) dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, ulama harus menjadi contoh nyata dari peringatan yang ia sampaikan.

Kritikus sering menyoroti bahwa *tafaqquh* yang tidak dibarengi dengan ketakwaan pribadi akan menghasilkan ulama yang hanya mahir dalam teori hukum tetapi gagal dalam implementasi spiritual. Oleh karena itu, esensi dari *nafar* yang diperintahkan At-Taubah 122 adalah perjalanan yang tidak hanya mempertajam akal tetapi juga menyucikan hati. Ini merupakan prasyarat mutlak agar tugas *indzar* dapat diterima dan memberikan dampak positif yang langgeng.

Ayat ini adalah panggilan abadi kepada umat untuk berinvestasi pada masa depan intelektual dan spiritual mereka. Selama ada komunitas Muslim, harus selalu ada sekelompok orang yang berani mengambil jalan yang sulit ini—jalan *nafar*—untuk memastikan bahwa cahaya ilmu dan bimbingan ilahi tidak pernah padam di tengah-tengah mereka.

Keagungan ayat ini terletak pada penegasannya terhadap nilai pengetahuan yang murni. Dalam peradaban Islam, senjata paling ampuh bukanlah pedang, melainkan pena ulama yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Kewajiban *nafar* dan *tafaqquh* adalah cara Allah SWT menjamin bahwa pena tersebut akan selalu terisi dengan tinta hikmah dan kebenaran.

7.2. Mendalami Konsep Yahdzarūn (Kehati-hatian)

Frasa penutup ayat, *la‘allahum yaḥdharūn*, memberikan orientasi moral dan etis yang kuat. *Yahdharūn* berarti berhati-hati, waspada, dan takut. Ini menunjukkan bahwa tujuan akhir dari ilmu, jihad, dan dakwah adalah lahirnya masyarakat yang sadar akan tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT.

Peringatan (*indzar*) yang dibawa pulang oleh *tā’ifah* bukan hanya berisi ancaman, melainkan juga ajakan untuk menempuh jalan keselamatan. Kehati-hatian yang dimaksud meliputi:

Dengan demikian, para ulama yang telah melalui proses *nafar* yang ketat ini berfungsi sebagai termometer spiritual dan moral bagi komunitas mereka. Mereka mengawasi dan membimbing, memastikan bahwa seluruh anggota komunitas bergerak menuju tujuan utama penciptaan: ibadah dan ketakwaan yang sempurna.

Keseimbangan antara *nafar* untuk perang dan *nafar* untuk ilmu adalah cerminan dari kesempurnaan syariat. Allah SWT tidak menghendaki umat-Nya hanya menjadi pejuang tanpa akal budi, pun tidak menghendaki mereka menjadi intelektual yang lari dari tanggung jawab sosial. At-Taubah 122 adalah perintah yang memastikan bahwa umat Islam akan selalu memiliki kedua kekuatan ini secara sinergis.

***

8. Perdebatan Klasik Mengenai Prioritas Nafar

Salah satu perdebatan tafsir yang muncul dari ayat At-Taubah 122 adalah mengenai mana yang lebih utama: *nafar* untuk ilmu atau *nafar* untuk jihad? Perdebatan ini penting karena ayat tersebut muncul dalam konteks yang sangat menekankan jihad.

Sebagian ulama (terutama dari mazhab Syafi'i) berpendapat bahwa selama jihad belum menjadi fardhu ain (seperti saat invasi langsung), maka menuntut ilmu (tafaqquh) adalah fardhu kifayah yang lebih didahulukan oleh sebagian orang. Alasannya, kerusakan akibat kebodohan agama (hilangnya syariat) bersifat permanen dan mempengaruhi kehidupan akhirat, sementara kerusakan akibat kekalahan militer bisa diperbaiki.

Ulama lain menekankan bahwa jika jihad telah mencapai tahap fardhu ain, maka semua orang harus pergi, dan penuntutan ilmu (selain yang fardhu ain) harus ditunda. Namun, mayoritas ulama tafsir menggunakan ayat ini untuk menetapkan prinsip umum: Ilmu harus tetap ada. Bahkan dalam situasi darurat militer sekalipun, harus ada sekelompok kecil yang menjaga ilmu, atau minimal yang bertugas untuk menjaga syariat bagi generasi berikutnya.

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa kebijaksanaan ilahiah memerlukan adanya kelompok yang berani "mengambil cuti" dari tuntutan sosial atau militer, mendedikasikan diri pada studi mendalam, dan kemudian kembali untuk menerangi jalan bagi kaumnya. Ini adalah siklus abadi ilmu, pengorbanan, dan tanggung jawab sosial.

Penekanan berulang pada kewajiban untuk kembali (*idha raja’u ilaihim*) menunjukkan bahwa tujuan *nafar* bukanlah eksil atau penemuan diri, melainkan pengabdian kepada komunitas. Mahasiswa yang sukses di luar negeri atau di universitas harus selalu mengingat bahwa ilmu yang ia peroleh adalah modal yang harus ia investasikan kembali di tempat asalnya. Tanpa pengembalian ini, rantai *indzar* terputus, dan masyarakat lokal akan kehilangan manfaat dari upaya *nafar* tersebut.

Kajian mendalam Surah At-Taubah 122 menegaskan bahwa fondasi peradaban Islam adalah ilmu yang otentik dan aplikatif. Ayat ini adalah seruan abadi bagi setiap generasi Muslim untuk memastikan bahwa selalu ada barisan terdepan para ulama yang siap berkorban untuk mencapai pemahaman agama yang mendalam, dan yang tak gentar untuk memberikan peringatan dan bimbingan kepada seluruh umat.

Keseimbangan ini adalah kunci bagi umat untuk tidak hanya bertahan secara fisik, tetapi juga untuk berkembang secara moral, etika, dan spiritual dalam menghadapi segala tantangan zaman. Inilah hikmah agung di balik perintah untuk menyeimbangkan antara mobilisasi militer dan mobilisasi intelektual, antara pedang dan pena, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT di Surah At-Taubah ayat 122.

Dedikasi pada *tafaqquh* adalah manifestasi tertinggi dari iman yang mendalam, karena ia memerlukan kesabaran tak terbatas dan pengorbanan personal. Mereka yang memilih jalan *nafar* ini adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang menjamin kelangsungan risalah kenabian hingga hari kiamat.

🏠 Homepage