Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki keunikan karena menjadi satu-satunya surah yang tidak diawali dengan lafaz basmalah. Surah ini secara umum membahas tentang pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin, kewajiban jihad, serta sifat-sifat orang munafik. Namun, di penghujung surah, terdapat dua ayat yang menyajikan pergeseran dramatis dalam nada dan fokus, membawa pesan yang begitu mendalam, penuh kasih sayang, dan penegasan tauhid yang sempurna: Ayat 128 dan 129.
Kedua ayat penutup ini seringkali dianggap sebagai ringkasan spiritual dan teologis dari seluruh ajaran Islam. Ayat 128 menggambarkan sifat agung Nabi Muhammad ﷺ sebagai utusan yang penuh belas kasih, sementara Ayat 129 merupakan deklarasi Tawakkul (penyerahan diri) mutlak kepada Allah SWT, Tuhan pemilik Arsy yang Maha Agung. Memahami konteks, transliterasi Latin, dan tafsir mendalam dari kedua ayat ini adalah kunci untuk meresapi esensi keimanan sejati.
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Laqad jā’akum rasūlum min anfusikum ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum ḥarīṣun ‘alaikum bil-mu’minīna ra’ūfur raḥīm.
Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Ayat 128 adalah pujian ilahi terhadap Rasulullah Muhammad ﷺ. Setiap kata dalam ayat ini memancarkan kualitas kepemimpinan spiritual dan kemanusiaan yang luar biasa, menekankan betapa dekatnya Nabi dengan umatnya, baik secara fisik maupun emosional. Bagian ini akan mengupas tuntas setiap frasa kunci.
Frasa ini menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ adalah manusia biasa yang berasal dari kalangan mereka sendiri (Bani Hasyim, suku Quraisy), bukan malaikat atau makhluk lain. Keterikatan ini memiliki implikasi besar. Pertama, ia menghilangkan potensi keraguan akan kemanusiaan Nabi, sehingga risalah yang dibawanya relevan dan bisa dicontoh. Kedua, menunjukkan bahwa Allah memilih pembawa risalah dari antara manusia agar mereka dapat memahami penderitaan, tantangan, dan aspirasi umat manusia. Nabi adalah model sempurna yang berjalan di tengah-tengah mereka.
Kata ‘Azīz berarti berat, sulit, atau mulia. Dalam konteks ini, ‘azīzun ‘alaihi berarti sesuatu yang memberatkan dirinya. Frasa ini menggambarkan empati Nabi yang luar biasa. Penderitaan, kesulitan, dan kesengsaraan yang dialami umatnya—baik di dunia maupun di akhirat—terasa begitu berat di hati beliau. Hal ini menunjukkan tingkat kepedulian yang melebihi batas emosional manusia biasa. Beliau khawatir jika umatnya jatuh ke dalam siksa, atau tersesat dari jalan yang lurus. Penderitaan umat adalah penderitaan beliau.
Ilustrasi Cahaya Kenabian dan Empati
Kata Ḥarīṣ bermakna sangat antusias, bersemangat, atau mendambakan dengan sungguh-sungguh. Keinginan Nabi bukan bersifat duniawi, melainkan keselamatan abadi bagi umatnya. Beliau sangat bersemangat agar umatnya beriman dan menjauhi segala hal yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam api neraka. Keinginan ini merupakan dorongan aktif yang membuatnya terus berdakwah, berjuang, dan bersabar menghadapi segala rintangan. Ini adalah cinta yang bersifat protektif dan proaktif.
Ayat ini menutup dengan dua dari sifat-sifat Allah yang Maha Agung, kini dilekatkan pada Rasul-Nya.
Ra’ūf (Penyantun/Sangat Lemah Lembut): Menunjukkan kasih sayang yang mendalam, sifat lembut yang mencegah datangnya bahaya atau kesulitan. Ra’ūf lebih merujuk pada perlindungan sebelum musibah terjadi.
Raḥīm (Penyayang): Menunjukkan belas kasih yang meliputi rahmat dan pemberian. Raḥīm merujuk pada belas kasih yang diberikan setelah musibah atau sebagai ganjaran atas kebaikan.
Penggabungan kedua sifat ini menunjukkan kesempurnaan kasih sayang Nabi Muhammad ﷺ. Jika sebelumnya beliau merasakan penderitaan (berat terasa olehnya), maka di akhir ayat beliau menawarkan solusi dan ketenangan melalui sifat penyantun dan penyayang. Namun, penting dicatat bahwa sifat ini secara spesifik diarahkan kepada al-mu'minīn (orang-orang mukmin).
Penempatan ayat 128 di akhir Surah At-Taubah sangat strategis. Surah ini banyak berbicara tentang kerasnya hukum, peperangan, dan pemisahan antara mukmin sejati dan munafik. Setelah detail hukum dan peringatan keras, Allah menutupnya dengan pengingat akan kasih sayang sang pembawa risalah. Ini berfungsi sebagai penyeimbang. Seolah-olah Allah berkata: "Jika kalian merasa berat dengan hukum yang diturunkan, ingatlah bahwa Rasul yang membawanya adalah pribadi yang paling penyayang dan paling berat hatinya melihat kalian kesulitan."
Para mufasir, seperti Al-Qurtubi dan Ibn Katsir, menekankan bahwa penyebutan Ra’ūf dan Raḥīm pada diri Nabi adalah penghormatan tertinggi. Ini bukan berarti Nabi setara dengan Allah, tetapi menunjukkan bahwa Allah telah menganugerahkan sebagian besar sifat kelembutan-Nya kepada makhluk-Nya yang paling mulia, menjadikannya rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil 'Alamin).
Kualitas empati kenabian yang disorot oleh kata ‘Azīzun ‘alaihi mā ‘anittum mendemonstrasikan bahwa kepemimpinan sejati dalam Islam didasarkan pada pelayanan dan kepedulian yang tulus, bukan dominasi atau arogansi. Setiap pemimpin, setiap guru, dan setiap individu dalam masyarakat Muslim diperintahkan untuk meniru derajat kepedulian ini dalam interaksi mereka.
فَإِن تَوَلَّوْا۟ فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ
Fa in tawallau fa qul ḥasbiyallāhu lā ilāha illā huw, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul-‘arshil-‘aẓīm.
Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku, tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.”
Jika Ayat 128 berfokus pada sifat mulia Nabi Muhammad ﷺ dalam menghadapi umatnya, Ayat 129 memberikan solusi spiritual ketika upaya dakwah atau kepedulian tersebut ditolak. Ayat ini adalah puncak dari Tawhid (keesaan Allah) dan pengajaran tentang Tawakkul (penyerahan diri).
Ayat ini mengakui realitas penolakan. Meskipun Nabi telah menunjukkan kasih sayang dan kepedulian yang luar biasa (sebagaimana dijelaskan di ayat sebelumnya), sebagian orang mungkin tetap berpaling dari kebenaran. Respon yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi dan, pada gilirannya, kepada setiap mukmin, bukanlah keputusasaan atau kemarahan, tetapi penguatan diri spiritual melalui penyerahan mutlak.
Inilah inti dari Tawakkul. Frasa ini adalah pernyataan bahwa Allah adalah Dzat yang mencukupi, pelindung, dan penolong yang memadai dari segala kekhawatiran, bahaya, atau penolakan. Dalam menghadapi tekanan, permusuhan, atau bahkan kegagalan dalam dakwah, sandaran hati kembali hanya kepada Allah. Ucapan ini adalah benteng bagi jiwa mukmin.
Ini adalah pengulangan tegas dari Syahadat, penegasan mutlak dari keesaan Allah (Tauhid Uluhiyyah). Setelah menyatakan bahwa Allah adalah Dzat yang mencukupi, ayat ini memperjelas mengapa: karena Dia adalah satu-satunya yang layak disembah dan diandalkan. Ini membumikan konsep Tawakkul pada akar Tauhid.
Kata Tawakkul berarti bersandar atau menyerahkan urusan sepenuhnya setelah melakukan upaya maksimal. Ini adalah tindakan hati yang mempercayai pengaturan dan kebijaksanaan Allah. Frasa ini menegaskan kembali prinsip penyerahan diri yang murni dan total. Keberhasilan atau kegagalan dakwah, dukungan atau penolakan manusia, semuanya berada di bawah kekuasaan Allah.
Penutupan ini merupakan klimaks dalam penegasan kekuasaan Allah (Tauhid Rububiyyah). ‘Arsy (Singgasana) adalah ciptaan terbesar yang melingkupi seluruh alam semesta. Dengan menyebut Allah sebagai Pemilik ‘Arsy yang Agung, ayat ini mengingatkan bahwa Dzat yang dijadikan sandaran adalah Dzat yang memegang kendali absolut atas segala sesuatu—dari yang terkecil di bumi hingga yang terbesar di langit. Kekuatan Allah melampaui segala kekuatan manusia dan seluruh alam semesta.
Ilustrasi Ketergantungan Mutlak kepada Allah
Kedua ayat ini tidak berdiri sendiri, melainkan membentuk satu kesatuan instruksi spiritual dan dakwah yang mendalam bagi Rasulullah ﷺ dan umatnya. Keterkaitan keduanya dapat dilihat sebagai siklus keimanan:
Kesatuan ini mengajarkan bahwa seorang mukmin harus menjadi pribadi yang paling lembut dan penyayang dalam berusaha menarik orang lain menuju kebenaran, tetapi pada saat yang sama harus menjadi pribadi yang paling teguh dalam Tawhid, tidak goyah sedikit pun oleh penolakan dunia. Kasih sayang (Ayat 128) adalah metode, dan Tawakkul (Ayat 129) adalah benteng pertahanan hati dari frustrasi. Tanpa Tawakkul, kasih sayang bisa berubah menjadi keputusasaan; tanpa kasih sayang, Tawakkul bisa menjadi pasif.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk mengurai struktur bahasa Arab (yang tercermin dalam transliterasi Latin) dari kedua ayat ini, sebab keindahan Al-Qur'an seringkali tersembunyi dalam pilihan kata yang presisi dan tata bahasa yang sempurna.
Frasa ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum adalah struktur nominal yang kuat. Kata ‘Azīz berfungsi sebagai predikat yang mendahului subjek, menekankan sifat yang dimaksud. Kata ‘anittum berasal dari akar kata ‘ANAT (عنت) yang berarti kesulitan, beban, atau penderitaan yang luar biasa. Pilihan kata ini jauh lebih kuat daripada sekadar "kesedihan" atau "kesulitan" biasa, menekankan intensitas beban yang dirasakan Nabi.
Kemudian, penggunaan kata Ḥarīṣun (sangat bersemangat) dalam bentuk sighah mubalaghah (bentuk intensitas) menunjukkan bahwa keinginan Nabi untuk kebaikan umatnya bukanlah keinginan biasa, melainkan hasrat yang membara. Ini kontras dengan sifat-sifat negatif seperti serakah (yang juga menggunakan akar kata yang sama), namun di sini maknanya ditinggikan menjadi keinginan murni untuk keselamatan spiritual.
Adapun penutupan dengan Ra’ūf ur Raḥīm adalah bentuk ma'tuuf (penyambungan sifat) yang berfungsi sebagai penguat. Penggunaan dua nama Allah ini secara berurutan tidak hanya memberikan penegasan, tetapi juga menyiratkan bahwa sifat kasih sayang Nabi bersifat berlapis, mencakup perlindungan (Ra’ūf) dan pemberian berkah (Raḥīm) secara simultan. Dalam konteks gramatikal, kedua kata ini adalah sifat-sifat untuk rasūlum (rasul), memperjelas esensi pengutusan beliau.
Ayat 129 dibuka dengan kondisi, Fa in tawallau. Kata Tawallau (berpaling) berasal dari akar kata WALIYA (ولى) yang bermakna kembali atau membelakangi. Bentuk kata kerja ini menyiratkan tindakan menolak secara sadar dan aktif.
Responnya adalah perintah tegas fa qul (maka katakanlah). Isi perkataan tersebut dibagi menjadi tiga bagian yang membentuk struktur Tauhid yang kohesif:
Penggunaan preposisi ‘alaihi (hanya kepada-Nya) yang didahulukan sebelum kata kerja tawakkaltu (aku bertawakal) dalam tata bahasa Arab memberikan makna pengkhususan (hasr). Ini berarti penyerahan diri itu eksklusif, hanya kepada Allah dan tidak ada yang lain, mengokohkan prinsip monoteisme murni.
Puncak ayat ini, Wa huwa rabbul-‘arshil-‘aẓīm, menggunakan dua kata sifat yang luar biasa: ‘Arsh (Singgasana) dan ‘Aẓīm (Maha Agung). Struktur idhafah (kepemilikan) ini mempertegas bahwa kepemilikan Allah atas Arsy bukanlah kepemilikan biasa, melainkan kepemilikan yang melambangkan kekuasaan total, mutlak, dan tidak terbatas atas seluruh eksistensi.
Dua ayat terakhir Surah At-Taubah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam tradisi Islam, tidak hanya karena isinya yang sarat makna, tetapi juga karena keutamaan membacanya. Ayat ini berfungsi sebagai doa perlindungan, penguatan hati, dan penegasan janji Allah.
Frasa Ḥasbiyallāhu sering digunakan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat dalam menghadapi situasi yang penuh ancaman dan bahaya. Dalam banyak riwayat, zikir ini adalah salah satu yang paling ampuh untuk memohon kecukupan dari Allah. Jika seseorang membaca ayat ini dengan keyakinan penuh, ia telah menyerahkan segala urusannya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, dan dengan itu, ia akan mendapatkan ketenangan hati yang luar biasa, menghadapi fitnah, kesulitan ekonomi, atau pun ancaman musuh.
Pembacaan ayat 129 secara rutin membantu seorang mukmin untuk terus memperbarui ikrar Tauhidnya, yaitu bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat atau mudarat kecuali Allah. Deklarasi Lā ilāha illā huw yang terintegrasi di tengah Tawakkul mengingatkan bahwa penyerahan diri hanya sah jika didasarkan pada Keesaan-Nya. Hal ini membantu menghilangkan syirik tersembunyi, seperti bergantung pada harta, jabatan, atau kemampuan diri sendiri secara berlebihan.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai derajat hadisnya, sebagian ulama menganjurkan pembacaan dua ayat ini tujuh kali di pagi hari dan tujuh kali di sore hari. Tujuan utama dari pembacaan berulang ini adalah untuk menanamkan keyakinan bahwa Allah adalah yang mencukupi segala urusan hamba sepanjang hari, mulai dari saat ia bangun hingga ia kembali tidur, memberikan perlindungan dari segala hal yang tidak diinginkan.
Kepercayaan bahwa ayat ini menjamin kecukupan urusan dunia dan akhirat, sebagaimana disebutkan oleh ulama seperti Imam Nawawi, menjadikannya salah satu dzikir harian yang sangat dianjurkan. Ini adalah obat spiritual bagi hati yang gelisah dan bingung dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern.
Bagaimana ajaran dalam At-Taubah 128-129 relevan bagi kehidupan manusia saat ini, khususnya di tengah krisis empati, kecemasan (anxiety), dan tekanan hidup?
Ayat 128 menawarkan model interaksi sosial dan kepemimpinan yang ideal. Di era modern, di mana banyak orang merasa terisolasi atau tidak dihargai, penekanan pada sifat ‘Azīzun ‘alaihi mā ‘anittum (berat terasa penderitaannya) mengajarkan pentingnya empati sejati.
Dalam konteks dakwah dan pendidikan, ayat ini menuntut agar para pengajar, orang tua, dan pemimpin bersikap seperti Nabi: merasakan kesulitan yang dihadapi orang lain. Pendidikan harus berbasis kasih sayang (Ra’ūf ur Raḥīm), bukan hanya hukuman atau dominasi. Ketika seseorang tahu bahwa pemimpinnya tulus peduli terhadap kesulitan yang ia hadapi (misalnya, kesulitan ekonomi, tekanan pekerjaan, atau masalah keluarga), risalah dan nasihat yang disampaikan akan jauh lebih mudah diterima dan dihayati.
Selain itu, kepedulian Nabi terhadap umatnya juga menjadi pengingat bagi setiap mukmin untuk peduli terhadap diri sendiri. Sebagaimana Nabi sangat menginginkan keselamatan kita (Ḥarīṣun ‘alaikum), kita juga harus menjaga diri dari hal-hal yang membahayakan spiritual dan fisik, karena itu adalah bagian dari mewujudkan keinginan Nabi ﷺ.
Dunia modern dicirikan oleh ketidakpastian finansial, sosial, dan politik yang tinggi, yang memicu tingginya tingkat kecemasan. Ayat 129 adalah penawar paling ampuh terhadap rasa takut dan cemas.
Ketika seseorang merasa hilang kendali atas hidupnya, deklarasi Ḥasbiyallāhu (Cukuplah Allah bagiku) mengembalikan fokus pada satu-satunya pengendali mutlak. Ini adalah pengakuan bahwa meskipun kita harus berjuang keras (sebagaimana tuntutan ayat 128), hasil akhir dan ketenangan sejati tidak terletak pada kekuatan kita, tetapi pada kekuatan Dzat yang memiliki Arsy yang Agung. Ini mengajarkan manajemen risiko spiritual: serahkan yang tak terjangkau, fokus pada yang terjangkau.
Konsep Tawakkul di sini bukan pasif, melainkan proaktif. Seorang mukmin harus berusaha menjadi pribadi yang penuh kasih dan antusias dalam berbuat baik (seperti Nabi), dan setelah usahanya maksimal, ia menyerahkan hasilnya kepada Allah, sehingga hati dan pikirannya terbebas dari beban akibat ekspektasi manusia yang seringkali mengecewakan.
Surah At-Taubah adalah surah yang kompleks, mencakup aspek-aspek kerasnya perang, pengkhianatan, dan hukum syariah yang ketat. Namun, penutupnya memberikan kesimpulan filosofis yang menenangkan: Kekuatan Islam terletak pada keseimbangan antara kasih sayang ilahi (diwakili oleh sifat Nabi) dan kekuasaan ilahi (diwakili oleh Arsy yang Agung).
Dua ayat ini berdiri sebagai mercusuar yang menerangi jalan dakwah dan Tawhid. Ayat 128 menegaskan prinsip risalah (kerasulan) yang wajib diemban dengan empati, sementara Ayat 129 menegaskan prinsip uluhiyyah (ketuhanan) yang wajib diyakini dengan ketegasan dan penyerahan diri. Tidak ada ajaran Islam yang bisa dipahami secara utuh tanpa mengintegrasikan kedua konsep ini: bertindak dengan kelembutan yang luar biasa, namun bersandar pada kekuatan yang tiada tara.
Pada akhirnya, At-Taubah 128 dan 129 adalah seruan abadi bagi setiap mukmin untuk meneladani Rasulullah ﷺ dalam berinteraksi dengan sesama, dan meneladani beliau dalam Tawakkul mutlak kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, pemilik ‘Arsy yang agung.
Penting untuk mengupas lebih jauh kedalaman setiap sifat Nabi yang disebutkan dalam Ayat 128. Pengulangan kualitas ini berfungsi untuk mengukir gambaran utuh tentang Rahmatan lil ‘Alamin.
Kata ‘Azīz tidak hanya berarti berat, tetapi juga berharga. Penderitaan umat menjadi sesuatu yang berharga untuk dihilangkan oleh Nabi. Jika kesulitan itu adalah duri, Nabi bersedia menjadi tangan yang mencabut duri tersebut, meskipun prosesnya menyakitkan bagi dirinya. Para ulama tafsir menekankan bahwa 'anittum mencakup segala bentuk kesulitan: kesulitan fisik di dunia, kesulitan moral karena kemaksiatan, dan kesulitan terbesar yaitu siksa akhirat. Nabi ﷺ merasakan 'Aziz terhadap semua bentuk kesulitan ini. Ini menunjukkan bahwa rasa tanggung jawab kenabian tidak hanya sebatas menyampaikan risalah, tetapi juga menjamin kebahagiaan dan keamanan umat.
Istilah Ḥarīṣ membawa konotasi intensitas yang ekstrem. Dalam kasus lain, kata ini bisa merujuk pada keserakahan duniawi. Namun, ketika dikaitkan dengan Rasulullah ﷺ dan diarahkan kepada umatnya, maknanya menjadi kemuliaan tertinggi. Beliau 'serakah' akan kebaikan umatnya, ‘serakah’ akan hidayah mereka. Keinginan yang membara ini adalah motivasi terbesar di balik kesabaran beliau dalam menghadapi penolakan dan penganiayaan selama periode Mekah dan Madinah. Ini mengajarkan bahwa dalam berbuat kebaikan, seorang mukmin harus memiliki semangat yang tidak mudah padam, semangat yang haris (antusias) untuk melihat perubahan positif pada diri sesama.
Dalam ilmu tauhid, Ra'uf dan Rahim adalah nama-nama Allah (Asmaul Husna). Ketika Allah menganugerahkan sifat ini kepada Nabi, ini adalah pengakuan bahwa Nabi adalah saluran sempurna dari Rahmat Ilahi. Sifat Ra’ūf (penyantun) sering diartikan sebagai pemberi rasa aman, pencegah musibah sebelum terjadi. Sementara Raḥīm (penyayang) adalah sifat yang memberi rahmat setelah musibah atau sebagai ganjaran. Sinergi ini memastikan bahwa kasih sayang Nabi mencakup pencegahan kesulitan, dukungan saat kesulitan, dan ganjaran setelah ketakwaan. Sifat ini hanya terikat pada orang-orang mukmin (bil-mu’minīna), menegaskan hak istimewa yang dimiliki oleh komunitas keimanan.
Sejumlah ulama mendiskusikan mengapa kata ‘anfusikum (dari kaummu sendiri) disebutkan di awal ayat. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan alasan pembenaran yang mungkin digunakan oleh orang-orang untuk menolak risalah. Mereka tidak bisa berkata, "Kami tidak mengerti bahasanya" atau "Dia bukan dari kalangan kami." Nabi adalah cermin dari kemanusiaan mereka yang paling sempurna, menghilangkan segala alasan penolakan rasional, menyisakan penolakan yang hanya berdasarkan hawa nafsu.
Ayat 129 adalah salah satu ayat terpenting dalam Al-Qur'an tentang doktrin Tawhid dan Tawakkul. Analisis harus diperluas pada bagaimana frasa-frasa kunci ini membangun keyakinan mutlak.
Kata Ḥasbi (cukup bagiku) adalah pernyataan kemandirian spiritual dari makhluk. Dalam sejarah Islam, kalimat ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim AS ketika beliau dilemparkan ke dalam api, yang kemudian dijawab oleh Allah dengan perintah, "Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim." (QS. Al-Anbiya: 69). Dengan mengulangi Ḥasbiyallāhu, Nabi Muhammad ﷺ (dan kita) menyelaraskan diri dengan keyakinan para nabi terdahulu, menempatkan segala harapan pada perlindungan Ilahi, melepas keterikatan pada hasil dan kekuatan manusia.
Konsep Kecukupan ini meluas ke segala aspek: kecukupan rezeki, kecukupan perlindungan dari bahaya, kecukupan dari kebingungan dalam mengambil keputusan, dan kecukupan dari rasa takut terhadap kekuatan yang menentang. Ini adalah pengakuan bahwa sumber daya manusia terbatas, tetapi sumber daya Ilahi tidak terbatas.
Tawakkul bukan berarti kepasifan. Tawakkul yang diajarkan oleh Ayat 129 adalah puncak dari perjuangan. Nabi telah melakukan upaya maksimal dalam berdakwah dan menunjukkan kasih sayang (sebagaimana ayat 128). Setelah usaha keras tersebut, barulah penyerahan total dilakukan. Ini adalah esensi dari Tawakkul yang benar: kerja keras di lapangan (duniawi) dan ketenangan hati di hadapan Allah (ukhrawi).
Dalam ajaran Imam Al-Ghazali, Tawakkul dibagi menjadi beberapa tingkatan, dan yang tertinggi adalah memperlakukan Allah seperti seorang bayi yang hanya mengenal ibunya: bayi itu tahu bahwa satu-satunya sumber kecukupan, keamanan, dan kehangatan adalah ibunya. Demikian pula seorang mukmin harus yakin bahwa tidak ada penyedia dan pelindung selain Allah. Kalimat ‘alaihi tawakkaltu adalah sumpah setia untuk mempertahankan keyakinan ini.
Mengapa Allah menutup ayat yang berbicara tentang penyerahan diri ini dengan menyebutkan ‘Arsy? Karena ‘Arsy adalah simbol kekuasaan tertinggi dan terbesar yang dapat dibayangkan oleh manusia. Jika Allah adalah Pemilik dari ciptaan yang sedemikian agung, maka kekhawatiran dan masalah manusia, sekecil apa pun, berada dalam genggaman kekuasaan-Nya.
Penghubungan Tawakkul dengan Arsy berfungsi untuk memperluas perspektif mukmin dari masalah duniawi yang sempit menuju keagungan kosmik Allah. Ketika Anda bertawakal kepada Penguasa Arsy, Anda bertawakal kepada Dzat yang kekuasaan-Nya meliputi tujuh lapis langit dan bumi, yang menguasai takdir setiap atom dalam semesta. Ini memberikan kepastian yang tak tergoyahkan bahwa sandaran tersebut adalah sandaran yang paling kokoh.
Kedua ayat ini juga menonjol secara sastra (balaghah), yang menunjukkan mukjizat Al-Qur'an. Ayat 128 dicirikan oleh penumpukan sifat-sifat mulia (ta’dīd al-sifāt) yang bertujuan untuk menghasilkan efek emosional, yaitu cinta dan penghormatan kepada Nabi. Penggunaan kata sifat yang berdekatan—‘Azīz, Ḥarīṣ, Ra’ūf, Raḥīm—menciptakan irama dan intensitas naratif yang memperkuat citra kenabian yang penuh kasih.
Sebaliknya, Ayat 129 menggunakan teknik hasr (pembatasan) dan taukīd (penegasan) yang kuat. Frasa Lā ilāha illā huw adalah bentuk pembatasan mutlak. Demikian pula mendahulukan ‘alaihi sebelum tawakkaltu. Teknik retorika ini secara psikologis memaksa pendengar untuk memusatkan perhatian pada satu entitas saja: Allah.
Transisi dramatis antara kedua ayat ini (dari kasih sayang Nabi ke kekuasaan Allah) juga merupakan puncak balaghah. Transisi ini menunjukkan bahwa tugas kenabian, meskipun dilakukan dengan segala kelembutan, pada akhirnya harus berakhir dengan kembali kepada sumber Kekuatan Ilahi, menegaskan bahwa hasil akhir tidak ditentukan oleh usaha keras, tetapi oleh kehendak Dzat Yang Maha Agung.
Perintah untuk mengucapkan “Ḥasbiyallāhu” setelah penolakan (tawallau) mengandung hikmah yang luar biasa dalam psikologi dakwah. Seorang da'i atau individu yang menyeru kebaikan pasti akan menghadapi penolakan. Ayat 129 mengajarkan bahwa penolakan tidak boleh ditanggapi dengan keputusasaan atau kemarahan yang destruktif, melainkan dengan peningkatan kualitas spiritual diri sendiri.
Frasa fa in tawallau mengajarkan: tugas Anda (wahai Nabi dan umatnya) adalah menyempurnakan kelembutan dan upaya (Ayat 128), tetapi tugas Anda bukanlah mengubah hati mereka. Perubahan hati adalah hak prerogatif Allah. Oleh karena itu, jika mereka menolak, jangan biarkan penolakan mereka mengganggu ketenangan batin Anda. Balikkan energi kekecewaan itu menjadi energi Tawakkul.
Ini adalah pelajaran fundamental dalam manajemen ekspektasi. Kita berbuat baik karena diperintahkan, bukan semata-mata mengharapkan pujian atau keberhasilan instan. Keberhasilan sejati (falah) diukur dari ketulusan usaha, bukan dari jumlah pengikut atau penerimaan manusia. Kesadaran bahwa Allah adalah pemilik Arsy yang agung memastikan bahwa penolakan manusia hanyalah riak kecil dalam samudra takdir Ilahi.
Untuk memahami mengapa dua ayat ini menjadi penutup yang begitu lembut setelah surah yang dikenal keras, kita harus melihat Surah At-Taubah secara keseluruhan. Surah ini dapat dibagi menjadi tiga tema besar:
Setelah menguji dan membersihkan barisan kaum Muslimin dari elemen kemunafikan, Allah menutup surah ini dengan jaminan agung bagi mereka yang tetap teguh. Jaminan ini datang dalam dua bentuk: pertama, melalui kehadiran Nabi yang penuh kasih (sebagai penghibur), dan kedua, melalui janji Allah sebagai satu-satunya Sandaran yang Abadi. Dengan demikian, surah ini memberikan pembersihan eksternal (hukum dan jihad) dan pembersihan internal (Tauhid dan penyucian hati).
Ayat 128 dan 129 memastikan bahwa, di tengah kerasnya perjuangan dan konflik eksternal, fondasi hubungan antara hamba dan Khalik tetaplah berdasarkan kasih sayang dan penyerahan diri yang mendalam. Keseimbangan inilah yang menjaga komunitas mukmin agar tidak jatuh ke dalam kekerasan tanpa belas kasih, atau kelembutan tanpa ketegasan prinsip.
Jika kita meninjau seluruh ajaran Nabi Muhammad ﷺ, kedua ayat ini merangkum seluruh metode dakwah dan esensi risalah beliau. Seluruh hidup beliau adalah manifestasi dari Ayat 128. Beliau menangis karena khawatir umatnya. Beliau berpuasa dan berdoa untuk kebaikan mereka. Sikap 'Azīz dan Ḥarīṣ adalah deskripsi paling akurat tentang karakter kenabian (Syama’il Muhammadiyah).
Di sisi lain, setiap keputusan besar dan kecil dalam kehidupan Nabi adalah manifestasi dari Ayat 129. Ketika beliau dikepung, beliau bertawakal. Ketika beliau hijrah, beliau bertawakal. Ketika beliau merencanakan perang, beliau berusaha maksimal, tetapi penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Ayat 129 bukan sekadar ucapan yang harus dilafalkan, tetapi model perilaku dalam menghadapi segala tantangan eksistensial.
Dengan mengamalkan kedua ayat ini, seorang mukmin menempatkan dirinya dalam jalur kenabian yang sejati: berusaha memberikan yang terbaik (kasih sayang dan kerja keras) sambil mengetahui bahwa kendali akhir selalu berada di tangan Rabbul ‘Arshil ‘Aẓīm.
Kekuatan spiritual yang ditawarkan oleh kedua ayat ini tidak lekang dimakan waktu. Mereka menjadi pondasi moral dan teologis bagi umat Islam, mendorong empati aktif sekaligus ketenangan hati yang berbasis monoteisme yang teguh. Melalui transliterasi Latin yang mempermudah pembacaan, akses terhadap makna mendalam ini menjadi semakin luas, memungkinkan setiap generasi Muslim untuk menyerap hikmah dari penutup surah yang maha agung ini.