Syarat Mutlak Pemakmuran Masjid dan Konsekuensi Kehilangan Tauhid
Surah At-Taubah adalah salah satu surah yang diturunkan pada periode Madinah, mencakup ketetapan hukum yang fundamental mengenai hubungan antara umat Islam dengan kaum musyrikin setelah pembebasan Mekah. Ayat ke-17 dari surah ini berdiri sebagai landasan teologis yang sangat penting, menetapkan standar spiritual dan syarat keimanan yang harus dipenuhi oleh mereka yang mengklaim berhak mengurus dan memakmurkan rumah-rumah Allah (Masjid).
Terjemahan: Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Mereka itulah orang-orang yang sia-sia amalnya, dan mereka kekal di dalam api neraka.
Ayat ini bukan sekadar larangan praktis; ia adalah deklarasi prinsipil mengenai kesucian tauhid. Ia mengajukan pertanyaan mendasar: Apa esensi dari "pemakmuran" masjid, dan mengapa keimanan (tauhid) menjadi syarat mutlak yang tanpanya seluruh amal ibadah akan hancur lebur dan sia-sia?
Gambar 1: Keutamaan Tauhid dalam memakmurkan tempat ibadah.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus menempatkannya dalam konteks sejarah turunnya Surah At-Taubah. Surah ini diturunkan setelah Perjanjian Hudaibiyah dan penaklukan Mekah (Fathu Makkah). Sebelumnya, kaum musyrikin Quraisy masih memegang kunci Ka'bah dan melakukan ritual ibadah haji, meskipun mereka mencampurinya dengan praktik kesyirikan.
Ayat ini turun sebagai jawaban atas kebanggaan yang diutarakan oleh sebagian kaum musyrikin saat Perang Tabuk. Mereka berargumen bahwa, meskipun mereka tidak beriman, amal mereka dalam memberi minum jemaah haji (*siqayah*) dan mengurus Masjidil Haram (*imarah*) seharusnya setara atau bahkan lebih mulia daripada amal para sahabat yang beriman namun mungkin tidak memiliki peran administratif sejelas mereka di masa lalu. Mereka menganggap bahwa kontribusi fisik dan logistik mereka kepada Ka'bah sudah cukup. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat ini diturunkan setelah Rasulullah ﷺ memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk mengumumkan kepada kaum musyrikin bahwa mereka tidak boleh lagi memasuki Masjidil Haram setelah tahun itu.
Jawaban Al-Qur'an tegas: Amal yang paling besar sekalipun, jika dilakukan di atas fondasi syirik (penyekutuan Allah), tidak memiliki nilai di sisi Allah. Hak untuk mengurus dan merawat Rumah Allah hanya layak diberikan kepada mereka yang telah membersihkan diri dari noda kesyirikan, yaitu kaum mukminin.
Ayat ini menandai titik balik penting, memisahkan secara definitif hak spiritual dan administratif atas tempat-tempat suci, terutama Masjidil Haram, hanya untuk penganut tauhid murni. Hal ini selaras dengan ayat berikutnya (At-Taubah 18) yang menjelaskan siapa yang sesungguhnya layak memakmurkan masjid, yaitu mereka yang beriman kepada Allah, hari akhir, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut kecuali kepada Allah.
Memahami tiga komponen utama dalam ayat ini—“memakmurkan” (*Ya’muru*), “orang-orang musyrik” (*al-Musyrikin*), dan “mengakui kekufuran” (*Syahidin ‘ala anfusihim bil kufri*)—sangat krusial untuk menggali makna keseluruhannya.
Lafaz *I'mar* (memakmurkan) dalam bahasa Arab memiliki makna ganda yang luas, tidak terbatas pada aspek fisik semata. Para mufasir membagi makna ini menjadi dua dimensi utama:
Ini meliputi segala usaha yang berkaitan dengan pembangunan, perbaikan, pemeliharaan fisik, kebersihan, dan penyediaan fasilitas masjid. Pada masa Nabi, ini termasuk tugas-tugas logistik seperti yang diklaim oleh kaum musyrikin Mekah. Namun, menurut ayat ini, pemakmuran fisik tanpa pemakmuran spiritual adalah sia-sia.
Ini adalah makna yang lebih utama dan yang menjadi penentu sahnya pemakmuran. Pemakmuran spiritual mencakup:
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa pemakmuran spirituallah yang merupakan inti, sebab jika masjid hanya dibangun megah tetapi sepi dari ibadah tauhid, ia belum sepenuhnya makmur di mata Allah. Oleh karena itu, orang musyrik, meskipun mampu membangun masjid dengan emas, tidak dapat mencapai pemakmuran spiritual ini karena dasar keyakinan mereka cacat.
Frasa ini sangat tajam. Orang-orang musyrik tahu dan meyakini bahwa mereka berada di atas agama nenek moyang mereka yang menyembah selain Allah. Pengakuan ini bisa diinterpretasikan dalam dua cara:
Mereka tidak mungkin memakmurkan tempat yang dibangun untuk mengesakan Allah, sementara mereka sendiri berikrar menyekutukan-Nya. Kontradiksi internal ini menghilangkan hak mereka secara teologis.
Bagian kedua dari ayat ini menjelaskan konsekuensi fatal dari melakukan amal saleh di atas dasar syirik: “Mereka itulah orang-orang yang sia-sia amalnya (Habithat A’maluhum), dan mereka kekal di dalam api neraka.”
*Ihbat al-A'mal* berarti amal perbuatan menjadi hangus, batal, atau tidak bernilai sama sekali di sisi Allah, seolah-olah tidak pernah dilakukan. Ini adalah doktrin fundamental dalam akidah Islam yang menegaskan bahwa *Tawhid* (mengesakan Allah) adalah syarat penerimaan amal.
Konsep ini diperkuat oleh ayat-ayat lain, seperti firman Allah dalam Surah Az-Zumar ayat 65:
Terjemahan: Sungguh, jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
Jika peringatan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ—meskipun mustahil beliau berbuat syirik—maka apatah lagi bagi orang-orang musyrik yang secara terang-terangan berpegang pada keyakinan tersebut. Ini menunjukkan betapa seriusnya dosa syirik, yang mampu menghancurkan setiap kebaikan, keindahan, dan sumbangan fisik yang pernah dilakukan seseorang.
Kesyirikan yang disinggung dalam At-Taubah 17 adalah Syirik Akbar (besar), yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan menyebabkan kekalnya di neraka. Bentuk-bentuk amal kebaikan seperti memberi makan, membangun sumur, atau bahkan membersihkan Ka'bah, jika dilakukan oleh orang musyrik, tidak akan menghasilkan pahala akhirat karena mereka telah melanggar prinsip dasar tauhid.
Ayat ini memiliki implikasi hukum (fikih) yang besar terkait pengelolaan masjid dan wakaf Islam.
Berdasarkan At-Taubah 17, para ulama sepakat bahwa non-Muslim tidak boleh diberi tanggung jawab penuh atau kepengurusan atas masjid, terutama yang berkaitan dengan ritual ibadah dan penentuan kebijakan keagamaan di dalamnya.
Ayat 17 dan 18 dari At-Taubah menekankan bahwa masjid harus berfungsi sebagai pusat totalitas tauhid. Fungsi masjid meliputi:
Jika masjid diurus oleh orang-orang yang hatinya dipenuhi syirik, maka secara inheren, fungsi-fungsi tauhid ini akan terdistorsi atau terhapus.
Gambar 2: Simbol ilmu pengetahuan dan penafsiran yang murni.
Pelajaran terpenting dari At-Taubah 17 adalah penegasan kembali kedudukan tauhid sebagai inti sari seluruh agama dan syarat mutlak diterimanya amal perbuatan. Ayat ini menyingkap tabir ilahi tentang keadilan di akhirat.
Analogi yang sering digunakan ulama adalah bangunan. Tauhid (iman) adalah fondasi; amal saleh adalah dinding dan atap. Jika fondasi itu rapuh atau tidak ada (karena syirik), seberapa pun megahnya dinding yang dibangun (amal kebaikan duniawi), seluruh bangunan akan runtuh dan tidak memiliki nilai saat badai akhirat datang.
Tauhid terdiri dari tiga aspek yang harus dipenuhi secara utuh:
Karena kaum musyrikin melanggar Tauhid Uluhiyyah, seluruh amal mereka dalam konteks ibadah (seperti pemakmuran masjid) menjadi tidak sah di hadapan Allah.
Harus dibedakan antara balasan kebaikan di dunia dan balasan pahala di akhirat. Seseorang yang kafir/musyrik yang melakukan kebaikan (seperti membantu orang miskin, membangun jembatan, atau bahkan membangun masjid) mungkin akan dibalas di dunia dalam bentuk rezeki, kesehatan, atau kemudahan hidup. Ini adalah bentuk keadilan Allah di dunia.
Namun, balasan akhirat (pahala, surga, keselamatan dari api neraka) adalah hak eksklusif yang hanya diberikan kepada mereka yang beriman dengan tauhid yang murni. Ayat At-Taubah 17 secara eksplisit berbicara tentang kerugian di akhirat: "Mereka itulah orang-orang yang sia-sia amalnya, dan mereka kekal di dalam api neraka."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa tujuan utama agama adalah Tauhid. Segala amal yang bertentangan dengan tujuan utama ini pasti akan ditolak, meskipun secara kasat mata terlihat mulia.
Meskipun ayat ini memiliki konteks historis yang spesifik (yaitu Masjidil Haram), prinsip-prinsipnya bersifat universal dan relevan hingga hari ini, terutama dalam konteks peran umat Islam sebagai pemakmur sejati rumah-rumah Allah.
Ayat ini adalah peringatan keras bagi umat Islam agar memastikan bahwa masjid-masjid tidak hanya megah secara fisik, tetapi juga murni secara akidah. Pemakmuran modern menuntut kaum mukminin untuk:
Orang-orang musyrik yang disebut dalam ayat ini melakukan syirik akbar; namun, umat Islam diperingatkan agar tidak mendekati syirik sekecil apa pun, apalagi dalam konteks tempat ibadah.
Pemakmuran sejati, sebagaimana dituntut oleh ruh ayat ini, adalah menjadikan masjid sebagai pusat denyut kehidupan komunitas, di mana ajaran Al-Qur'an dan Sunnah diamalkan secara menyeluruh. Hal ini mencakup aspek-aspek berikut:
Aspek Pendidikan Akidah: Program-program di masjid harus fokus pada penguatan tauhid dan pemahaman yang benar tentang sifat-sifat Allah, menjauhkan umat dari filsafat atau pemikiran yang bertentangan dengan Al-Qur'an.
Aspek Sosial dan Ekonomi: Memakmurkan masjid juga berarti menggunakan sumber daya masjid (seperti wakaf atau infak) untuk kepentingan sosial umat, seperti pendidikan fakir miskin dan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, semuanya didorong oleh keimanan kepada Allah dan Hari Akhir.
Akhir dari ayat ini mengandung ancaman yang paling serius: “dan mereka kekal di dalam api neraka.” Kekalnya di neraka (Khulud fi an-Nar) adalah konsekuensi final dari syirik akbar.
Konsep kekekalan di neraka bagi orang-orang kafir adalah salah satu prinsip utama akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Karena syirik adalah kejahatan terbesar yang dilakukan terhadap hak Allah, maka balasan kekal sepadan dengan kejahatan tersebut. Meskipun orang musyrik mungkin telah hidup 80 tahun dan melakukan banyak kebaikan duniawi, tindakan syirik mereka telah merusak semua kebaikan tersebut dan menafikan syarat fundamental penciptaan manusia: beribadah hanya kepada Allah.
Jika seseorang meninggal dalam keadaan syirik, pintu taubat telah tertutup, dan tidak ada syafaat yang akan menyelamatkannya, karena Allah berfirman dalam Surah An-Nisa' ayat 48:
Terjemahan: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
At-Taubah 17 berfungsi sebagai cermin untuk menguji keabsahan keimanan kita. Apakah fondasi yang kita bangun untuk amal kita—bahkan amal pemakmuran masjid yang mulia—sudah benar-benar kokoh di atas tauhid murni?
Meskipun ayat ini sangat jelas, para ulama membahas beberapa detail fikih yang muncul dari pemahaman frasa "Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah."
Secara umum, ayat ini adalah dalil bagi larangan mutlak bagi musyrikin memasuki Masjidil Haram, sebagaimana dipertegas oleh ayat 28 surah yang sama: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini."
Mengenai masjid lain (selain Masjidil Haram), terdapat perbedaan pendapat:
Namun, dalam konteks At-Taubah 17, yang dilarang bukanlah sekadar kehadiran fisik, melainkan hak untuk mengambil alih kepengurusan dan fungsi spiritual masjid.
Ayat ini secara eksplisit membatalkan klaim keabsahan kepemimpinan spiritual dan administratif kaum musyrikin atas tempat-tempat suci. Kepemimpinan masjid (Imamah, Nazhir Wakaf, Pengurus Dewan Masjid) harus dipegang oleh kaum mukminin yang memenuhi standar tauhid dan integritas moral (sebagaimana dirinci dalam At-Taubah 18).
Jika pengurus masjid melakukan syirik (meski mengaku Muslim), secara substansi mereka telah menciderai ruh ayat ini, karena pemakmuran mereka tidak didasarkan pada tauhid murni, meskipun status hukum fikih mereka mungkin berbeda dengan musyrikin yang disebut dalam ayat ini.
Sebagai antitesis dari At-Taubah 17, Allah menjelaskan dalam ayat 18 siapa yang layak memakmurkan masjid. Empat ciri ini adalah standar yang harus kita pegang:
Ini adalah fondasi tauhid dan niat yang lurus. Keimanan yang benar menghasilkan ibadah yang benar dan pemakmuran yang tulus.
Salat adalah tiang agama dan praktik fisik paling penting dari pemakmuran. Melaksanakan salat berjamaah di masjid adalah bentuk tertinggi dari pemakmuran spiritual.
Zakat adalah pembersihan harta dan bentuk keadilan sosial. Keseimbangan antara ibadah vertikal (salat) dan horizontal (zakat) menunjukkan kepribadian Muslim yang utuh.
Sifat ini menjamin bahwa pemakmur masjid akan menjalankan tugasnya tanpa kompromi teologis. Mereka tidak akan takut pada celaan manusia atau tekanan sosial untuk memasukkan praktik bid'ah atau syirik ke dalam masjid, karena yang mereka takuti hanyalah hukuman Allah.
Dalam refleksi akhir, Surah At-Taubah ayat 17 bukan hanya catatan sejarah tentang siapa yang boleh mengurus Ka'bah di masa lalu, melainkan sebuah kaidah abadi: keabsahan amal diukur dari kemurnian tauhid. Setiap usaha, baik besar maupun kecil, yang tidak berlandaskan tauhid murni, tidak akan memiliki tempat di timbangan amal akhirat. Ini adalah pengingat yang menyentuh hati bagi setiap individu Muslim bahwa tugas utama kita adalah membersihkan ‘masjid hati’ kita dari segala bentuk syirik, agar amal kita tidak menjadi sia-sia dan kita layak menjadi pemakmur sejati rumah-rumah Allah di muka bumi.