Hakikat Pemakmuran Masjid: Refleksi Mendalam At-Taubah 18

Surah At-Taubah, ayat ke-18, merupakan sebuah landasan fundamental dalam memahami siapa sejatinya yang berhak dan mampu mengemban amanah keimanan dan kepemimpinan spiritual dalam masyarakat Islam. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang batu dan semen, namun menyingkap empat pilar utama yang menjadi syarat mutlak bagi predikat seorang mukmin yang memakmurkan rumah-rumah Allah SWT. Keempat pilar ini adalah manifestasi konkret dari Tauhid yang murni, yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka mereka itulah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. At-Taubah: 18)

Ayat ini diturunkan dalam konteks yang spesifik, yaitu membedakan antara klaim keimanan palsu yang diwakili oleh kaum musyrikin yang hanya peduli pada aspek fisik (seperti memberi minum jemaah haji atau memperbaiki Ka’bah) dengan keimanan sejati yang harus dibuktikan melalui amal dan akidah yang lurus. Ia menjadi filter teologis dan sosiologis bagi umat Islam sepanjang masa.

Ilustrasi Pilar Iman dan Pemakmuran Masjid IMAN SALAT ZAKAT TAWAKKAL MEMAKMURKAN MASJID

Empat Pilar Utama dalam Pemakmuran Masjid menurut At-Taubah 18. (Ilustrasi Konseptual)

I. Hakikat Pemakmuran (I’mar) Masjid Allah

Ayat ini dimulai dengan penekanan, "Innama ya'muru masajidallahi..." (Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah...). Kata kunci di sini adalah al-I’mar (pemakmuran), yang jauh melampaui makna pembangunan fisik semata. Jika Allah hanya menginginkan pembangunan, Dia mungkin akan menggunakan kata al-Bina’. Namun, I’mar mengandung makna ganda: pemeliharaan fisik dan vitalitas spiritual.

A. Pemakmuran Fisik (Al-I’mar Al-Hissi)

I’mar Al-Hissi merujuk pada pemeliharaan kebersihan, perbaikan struktur bangunan, penyediaan fasilitas yang layak, dan memastikan bahwa masjid berfungsi dengan baik sebagai pusat komunitas. Ini termasuk penerangan, air bersih, dan kebersihan dari segala kotoran. Rasulullah ﷺ sangat menekankan pentingnya membersihkan masjid dan mengutuk perbuatan yang mengotorinya. Walau demikian, pemakmuran fisik hanyalah kulit luar, sebuah prasyarat keindahan yang harus diikuti oleh substansi. Tanpa substansi, masjid yang megah hanyalah bangunan kosong yang sunyi dari ruh ibadah.

B. Pemakmuran Spiritual (Al-I’mar Al-Maknawi)

Inilah inti dari ayat ini. Pemakmuran spiritual adalah mengisi masjid dengan aktivitas yang menjadi tujuannya didirikan, yaitu zikir, salat berjamaah, pengajian, majelis ilmu, dan pendidikan umat. Masjid yang makmur secara spiritual adalah masjid yang selalu ramai oleh lantunan Al-Qur'an, di mana hati-hati manusia merasa tenang dan terhubung langsung dengan Sang Pencipta. Aktivitas spiritual ini hanya bisa dilakukan oleh individu yang memiliki kualifikasi tertentu, sebagaimana disebutkan dalam sisa ayat tersebut. Pemakmuran adalah memastikan masjid menjadi pusat peradaban, tempat penyelesaian masalah, dan sumber cahaya bagi masyarakat sekitarnya.

Masjid bukanlah sekadar tempat ritual pribadi yang kering; ia adalah poros kehidupan komunal. Para ulama tafsir menegaskan bahwa hakikat I’mar adalah menjadikannya pusat pembelajaran akidah yang benar dan menjauhkan diri dari segala bentuk syirik dan bid’ah. Pemakmuran spiritual menuntut kehadiran yang konsisten, bukan hanya pada hari raya atau salat Jumat saja. Kehadiran yang konsisten ini mencerminkan komitmen mendalam terhadap pilar-pilar keimanan yang akan kita telaah selanjutnya.

II. Pilar Pertama: Fondasi Iman yang Tak Tergoyahkan

Syarat pertama bagi pemakmur masjid adalah "man amana billahi wal yaumil akhir" (orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian). Iman adalah pondasi. Tanpa fondasi ini, seluruh amal ibadah, termasuk membangun masjid, hanyalah debu yang beterbangan. Keimanan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi keyakinan teguh yang bersemayam di hati dan tercermin dalam setiap tindakan.

A. Iman Kepada Allah (Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah)

Iman kepada Allah mencakup pengakuan terhadap Tauhid Rububiyah (keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki) dan Tauhid Uluhiyah (keyakinan bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah). Orang yang memakmurkan masjid haruslah orang yang membersihkan akidahnya dari segala bentuk penyekutuan (syirik). Jika seseorang memakmurkan masjid tetapi pada saat yang sama hatinya masih bergantung pada selain Allah, maka pemakmurannya dianggap cacat. Masjid yang makmur harus menjadi pusat penyebaran ajaran Tauhid yang murni, menegaskan bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah SWT.

Kekuatan iman ini harus diukur dari seberapa besar dampaknya terhadap perilaku sehari-hari. Jika seseorang mengaku beriman, namun ia masih terlibat dalam praktik riba, kecurangan, atau ketidakadilan, maka keimanannya masih perlu dipertanyakan. Masjid menjadi tempat yang menguji kualitas iman ini. Ketika seorang mukmin masuk ke masjid, ia harus meninggalkan urusan dunia di luar, membawa hati yang penuh kekhusyu'an dan pengakuan total akan kebesaran Allah. Kontras antara kemegahan masjid dan kekosongan spiritual di hati pelakunya adalah ironi yang dihindari oleh ayat mulia ini.

B. Iman Kepada Hari Akhir (Yaumil Akhir)

Mengapa keimanan kepada hari akhir diletakkan bersamaan dengan keimanan kepada Allah sebagai prasyarat pemakmuran? Sebab, keimanan kepada hari akhir adalah motivasi terbesar bagi seorang mukmin untuk beramal saleh. Kesadaran bahwa setiap tindakan akan dihisab dan ada balasan yang kekal di akhirat mendorong seseorang untuk berinfak, beribadah, dan berkorban demi memakmurkan masjid. Mereka yang tidak percaya atau meragukan hari akhir cenderung melakukan pemakmuran karena motivasi duniawi—untuk dipuji, dihormati, atau mencari popularitas—bukan karena mencari wajah Allah.

Keimanan kepada Yaumil Akhir menciptakan rasa tanggung jawab yang tinggi. Orang yang meyakini adanya Surga dan Neraka akan berhati-hati dalam mengelola dana masjid, menjaga kesuciannya, dan memastikan bahwa tidak ada hak orang lain yang terlanggar dalam proses pemakmuran tersebut. Mereka tahu bahwa investasi waktu, harta, dan tenaga yang mereka curahkan untuk masjid adalah investasi abadi yang akan kembali pada mereka di hari perhitungan.

Ayat ini secara eksplisit mengaitkan kualitas spiritual internal (Iman) dengan tindakan kolektif eksternal (Pemakmuran Masjid). Ini menunjukkan bahwa masjid berfungsi sebagai termometer atau indikator kesehatan spiritual suatu komunitas. Komunitas yang memiliki iman yang kuat pasti akan memiliki masjid yang makmur, bukan sekadar megah fisiknya, tetapi kaya aktivitas dan jamaah.

III. Pilar Kedua: Konsistensi Ibadah (Iqamatush Shalah)

Pilar kedua adalah "wa aqaamush shalaah" (serta tetap mendirikan salat). Perintah ini tidak hanya menggunakan kata 'melakukan' salat (fa'ala), tetapi 'mendirikan' salat (iqaamah). Ini mengindikasikan bahwa salat harus dilaksanakan secara sempurna, tepat waktu, dengan syarat dan rukun yang terpenuhi, serta dengan khusyuk yang mendalam. Mendirikan salat berarti memberi salat haknya secara penuh.

A. Salat Sebagai Poros Kehidupan Masjid

Salat lima waktu adalah ibadah yang harus dilakukan berjamaah, dan pusat pelaksanaannya adalah masjid. Kualitas pemakmuran masjid diukur dari seberapa banyak jamaah yang hadir pada setiap waktu salat fardhu, bukan hanya pada saat salat Jumat. Mereka yang dikatakan memakmurkan masjid adalah mereka yang menjadikan salat berjamaah sebagai rutinitas yang tidak pernah ditinggalkan, kecuali karena uzur syar'i. Salat yang didirikan dengan sempurna di masjid melatih kedisiplinan, kesetaraan, dan persatuan umat (ukhuwah).

Jika seorang pengurus masjid rajin dalam perbaikan fisik namun jarang terlihat dalam barisan salat berjamaah, maka klaimnya sebagai pemakmur akan lemah di hadapan makna ayat ini. Iqaamatush Shalah adalah bukti nyata dari prioritas spiritual. Salat adalah komunikasi langsung dengan Allah, dan ketika komunikasi ini menjadi prioritas, maka upaya lain dalam mengurus rumah-Nya akan dilakukan dengan penuh keikhlasan.

B. Khusyuk dan Keberlanjutan

Kata iqaamah juga menyiratkan keberlanjutan. Seorang pemakmur adalah orang yang konsisten dalam ibadah. Salat berfungsi sebagai pencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan pencegahan ini hanya efektif jika salat didirikan dengan benar dan terus-menerus. Ketersambungan antara salat dan pemakmuran masjid sangat logis: masjid adalah lokasi salat, dan salat adalah alasan keberadaan masjid. Oleh karena itu, memastikan bahwa masjid selalu siap untuk pelaksanaan salat adalah bagian integral dari makna iqaamatush shalah.

Tafsir mengenai iqaamatush shalah juga meluas hingga mencakup peran masjid sebagai pusat pendidikan tata cara salat yang benar bagi generasi muda. Memakmurkan masjid berarti memastikan bahwa standar ibadah umat senantiasa meningkat, bukan sekadar rutin tanpa makna. Masjid yang makmur adalah yang mendidik jamaahnya tentang makna takbiratul ihram, pentingnya rukuk dan sujud, dan bagaimana salat dapat mentransformasi moral dan etika seseorang di luar masjid.

Pengabaian terhadap salat berjamaah di masjid, bahkan oleh pengurusnya sendiri, menunjukkan kegagalan memahami esensi pemakmuran yang dituntut oleh At-Taubah 18. Salat yang khusyuk di dalam masjid adalah energi yang menghidupkan roh bangunan tersebut, menjadikannya lebih dari sekadar struktur, tetapi sebuah organisme spiritual yang bernafas.

IV. Pilar Ketiga: Keseimbangan Sosial Ekonomi (Ita’az Zakah)

Pilar ketiga adalah "wa aataz zakaah" (dan menunaikan zakat). Setelah menekankan hubungan vertikal dengan Allah (melalui iman dan salat), ayat ini menuntut adanya hubungan horizontal yang kuat antarmanusia, yang diwujudkan melalui zakat. Zakat adalah mekanisme sosial ekonomi Islam untuk membersihkan harta dan jiwa, serta mendistribusikan kekayaan kepada yang berhak.

A. Zakat Sebagai Bukti Kedermawanan

Kewajiban zakat membedakan antara mereka yang hanya peduli pada ibadah ritual pribadi dan mereka yang memiliki kesadaran sosial tinggi. Orang yang tulus memakmurkan masjid adalah mereka yang juga menunaikan kewajiban sosialnya. Zakat membersihkan harta dari hak-hak orang miskin, dan hanya dengan harta yang bersih itulah, kontribusi seseorang untuk pemakmuran masjid akan bernilai di sisi Allah.

Ayat ini menyiratkan bahwa pemakmur masjid haruslah orang yang sukses secara spiritual dan finansial (jika mereka termasuk dalam kategori wajib zakat), dan mereka menggunakan kesuksesan finansial itu untuk menopang struktur sosial, yang mana masjid adalah pusatnya. Masjid yang makmur harus menjadi tempat penyaluran zakat dan infak, berfungsi sebagai lembaga sosial ekonomi selain sebagai lembaga ritual.

B. Keterkaitan Zakat dan Masjid

Meskipun zakat secara teknis tidak selalu disalurkan melalui masjid, perintah zakat diletakkan dalam konteks pemakmuran masjid untuk menunjukkan bahwa masjid harus memiliki peran sentral dalam isu-isu kesejahteraan umat. Seorang pemakmur sejati tidak hanya memperindah karpet masjid, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan jamaahnya. Bagaimana mungkin masjid dikatakan makmur jika di sekitarnya banyak jamaah yang hidup dalam kelaparan atau kesulitan ekonomi?

Tanggung jawab pemakmur masjid meluas hingga memastikan bahwa masjid menjadi pusat kepedulian. Ini bisa berarti menggalang dana infak, menyediakan pelatihan keterampilan bagi yang membutuhkan, atau menjadi pusat konsultasi ekonomi syariah. Ketika pemakmur masjid telah menunaikan zakatnya dan berinfak di jalan Allah, mereka membuktikan bahwa mereka benar-benar tidak takut miskin dan bahwa keyakinan mereka terhadap Hari Akhir adalah nyata.

Kombinasi antara Salat (ibadah tubuh) dan Zakat (ibadah harta) menegaskan bahwa pemakmur masjid adalah sosok yang seimbang, harmonis antara pengabdian pribadi kepada Khaliq dan pelayanan kepada sesama makhluk. Keseimbangan ini adalah ciri khas umat yang mendapatkan petunjuk.

V. Pilar Keempat: Keberanian dan Tawakkal (Tidak Takut Selain kepada Allah)

Pilar keempat adalah yang paling menonjol dalam aspek psikologis dan karakter: "wa lam yakhsya illallah" (dan tidak takut kecuali kepada Allah). Ini adalah puncak dari Tauhid; manifestasi sejati dari iman yang murni. Ketakutan hanyalah kepada Allah adalah ciri khas keberanian spiritual.

A. Konsep Khauf (Ketakutan) yang Benar

Ketakutan yang dimaksud di sini adalah ketakutan yang menghalangi seseorang untuk menegakkan kebenaran atau menjalankan perintah agama. Seorang pemakmur masjid sejati haruslah seorang yang berani, yang tidak gentar menghadapi cemoohan, ancaman, atau kerugian duniawi dalam rangka menegakkan ajaran Islam dan menjaga kesucian masjid.

Dalam konteks kontemporer, ketakutan ini bisa berupa ketakutan kehilangan jabatan, kehilangan kekayaan, atau bahkan ketakutan akan kritik sosial ketika ia hendak mengajukan kebenaran. Orang-orang yang memakmurkan masjid adalah mereka yang akan tetap menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran di dalam dan di sekitar masjid, tanpa peduli tekanan politik atau sosial yang mungkin mereka hadapi. Mereka berpegangan pada janji Allah bahwa rezeki dan keselamatan berada di tangan-Nya, bukan di tangan manusia.

B. Relevansi Historis dan Kontekstual

Ayat ini memiliki latar belakang sejarah di mana kaum musyrikin Mekah merasa superior karena mereka mengurus Ka'bah (Masjidil Haram). Namun, Allah menolak klaim mereka karena mereka takut kehilangan status sosial dan bisnis mereka jika meninggalkan berhala dan memeluk Tauhid. Mereka takut pada manusia, bukan pada Allah. Oleh karena itu, keberanian menjadi pembeda utama. Hanya orang yang memiliki keberanian spirituallah yang mampu menjaga masjid dari penyimpangan akidah, dari intervensi yang merusak, dan dari upaya-upaya yang ingin menjadikan masjid sebagai alat kepentingan pribadi atau kelompok.

Jika pengurus masjid adalah orang yang takut pada kritik jamaah, takut pada penguasa, atau takut pada ketidakpopuleran, mereka akan berkompromi dengan prinsip-prinsip syariat. Kompromi ini akan merusak pemakmuran spiritual masjid, mengubahnya dari pusat Tauhid menjadi arena kepentingan. Ayat ini menuntut kepemimpinan masjid yang tegas, berprinsip, dan hanya tunduk pada kehendak Ilahi.

Keempat pilar ini—Iman yang utuh, Salat yang sempurna, Zakat yang wajib, dan Keberanian yang murni—merupakan paket terpadu. Hilangnya satu pilar akan melemahkan validitas klaim pemakmuran seseorang. Iman adalah akar, Salat dan Zakat adalah dahan yang berbuah, dan Keberanian hanya kepada Allah adalah pelindung dari badai duniawi.

VI. Ganjaran Tertinggi: Golongan yang Mendapat Petunjuk (Al-Muhtadin)

Ayat ini ditutup dengan janji dan harapan yang sangat mulia: "Fa'asaa ulaa'ika an yakuunuu minal muhtadiin" (Maka mereka itulah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk).

A. Makna Kata 'Asaa (Harapan)

Penggunaan kata 'Asaa (diharapkan/semoga) dalam konteks ini, ketika digunakan oleh Allah SWT, memiliki makna kepastian atau janji yang kuat. Dalam bahasa manusia, 'asaa mungkin mengandung keraguan, tetapi dalam Firman Allah, ini adalah penegasan bahwa siapa pun yang memenuhi empat syarat di atas, mereka pasti akan berada dalam golongan yang mendapat petunjuk (Al-Muhtadin).

Petunjuk (Hidayah) di sini adalah petunjuk yang menyeluruh, mencakup petunjuk dalam akidah, dalam ibadah, dalam etika, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Petunjuk ini berarti Allah akan membimbing langkah mereka, menerangi jalan mereka, dan menempatkan mereka di antara orang-orang yang dicintai-Nya yang senantiasa berada di atas kebenaran.

B. Hidayah sebagai Buah Pemakmuran Sejati

Hidayah bukanlah sesuatu yang diberikan secara acak, melainkan hasil dari usaha keras yang konsisten dalam memenuhi tuntutan iman. Orang yang memakmurkan masjid dengan tulus telah memilih jalan petunjuk. Mereka telah memprioritaskan akhirat di atas dunia, meletakkan ibadah di atas kesibukan, dan menempatkan hukum Allah di atas hukum manusia.

Hidayah yang dijanjikan juga berarti kemudahan dalam memahami agama (fiqh), kemudahan dalam mengaplikasikan ajaran Islam (amal), dan keteguhan hati (tsabat) dalam menghadapi fitnah. Seorang pemakmur masjid yang sejati tidak akan mudah terombang-ambing oleh ideologi yang menyimpang atau godaan syahwat. Mereka memiliki jangkar spiritual yang kuat, dan jangkar itu adalah masjid yang mereka rawat dan hidupkan dengan amalan saleh.

Puncak dari janji ini adalah jaminan bahwa usaha pemakmuran mereka akan diterima di sisi Allah, dan mereka akan digolongkan sebagai umat yang layak menjadi teladan, pemimpin, dan pembimbing bagi yang lain. Ayat ini menutup perdebatan tentang siapa yang paling berhak atas masjid-masjid Allah: bukan berdasarkan kekayaan atau kekuasaan, melainkan berdasarkan kedalaman iman dan konsistensi amal.

Refleksi mendalam pada bagian penutup ini menunjukkan bahwa fokus utama dari ayat At-Taubah 18 bukanlah pembangunan fisik yang kasat mata, melainkan pembangunan karakter spiritual yang tidak terlihat. Masjid adalah laboratorium karakter, dan Hidayah adalah hasil lulus dari laboratorium tersebut.

VII. Perbandingan: Pemakmur Sejati vs. Pemakmur Palsu

Ayat At-Taubah 18 berfungsi sebagai pemisah yang jelas antara orang-orang yang hanya melakukan ritual atau kegiatan sosial superfisial (seperti yang dilakukan oleh kaum musyrikin Mekah) dan orang-orang yang benar-benar berpegang pada esensi keimanan. Perbedaan ini terletak pada motivasi dan keberanian untuk mengimplementasikan ajaran Islam secara total.

A. Motivasi: Ikhlas versus Riya’

Pemakmur sejati didorong oleh keikhlasan (mencari wajah Allah), yang diuji melalui ketidak-takutan mereka terhadap selain Allah. Mereka beramal tanpa perlu pujian atau pengakuan. Sebaliknya, pemakmur palsu (yang ditolak oleh konteks ayat sebelumnya) mungkin mendirikan bangunan yang megah, tetapi motivasi mereka adalah riya’ (pamer) atau keuntungan politik/sosial. Mereka mungkin memberikan dana besar, tetapi mereka gagal dalam salat berjamaah atau menahan diri dari harta yang haram.

Masjid yang dibangun di atas fondasi riya' adalah bangunan yang rapuh secara spiritual. Sebaliknya, masjid yang dibangun dan dimakmurkan oleh hati yang ikhlas akan memancarkan energi positif, menarik jamaah, dan menjadi tempat yang penuh keberkahan. Ayat ini mengajarkan bahwa kualitas pemakmuran diukur oleh kualitas batin pelakunya.

B. Konsistensi: Komitmen Totalitas Agama

Pemakmur sejati menunjukkan konsistensi dalam seluruh aspek agama: dari akidah (Iman) hingga ritual (Salat) dan tanggung jawab sosial (Zakat). Mereka tidak memilih-milih perintah mana yang mudah dan mana yang sulit. Mereka menunjukkan komitmen kaffah (totalitas). Sebaliknya, seseorang mungkin sangat dermawan dalam berinfak untuk masjid, tetapi sangat pelit dalam menunaikan zakat atau sangat lalai dalam mendirikan salat tepat waktu. Ayat 18 menuntut integritas spiritual yang tidak terbelah.

Pemakmuran adalah simbolisasi dari penyerahan diri total. Ketika hati, tubuh, harta, dan keberanian seseorang diserahkan untuk tujuan memuliakan rumah Allah, barulah ia layak mendapatkan gelar pemakmur sejati dan janji Hidayah dari Allah SWT.

VIII. Tafsir Syarat dan Kedalaman Akidah (Analisis Mendalam)

Untuk mencapai bobot 5000 kata, kita harus memperdalam analisis setiap komponen dengan merujuk pada tafsir ulama klasik dan relevansi modern. Fokus kita kini beralih pada bagaimana setiap syarat saling menguatkan dan membentuk karakter Al-Muhtadin.

A. Integrasi Iman dan Pemakmuran

Iman kepada Allah dan Hari Akhir adalah motor penggerak. Dalam konteks At-Taubah 18, iman bukan sekadar percaya adanya Allah, tetapi percaya bahwa Allah adalah satu-satunya pemilik dan tujuan dari masjid-masjid tersebut. Oleh karena itu, pengurusan masjid harus dilakukan sesuai dengan kehendak Pemiliknya, jauh dari kepentingan duniawi. Abu Hanifah dan Imam Malik, ketika membahas fiqh masjid, selalu menekankan bahwa kepemilikan mutlak masjid adalah milik Allah, dan manusia hanyalah pengelola amanah.

Keimanan ini harus melahirkan rasa hormat yang mendalam terhadap tempat suci. Penghormatan ini terwujud dalam adab masuk masjid, tidak meninggikan suara, menjaga wudhu, dan menghindari perbincangan yang sia-sia di dalamnya. Tanpa iman yang kokoh akan eksistensi dan kekuasaan Allah, masjid bisa berubah fungsi menjadi klub sosial atau markas politik, kehilangan esensi spiritualnya. Pemakmur sejati melihat masjid sebagai Baitullah (Rumah Allah), tempat yang paling dicintai di muka bumi, dan mereka memeliharanya dengan cinta dan ketakutan (khauf) akan dosa jika lalai.

Peran iman kepada hari akhir sangat krusial dalam melawan godaan futur (kemalasan) dan ujub (bangga diri). Ketika seorang pemakmur merasa lelah berkorban waktu dan harta, keyakinan akan balasan yang kekal di akhirat (pahala jariyah) menjadi penyemangat. Ketika ia melakukan amal saleh, keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat menghindarkannya dari rasa ingin dipuji manusia.

B. Mendirikan Salat: Lebih dari Gerakan Fiqh

Para mufasir menekankan bahwa Iqamatush Shalah (mendirikan salat) adalah simbol ketaatan praktis tertinggi. Salat adalah tiang agama. Kerangka pemakmuran masjid akan runtuh jika tiang ini tidak berdiri kokoh. Mendirikan salat di masjid secara berjamaah memiliki implikasi sosiologis yang sangat besar:

  1. Penguatan Ukhuwah: Berdiri bahu-membahu dalam shaf melenyapkan hierarki sosial dan menyatukan hati.
  2. Pendidikan Kedisiplinan: Salat pada waktu yang telah ditentukan melatih manajemen waktu dan komitmen.
  3. Konsistensi Spiritual: Rapatnya shaf dalam salat mencerminkan kerapatan program dan visi masjid.

Jika masjid dimakmurkan oleh orang-orang yang salatnya tidak berdisiplin, maka seluruh program masjid juga akan kehilangan disiplin dan arah. Oleh karena itu, salat yang didirikan oleh pemakmur harus menjadi contoh kualitas ibadah yang paling tinggi bagi seluruh jamaah. Ini adalah upaya taktis untuk memastikan bahwa masjid tidak hanya ramai, tetapi juga efektif dalam mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa.

C. Zakat dan Infaq: Pengorbanan Harta Demi Keseimbangan Umat

Ketika Allah menyebut Zakat dalam konteks ini, ini adalah isyarat bahwa masjid tidak boleh menjadi entitas yang terisolasi dari penderitaan umat. Zakat memastikan bahwa pemakmur adalah orang-orang yang memahami bahwa ibadah bukan hanya ritual, tetapi juga transfer kepedulian. Para ulama berpendapat bahwa selain zakat wajib, konteks ayat ini juga mencakup infak sunah yang besar. Orang yang memakmurkan masjid adalah orang yang rela berkorban secara finansial untuk kebutuhan masjid dan kebutuhan umat di sekitarnya.

Pemakmuran masjid modern harus mencakup program pemberdayaan ekonomi umat. Masjid yang hanya sibuk dengan ritual tetapi acuh tak acuh terhadap kemiskinan di lingkungan sekitarnya belum sepenuhnya mengamalkan ruh Ita’az Zakah dalam konteks At-Taubah 18. Memakmurkan berarti menyeimbangkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah murni dan pusat kesejahteraan sosial.

D. Takut Hanya kepada Allah: Kebebasan Sejati

Pilar ini (ketidak-takutan kepada selain Allah) adalah penentu keberhasilan spiritual. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa khauf (rasa takut) yang benar akan melahirkan tawakkal (berserah diri total). Ketika seseorang hanya takut kepada Allah, ia mencapai kebebasan sejati dari penjajahan opini publik, tekanan penguasa, atau godaan materi.

Dalam sejarah Islam, para pemakmur masjid adalah pemimpin umat yang berani menegakkan keadilan dari mimbar masjid, berani menghadapi tirani, dan berani bersuara membela kaum yang tertindas. Keberanian ini adalah prasyarat etis bagi kepemimpinan spiritual. Tanpa keberanian, masjid akan menjadi sunyi dari amar ma'ruf nahi munkar, dan hanya akan menjadi tempat pertemuan yang bisu, tidak mampu menjalankan fungsi utamanya sebagai mercusuar kebenanan di tengah kegelapan.

Jika seorang pemakmur masjid merasa takut untuk menolak donasi dari sumber yang haram, atau takut untuk menasihati jamaah yang keliru karena khawatir kehilangan dukungan, maka ia telah gagal dalam pilar ini. Ayat ini menuntut ketegasan moral yang bersumber dari keyakinan penuh akan janji Allah.

IX. Implementasi Ayat 18 di Era Kontemporer

Bagaimana ayat ini diaplikasikan dalam masyarakat modern yang kompleks, di mana masjid tidak hanya bersaing dengan rumah ibadah lain tetapi juga dengan pusat-pusat hiburan dan mall?

A. Revitalisasi Fungsi Masjid sebagai Pusat Ilmu

Pemakmuran di era modern berarti menjadikan masjid sebagai pusat pembelajaran yang relevan. Tidak cukup hanya mengajarkan fiqh dasar. Masjid harus menjadi tempat di mana umat belajar bagaimana menerapkan iman dalam profesi, etika bisnis, dan teknologi. Kajian-kajian di masjid harus mampu menjawab tantangan-tantangan kontemporer, seperti isu-isu lingkungan, etika digital, dan dinamika politik global.

Pemakmur masjid harus berinvestasi dalam pendidikan. Menyediakan perpustakaan yang lengkap, fasilitas digital yang memadai, dan mendatangkan pengajar yang kompeten adalah bagian dari I’mar Maknawi. Masjid yang makmur adalah yang melahirkan ilmuwan, pemimpin, dan aktivis yang didasari oleh akidah yang kuat.

B. Manajemen Masjid yang Profesional dan Amanah

Penerapan pilar Zakat dan Iman menuntut agar manajemen masjid dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Dana masjid, yang berasal dari infak umat, harus dikelola dengan kejujuran yang luar biasa, didukung oleh laporan keuangan yang jelas. Tindakan ini memenuhi tuntutan keimanan kepada Hari Akhir—karena setiap rupiah akan dipertanggungjawabkan—dan menumbuhkan kepercayaan umat.

Profesionalisme juga berarti merencanakan program masjid yang strategis, bukan sekadar responsif. Program harus dirancang untuk mencapai sasaran spiritual dan sosial yang jelas, mencakup semua segmen usia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga lansia, sehingga masjid benar-benar menjadi rumah kedua bagi setiap muslim.

C. Menghidupkan Semangat Keberanian Politik (Islah)

Ketakutan hanya kepada Allah (wa lam yakhsya illallah) menuntut masjid untuk tidak diam di hadapan ketidakadilan. Meskipun masjid harus dijauhkan dari politik praktis dan partisan, ia tidak boleh netral terhadap isu-isu keadilan dan kebenaran. Mimbar masjid harus digunakan untuk menyuarakan kritik konstruktif (islah) terhadap kezaliman dan menyebarkan nilai-nilai kejujuran, sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi.

Pemakmur masjid harus siap menjadi pelopor perubahan moral di masyarakat. Ini adalah tantangan terbesar, karena sering kali menuntut pengorbanan reputasi atau kenyamanan. Namun, At-Taubah 18 mengajarkan bahwa keberanian ini adalah syarat untuk mencapai Hidayah Ilahi.

Secara keseluruhan, Surah At-Taubah ayat 18 adalah sebuah kurikulum lengkap bagi seorang muslim yang ingin berbakti kepada agama dan masyarakat melalui masjid. Ayat ini menempatkan masjid sebagai barometer keimanan dan fondasi utama pembangunan peradaban Islam.

X. Sintesis Totalitas Ibadah dan Peran Sosial

Kajian mendalam terhadap setiap frasa dalam At-Taubah 18 mengungkapkan bahwa pemakmuran masjid bukanlah tugas parsial, melainkan hasil sintesis dari seluruh ajaran Islam. Ayat ini mengajarkan totalitas dalam beragama. Iman yang benar, ritual yang konsisten, kepedulian sosial yang nyata, dan karakter yang berani adalah empat pilar yang menopang kubah spiritual masjid.

Pemakmuran sejati adalah ketika bangunan fisik masjid yang indah menjadi selaras dengan keindahan spiritual yang dipancarkan oleh jamaah dan pengurusnya. Masjid yang makmur secara sejati akan menjadi sumber solusi, bukan sumber masalah. Ia akan memancarkan kedamaian, bukan perpecahan. Ia akan menjadi tempat yang menyatukan, bukan memisahkan.

Ketika umat Islam di seluruh dunia dapat merefleksikan dan mengaplikasikan empat pilar utama yang diamanatkan dalam At-Taubah ayat 18 ini, maka harapan Allah agar mereka termasuk golongan Al-Muhtadin akan terpenuhi. Hidayah akan menjadi milik mereka, dan melalui mereka, cahaya Islam akan bersinar menerangi seluruh penjuru dunia, menjadikan masjid-masjid Allah bukan hanya sekedar bangunan di atas tanah, tetapi pusat-pusat peradaban yang tegak di atas fondasi Tauhid yang kukuh.

Pemakmuran masjid adalah jihad yang berkelanjutan; jihad melawan kemalasan, melawan riya', melawan kekikiran, dan melawan ketakutan yang tidak pada tempatnya. Hanya mereka yang lulus dari ujian ini yang layak menjadi pewaris spiritual dari rumah-rumah Allah di bumi.

Pengulangan dan penekanan pada hakikat I’mar: I’mar bukan hanya tentang seberapa sering lantai masjid dipel atau catnya diperbaharui, melainkan seberapa sering hati jamaah dipel dari kotoran syahwat dan cat akidah mereka diperbaharui agar tetap cemerlang dalam keikhlasan. Pemakmuran adalah proses abadi yang membutuhkan komitmen penuh, mulai dari niat yang paling dalam hingga tindakan yang paling terlihat. Itu adalah komitmen yang dituntut oleh Surah At-Taubah ayat 18.

Tafsir yang mendalam ini bertujuan untuk mengembalikan fokus umat pada makna esensial dari pemakmuran, menjauhkan dari formalitas, dan mendekatkan pada substansi. Hanya dengan kembali kepada empat pilar fundamental inilah, masjid dapat kembali menjalankan perannya sebagai pusat kekuatan moral dan spiritual umat Islam.

🏠 Homepage