Ayat 20 dari Surah At-Taubah tidak berdiri sendiri. Ia merupakan jawaban tegas dan penutup bagi perdebatan yang diangkat pada ayat 19. Ayat 19 menanyakan, apakah memberikan minum jamaah haji (siqayah) dan memakmurkan Masjidil Haram sebanding dengan iman, hijrah, dan jihad di jalan Allah? Jawaban dari Allah melalui ayat 20 ini sangat jelas: tidak sebanding.
Pada masa awal Islam, sebagian masyarakat Mekkah, yang masih memegang tradisi pra-Islam, sangat membanggakan peran mereka dalam pelayanan Ka'bah dan jamaah haji. Mereka merasa amal kebaikan yang bersifat ritual dan publik tersebut sudah cukup untuk meraih kemuliaan. Namun, Allah menetapkan bahwa amal internal (iman) dan amal eksternal yang memerlukan pengorbanan ekstrem (hijrah dan jihad) jauh lebih unggul dan mendasar bagi keimanan yang sesungguhnya.
Pernyataan ini mengubah total standar penilaian kemuliaan dalam Islam. Keimanan yang statis, meskipun disertai ritual, tidaklah sempurna tanpa pergerakan (hijrah) dan pengorbanan (jihad). Ayat ini merupakan penegasan bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada status sosial atau peran warisan, melainkan pada perjuangan aktif yang dilakukan demi meninggikan kalimat Allah. Hal ini membutuhkan pengorbanan yang mendalam terhadap harta benda dan jiwa raga.
Pengertian Hijrah dan Jihad dalam konteks awal Islam adalah manifestasi nyata dari ketulusan iman. Seseorang tidak akan meninggalkan tanah air, harta, dan keluarga, serta menghadapi risiko peperangan dan kematian, kecuali jika imannya mencapai titik tertinggi. Oleh karena itu, Allah memberikan gelar "lebih tinggi derajatnya" kepada kelompok yang telah memenuhi dua syarat utama ini: Hijrah dan Jihad.
Ayat 20 menyebutkan empat elemen kunci yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk mencapai derajat tertinggi di sisi Allah, setelah pondasi keimanan yang kuat (Alladzīna Āmanū):
Iman adalah landasan. Tidak ada amal perbuatan, sehebat apa pun pengorbanannya, yang akan diterima tanpa keimanan yang murni (tauhid). Keimanan yang dimaksud di sini adalah keimanan yang melahirkan kesediaan untuk bertindak. Keimanan yang hanya terucap di lisan tanpa diikuti kesiapan untuk berkorban adalah keimanan yang lemah. Keimanan sejati adalah keimanan yang memotivasi Muhajirin untuk meninggalkan kenyamanan Mekkah dan memotivasi Mujahidin untuk menghadapi musuh Allah di medan pertempuran.
Penting untuk dipahami bahwa keimanan ini adalah akar dari segala pengorbanan yang datang setelahnya. Tanpa keimanan yang kokoh, hijrah akan terasa sebagai kerugian finansial dan sosial yang sia-sia, dan jihad akan terasa sebagai bunuh diri yang tidak memiliki makna spiritual. Dengan keimanan, seluruh penderitaan dan pengorbanan tersebut berubah menjadi investasi abadi di akhirat, di mana Allah menjamin kemuliaan dan ganjaran yang tak terhingga. Keimanan sejati menciptakan pandangan dunia yang berbeda, di mana nilai-nilai akhirat lebih dominan dibandingkan nilai-nilai dunia fana.
Secara historis, hijrah merujuk pada perpindahan fisik dari Mekkah ke Madinah, meninggalkan rumah, harta, dan koneksi sosial demi menyelamatkan agama dan mendirikan negara Islam yang mandiri. Kelompok Muhajirin (orang-orang yang berhijrah) menanggung kerugian materiil yang luar biasa. Mereka meninggalkan segalanya dan memulai hidup baru dengan tangan kosong di Madinah.
Namun, dalam tafsir yang lebih luas, hijrah memiliki makna spiritual yang berkelanjutan. Hijrah adalah meninggalkan segala sesuatu yang dibenci Allah menuju segala sesuatu yang dicintai-Nya. Meskipun hijrah fisik ke Madinah telah berakhir setelah Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah), hijrah moral dan spiritual tetap wajib hingga hari kiamat. Ini mencakup:
Tingkatan pengorbanan dalam hijrah sangatlah tinggi. Ia memerlukan pemutusan ikatan emosional terhadap kenyamanan duniawi. Jika seseorang tidak rela meninggalkan kampung halaman, menunjukkan bahwa keterikatan hatinya terhadap dunia masih sangat kuat. Oleh karena itu, hijrah menjadi tolok ukur kesiapan seorang hamba untuk melepaskan ikatan dunia demi panggilan agama. Ia adalah langkah pertama menuju pengorbanan yang lebih besar.
Penggunaan harta dalam perjuangan di jalan Allah adalah pengorbanan yang diletakkan sebelum pengorbanan jiwa dalam susunan ayat ini. Ini menunjukkan betapa pentingnya aspek ekonomi dalam tegaknya agama Allah. Jihad dengan harta mencakup:
Mengapa jihad harta ditempatkan sebelum jihad jiwa? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa bagi banyak orang, melepaskan harta yang telah mereka kumpulkan dengan susah payah terasa lebih berat daripada merisikokan nyawa. Manusia cenderung mencintai harta, dan membelanjakannya tanpa batas atau tanpa pamrih memerlukan tingkat keyakinan yang luar biasa terhadap janji Allah. Harta adalah ujian yang menentukan apakah seseorang benar-benar meyakini bahwa rezeki sejati datang dari Allah, bukan dari kekayaan yang ia pegang.
Tingkat pengorbanan finansial ini menentukan keberlangsungan dakwah. Tanpa ketersediaan sumber daya, perjuangan tidak dapat berjalan efektif. Oleh karena itu, mereka yang membelanjakan hartanya tanpa perhitungan demi keridhaan Allah adalah pemegang derajat yang mulia, karena mereka telah mengatasi sifat kikir dan cinta dunia yang tertanam dalam diri manusia.
Jihad dengan jiwa adalah puncak pengorbanan, yaitu kesiapan untuk mempertaruhkan nyawa di medan perjuangan. Ini adalah manifestasi tertinggi dari iman dan kesetiaan. Seseorang yang telah siap mati di jalan Allah telah membebaskan dirinya dari belenggu ketakutan terbesar yang dimiliki manusia.
Selain makna harfiahnya sebagai perjuangan fisik dalam peperangan, jihad jiwa juga mencakup makna yang lebih luas, yaitu:
Mereka yang berkorban dengan jiwa raga mereka telah memberikan bukti yang tidak terbantahkan atas keutamaan iman mereka. Kematian syahid yang dihasilkan dari jihad ini tidak hanya menjamin derajat tertinggi bagi individu tersebut tetapi juga menjamin ganjaran yang berlipat ganda bagi keluarganya dan mereka yang mendukungnya.
Kombinasi antara jihad harta dan jihad jiwa inilah yang menghasilkan tingkatan "lebih tinggi derajatnya" (a'zhamu darajah) di sisi Allah. Dua bentuk pengorbanan ini menunjukkan totalitas penyerahan diri kepada kehendak Ilahi.
Inti dari Ayat 20 adalah penetapan status superioritas (a'zhamu darajah). Status ini adalah pembeda utama antara mereka yang hanya menjalankan kewajiban ritual (seperti siqayah dan imarah) dengan mereka yang mengimplementasikan keimanan melalui aksi nyata dan pengorbanan total (hijrah dan jihad).
Ketika Allah menggunakan kata a'zhamu (lebih agung/lebih besar), ini adalah perbandingan langsung terhadap jenis amal lain yang bersifat pasif atau hanya ritualistik. Bagi Allah, nilai sebuah amal diukur bukan hanya dari kuantitasnya, tetapi dari kualitas pengorbanan yang melekat padanya. Siqayah dan imarah mungkin dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang imannya masih lemah atau munafik. Namun, hijrah dan jihad hanya dapat dilakukan oleh mereka yang imannya tulus dan kuat, karena risikonya sangat besar.
Derajat yang lebih tinggi ini bukan sekadar kenaikan pangkat di surga, melainkan sebuah posisi kemuliaan yang khusus. Para ulama tafsir sepakat bahwa tingkatan ini menempatkan Muhajirin dan Mujahidin awal di antara yang terbaik dari umat, setelah para Nabi dan Rasul. Mereka adalah saksi hidup atas permulaan Islam dan penegaknya.
Derajat yang tinggi ini berimplikasi pada beberapa hal di akhirat:
Derajat yang tinggi ini menekankan bahwa pengorbanan yang dilakukan di dunia fana ini akan dibayar dengan nilai abadi. Mereka yang menyerahkan harta dan jiwa mereka secara total di jalan Allah tidak hanya mendapatkan kembali apa yang mereka korbankan, tetapi juga mendapatkan keutamaan yang tidak dapat dibeli dengan amal jenis lain. Derajat ini menjadi pengingat bahwa Islam adalah agama aksi dan perjuangan, bukan hanya agama ibadah rutin.
Keagungan derajat ini juga berarti bahwa mereka yang mencapai tingkatan ini akan menjadi teladan abadi bagi umat. Kisah-kisah pengorbanan mereka, baik dalam meninggalkan harta di Mekkah maupun dalam membela Islam di medan Badar dan Uhud, berfungsi sebagai peta jalan spiritual bagi setiap mukmin yang ingin mencapai kesempurnaan iman. Mereka adalah bukti nyata bahwa iman bukan hanya klaim lisan, melainkan manifestasi totalitas hidup.
Ayat 20 ditutup dengan penegasan yang sangat kuat: "Dan itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan" (Wa ūlā'ika humul fāizūn). Kata al-fāizūn (orang-orang yang menang/beruntung) dalam konteks Al-Qur'an memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada kemenangan duniawi (seperti memenangkan perang atau kekuasaan politik).
Kemenangan sejati yang dijanjikan di sini adalah kemenangan abadi di akhirat, yang mencakup:
Ini adalah kontras tajam dengan pandangan duniawi tentang kemenangan, yang sering kali bersifat sementara dan materialistis. Para Muhajirin dan Mujahidin mungkin mengalami kesulitan dan kerugian di dunia (kehilangan rumah, luka fisik), tetapi di mata Allah, mereka adalah pemenang sejati karena mereka telah mengamankan tujuan akhir yang tidak dapat dihilangkan oleh waktu atau kematian.
Kemenangan terbesar yang diraih oleh Muhajirin dan Mujahidin adalah kemenangan melawan hawa nafsu dan kecintaan dunia. Seseorang yang mengutamakan Allah di atas segala-galanya telah memenangkan pertempuran internal yang paling sulit. Ini adalah prasyarat untuk kemenangan eksternal. Sifat fāizūn diberikan karena mereka berhasil mengalahkan musuh yang paling berbahaya: ego, ketamakan, dan ketakutan akan kehilangan harta dan jiwa.
Penutupan ayat ini memberikan motivasi dan janji. Allah tidak hanya mengakui pengorbanan mereka tetapi juga menjamin hasil yang paling menguntungkan. Oleh karena itu, bagi seorang mukmin yang mendalami makna At Taubah 20, tidak ada keraguan bahwa investasi terbesar adalah investasi di jalan Allah, karena imbalannya adalah kemenangan yang tidak pernah berujung.
Meskipun konteks historis ayat ini berkaitan dengan perjuangan fisik di awal Islam, para ulama modern menekankan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam At Taubah 20 bersifat abadi dan relevan bagi setiap generasi Muslim. Kewajiban mencapai derajat tinggi melalui pengorbanan tidak pernah gugur.
Jika hijrah fisik tidak lagi diwajibkan ke Madinah, maka hijrah spiritual, moral, dan intelektual menjadi semakin penting:
1. Hijrah Intelektual: Meninggalkan cara berpikir yang dipengaruhi materialisme, hedonisme, atau sekularisme, dan beralih kepada kerangka berpikir tauhid. Ini membutuhkan pengorbanan kenyamanan berpikir dan kesiapan untuk menjadi minoritas ideologis.
2. Hijrah Lingkungan: Ketika lingkungan profesional atau sosial secara fundamental menghalangi ketaatan, maka hijrah dari lingkungan tersebut (atau menciptakan lingkungan baru yang Islami) merupakan implementasi dari ayat ini. Ini sering kali berarti mengorbankan karier yang menjanjikan demi pekerjaan yang halal dan barakah.
Pengorbanan dalam hijrah modern ini mungkin tidak melibatkan perjalanan padang pasir, tetapi melibatkan keputusan finansial besar, pemutusan hubungan sosial yang berharga, dan ketahanan mental dalam menghadapi tekanan budaya. Semua ini memerlukan keimanan yang sama kuatnya dengan yang dimiliki oleh Muhajirin awal.
Jihad dengan harta dan jiwa di masa damai terwujud melalui perjuangan di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah:
1. Jihad Harta Kontemporer: Ini berarti mengalokasikan sebagian besar kekayaan, waktu, dan energi untuk membangun institusi-institusi Islam, membantu umat yang lemah, dan menyediakan kebutuhan dasar bagi mereka yang terpinggirkan. Ini adalah perjuangan melawan kecintaan berlebihan terhadap akumulasi kekayaan pribadi.
2. Jihad Jiwa Kontemporer: Ini adalah perjuangan terus-menerus untuk menjaga etika, integritas, dan konsistensi dalam beribadah dan berdakwah, meskipun menghadapi kelelahan, ejekan, dan penolakan. Contohnya adalah seorang pendidik yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajarkan nilai-nilai Islam tanpa mengharapkan imbalan materiil yang besar, atau seorang aktivis yang memperjuangkan keadilan sosial dengan risiko keselamatan dirinya sendiri.
Ayat at taubah 20 menegaskan bahwa derajat tinggi hanya diberikan kepada mereka yang berani keluar dari zona nyaman mereka. Jika umat Islam saat ini ingin mengklaim warisan Muhajirin dan Mujahidin, mereka harus menunjukkan tingkat pengorbanan yang serupa, disesuaikan dengan tantangan dan medan juang di era mereka.
Untuk memahami sepenuhnya mengapa Allah memberikan derajat tertinggi pada pengorbanan harta dan jiwa yang dikombinasikan dengan hijrah, kita perlu melihat perspektif teologis dan filosofis Islam tentang pengorbanan.
Iman adalah pengakuan lisan (iqrar bil lisan) dan pembenaran hati (tasdiq bil qalbi). Namun, keabsahan iman baru teruji ketika ia menghadapi tuntutan pengorbanan. Allah ingin memisahkan mukmin sejati dari mereka yang hanya mengaku-ngaku. Ketika harta (yang merupakan perhiasan dunia) dan jiwa (yang merupakan milik paling berharga) dituntut untuk dikorbankan, maka tidak ada lagi keraguan tentang ketulusan hati hamba tersebut.
Hijrah dan jihad, terutama jihad harta yang mendahului jihad jiwa, menjadi filter Ilahi. Mereka yang gagal dalam ujian harta akan sulit melewati ujian jiwa. Sebaliknya, mereka yang dengan ringan tangan mengeluarkan hartanya demi Allah menunjukkan bahwa mereka telah membebaskan diri dari belenggu materialistik, menjadikan mereka layak untuk menghadapi risiko kehilangan nyawa.
Hijrah, yang merupakan elemen pertama setelah iman, menghasilkan pembentukan komunitas baru di Madinah yang didasarkan pada ikatan iman, bukan ikatan darah atau suku. Pengorbanan Muhajirin dalam meninggalkan rumah mereka menciptakan kesempatan bagi Ansar (penduduk Madinah) untuk menunjukkan solidaritas luar biasa, yang kemudian dikenal sebagai Ukhuwah Islamiyah.
Ayat at taubah 20 ini secara implisit memuliakan pembentukan struktur sosial yang mengutamakan persaudaraan dan perjuangan bersama. Derajat tinggi diberikan bukan hanya kepada individu, tetapi kepada kelompok yang bersama-sama menegakkan prinsip-prinsip ini, menjamin bahwa kemuliaan di sisi Allah juga didapatkan melalui kerja kolektif dan pengorbanan sosial.
Para mufassirin klasik memberikan penekanan yang seragam pada keunggulan amal yang disebutkan dalam ayat ini dibandingkan amal ritual semata. Perdebatan utama di kalangan ulama adalah apakah ayat ini memberikan keutamaan kepada Muhajirin dan Mujahidin yang terdahulu secara mutlak, atau apakah prinsip pengorbanan ini berlaku umum.
Imam Ibnu Katsir dan Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai penetapan hierarki yang jelas. Mereka menegaskan bahwa tidak ada amal yang dapat menyamai derajat hijrah dari Mekkah ke Madinah sebelum penaklukan Mekkah, dan jihad yang dilakukan pada masa awal Islam, terutama dalam menghadapi kekafiran Makkah.
Keutamaan ini bersifat spesifik karena pengorbanan pada masa itu unik. Jika amal yang lain, seperti memberi minum jamaah haji (siqayah), dapat dilakukan tanpa mengorbankan keyakinan, maka hijrah dan jihad menuntut pertaruhan segala yang dimiliki. Oleh karena itu, menurut mereka, generasi awal yang diuji dengan pengorbanan total ini memegang derajat yang tidak dapat disamai oleh generasi setelahnya, meskipun generasi selanjutnya juga berjihad dan berhijrah secara spiritual.
Semua ulama sepakat bahwa kunci utama keunggulan ayat ini adalah kombinasi antara pengorbanan harta (bi amwalihim) dan jiwa (wa anfusihim). Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa penyebutan kedua jenis pengorbanan ini menunjukkan bahwa mukmin sejati harus siap menggunakan seluruh sumber daya yang dimilikinya, tanpa menyisakan satu pun, demi tujuan Ilahi.
Jika seseorang hanya berkorban dengan hartanya tetapi enggan mengorbankan waktu dan tenaganya (jiwa), pengorbanannya kurang sempurna. Sebaliknya, jika seseorang hanya mengorbankan jiwanya (misalnya, hanya berpuasa dan shalat) tetapi kikir dengan hartanya, ia juga belum mencapai derajat tertinggi. Derajat ini diberikan kepada mereka yang totalitas dalam memberikan segala yang mereka cintai.
Lebih lanjut, keutamaan bagi Muhajirin dan Mujahidin awal sangat ditekankan karena mereka adalah generasi yang membangun pondasi Islam dari nol, menghadapi kesulitan yang luar biasa tanpa adanya dukungan sistem atau infrastruktur yang memadai. Setiap pengorbanan mereka memiliki dampak multiplikasi yang sangat besar terhadap kelangsungan agama. Pengorbanan ini adalah investasi yang menghasilkan buah berupa tegaknya Daulah Islamiyah di Madinah.
Ayat at taubah 20 memunculkan diskusi teologis mengenai hierarki keutamaan di antara kelompok-kelompok Muslim awal, terutama antara Muhajirin (yang berhijrah) dan Ansar (yang menolong di Madinah). Meskipun ayat ini secara spesifik memuliakan Muhajirin yang juga berjihad, keutamaan Ansar tidak diabaikan dalam ayat-ayat lain. Namun, secara umum, Muhajirin memegang keutamaan tertinggi karena mereka memadukan dua pengorbanan terberat: kehilangan kampung halaman (hijrah) dan risiko kematian (jihad).
Muhajirin adalah kelompok yang paling menderita secara material dan emosional di awal perjuangan. Mereka dipaksa meninggalkan harta mereka di Mekkah, sehingga secara otomatis mereka telah berjihad dengan harta (kehilangan harta) sekaligus berhijrah. Setelah itu, mereka juga harus menghadapi peperangan. Mereka memenuhi semua prasyarat dalam at taubah 20 secara harfiah.
Kondisi ini memastikan bahwa ganjaran mereka adalah yang paling besar. Mereka memulai dari nol, membangun kembali hidup mereka sambil terus berjuang di medan Badar dan Uhud. Tidak ada keraguan bahwa mereka adalah representasi sempurna dari orang-orang yang "lebih tinggi derajatnya di sisi Allah."
Ansar (Penduduk Madinah) juga memiliki derajat yang sangat mulia karena peran mereka dalam menerima dan melindungi Muhajirin, serta berpartisipasi dalam jihad. Namun, mereka tidak mengalami "hijrah" dalam artian meninggalkan rumah dan harta karena intimidasi kafir. Pengorbanan Ansar lebih bersifat berbagi dan solidaritas, sementara pengorbanan Muhajirin bersifat melepaskan kepemilikan total. Kedua-duanya mulia, tetapi konteks ayat at taubah 20 membedakan mereka yang menggabungkan kedua jenis perjuangan tersebut.
Melalui perbandingan ini, Islam mengajarkan bahwa pengorbanan yang paling dicintai Allah adalah pengorbanan yang paling sulit dan paling total. Keutamaan yang diberikan kepada Muhajirin yang berjihad menjadi dorongan bagi setiap Muslim untuk mencari cara mengintegrasikan pengorbanan harta dan jiwa dalam kehidupan mereka, meskipun dalam bentuk yang berbeda, guna mengejar derajat yang sama.
Surah At Taubah 20 adalah pernyataan teologis yang kuat mengenai prioritas amal dalam Islam. Ia berfungsi sebagai penolakan terhadap pemahaman keimanan yang pasif dan ritualistik, dan sebaliknya, mempromosikan keimanan yang aktif, dinamis, dan penuh pengorbanan.
Derajat yang tinggi di sisi Allah bukanlah milik mereka yang hanya memakmurkan masjid dengan bangunan fisiknya, atau mereka yang sekadar memamerkan amal kebaikan publik tanpa ketulusan hati dan kesediaan berkorban. Derajat tertinggi, a'zhamu darajah, adalah hak prerogatif mereka yang telah membuktikan keimanan mereka melalui tindakan radikal: meninggalkan keburukan (hijrah) dan mengeluarkan segala yang mereka miliki—harta benda dan diri mereka—demi meninggikan agama Allah (jihad).
Pelajaran terpenting dari ayat ini bagi umat saat ini adalah seruan untuk mengevaluasi kembali di mana harta dan jiwa kita diinvestasikan. Apakah kita termasuk dalam golongan yang meraih kemenangan abadi (al-fāizūn) karena totalitas pengorbanan kita di jalan Allah, ataukah kita masih terbelenggu oleh kenyamanan dunia, sehingga amal ritual kita tidak dapat mengangkat derajat kita ke tingkatan yang dijanjikan dalam ayat mulia ini? Jalan menuju kemenangan dan derajat agung menuntut komitmen penuh, tidak setengah-setengah, dalam setiap aspek kehidupan seorang mukmin.
Pengulangan dan penekanan terhadap pentingnya Hijrah dan Jihad dalam berbagai bentuknya menegaskan bahwa perjuangan dan pengorbanan adalah bagian integral dari identitas seorang Muslim sejati. Tanpa pengorbanan, klaim iman hanyalah ucapan tanpa bukti. Ayat ini menjanjikan kepada mereka yang mampu menanggung beban hijrah dan jihad, sebuah kemuliaan yang tidak akan pernah sirna, dan sebuah kemenangan yang melampaui batas-batas duniawi.
Kisah-kisah para sahabat yang meninggalkan segala kemewahan di Mekkah, seperti Abdurrahman bin Auf yang menyerahkan separuh hartanya di Madinah, atau Bilal bin Rabah yang menanggung siksaan demi iman, adalah visualisasi sempurna dari makna at taubah 20. Mereka adalah al-fāizūn, dan mereka mencapai a'zhamu darajah. Bagi setiap Muslim, mencapai derajat tersebut adalah target tertinggi, yang hanya mungkin dicapai melalui pemenuhan tiga elemen yang tak terpisahkan: iman yang teguh, hijrah yang berkelanjutan, dan jihad dengan harta dan jiwa yang total.
Memahami dan mengamalkan ayat ini berarti menerima bahwa hidup adalah medan perjuangan (jihad) dan perubahan (hijrah). Kekuatan iman sejati tidak diukur dari seberapa banyak kita beribadah, tetapi seberapa besar kesediaan kita melepaskan segala sesuatu demi mendapatkan ridha Allah SWT.
Kaitannya dengan imbalan, ayat at taubah 20 tidak hanya menyatakan derajat lebih tinggi, tetapi juga mengandung janji keridhaan Allah. Janji ini mencerminkan mekanisme penilaian amal di sisi Ilahi. Ketika Allah mengganjar amal, Dia melihat pada niat, kesulitan, dan totalitas pengorbanan. Hijrah dan Jihad melibatkan semua elemen ini dalam skala maksimum.
Pengorbanan yang ekstrem, seperti kehilangan harta atau mempertaruhkan nyawa, secara inheren cenderung lebih murni dan lebih ikhlas. Sulit bagi seseorang untuk berpura-pura ikhlas ketika menghadapi kematian atau kemiskinan total. Oleh karena itu, amal yang membutuhkan pengorbanan tinggi menjadi tolok ukur tertinggi bagi tingkat keikhlasan seseorang.
Kontrasnya dengan amal yang bersifat mudah atau publik. Seseorang mungkin memberi minum haji (siqayah) untuk mencari pujian, tetapi seseorang tidak akan mati di medan perang hanya untuk pujian fana. Ini adalah rahasia mengapa Allah memberikan keunggulan derajat kepada Muhajirin dan Mujahidin. Pengorbanan mereka adalah saksi keikhlasan yang tidak dapat dibantah. Mereka meyakini bahwa ganjaran dari Allah jauh lebih nyata dan abadi daripada harta atau hidup yang mereka korbankan.
Jihad dengan jiwa (bi anfusihim) melampaui sekadar keberanian fisik. Ini adalah pertarungan melawan insting dasar manusia untuk bertahan hidup. Ketika seorang mukmin melampaui insting ini demi perintah Allah, ia mencapai pembebasan spiritual yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa hatinya benar-benar kosong dari keterikatan dunia, kecuali kepada Penciptanya. Pembebasan psikologis ini, yang membuat seseorang berani menghadapi maut, adalah alasan mengapa Allah menjanjikan derajat yang tak tertandingi.
Pengorbanan diri juga mencakup waktu dan kenyamanan pribadi. Misalnya, seorang ulama yang menghabiskan malam-malamnya untuk menuntut ilmu dan berdakwah, meskipun tubuhnya lelah dan hartanya terbatas, ia sedang berjihad dengan jiwanya. Ia mengorbankan waktu istirahat dan kesenangan demi tugas Ilahi. Pengorbanan seperti inilah, yang bersifat terus-menerus dan tersembunyi, yang dikategorikan dalam janji agung Ayat 20.
Ayat at taubah 20 juga berfungsi sebagai peringatan keras bagi mereka yang merasa cukup dengan amal ibadah ritual semata, atau mereka yang mendahulukan harta benda dan keluarga di atas panggilan jihad dan hijrah. Surah At-Taubah secara keseluruhan sangat kritis terhadap kemunafikan dan mereka yang enggan berkorban saat diperlukan.
Jika seseorang beriman, tetapi ketika panggilan perjuangan datang, ia memilih untuk menahan hartanya dan mencari alasan untuk tidak ikut serta, maka keimanan orang tersebut dipertanyakan. Ayat ini menegaskan bahwa keimanan sejati memerlukan mobilitas (hijrah) dan pengorbanan total. Tidak ada jalan pintas menuju derajat tertinggi. Siapa pun yang menahan diri dari dua jenis pengorbanan ini, ia akan kehilangan kesempatan emas untuk meraih gelar a'zhamu darajah dan gelar al-fāizūn.
Pada akhirnya, kesimpulan dari mendalami Surah At Taubah 20 adalah bahwa Islam adalah agama yang menuntut partisipasi penuh dalam perjuangan menegakkan kebenaran. Imbalannya sebanding dengan pengorbanan: derajat abadi yang tak terhingga nilainya di sisi Allah. Pengorbanan yang total dan menyeluruh, melibatkan harta benda dan jiwa raga, adalah kunci utama untuk membuktikan cinta dan loyalitas kita kepada Sang Pencipta.
Setiap mukmin harus merenungkan: di mana posisi saya dalam pengorbanan ini? Apakah saya sudah berhijrah dari keburukan? Apakah harta saya bekerja untuk Allah, ataukah ia menjadi belenggu? Apakah jiwa saya siap dikorbankan demi kemuliaan agama? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menentukan apakah kita layak termasuk dalam golongan yang meraih kemenangan sejati yang dijanjikan oleh ayat ini.
Kebutuhan untuk berjuang dan berkorban tidak pernah berakhir. Tantangan mungkin berubah, dari peperangan fisik menjadi perang pemikiran, ekonomi, dan budaya, tetapi prinsipnya tetap sama: siapa yang paling besar pengorbanannya demi Allah, dialah yang paling tinggi derajatnya. Dan hanya merekalah yang benar-benar akan meraih kemenangan abadi. Ayat ini mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah apa yang kita kumpulkan di dunia, melainkan apa yang kita sedekahkan dan korbankan di jalan Allah SWT.