Ilustrasi Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk abadi yang menjanjikan kemenangan agung.
Surah At-Taubah (Pengampunan) memuat serangkaian ayat yang tegas dan mendalam, yang menjelaskan hierarki nilai-nilai spiritual dalam Islam. Di tengah penekanan pada keimanan yang murni dan pengorbanan di jalan Allah, terdapat janji yang amat besar yang diberikan kepada mereka yang memenuhi syarat tersebut. Janji ini diringkas dengan indah dan penuh kepastian dalam firman-Nya:
Ayat pendek ini, yang datang setelah serangkaian penjelasan mengenai kualitas orang-orang beriman sejati—mereka yang berhijrah dan berjihad dengan harta dan jiwa—menjadi puncak dari harapan seorang Muslim. Ia bukan sekadar janji masuk surga, melainkan penegasan akan dua aspek krusial: kekekalan abadi (khulud abadan) dan pahala yang besar (ajrun 'azim), atau kemenangan agung (al-fawzul ‘azim), yang dijelaskan lebih lanjut dalam ayat-ayat terkait.
Untuk memahami kedalaman janji dalam At Taubah 22, kita harus menempatkannya dalam konteks surah itu sendiri. Surah At-Taubah, atau Bara'ah, adalah surah terakhir yang diturunkan secara utuh dan dikenal karena ketegasannya, terutama dalam membedakan antara orang-orang beriman sejati, kaum munafik, dan mereka yang enggan berjuang.
Ayat 22 tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kesimpulan logis dari kriteria yang ditetapkan dalam ayat 20 dan 21, yang menyebutkan tiga pilar utama ibadah yang menjamin kedudukan tinggi di sisi Allah:
Ayat 21 secara eksplisit menyatakan bahwa golongan inilah yang diberi kabar gembira oleh Tuhan mereka dengan rahmat, keridaan, dan surga-surga. Ayat 22 kemudian menutup janji tersebut dengan penekanan pada sifat imbalan itu: kekekalan.
At-Taubah 22 menanggapi pemikiran materialistis yang ada pada masa itu—dan masih relevan hingga kini—yaitu pandangan bahwa pelayanan terhadap Ka'bah atau penyediaan air minum bagi jamaah haji lebih mulia daripada beriman dan berjihad. Allah SWT dengan tegas menolak pandangan ini, menetapkan bahwa iman, hijrah, dan perjuangan di jalan-Nya adalah timbangan utama kemuliaan, dan imbalannya adalah kemenangan yang tidak dapat dibandingkan dengan keuntungan duniawi mana pun.
Pilar pertama dari janji dalam At Taubah 22 adalah kepastian waktu imbalan: kekekalan. Dalam teologi Islam, konsep 'kekal' (khulud) memiliki implikasi yang luar biasa, membedakan secara fundamental antara kehidupan dunia (sementara) dan kehidupan akhirat (abadi).
Kata khulud (kekal) sering digunakan dalam Al-Qur'an untuk menjelaskan nasib penghuni surga dan neraka. Penambahan kata abadā (selama-lamanya) dalam ayat 22 ini berfungsi sebagai penekanan yang kuat, menghilangkan segala keraguan mengenai kemungkinan berakhirnya kenikmatan tersebut.
Kekekalan ini memberikan nilai tak terbatas (infinite value) pada kebahagiaan surga. Bayangkan kenikmatan terbesar yang pernah dirasakan seseorang di dunia; kenikmatan tersebut selalu diiringi oleh dua kegelisahan: kegelisahan akan berakhirnya kenikmatan itu, dan kegelisahan akan datangnya penderitaan setelahnya. Kekekalan menghilangkan kedua kegelisahan tersebut sepenuhnya.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa kekekalan di surga mencakup:
Pengetahuan tentang kekekalan mengubah cara seorang Muslim memandang pengorbanan di dunia. Pengorbanan materi, waktu, dan bahkan nyawa, yang dalam hitungan duniawi terasa besar, menjadi sangat kecil ketika ditukarkan dengan janji kenikmatan yang tak pernah habis. Kerelaan untuk berhijrah atau berjihad, seperti yang disinggung dalam ayat 20, menjadi mudah diterima oleh jiwa karena adanya jaminan khulud abadan.
Iman kepada kekekalan ini adalah pendorong utama bagi umat Islam untuk terus beramal saleh meskipun menghadapi kesulitan duniawi yang berat. Ayat At Taubah 22 menegaskan bahwa tujuan akhir bukanlah hasil sementara di bumi, tetapi status permanen di sisi Pencipta.
Pilar kedua dalam janji At Taubah 22 adalah penegasan bahwa di sisi Allah terdapat ajrun 'azim (pahala yang besar). Dalam ayat 21, janji ini disempurnakan dengan istilah Al-Fawzul 'Azim (Kemenangan yang Agung), sebuah frasa yang mengandung makna keberhasilan total dan tak tertandingi.
Al-Fawz secara harfiah berarti kemenangan, keberhasilan, atau luput dari keburukan. Ketika disandingkan dengan Al-'Azim (Yang Agung), ia melampaui kemenangan biasa. Kemenangan Agung ini didefinisikan oleh para mufassirin sebagai:
Pahala yang besar ini tidak hanya terbatas pada nikmat fisik surga (sungai madu, susu, dan anggur yang tidak memabukkan), tetapi juga mencakup kenikmatan spiritual dan psikologis yang jauh melampaui imajinasi manusia.
Salah satu aspek terpenting dari 'pahala yang besar' dan 'kemenangan agung' yang disepakati oleh mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama'ah adalah Ru'yatullah, yaitu kemampuan melihat wajah Allah SWT.
Meskipun ayat 22 tidak secara eksplisit menyebutkannya, tafsiran keseluruhan tentang 'pahala yang besar' selalu merujuk pada hadis-hadis yang menyatakan bahwa setelah penghuni surga menerima segala kenikmatan fisik, mereka akan diizinkan untuk melihat Wajah Allah. Ini dianggap sebagai kenikmatan yang membuat segala kenikmatan surga sebelumnya terasa tidak berarti, menunjukkan bahwa kemenangan agung itu bersifat spiritual murni.
Allah menggunakan kata 'Azim' (Agung) karena nilai pahala ini tidak sebanding dengan apa pun yang dapat ditawarkan dunia. Jika seseorang menghabiskan seluruh umurnya untuk beribadah dan bersabar, imbalan surga yang kekal tetap merupakan kemurahan Allah semata. Sifat 'Agung' dalam At Taubah 22 mengingatkan bahwa perbuatan manusia, sekecil apa pun, akan dilipatgandakan pahalanya secara eksponensial oleh Kemurahan Ilahi.
Untuk mencapai janji At Taubah 22—kekekalan dan pahala agung—seseorang harus memenuhi prasyarat yang disebutkan dalam ayat-ayat di sekitarnya, yaitu Iman, Hijrah, dan Jihad. Elaborasi konsep-konsep ini sangat diperlukan untuk mencapai kedalaman kajian teologis yang substansial.
Iman yang dimaksud di sini bukanlah sekadar pengakuan lisan, tetapi iman yang terhujam di dalam hati dan dibuktikan oleh anggota tubuh. Iman yang menjamin kemenangan agung adalah:
Secara historis, hijrah adalah perpindahan fisik dari Mekah ke Madinah. Namun, dalam makna spiritual dan universal, hijrah adalah konsep yang terus relevan bagi setiap Muslim menuju janji At Taubah 22. Hijrah mencakup:
Hanya mereka yang melakukan hijrah yang tuluslah yang akan mendapatkan balasan kekal, karena hijrah menunjukkan preferensi yang jelas terhadap keridaan Allah di atas kenyamanan dunia.
Ayat ini secara khusus menyebutkan jihad dengan harta dan jiwa. Jihad (perjuangan) adalah manifestasi tertinggi dari iman dan hijrah. Jihad tidak selalu harus diterjemahkan sebagai peperangan fisik (qital), tetapi meliputi spektrum perjuangan yang luas:
Keseluruhan amalan ini, ketika dilaksanakan dengan niat ikhlas, mengantar seseorang pada status yang disebut Allah sebagai "di sisi-Nya", tempat di mana pahala itu tersimpan, menunggu untuk dianugerahkan secara khulud abadan.
Janji kekekalan di surga, digambarkan dengan kedamaian dan kenikmatan abadi.
Penelitian mendalam terhadap At Taubah 22 membawa kita pada diskusi teologis fundamental mengenai sifat Rahmat Ilahi, keadilan, dan hikmah di balik penciptaan surga dan neraka. Ayat ini memainkan peran penting dalam menjelaskan mengapa upaya di dunia patut dipertaruhkan.
Walaupun ayat 20 dan 21 menekankan amal (iman, hijrah, jihad), ayat 22 menegaskan bahwa ajrun 'azim itu "di sisi Allah" ('indahu). Ini menunjukkan bahwa besarnya pahala tidak hanya proporsional dengan amal, tetapi merupakan anugerah (fadl) dari Allah.
Imam Al-Ghazali dan ulama lainnya menekankan bahwa masuknya seseorang ke dalam surga, apalagi mendapatkan kekekalan abadi, sepenuhnya disebabkan oleh Rahmat Allah. Amal saleh hanyalah tiket untuk menerima Rahmat tersebut. Pahala yang besar itu adalah manifestasi dari kemurahan yang melimpah, jauh melampaui nilai usaha manusia yang terbatas.
Para filosof dan teolog Islam sering merenungkan mengapa imbalan harus kekal. Hikmahnya terletak pada kesempurnaan keadilan dan cinta Allah. Jika kebahagiaan itu terbatas, maka ia akan mengandung cacat, dan surga bukanlah tempat yang sempurna. Kekekalan menjamin bahwa kenikmatan tersebut adalah penutup dari segala ujian dan kesulitan duniawi.
Ini juga menanggapi perdebatan teologis kuno mengenai apakah kenikmatan surga akan berkurang seiring waktu. Penekanan kata abadā dalam At Taubah 22 secara tegas menyanggah ide tersebut. Permanensi adalah jaminan kualitas tertinggi.
Iman (keyakinan) adalah pangkal kenikmatan. Seseorang yang hidup di dunia dengan keyakinan penuh akan janji At Taubah 22 sudah merasakan sebagian dari kedamaian surga, karena jiwanya tenteram dalam kepastian janji Ilahi. Kemenangan agung tersebut, bahkan sebelum dirasakan secara fisik, telah memberikan ketenangan spiritual (sakinah) di hati orang-orang yang berjuang di jalan-Nya.
Untuk mencapai bobot kata yang substansial dan kajian yang mendalam, kita perlu memperluas pembahasan mengenai dampak riil dari iman, hijrah, dan jihad yang menghasilkan pahala kekal (At Taubah 22). Nilai pengorbanan ini diukur dari perspektif waktu dan ruang.
Kehidupan manusia rata-rata di bumi, katakanlah 70 hingga 80 tahun, adalah periode yang sangat singkat. Ayat At Taubah 22 mengajarkan perbandingan ekonomi spiritual: mengorbankan 70 tahun hidup dalam ketaatan, sabar, dan perjuangan, ditukar dengan triliunan tahun kebahagiaan tak terbatas. Perbandingan ini menunjukkan betapa rasionalnya bagi seorang yang berakal untuk memilih yang kekal daripada yang fana.
Pengorbanan harta yang disebutkan dalam ayat sebelumnya harus dipahami dalam konteks bahwa harta dunia akan lenyap. Apabila harta itu digunakan untuk berjihad, ia diubah menjadi modal kekal yang tidak akan pernah hilang nilainya. Ini adalah investasi paling menguntungkan dalam kosmos.
Konteks Surah At-Taubah menuntut umat Islam untuk teguh di tengah fitnah dan tekanan sosial, ekonomi, dan militer. Kekuatan untuk mempertahankan iman di tengah gempuran godaan adalah esensi dari hijrah dan jihad bil nafs (jihad dengan jiwa).
Ketika seorang Muslim menghadapi pilihan antara mendapatkan keuntungan dunia yang haram (misalnya, korupsi) atau memegang teguh kejujuran (yang mungkin menyebabkan kerugian finansial), ingatan akan janji khulud abadan dan ajrun 'azim menjadi benteng pertahanan spiritual. Keyakinan bahwa ada Pahala Besar yang menunggu, mengalahkan daya tarik kenikmatan dunia yang bersifat sementara dan najis.
Pada tingkatan pengorbanan tertinggi, jihad dengan jiwa (berperang di jalan Allah atau mati syahid) merupakan penukaran yang telah dijelaskan dalam Surah At-Taubah sendiri (Ayat 111): Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Ayat 22 adalah penegasan garansi dari transaksi ilahi ini. Ketika seorang syahid gugur, ia langsung masuk ke dalam janji kekekalan tersebut, menegaskan bahwa tidak ada kerugian sejati bagi mereka yang mengorbankan diri demi Allah. Jiwa yang fana ditukar dengan kehidupan yang abadi dan mulia.
Bagaimana ayat yang diturunkan pada masa peperangan ini relevan bagi seorang Muslim modern yang mungkin tidak terlibat dalam konflik fisik? Relevansi At Taubah 22 bersifat universal dan abadi, berfokus pada perjuangan internal dan sosial.
Janji kekal menuntut karakter yang juga stabil dan berkelanjutan (istiqamah). Jika seseorang ingin kekal dalam kebaikan, ia harus terbiasa melakukan kebaikan secara konsisten di dunia ini.
Implementasi janji ini dalam kehidupan sehari-hari berpusat pada tiga aspek:
Dalam dunia modern yang penuh tekanan, banyak Muslim menghadapi krisis spiritual atau depresi. Ayat At Taubah 22 berfungsi sebagai sumber harapan yang tidak pernah kering. Ketika segala upaya duniawi menemui kegagalan, kepastian adanya Pahala yang Besar dan Kekekalan Abadi menjadi jangkar bagi jiwa.
Ini melawan narasi keputusasaan. Seorang Muslim tahu bahwa jika dia berpegang teguh pada tauhid dan amal saleh, penderitaannya di dunia ini, sekecil apa pun, akan dikonversi menjadi kenikmatan abadi yang luar biasa agung.
Untuk lebih menghargai istilah 'Pahala yang Besar' (Ajrun 'Azim), kita harus menyadari bahwa surga memiliki tingkatan (darajat). Kekekalan di surga adalah jaminan dasar, namun kualitas dan jenis kenikmatan bergantung pada besarnya perjuangan yang dilakukan di dunia.
Orang-orang yang disebutkan dalam konteks At Taubah 22—yaitu para Sabiqūn al-Awwalūn (pendahulu yang pertama-tama beriman), Muhajirin, dan Mujahidin—dijanjikan derajat yang tinggi, mungkin bahkan Firdaus Al-A’la. Namun, janji ini berlaku secara umum bagi setiap Muslim yang memenuhi kriteria iman dan perjuangan yang tulus.
Setiap tambahan amal saleh, setiap tetes keringat perjuangan melawan hawa nafsu, setiap rupiah infak yang ikhlas, adalah upaya menaiki tingkatan (darajat) dalam surga. Kekekalan adalah alasnya, tetapi ketinggian bangunan di atas alas itu ditentukan oleh kualitas jihad kita.
Jika Allah hanya memberikan pahala yang setimpal dengan amal, maka surga akan terasa biasa saja. Penggunaan kata 'Azim' mengimplikasikan bahwa Allah akan memberikan pahala jauh di luar batas kelayakan amal kita. Ini adalah puncak dari sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Al-Kariim (Maha Mulia).
Tafsir mengenai Ajrun 'Azim juga meliputi kenikmatan sosial di akhirat. Penghuni surga akan bertemu dengan para Nabi, Sahabat, dan orang-orang saleh lainnya. Komunitas ini, yang terbebas dari iri hati dan perselisihan, merupakan bagian integral dari kemenangan agung, yaitu hidup dalam harmoni sempurna di hadapan Allah.
Ayat At Taubah 22 adalah inti dari motivasi seorang Muslim. Ia adalah mata uang yang sah dan pasti dari janji Ilahi yang tidak mungkin diingkari. Janji ini adalah solusi absolut terhadap kegelisahan eksistensial manusia akan kematian dan kehampaan.
Pesan utama dari ayat ini adalah:
Maka, kewajiban setiap Muslim yang mendambakan janji kekal dan kemenangan agung ini adalah untuk memperbarui komitmen mereka terhadap tiga pilar yang mendahuluinya: iman yang kokoh, hijrah yang berkelanjutan dari maksiat, dan perjuangan (jihad) dengan segala daya dan upaya yang dimiliki, baik harta maupun jiwa, demi meninggikan Kalimatullah. Inilah jalan menuju khālidinā fīhā abadā, inna Allāha ‘indahu ajrun ‘azīm.
Kesempurnaan janji ini mendorong setiap Muslim untuk hidup dengan perspektif akhirat, di mana kesulitan duniawi adalah jembatan menuju kebahagiaan yang tidak akan pernah pupus. Hanya dengan pandangan inilah kita dapat memahami mengapa para sahabat Nabi SAW dengan mudah mengorbankan segalanya, sebab mereka yakin seyakin-yakinnya terhadap realitas kekekalan yang dijanjikan dalam ayat At Taubah 22 ini.
Dalam penutup kajian yang mendalam ini, penting untuk menegaskan kembali bahwa keberhasilan mencapai janji ini tidak didasarkan pada kekayaan, kekuatan fisik, atau status sosial, melainkan murni pada kualitas keikhlasan, ketulusan iman, dan kesediaan berkorban yang telah disematkan oleh Allah dalam ayat-ayat mulia Surah At-Taubah.
Jaminan kekekalan ini memberikan dorongan moral tertinggi bagi umat Islam di setiap zaman. Ini adalah pembeda utama antara harapan agama dan ambisi duniawi: ambisi duniawi selalu diakhiri oleh kematian dan kehampaan, sementara harapan yang berlandaskan At Taubah 22 mencapai puncaknya justru setelah kematian, memasuki dimensi abadi di mana hanya ada kenikmatan dan keridaan dari Tuhan Semesta Alam.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang berhak atas pahala yang besar dan kekekalan abadi di sisi-Nya.