Analisis Tafsir, Fiqih, dan Implementasi Kontemporer
Visualisasi Keseimbangan dan Prioritas Cinta
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur’an, dikenal sebagai surah yang menuntut ketegasan, kejujuran, dan kesungguhan dalam beriman. Ia sering disebut sebagai ‘Fadhihah’ (pembongkar) karena menelanjangi kemunafikan dan menuntut pemisahan total antara yang hak dan yang batil. Di tengah tuntutan keimanan yang kokoh ini, terdapat sebuah ayat yang menjadi penanda paling jelas dan tegas mengenai hierarki cinta dalam hati seorang mukmin: At-Taubah ayat 24.
Ayat ini bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah ujian fundamental. Ia membedakan secara tegas antara cinta yang bersifat fana dan cinta yang bersifat abadi. Ayat ini menempatkan tiga entitas (Allah, Rasul, dan Jihad) di puncak hierarki, sementara delapan jenis materi duniawi ditempatkan sebagai penantang utama. Kesempurnaan iman seorang hamba diukur dari seberapa teguh ia mempertahankan prioritas cinta ini di hadapan godaan delapan penjuru dunia.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan delapan kategori duniawi yang memiliki potensi terbesar untuk mengalihkan hati manusia dari Penciptanya. Kedelapan kategori ini mencakup seluruh spektrum kehidupan material dan sosial manusia, mulai dari ikatan darah hingga kepemilikan harta benda, menunjukkan betapa komprehensifnya ujian keimanan yang disajikan oleh Allah SWT.
Cinta kepada orang tua adalah fitrah, bahkan diwajibkan dalam Islam. Namun, cinta ini menjadi sebuah ujian ketika perintah atau keinginan orang tua bertentangan secara langsung dengan perintah Allah atau Rasul-Nya. Kisah para Sahabat yang harus memilih antara Islam dan orang tua mereka yang musyrik menjadi contoh nyata. Ayat ini menegaskan bahwa bahkan ikatan darah yang paling suci pun tidak boleh melampaui ikatan tauhid. Apabila orang tua menuntut kekufuran, atau menghalangi pelaksanaan syariat yang jelas, maka cinta kepada Allah harus didahulukan tanpa mengurangi kewajiban berbakti (ihsan) dalam urusan duniawi.
Ujian ini menuntut kebijaksanaan yang luar biasa. Ia tidak membatalkan kewajiban berbakti, tetapi menempatkan batasan teologis yang mutlak. Seorang mukmin harus mampu mempertahankan keimanannya, bahkan jika itu berarti mengorbankan kenyamanan hubungan kekeluargaan demi meraih rida Ilahi. Ini adalah ujian pengorbanan emosional tertinggi.
Anak adalah perhiasan hidup sekaligus fitnah (ujian). Allah menyebut mereka sebagai penyejuk mata (qurrata a'yun), namun juga sebagai musuh (al-taghabun 14) dalam konteks apabila mereka menghalangi dari ketaatan. Cinta orang tua kepada anak seringkali bersifat buta, mendorong mereka untuk mencari harta haram, mengabaikan kewajiban jihad (dalam makna luas), atau berkompromi dengan nilai-nilai agama demi masa depan duniawi anak. Prioritas cinta di sini berarti mendidik anak di atas pondasi tauhid, meskipun itu berarti anak harus menghadapi kesulitan duniawi, daripada menjamin kenyamanan duniawi mereka dengan mengorbankan prinsip agama.
Elaborasi tentang anak ini sangat penting. Kebanyakan orang tua modern cenderung memprioritaskan pendidikan karier, stabilitas finansial, dan pengakuan sosial bagi anak-anak mereka di atas pendidikan agama yang substansial. Ketika cinta kepada anak mendorong orang tua untuk membiarkan anak meninggalkan salat demi ujian sekolah, atau menghabiskan seluruh energi dan harta untuk menjamin masa depan duniawi mereka hingga melupakan hak-hak Allah dan fakir miskin, di situlah terjadi pergeseran prioritas yang disinggung oleh At-Taubah 24.
Saudara, baik sedarah maupun sepersusuan, merupakan jaringan dukungan sosial yang kuat. Konflik dalam hal ini muncul ketika dukungan kepada saudara menuntut penyimpangan etika atau hukum agama, seperti menutup-nutupi kesalahan, berkolusi dalam bisnis haram, atau memutuskan silaturahim dengan pihak lain demi loyalitas buta kepada saudara. Islam mengajarkan loyalitas (wala') tertinggi hanya kepada Allah dan kaum mukminin. Jika persaudaraan menghalangi kita dari melaksanakan keadilan atau berpihak kepada kebenaran, maka cinta kepada saudara harus direlasikan kembali di bawah payung cinta Ilahi.
Hubungan suami istri adalah mitsaqan ghalizhan (perjanjian yang kuat), dibangun atas dasar mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang). Ujian pasangan muncul ketika kenyamanan atau keinginan pasangan (misalnya, tuntutan gaya hidup mewah, keinginan untuk pindah ke lingkungan yang merusak agama, atau larangan terhadap kewajiban tertentu) dijadikan alasan untuk meninggalkan perintah Allah. Kisah Nabi Luth dan istrinya, atau kisah Asiyah (istri Firaun), adalah antitesis dan sintesis dari ujian ini. Seorang mukmin harus mencintai pasangannya sebagai sarana menuju surga, bukan sebagai penghalang menuju ketaatan penuh.
Ujian ini seringkali halus dan tersembunyi. Misalnya, ketika seorang suami enggan berjihad (dakwah atau pengorbanan harta) karena takut istrinya tidak nyaman, atau ketika seorang istri menekan suaminya untuk melakukan korupsi demi memenuhi kebutuhan rumah tangga yang berlebihan. Kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh pasangan tidak boleh melunakkan ketegasan spiritual yang dituntut oleh Islam.
Kelompok ini lebih luas dari saudara dan mencakup klan, suku, dan jaringan sosial yang memberi identitas dan perlindungan. Dalam masyarakat yang sangat komunal, loyalitas kepada ‘Ashīrat seringkali menjadi nilai tertinggi. Ayat ini menghancurkan loyalitas kesukuan (ashabiyah) yang bertentangan dengan prinsip Islam. Para Sahabat berhijrah meninggalkan kabilah mereka demi Rasulullah, menunjukkan bahwa identitas Islam harus lebih kuat daripada identitas kesukuan. Jika kaum kerabat menuntut kita untuk berdiam diri dari kemungkaran, atau meminta perlindungan saat mereka berbuat zalim, kita harus memilih menegakkan agama, betapapun sakitnya keretakan sosial yang diakibatkannya.
Harta adalah fitnah yang paling universal dan tak terhindarkan. Frasa "yang kamu usahakan" menunjukkan harta yang didapat melalui kerja keras dan keringat, membuatnya terasa lebih berharga dan sulit dilepaskan. Ujian harta muncul dalam dua bentuk: keserakahan saat mencari (mengambil jalan haram) dan kekikiran saat membelanjakan (menghindari zakat, infak, atau pengorbanan untuk agama). Jika cinta harta menghalangi seorang mukmin untuk berinfak di jalan Allah, atau menahannya dari hijrah atau dakwah karena takut kehilangan aset, maka prioritasnya telah beralih.
Harta adalah alat, bukan tujuan. Apabila harta telah menjadi berhala baru, yang mana penjagaannya diprioritaskan melebihi pemeliharaan agama, maka hati tersebut telah dikuasai oleh dunia. Cinta kepada harta seringkali bermanifestasi dalam penundaan ketaatan, seperti menunda haji atau menolak berjuang karena khawatir status finansial akan terganggu. Ini adalah tanda kekafiran prioritas secara praktis.
Ini secara spesifik merujuk pada aktivitas ekonomi dan bisnis. Rasa takut akan kerugian adalah pemicu utama kompromi dalam bisnis. Ayat ini menguji para pedagang dan pengusaha: apakah kamu akan meninggalkan salat Jumat demi keuntungan besar? Apakah kamu akan berbohong atau mengurangi timbangan demi mempertahankan modal? Apakah kamu akan menolak berjihad (atau kegiatan dakwah/sosial) karena jadwal bisnismu? Prioritas cinta menuntut keyakinan bahwa rezeki ada di tangan Allah, dan kerugian duniawi tidak sebanding dengan kerugian akhirat.
Dalam konteks modern, ‘perniagaan’ mencakup karier, investasi, dan segala bentuk profesionalisme yang menyita waktu dan perhatian. Ketika seseorang mendahulukan jam kantornya daripada salat, atau mendahulukan kontrak bisnis daripada membantu sesama Muslim yang membutuhkan pertolongan agama, maka kekhawatiran terhadap kerugian dunia telah mengalahkan keyakinan terhadap jaminan rezeki Ilahi. Ini adalah perbudakan modern terhadap aktivitas ekonomi.
Tempat tinggal melambangkan stabilitas, kenyamanan, dan rasa aman. Kecintaan pada tempat tinggal seringkali menghalangi seseorang untuk berhijrah ke tempat yang lebih baik bagi agamanya, atau menolak panggilan untuk pindah ke daerah yang membutuhkan dakwah. Rasa aman dan nyaman yang ditawarkan oleh rumah yang indah dan stabil adalah ujian penarik yang kuat. Ayat ini mengingatkan bahwa rumah sejati bukanlah di dunia, melainkan di surga. Keindahan dan kenyamanan rumah dunia tidak boleh membuat kita enggan meninggalkan zona nyaman demi ketaatan yang lebih besar.
Ayat ini secara psikologis menyentuh akar dari sifat menetap (settlement). Kita cenderung terikat pada lokasi, kenangan, dan komunitas di sekitar tempat tinggal kita. Namun, ketika Allah menyerukan hijrah, baik fisik maupun spiritual (meninggalkan kemaksiatan lingkungan), kecintaan pada 'Masākin' dapat menjadi rantai yang mengikat kita. Kesediaan untuk meninggalkan kenyamanan rumah yang 'Tarḍawnahā' (kamu ridai/sukai) demi menjalankan perintah Allah adalah tolok ukur keimanan.
Inti dari Delapan Ujian: Kedelapan entitas ini adalah kebutuhan dan keinginan fitrah manusia. Islam tidak melarang mencintai mereka, namun melarang menjadikan cinta kepada mereka sebagai tujuan akhir yang melampaui dan mengalahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta jalan perjuangan-Nya.
Ayat At-Taubah 24 secara tegas menempatkan tiga entitas di atas segala hal, menjadikannya standar baku keimanan. Ketiga prioritas ini adalah poros utama kehidupan seorang Muslim, yang tanpanya, keimanan dianggap cacat atau fasik.
Cinta kepada Allah adalah inti dari tauhid. Ini berarti mengutamakan keinginan Allah di atas keinginan diri sendiri. Manifestasi cinta ini meliputi kepatuhan total, penyerahan diri (Islam) yang mutlak, dan rasa harap serta takut yang hanya ditujukan kepada-Nya. Ketika kepentingan pribadi, emosi, atau logika manusia bertabrakan dengan Syariat Allah, cinta sejati menuntut kita untuk tanpa ragu memilih Syariat. Mencintai Allah berarti menganggap segala sesuatu yang Ia perintahkan adalah kebaikan mutlak, meskipun terasa berat atau tidak populer di mata manusia.
Cinta Ilahi ini menuntut pemurnian niat (ikhlas) dalam setiap perbuatan. Jika seseorang melakukan ibadah, berinfak, atau berdakwah dengan motif riya’ atau untuk mendapatkan pujian manusia, maka cinta kepada Allahnya telah tercemari oleh cinta kepada pengakuan manusia. Hanya ketika hati benar-benar kosong dari persaingan prioritas duniawi, barulah cinta kepada Allah mencapai kemurnian yang dikehendaki ayat ini. Ini adalah cinta yang tidak mengenal kompromi dan tidak dapat digantikan oleh siapapun atau apapun. Kualitas inilah yang membedakan mukmin sejati dari munafik yang hanya mengaku beriman secara lisan.
Cinta kepada Rasulullah ﷺ adalah konsekuensi logis dari cinta kepada Allah. Allah SWT berfirman: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’” (Ali Imran 3:31). Cinta kepada Rasul berarti meneladani sunnahnya, menjadikannya hakim dalam segala urusan, dan membelanya dengan jiwa dan harta. Cinta ini melampaui sekadar kekaguman; ia adalah komitmen untuk mengikuti jalan hidupnya (ittiba').
Dalam konteks At-Taubah 24, cinta kepada Rasulullah diuji ketika tradisi sosial, adat istiadat, atau bahkan pemahaman yang salah dari orang tua atau masyarakat bertentangan dengan sunnah yang sahih. Prioritas ini menuntut seorang mukmin untuk meninggalkan kebiasaan yang bertentangan dengan sunnah, meskipun hal itu memicu ketidaknyamanan sosial atau cibiran. Pengagungan terhadap figur Rasulullah harus termanifestasi dalam kepatuhan yang konsisten terhadap ajarannya, bukan sekadar perayaan ritual tanpa implementasi praktis.
Jihad, dalam konteks ayat ini, melambangkan pengorbanan tertinggi—yaitu usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan agama Allah dengan mengorbankan waktu, tenaga, harta, dan nyawa. Jihad di sini mewakili aksi nyata dan praktis dari dua cinta di atasnya. Ia adalah medan tempur tempat delapan godaan duniawi diuji secara radikal.
Jihad adalah tolok ukur prioritas. Jika seseorang mengklaim mencintai Allah dan Rasul-Nya, tetapi mundur dari pengorbanan yang dituntut oleh agama, maka klaim cintanya dianggap palsu. Ayat ini dengan jelas mengaitkan pengorbanan aktif ini sebagai bagian integral dari prioritas cinta yang sah.
Ayat 24 ditutup dengan peringatan yang sangat keras: "Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." Bagian penutup ini berfungsi sebagai penekanan pada dampak spiritual dan material dari kegagalan dalam menjaga prioritas cinta.
Perintah "Maka tunggulah" (Fatarabbaṣū) mengandung ancaman. Ini bukan penantian yang menyenangkan, melainkan penantian terhadap hukuman atau keputusan Allah yang mungkin berupa kerugian di dunia (seperti hilangnya keberkahan harta atau bencana) atau hukuman di akhirat. Keputusan Allah yang dinantikan adalah sanksi bagi mereka yang telah menempatkan dunia di atas Allah.
Ancaman ini bersifat universal dan abadi. Bagi orang yang terperangkap dalam delapan jenis kecintaan duniawi sehingga mengabaikan perintah Allah, hidupnya akan dipenuhi kegelisahan dan ketidakpastian. Mereka menunggu kapan azab (baik itu azab fisik atau azab hati berupa kekosongan spiritual) akan menimpa mereka. Penantian ini adalah siksaan psikologis yang mendahului siksaan di hari akhir.
Gelar fasik (orang-orang yang keluar dari ketaatan) diberikan kepada mereka yang gagal dalam ujian prioritas ini. Fasik bukanlah kafir (ingkar total), tetapi adalah orang yang menyimpang atau melanggar perjanjian. Mereka mengetahui kebenaran, tetapi secara sengaja memilih kenyamanan duniawi di atas kewajiban Ilahi. Pemberian gelar fasik ini menunjukkan bahwa persoalan prioritas cinta bukanlah masalah sepele, melainkan inti dari kualitas keimanan seseorang.
Konsekuensi paling fatal dari kefasikan ini adalah: “Wallāhu Lā Yahdīl Qawmal Fāsiqīn” (Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik). Ketika Allah menarik hidayah-Nya, hati menjadi gelap, dan kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan buruk (furqan) akan hilang. Orang tersebut akan semakin tenggelam dalam pusaran cinta duniawi, menganggap kerugian adalah keuntungan, dan keuntungan adalah kerugian spiritual. Tanpa hidayah Ilahi, semua usaha duniawinya—bahkan yang tampak baik—akan menjadi sia-sia di mata Allah.
Ini adalah peringatan serius. Seseorang mungkin tampak saleh di permukaan, rajin beribadah, dan memiliki harta yang banyak. Tetapi jika di saat kritis (misalnya, saat panggilan untuk berkorban harta di jalan Allah datang), ia menolak karena khawatir hartanya berkurang, maka ia secara praktis telah memilih kefasikan. Ayat ini menuntut konsistensi antara lisan dan praktik hati.
Meskipun ayat ini diturunkan pada masa peperangan dan hijrah, relevansinya tetap mutlak dalam kehidupan modern yang didominasi oleh materialisme dan konsumerisme. Ujian-ujian yang dihadapi oleh Muslim abad ini adalah ujian-ujian yang lebih halus, tersembunyi dalam kemasan 'kemajuan' dan 'stabilitas'.
Dalam masyarakat yang mengidolakan kesuksesan finansial, prioritas sering terbalik. Jam kerja yang eksesif, pengejaran gelar dan promosi yang menghabiskan seluruh waktu ibadah dan keluarga, adalah manifestasi modern dari mencintai perniagaan dan harta di atas Allah. At-Taubah 24 menuntut batasan etika: pekerjaan harus mendukung ketaatan, bukan menggantikan ketaatan. Jika sebuah pekerjaan mengharuskan seseorang meninggalkan kewajiban agama (misalnya, salat, puasa, atau menutup aurat), maka cinta kepada pekerjaan tersebut telah mengalahkan cinta kepada Allah.
Ujian harta modern juga mencakup hutang ribawi (riba). Banyak Muslim rela terjebak dalam sistem riba untuk mendapatkan rumah (Masākin) atau modal usaha (Amwāl), padahal riba adalah perang melawan Allah. Dalam kasus ini, ketakutan kehilangan kenyamanan duniawi lebih besar daripada ketakutan melanggar perintah Allah. Ayat ini menuntut keberanian untuk hidup sederhana asalkan halal, daripada hidup mewah tetapi fasik.
Di era individualisme, tekanan keluarga seringkali berbentuk tuntutan sosial. Misalnya, anak yang dituntut orang tua untuk mengambil jurusan yang menghasilkan uang banyak, meskipun anak tersebut ingin berdedikasi pada ilmu agama. Atau pasangan yang melarang suami/istri berdakwah atau mengabdikan diri di masjid karena khawatir waktu keluarga berkurang. Loyalitas kepada keluarga harus selaras dengan loyalitas kepada Allah.
Cinta kepada anak-anak seringkali menjadi jebakan terbesar. Orang tua menghalalkan segala cara, termasuk cara yang syubhat, demi memberikan warisan terbaik kepada anak-anak. Mereka lupa bahwa warisan terbesar yang harus diberikan adalah agama yang lurus. Jika kenyamanan dan kebahagiaan anak diukur semata-mata dari materi, maka orang tua telah gagal menempatkan cinta Allah di tempat pertama.
Jihad kontemporer sering diinterpretasikan sebagai perjuangan non-fisik: dakwah bil-hal (dengan perbuatan), pengorbanan waktu untuk pendidikan agama, perjuangan melawan hawa nafsu (jihadun nafs), dan perjuangan untuk menegakkan kebenaran di ruang publik. Apabila seseorang terlalu sibuk dengan delapan kategori duniawi (bekerja, mengurus rumah, memanjakan anak) hingga ia tidak menyisakan sedikit pun waktu atau energi untuk perjuangan agama, maka secara esensi ia telah gagal dalam ujian At-Taubah 24.
Pengorbanan waktu dan tenaga adalah mata uang paling berharga di era informasi ini. Ketika seluruh waktu luang kita dihabiskan untuk memuaskan delapan keinginan duniawi, dan kita hanya memberikan sisa-sisa waktu kita untuk Allah, berarti delapan hal itu telah menjadi prioritas absolut kita, meskipun tanpa kita sadari. Ayat ini menuntut alokasi energi yang disengaja untuk perkara akhirat.
Ayat ini adalah fondasi dari fiqih prioritas (al-aulawiyat). Dalam setiap persimpangan hidup, Muslim diajarkan untuk bertanya: Manakah yang lebih dicintai oleh Allah? Apakah aku memilih mempertahankan kekayaan ini, ataukah aku memilih melaksanakan sunnah ini? Apakah aku memilih kenyamanan rumah ini, ataukah aku memilih hijrah ke tempat yang lebih kondusif bagi agamaku?
Para ulama menjelaskan bahwa prioritas ini harus diterapkan secara bertahap dan konsisten. Kegagalan menanggapi panggilan yang jelas untuk berkorban (misalnya, menolak berinfak padahal mampu, atau meninggalkan salat jamaah karena rapat penting) adalah manifestasi paling jelas dari kefasikan yang diperingatkan dalam ayat tersebut. Prioritas yang lurus akan menghasilkan ketenangan jiwa (thuma'ninah), karena hati tidak lagi terbagi oleh tarik-menarik antara Tuhannya dan kesenangan fana.
Islam tidak menuntut kita membenci delapan perkara duniawi, melainkan mengelola cinta tersebut. Kita harus mencintai keluarga, harta, dan rumah sebagai sarana (wasilah) untuk taat kepada Allah, bukan sebagai tujuan akhir (ghayah) yang mengikat kita dari-Nya. Cinta yang benar adalah cinta yang memandu kita menuju surga, bukan yang menahan kita di bumi.
Ketika prioritas cinta terbalik—yaitu delapan duniawi lebih dicintai daripada Allah, Rasul, dan Jihad—dampaknya tidak hanya pada amal perbuatan, tetapi juga pada kondisi spiritual dan psikologis seseorang. Hati yang terbagi adalah hati yang sakit.
Seseorang yang mendahulukan harta (Amwāl) dan perniagaan (Tijārah) akan hidup dalam keresahan abadi. Mereka takut miskin, takut kerugian, dan takut kehilangan apa yang telah mereka kumpulkan. Padahal, Allah menjamin bahwa rezeki itu tetap akan sampai. Keresahan ini adalah azab duniawi pertama yang menimpa orang fasik. Mereka lupa bahwa ketenangan sejati (sakinah) hanya datang dari mengingat Allah, bukan dari menjaga rekening bank atau harta kekayaan.
Kecintaan berlebihan pada Masākin (tempat tinggal) juga menghasilkan keresahan. Seseorang menjadi budak rumahnya, terus-menerus memikirkan renovasi, keamanan, dan keindahan, hingga melupakan bahwa tujuan hidupnya jauh lebih besar daripada sekadar menjadi penjaga aset. Prioritas yang terbalik menghasilkan jiwa yang hampa, meskipun raga dilimpahi kemewahan.
Kegagalan dalam ujian At-Taubah 24 secara permanen melemahkan semangat pengorbanan (Jihad). Setiap kali ada kesempatan untuk berinfak, berdakwah, atau melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hati yang dipenuhi cinta dunia akan selalu mencari alasan untuk mundur. Logika duniawi (risiko, biaya, waktu) akan selalu mengalahkan logika ukhrawi (pahala, rida Allah). Orang fasik adalah orang yang perhitungan dalam masalah akhirat, dan dermawan dalam masalah dunia.
Walaupun seseorang mungkin mencapai kesuksesan duniawi yang fantastis—rumah indah, anak-anak berprestasi, karier cemerlang—jika prioritas cintanya salah, keberkahan (barakah) akan dicabut. Keberkahan adalah bertambahnya kebaikan meskipun secara kuantitas tampak sedikit. Tanpa keberkahan, harta yang melimpah hanya mendatangkan masalah, anak yang sukses hanya mendatangkan kekecewaan moral, dan rumah yang mewah hanya menjadi sarang kesepian. Ini adalah pembalasan Allah bagi mereka yang mendahulukan ciptaan di atas Pencipta.
Para salafus saleh memahami bahwa menjaga prioritas adalah kunci utama keberkahan. Mereka rela hidup dalam kekurangan materi asalkan hati mereka penuh dengan ketenangan Ilahi. Sebaliknya, orang-orang yang diperingatkan dalam At-Taubah 24 akan mendapati bahwa semakin mereka mengejar kedelapan hal tersebut, semakin jauh mereka dari rasa cukup dan kebahagiaan sejati. Ini adalah hukum alam spiritual yang tidak dapat dihindari.
Ayat At-Taubah 24 tidak hanya menunjuk masalah, tetapi juga menuntut solusi praktis agar seorang mukmin dapat melewati ujian delapan penjuru dunia ini.
Setiap Muslim wajib melakukan introspeksi secara rutin, menanyakan: “Apa yang menjadi kekhawatiran terbesar saya hari ini?” Jika kekhawatiran terbesar adalah kerugian bisnis, tagihan rumah, atau kesehatan anak, melebihi kekhawatiran terhadap salat yang terlewat atau hilangnya kesempatan berbuat baik, maka prioritas cinta harus segera diperbaiki. Muhasabah membantu mendeteksi pergeseran kecil dalam hati sebelum ia menjadi kefasikan yang besar.
Al-Wara’ adalah meninggalkan apa yang tidak jelas kehalalannya karena takut terjerumus ke dalam yang haram. Dalam konteks At-Taubah 24, al-wara’ berarti berhati-hati dalam mencari harta (Amwāl) dan perniagaan (Tijārah), memastikan bahwa setiap transaksi bebas dari riba, syubhat, dan penipuan. Sikap wara’ adalah benteng pertahanan pertama agar cinta harta tidak menjadi berlebihan.
Ujian keluarga (Ābā’, Abnā’, Azwāj) dapat dilewati hanya jika pondasi tauhid telah tertanam kuat. Suami-istri dan orang tua-anak harus sepakat bahwa rida Allah adalah tujuan tertinggi dalam rumah tangga mereka. Ini berarti bersedia kehilangan pekerjaan yang bertentangan dengan Syariah, atau pindah rumah ke lokasi yang tidak mewah tetapi menjaga iman anak-anak. Keluarga harus menjadi tim yang bersatu dalam jihad (perjuangan ketaatan), bukan menjadi beban yang menarik mundur.
Meningkatkan kecintaan keluarga terhadap Rasulullah melalui studi sirah dan sunnah juga menjadi kunci, sehingga teladan Nabi Muhammad menjadi otoritas tertinggi di atas adat atau keinginan pribadi anggota keluarga. Jika anak dan istri mencintai Rasulullah lebih dari kesenangan dunia, mereka akan mendukung setiap pengorbanan yang dilakukan oleh kepala keluarga.
Satu-satunya cara membuktikan bahwa harta tidak lebih dicintai daripada Allah adalah dengan melepaskannya secara terencana dan konsisten. Infak, sedekah, dan zakat yang rutin berfungsi sebagai pembersih hati dari kecintaan berlebihan terhadap Amwāl dan Tijārah. Semakin seseorang rela berkorban, semakin kuat pula imannya bahwa Allah adalah Pemberi Rezeki Sejati.
Bahkan pengorbanan terkecil, seperti memilih membeli produk dari sesama Muslim yang berusaha jujur meskipun harganya sedikit lebih mahal, daripada membeli dari perusahaan raksasa yang tidak peduli etika, adalah manifestasi dari penempatan prioritas yang benar di medan perniagaan.
Surah At-Taubah ayat 24 adalah peta jalan menuju kesempurnaan iman. Ia menyajikan ujian yang paling sulit karena melibatkan entitas yang paling dicintai oleh fitrah manusia: keluarga, harta, dan kenyamanan. Ayat ini tidak mengharamkan cinta duniawi, tetapi menuntut agar cinta tersebut ditempatkan dalam posisi yang tunduk dan sekunder di bawah cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan perjuangan di jalan-Nya (Jihad).
Jika seorang mukmin mampu mempertahankan prioritas ini—mengutamakan ketaatan pada panggilan salat daripada rapat penting, mendahulukan pendidikan tauhid anak daripada jaminan karier duniawi semata, dan rela berkorban harta di saat krisis agama—maka ia telah mengamalkan hakikat dari ayat ini. Sebaliknya, orang yang gagal dalam ujian ini, yang memilih kedelapan hal duniawi sebagai yang utama, diperingatkan dengan keras sebagai fasik dan diancam dengan penarikan hidayah Ilahi.
Marilah kita terus merenungkan ayat ini dalam setiap keputusan hidup kita, menjadikannya timbangan (mizan) yang abadi: Apakah keputusan ini didorong oleh rasa takut kehilangan harta, kenyamanan, atau keluarga, ataukah ia didorong oleh keinginan mutlak untuk meraih rida Allah SWT? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan nasib spiritual kita, baik di dunia maupun di akhirat, dan membuktikan apakah kita termasuk golongan yang beriman sejati, atau mereka yang memilih kekufuran prioritas yang berujung pada kefasikan.
Cinta sejati adalah pengorbanan. Dan pengorbanan terbesar adalah pengorbanan atas apa yang paling kita cintai di dunia demi Sang Pencipta segala cinta.