Pengantar: Konteks Ayat At-Taubah 70
Surah At-Taubah, yang dikenal sebagai surah yang penuh dengan peringatan keras dan penegasan janji serta ancaman Allah, memberikan panduan fundamental mengenai hubungan seorang mukmin dengan Penciptanya dan juga dengan sesama manusia. Ayat-ayat dalam surah ini seringkali berfungsi sebagai cermin untuk menguji keikhlasan iman seseorang, khususnya dalam menghadapi ujian kepatuhan dan jihad—baik jihad besar melawan hawa nafsu maupun jihad dalam membela kebenaran.
Ayat 70 dari Surah At-Taubah merupakan salah satu pilar teologis yang sangat penting. Ayat ini secara langsung merujuk pada sejarah panjang para nabi dan umat-umat terdahulu yang mendustakan risalah. Peringatan ini datang sebagai penegasan kepada kaum munafik di Madinah—yang menjadi fokus utama surah ini—bahwa mereka tidak akan luput dari ketetapan Allah, sama seperti umat-umat sebelum mereka. Sejarah bukanlah cerita usang; ia adalah pola ilahi yang berulang, sebuah sunnatullah (hukum alam dan ketetapan Allah) yang mutlak.
Pentingnya ayat ini terletak pada fungsinya sebagai jembatan yang menghubungkan realitas kontemporer para sahabat dengan sejarah masa lalu, membuktikan bahwa keadilan Allah tidak pernah tidur dan hukuman-Nya pasti akan menimpa siapa saja yang memilih jalan kesombongan dan pengingkaran setelah datangnya bukti yang nyata. Ayat ini adalah refleksi universal tentang konsekuensi moral dari pilihan hidup. Ia menegaskan bahwa Allah Maha Adil dan balasan-Nya setimpal dengan perbuatan.
Teks dan Terjemahan Surah At-Taubah Ayat 70
أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَقَوْمِ إِبْرَاهِيمَ وَأَصْحَابِ مَدْيَنَ وَالْمُؤْتَفِكَاتِ ۚ أَتَتْهُمْ رُسُلُهُم بِالْبَيِّنَاتِ ۖ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Terjemahan Harfiah
“Apakah belum sampai kepada mereka berita orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata; maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, melainkan merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri.”
Ayat ini menyebutkan enam kelompok utama yang menjadi studi kasus historis: Kaum Nuh, Kaum ‘Ad, Kaum Tsamud, Kaum Ibrahim (yang menentangnya, yaitu penduduk Babilonia), Penduduk Madyan, dan Al-Mu’tafikāt (negeri-negeri yang dibalikkan, merujuk pada kaum Luth). Penyebutan enam kelompok ini memberikan cakupan yang luas, mewakili berbagai jenis pengingkaran dan kesesatan—dari menyembah berhala, menentang tauhid, hingga kerusakan moral dan ekonomi.
Analisis Historis Mendalam: Pola Pengingkaran yang Berulang
Gambaran reruntuhan dan wahyu: Peringatan yang telah datang berulang kali.
Kisah-kisah yang disebut dalam ayat ini berfungsi tidak hanya sebagai narasi sejarah, melainkan sebagai paradigma teologis yang menunjukkan bagaimana Allah berinteraksi dengan makhluk-Nya ketika kebenaran telah disampaikan secara jelas. Setiap kaum memiliki dosa spesifik yang menjadi penyebab utama kejatuhan mereka, namun intinya sama: menolak otoritas ilahi yang dibawa oleh rasul.
Kaum Nuh: Pengingkaran Dasar
Kaum Nuh adalah contoh pertama dari penolakan massal terhadap tauhid setelah populasi manusia menyebar di bumi. Dosa mereka adalah penyembahan berhala dan kesombongan sosial. Mereka menolak Nuh selama sembilan ratus lima puluh tahun, mencemooh dan meremehkan kaum miskin yang beriman. Hukuman yang menimpa mereka—Banjir Besar—adalah hukuman total dan menyeluruh, menunjukkan bahwa ketika kesesatan telah mengakar hingga ke inti masyarakat, hanya pembersihan total yang akan terjadi. Ini adalah studi kasus mengenai kesabaran ilMutlak dan batas akhirnya.
Penolakan kaum Nuh bukan hanya penolakan terhadap ajaran Nuh, tetapi juga penolakan terhadap logika dan bukti nyata. Mereka melihat Nuh sebagai manusia biasa, meremehkan status kenabiannya berdasarkan kriteria material dan sosial, sebuah penyakit yang berulang pada kaum-kaum selanjutnya, termasuk kaum munafik di zaman Nabi Muhammad SAW.
Kaum ‘Ad: Kekuatan dan Kesombongan Material
Kaum ‘Ad, yang tinggal di Al-Ahqaf (bukit pasir), adalah bangsa yang diberkahi dengan kekuatan fisik luar biasa, kekayaan, dan kemajuan arsitektur yang hebat. Rasul mereka, Hud, mengingatkan mereka bahwa kekuatan itu harus disyukuri, bukan disombongkan. Kezaliman mereka berpusat pada penindasan, membangun monumen-monumen besar hanya untuk kesenangan, dan menggunakan kekuatan mereka untuk berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Mereka menantang Allah dengan keyakinan bahwa tidak ada yang lebih kuat dari mereka.
Hukuman bagi ‘Ad adalah angin topan yang menghancurkan yang berlangsung selama tujuh malam delapan hari berturut-turut. Angin itu tidak hanya merusak bangunan, tetapi juga membinasakan mereka secara fisik, mengubah tubuh-tubuh perkasa mereka menjadi seperti batang-batang pohon kurma yang tumbang. Ini mengajarkan bahwa kekuatan duniawi, seberapa pun besarnya, tidak berarti apa-apa di hadapan kuasa Sang Pencipta.
Kaum Tsamud: Keterampilan dan Penolakan Mukjizat
Kaum Tsamud, penerus ‘Ad, terkenal karena keterampilan mereka memahat gunung dan batu untuk dijadikan tempat tinggal yang mewah (di Al-Hijr). Rasul mereka, Saleh, mendatangi mereka dengan mukjizat yang sangat jelas: unta betina yang keluar dari batu. Penolakan mereka sangat spesifik; mereka tidak hanya menolak risalah Saleh, tetapi mereka secara aktif merencanakan pembunuhan unta tersebut sebagai simbol penolakan terhadap tanda-tanda ilahi.
Tsamud dihukum dengan suara keras (As-Sayhah) dari langit. Hukuman ini menekankan bahwa melukai simbol-simbol kebenaran atau tanda-tanda Allah adalah kezaliman yang serius. Kehancuran Tsamud adalah pelajaran tentang bahaya penolakan eksplisit terhadap mukjizat yang kasat mata, di mana bukti telah datang tetapi hati tetap tertutup.
Kaum Ibrahim: Penentang Tauhid
Kaum Ibrahim, merujuk pada penduduk Babilonia di bawah kepemimpinan Raja Namrud, adalah representasi dari pengingkaran filosofis dan politik. Mereka menolak tauhid secara mutlak dan menuhankan kekuasaan raja, bintang, dan patung. Perjuangan Ibrahim adalah perjuangan melawan politeisme yang terorganisir dan melawan tirani kekuasaan yang mengklaim ketuhanan.
Meskipun mereka tidak dihancurkan secara total seperti Nuh atau Ad, azab mereka datang dalam bentuk kegagalan argumen (seperti dalam kisah pembakaran Ibrahim yang gagal) dan akhirnya terpecah belahnya kekaisaran mereka. Bagi umat terdahulu, azab juga bisa berupa kehinaan dan kegagalan total sistem kepercayaan mereka, meninggalkan warisan perpecahan.
Penduduk Madyan: Kezaliman Ekonomi
Penduduk Madyan (kaum Syu'aib) merupakan contoh dari kerusakan moral yang berfokus pada praktik bisnis dan ekonomi. Mereka curang dalam timbangan dan takaran, merusak pasar dan menindas perdagangan. Syu'aib dikenal sebagai pembicara para nabi karena argumentasinya yang kuat, namun mereka tetap menolak seruannya untuk berlaku jujur.
Hukuman mereka adalah gabungan dari gempa bumi (Ar-Rajfah) dan hari naungan (azab yang datang di bawah awan panas). Kehancuran Madyan adalah peringatan tegas bahwa penindasan ekonomi, korupsi, dan ketidakadilan dalam transaksi adalah dosa serius yang dapat meruntuhkan sebuah peradaban, sama berbahayanya dengan syirik.
Al-Mu'tafikāt (Kaum Luth): Kehancuran Moral
Kelompok terakhir adalah Al-Mu’tafikāt, yang berarti "negeri-negeri yang dibalikkan," merujuk kepada kaum Luth (Sodom dan Gomora). Kezaliman mereka bersifat moral dan sosial, yaitu praktik homoseksualitas yang dilakukan secara terbuka dan merajalela. Ini adalah kezaliman yang melampaui batas fitrah manusia.
Hukuman mereka adalah yang paling dramatis: Allah membalikkan negeri mereka dan menghujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar. Ini adalah pelajaran bahwa kerusakan moral fundamental akan menyebabkan kehancuran fisik total, karena masyarakat tersebut telah kehilangan dasar-dasar kemanusiaannya.
Keadilan Mutlak Allah: Tafsir Penutup Ayat
Bagian akhir dari At-Taubah 70 adalah konklusi teologis yang sangat kuat, menyimpulkan nasib seluruh kaum di atas:
“...maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, melainkan merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri.”
Penegasan Ketiadaan Kezaliman (Na’fi Az-Zulm)
Frasa "maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka" adalah penegasan fundamental tentang sifat Allah. Kezaliman (Az-Zulm) dalam konteks ini adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Mustahil Allah menimpakan hukuman kepada suatu kaum tanpa mereka melakukan pelanggaran yang setimpal. Hukuman yang ditimpakan bukanlah hukuman sewenang-wenang; ia adalah hasil logis dan adil dari perbuatan mereka sendiri.
Ayat ini berfungsi sebagai bantahan terhadap anggapan bahwa Allah mungkin menghukum manusia tanpa peringatan atau tanpa alasan yang sah. Dalam setiap kasus historis yang disebutkan, Allah mengirimkan rasul-rasul-Nya dengan al-Bayyināt (bukti-bukti yang jelas)—mukjizat, argumentasi logis, dan peringatan yang berulang. Dengan demikian, ketika hukuman tiba, ia adalah manifestasi keadilan yang tertunda, bukan tirani yang mendadak. Hal ini menetapkan bahwa keadilan Allah adalah sempurna dan tidak cacat.
Kezaliman Diri Sendiri (Zulmu Anfusihim)
Klimaks dari ayat ini adalah pengakuan bahwa manusia sendirilah yang menzalimi diri mereka. Kezaliman ini terjadi melalui beberapa mekanisme:
- **Kezaliman Syirik:** Menyekutukan Allah adalah kezaliman terbesar, karena menempatkan ciptaan setara dengan Pencipta, merusak fitrah tauhid manusia.
- **Kezaliman Kepatuhan:** Menolak dan mendustakan rasul, yang merupakan utusan Allah. Dengan menolak utusan, mereka menolak jalan keselamatan yang disediakan.
- **Kezaliman Sosial:** Menindas sesama manusia, melakukan korupsi, atau merusak keseimbangan moral dan ekonomi masyarakat.
Kezaliman terhadap diri sendiri ini melampaui kerugian material. Ini adalah kerusakan rohani yang mengakibatkan hilangnya kesempatan bertaubat dan memperoleh rahmat. Ketika hati telah mengeras dan pilihan untuk ingkar telah menjadi karakter, maka azab adalah hasil dari pilihan bebas manusia itu sendiri. Allah hanya mengesahkan konsekuensi yang mereka tanam.
Pola Ilahi (Sunnatullah) dalam Sejarah
Ayat 70 At-Taubah mengajarkan kita bahwa ada hukum sejarah yang tetap, yang disebut Sunnatullah. Hukum ini tidak berubah; apa yang menimpa kaum terdahulu dapat menimpa kaum kemudian jika mereka mengulangi dosa yang sama. Sunnatullah ini memiliki beberapa aspek kunci yang terungkap dari kisah-kisah di atas:
1. Keterlambatan Hukuman (Al-Imhal)
Allah Maha Sabar. Dia memberikan masa tenggang (Imhal) yang panjang bagi setiap kaum. Kaum Nuh diberikan waktu hampir seribu tahun. Bahkan setelah kedatangan Rasul dengan bukti-bukti, Allah tetap menangguhkan hukuman. Keterlambatan ini adalah rahmat dan kesempatan untuk bertaubat. Namun, orang yang berbuat zalim seringkali salah mengartikan kesabaran ini sebagai ketidakpedulian atau ketidakmampuan Allah.
2. Hukuman Berbanding Lurus dengan Kezaliman
Jenis hukuman yang menimpa suatu kaum seringkali terkait erat dengan jenis kezaliman yang mereka lakukan. Kaum yang sombong dengan kekuasaan dihukum dengan kekuatan alam (angin topan). Kaum yang merusak moral dihukum dengan pembalikan total (kaum Luth). Kaum yang merusak ekonomi dihukum dengan bencana yang merusak infrastruktur mereka (gempa bumi Madyan). Ini adalah presisi ilahi dalam menetapkan balasan.
3. Peringatan Sebagai Prasyarat
Tidak ada hukuman universal yang dijatuhkan tanpa terlebih dahulu didahului oleh peringatan yang jelas dan utusan yang jujur. Allah berfirman: “...Telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata...” (At-Taubah 70). Ini menjamin keadilan Allah. Rasul-rasul berfungsi sebagai penutup argumen (Hujjah), sehingga pada Hari Kiamat, mereka tidak memiliki alasan untuk berdalih bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran.
Filosofi Sunnatullah ini memberikan penghiburan sekaligus peringatan bagi umat Muhammad SAW. Penghiburan bahwa kita memiliki pola untuk dipelajari, dan peringatan bahwa jika kita mengadopsi pola kezaliman, kesombongan, atau pengingkaran yang sama, kita akan menghadapi konsekuensi yang sama, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Pelajaran dan Relevansi untuk Umat Masa Kini
Mengapa kisah-kisah kuno ini disajikan secara spesifik di tengah Surah At-Taubah, surah yang berfokus pada masalah munafik dan peperangan di zaman Nabi Muhammad SAW? Jawabannya terletak pada peringatan langsung kepada kaum munafik (dan semua umat Islam) agar tidak mengulangi kesalahan sejarah.
1. Peringatan untuk Kaum Munafik
Kaum munafik di Madinah melakukan kezaliman terhadap diri mereka sendiri melalui kemunafikan dan pengkhianatan. Mereka menolak kebenaran yang jelas (bukti kenabian Muhammad SAW) meskipun mereka hidup di tengah-tengahnya. Allah mengingatkan mereka: kalian mungkin merasa aman sekarang, tetapi bukankah kalian telah mendengar apa yang terjadi pada kaum-kaum yang menolak rasul mereka? Kezaliman batiniah (kemunafikan) akan berujung pada kezaliman hukuman, persis seperti kezaliman lahiriah (syirik dan kesombongan) yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud.
2. Penekanan pada Repentansi (Taubah)
Surah ini bernama At-Taubah (Pengampunan/Repentansi). Kontras antara azab umat terdahulu dan panggilan untuk bertaubat di surah ini sangat mencolok. Ayat 70 berfungsi sebagai dorongan kuat: Lihatlah apa yang terjadi jika kalian menunda taubat. Kaum-kaum itu dihancurkan karena mereka tidak bertaubat. Gerbang taubat masih terbuka bagi kalian sekarang, jadi jangan tunggu hingga tiba saatnya hukuman yang tidak dapat ditolak.
3. Pentingnya Kualitas Iman dan Bukan Kuantitas
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa jumlah umat tidak menjamin keselamatan. Kaum ‘Ad dan Tsamud sangat banyak dan kuat, namun mereka hancur. Ini mengajarkan bahwa yang menentukan keselamatan adalah kualitas iman, kejujuran dalam ketaatan, dan penegakan keadilan sosial dan moral.
Bagi umat Islam kontemporer, pelajaran dari At-Taubah 70 adalah instrospeksi. Kita harus bertanya: Apakah kita mengulangi kezaliman ekonomi Kaum Madyan? Apakah kita menunjukkan kesombongan material Kaum ‘Ad? Apakah kita membiarkan kerusakan moral Kaum Luth merajalela dalam masyarakat? Jika ya, maka kita berada dalam jalur Sunnatullah yang sama yang akan membawa konsekuensi serius.
Fenomena Istidraj: Jebakan Kenikmatan Semu
Salah satu aspek yang sering menyertai hukuman umat terdahulu adalah konsep Istidraj. Istidraj adalah kondisi di mana Allah memberikan kenikmatan, kemudahan, dan kelimpahan duniawi kepada suatu kaum yang durhaka, bukan sebagai rahmat, tetapi sebagai jebakan. Mereka dibiarkan larut dalam kesenangan, semakin jauh dari kebenaran, hingga hukuman datang secara tiba-tiba dan menyeluruh.
Kaum ‘Ad dan Tsamud adalah contoh sempurna dari Istidraj. Mereka sangat maju dalam teknologi dan kekayaan, dan ini membuat mereka merasa aman dan kebal terhadap azab. Mereka berpikir bahwa kenikmatan yang mereka peroleh adalah tanda bahwa Allah merestui perbuatan mereka, padahal itu adalah penundaan yang mematikan.
Kaitan Istidraj dengan At-Taubah 70 sangat kuat. Allah sedang mengingatkan kaum munafik (yang menikmati kekayaan dan keamanan di Madinah tanpa iman sejati) bahwa kenikmatan mereka saat ini tidak berarti persetujuan Ilahi. Justru, hal itu bisa menjadi pengantar menuju hukuman yang lebih pedih di akhirat, atau kehinaan mendadak di dunia.
Ciri-ciri Istidraj dalam Masyarakat Modern
- **Kemajuan Tanpa Moralitas:** Sebuah peradaban yang mencapai puncak teknologi dan kemakmuran, namun pada saat yang sama, etika, kejujuran, dan keadilan sosialnya merosot drastis.
- **Rasa Aman yang Palsu:** Keyakinan bahwa sistem buatan manusia (ekonomi, militer, politik) tidak akan pernah runtuh, yang menyebabkan penolakan terhadap peringatan spiritual.
- **Kelalaian terhadap Tanda-Tanda:** Mengabaikan bencana alam, krisis sosial, atau tanda-tanda kebesaran alam sebagai kebetulan semata, tanpa menghubungkannya dengan peringatan ilahi.
Ayat ini mengajak kita untuk mengevaluasi setiap kenikmatan: apakah ini nikmat yang mendekatkan pada Allah, ataukah Istidraj yang menjauhkan? Jika kemakmuran dibarengi dengan kezaliman, itu adalah Istidraj.
Kedalaman Retorika dan Ekspresi Linguistik
Struktur ayat 70 dalam bahasa Arab memiliki keindahan retorika yang berfungsi ganda, yaitu pertanyaan retoris dan penekanan. Ayat dimulai dengan pertanyaan retoris: “أَلَمْ يَأْتِهِمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ” (Apakah belum sampai kepada mereka berita orang-orang yang sebelum mereka?).
Pertanyaan yang Menggugah
Penggunaan ‘Alam’ (apakah belum) tidak membutuhkan jawaban, karena jawabannya sudah pasti 'Ya'. Tujuannya adalah untuk mencela dan membangkitkan kesadaran. Allah mencela kaum munafik: Bagaimana mungkin kalian, yang seharusnya paling mengetahui sejarah para nabi, mengabaikan pola sejarah ini? Kalian tidak bisa berdalih ketidaktahuan, karena berita itu sudah jelas. Ini adalah teguran keras terhadap kaum yang berpura-pura tuli terhadap pelajaran sejarah yang begitu jelas dan mudah diakses.
Penghimpunan Nama-Nama
Ayat ini secara padat menghimpun enam nama besar dalam sejarah kenabian. Daftar ini disajikan secara berurutan secara kronologis, dari Nuh hingga Luth dan Syu'aib (Madyan), menciptakan garis waktu kehancuran yang tak terhindarkan. Penghimpunan ini menunjukkan bahwa keadilan Ilahi bukanlah peristiwa acak, melainkan hukum yang telah teruji dan terulang lintas waktu dan peradaban. Penyebutan nama-nama ini meningkatkan otoritas peringatan tersebut.
Penegasan Hukuman (Lam Li’n-Nafyi)
Pada penutup ayat, frasa “فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ” menggunakan Lam Li’n-Nafyi yang sangat kuat (Lam penolakan) untuk meniadakan kemungkinan zalim secara mutlak. Ini bukan hanya mengatakan Allah tidak zalim, tetapi Allah tidak mungkin atau tidak akan pernah zalim kepada mereka. Penegasan ini mengakhiri segala perdebatan mengenai legitimasi hukuman yang dijatuhkan; sumber masalahnya sepenuhnya ada pada diri manusia yang dihukum.
Implikasi Tauhid dan Perjuangan Melawan Kezaliman
Inti dari penolakan yang dilakukan oleh keenam kaum tersebut adalah penolakan terhadap konsep tauhid dan ketaatan kepada utusan. Kezaliman, baik moral, sosial, maupun ekonomi, selalu berakar pada syirik atau pengingkaran terhadap keesaan Allah.
Kezaliman sebagai Manifestasi Syirik
Ketika seseorang menzalimi orang lain (seperti kaum Madyan yang curang), itu terjadi karena mereka menempatkan harta (dunia) di atas perintah Allah (adil). Ketika seseorang berbuat sombong (seperti kaum ‘Ad), itu terjadi karena mereka menempatkan kekuatan diri di atas kekuatan Allah. Setiap bentuk kezaliman akhirnya bermuara pada syirik, yaitu pengagungan sesuatu selain Allah. Oleh karena itu, hukuman bagi kaum-kaum tersebut adalah hukuman bagi syirik dan segala manifestasinya.
Peran Rasul sebagai Pembawa Bayyināt
Dalam konteks At-Taubah, Bayyināt (bukti-bukti nyata) yang dibawa oleh Rasul adalah pembeda utama. Kaum munafik memiliki Bayyināt berupa Al-Qur'an yang diturunkan, mukjizat Nabi Muhammad SAW, dan kemenangan-kemenangan Islam yang nyata. Jika mereka tetap memilih kemunafikan, mereka telah mengabaikan bukti yang jauh lebih kuat daripada yang dimiliki oleh kaum Nuh, Ad, atau Tsamud.
Ayat 70 mendorong umat Islam untuk tidak hanya mengklaim beriman, tetapi secara aktif menegakkan Bayyināt tersebut dalam kehidupan pribadi dan sosial. Jika kita menyaksikan kezaliman, kesombongan, dan penyimpangan moral, dan kita diam, kita menempatkan diri kita pada risiko mengulangi pola sejarah yang dihancurkan.
Penutup: Refleksi Abadi Atas Keadilan Ilahi
Surah At-Taubah ayat 70 adalah sebuah monumen sejarah yang dibangun di dalam Al-Qur’an. Ia berdiri sebagai peringatan abadi, menjembatani masa lalu, masa kini, dan masa depan. Pesannya jelas dan tak terbantahkan: keadilan Allah adalah mutlak, dan Dia tidak pernah berlaku zalim. Kehancuran peradaban, kemerosotan suatu umat, dan jatuhnya individu yang durhaka selalu merupakan hasil dari pilihan bebas mereka sendiri untuk menolak kebenaran dan melakukan kezaliman terhadap diri sendiri.
Ayat ini menuntut para pembacanya untuk terus merenungkan sejarah, tidak hanya sebagai kisah masa lalu, tetapi sebagai peta jalan spiritual. Jika kita ingin menghindari nasib kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, Madyan, dan Al-Mu’tafikāt, kita harus menjauhi dosa-dosa utama mereka: syirik, kesombongan, kezaliman sosial, penindasan ekonomi, dan kerusakan moral yang melampaui batas fitrah.
Dengan mempelajari ayat ini, kita diperkuat dalam keyakinan bahwa janji Allah tentang pertolongan bagi orang beriman adalah benar, dan ancaman-Nya terhadap orang yang ingkar dan munafik adalah nyata. Kita didorong untuk bertaubat dengan tulus, memperbaiki diri, dan memastikan bahwa kita tidak pernah menjadi bagian dari mereka yang menzalimi diri mereka sendiri. Hukum Allah adalah tetap, dan kebijaksanaan-Nya mencakup semua zaman dan peradaban.