Menggali Pesan Universal Surah At-Taubah Ayat 71

Visi Komunitas Mukmin Sejati: Kontras Abadi

Surah At-Taubah merupakan salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada fase akhir kenabian, menyoroti penentuan batas-batas yang tegas antara keimanan sejati dan kemunafikan. Di dalamnya, Allah SWT memaparkan secara eksplisit bagaimana struktur sosial dan moral orang-orang yang mengaku beriman seharusnya berfungsi, terutama dalam menghadapi dinamika internal dan eksternal Madinah saat itu. Jika ayat-ayat sebelumnya (khususnya At-Taubah 67) menggambarkan kaum munafik sebagai entitas yang saling mendukung dalam kemungkaran dan kekikiran, Ayat 71 hadir sebagai antitesis yang sempurna.

Ayat ini tidak sekadar memberikan deskripsi, melainkan menetapkan cetak biru (blueprint) bagi setiap komunitas Muslim yang ingin mencapai keberkahan dan rahmat Ilahi. Ayat ini menegaskan bahwa keimanan bukanlah sekadar pengakuan verbal atau ritual pribadi yang terisolasi, melainkan sebuah kontrak sosial yang mewajibkan interaksi dan tanggung jawab timbal balik yang intensif. Inilah fondasi utama yang membedakan komunitas yang dibangun atas dasar wahyu dengan kelompok-kelompok lain yang didasarkan pada kepentingan duniawi semata.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah (perbuatan) yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)

Lima elemen kunci dalam ayat ini (Wilayah, Amar Ma'ruf, Nahi Munkar, Salat, Zakat, Ketaatan) bekerja secara sinergis, menciptakan mekanisme pertahanan sosial dan spiritual. Ayat ini secara eksplisit menyamakan posisi laki-laki dan perempuan mukmin dalam hal tanggung jawab sosial dan ritual, sebuah penegasan kesetaraan moral yang revolusioner pada masanya dan tetap relevan hingga kini.

Analisis Linguistik dan Semantik: Memahami Kedalaman Kata

Untuk benar-benar memahami implikasi At-Taubah 71, kita perlu membongkar makna literal dan tafsiriah dari frasa-frasa utamanya. Kedalaman bahasa Arab dalam Al-Qur'an memastikan bahwa setiap kata membawa beban makna yang signifikan, jauh melampaui terjemahan tunggal.

1. Al-Mu’minūna wa Al-Mu’mināt (Orang Mukmin Laki-laki dan Perempuan)

Penekanan pada penyebutan kedua gender (laki-laki dan perempuan) adalah fundamental. Ini mematahkan anggapan bahwa tanggung jawab moral dan sosial dalam Islam hanya dibebankan pada satu gender. Dalam konteks sejarah ketika partisipasi perempuan dalam kehidupan publik seringkali diabaikan, ayat ini memberikan otoritas moral dan fungsional yang setara kepada mukminah. Mereka adalah subjek aktif, bukan objek pasif, dalam pembangunan masyarakat yang saleh. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengamati dan mengintervensi urusan moral publik.

2. Ba‘ḍuhum Auliyā’u Ba‘ḍin (Sebagian Mereka Adalah Penolong/Pelindung Sebagian yang Lain)

Kata kunci di sini adalah Auliyā’ (jamak dari Wali). Makna Wali sangat luas, mencakup: pelindung, pendukung, teman dekat, penguasa, dan orang yang bertanggung jawab. Dalam konteks Ayat 71, Auliyā’u Ba‘ḍihim melampaui sekadar 'teman'. Ia merujuk pada konsep Wilayah, yakni hubungan protektif, saling ketergantungan, dan tanggung jawab hukum serta moral. Ini berarti bahwa setiap mukmin harus merasa bertanggung jawab atas keselamatan spiritual dan fisik mukmin yang lain. Ini adalah fondasi ukhuwah Islamiyah, di mana ikatan iman lebih kuat daripada ikatan darah atau suku.

Wilayah ini menuntut empati maksimal, keberpihakan pada kebenaran, dan kesediaan untuk berkorban demi menjaga integritas spiritual komunitas. Ketika satu bagian menderita atau menyimpang, seluruh tubuh mukmin merasakannya.

3. Al-Ma‘ruf dan Al-Munkar

Al-Ma‘ruf (Kebaikan): Secara etimologis, Ma‘ruf berasal dari kata ‘arafa (mengetahui). Al-Ma‘ruf adalah segala sesuatu yang dikenal baik, diterima secara universal oleh akal sehat yang bersih, dan ditegaskan oleh syariat. Ini mencakup spektrum luas, mulai dari kejujuran, keadilan, menolong yang lemah, hingga menegakkan shalat dan zakat.

Al-Munkar (Kemungkaran): Munkar berasal dari kata nakara (mengingkari, tidak mengenal). Al-Munkar adalah segala sesuatu yang ditolak oleh akal sehat dan dilarang oleh syariat. Ini mencakup segala bentuk kezaliman, penyimpangan moral, dan pelanggaran hukum Allah. Penting untuk dicatat bahwa batasan Ma‘ruf dan Munkar tidak ditentukan oleh selera pribadi atau tren masyarakat, melainkan oleh otoritas tertinggi: Al-Qur’an dan Sunnah.

Penghubungan Wilayah dengan Amar Ma'ruf Nahi Munkar (AMNM) menunjukkan bahwa Wilayah tidak boleh pasif. Perlindungan sejati bukanlah sekadar menyediakan tempat tinggal, tetapi memastikan lingkungan spiritualnya sehat.

Pilar Pertama: Wilayah dan Kontrak Sosial Mukmin

Konsep Auliyā’u Ba‘ḍihim adalah inti dari identitas kolektif Muslim. Wilayah ini berdiri dalam oposisi langsung dengan kondisi kaum munafik yang digambarkan beberapa ayat sebelumnya: mereka saling mendorong pada kemungkaran dan kekikiran (At-Taubah: 67). Kontras ini menunjukkan bahwa arah pertemanan dan afiliasi adalah penentu apakah suatu kelompok akan mendapatkan rahmat atau laknat Ilahi.

Ukhuwah Sejati: Melampaui Batasan Kekerabatan

Wilayah yang dimaksud di sini bukanlah Wilayah politik atau kekerabatan, melainkan Wilayah imani. Dalam Wilayah Imani, kewajiban untuk menolong, mendukung, dan melindungi berlaku tanpa memandang suku, ras, atau status sosial. Keimanan menjadi ikatan terkuat yang menembus semua sekat duniawi. Ketika seorang mukmin melihat saudaranya terjerumus dalam kesulitan ekonomi, atau yang lebih penting, kesulitan spiritual, Wilayah mengharuskannya untuk bertindak.

Tanggung jawab Wilayah mencakup:

  1. Dukungan Emosional dan Materi: Menjamin bahwa kebutuhan dasar mukmin terpenuhi.
  2. Nasihat yang Tulus (Nush): Memberikan nasihat yang baik secara rahasia dan penuh kasih sayang.
  3. Pertahanan Hukum dan Moral: Membela kehormatan mukmin lain dari fitnah dan kezaliman.
  4. Pengawasan Sosial: Ini adalah fondasi AMNM, memastikan bahwa standar moral komunitas tidak terdegradasi.

Implikasi Wilayah ini sangat luas dalam konteks modern. Wilayah memanggil umat Islam untuk membentuk struktur yang menaungi pendidikan, kesehatan, dan keadilan bagi anggota komunitas mereka sendiri. Wilayah menentang individualisme ekstrem yang mendefinisikan ibadah sebagai urusan pribadi semata. Sebaliknya, keselamatan pribadi sangat terkait dengan keselamatan kolektif.

Perbedaan Kritis dengan Munafikun

Perbedaan antara mukmin dan munafik bukan hanya terletak pada ritual, tetapi pada orientasi sosial mereka. Kaum munafik memiliki Wilayah dengan kemungkaran; mereka bersepakat dalam kejahatan, dan mereka bakhil. Mukmin sebaliknya, bersatu dalam ketaatan dan kedermawanan. Ayat 71 mengajarkan bahwa identitas sejati komunitas mukmin terletak pada aksi kolektif untuk membenahi masyarakat, bukan hanya berpuas diri dengan kesalehan individu.

Wilayah ini juga menjelaskan mengapa komunitas Muslim sering disebut sebagai Ummatan Wasatan (umat pertengahan). Wilayah tersebut menciptakan keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak sosial. Individu bebas beribadah, namun kebebasan itu diimbangi oleh kewajiban untuk menjaga agar lingkungan sosialnya tetap kondusif bagi ketaatan kepada Allah. Kualitas Wilayah ini mendefinisikan keberhasilan sebuah peradaban Islam.

Pilar Kedua: Amar Ma‘ruf Nahi Munkar (AMNM)

Jika Wilayah adalah fondasi persaudaraan, maka Amar Ma‘ruf Nahi Munkar adalah manifestasi paling aktif dari Wilayah tersebut. Ayat 71 menempatkan AMNM sebagai kriteria kedua dan yang paling menonjol setelah Wilayah, menjadikannya ciri khas umat terbaik (sebagaimana ditegaskan pula dalam QS. Ali Imran: 110).

Definisi Fungsional dan Prioritas

AMNM bukanlah sekadar anjuran moral, melainkan kewajiban kolektif (Fardhu Kifayah), dan dalam beberapa kasus, bisa menjadi kewajiban individu (Fardhu Ain) jika tidak ada orang lain yang mampu melakukannya. Para ulama tafsir sepakat bahwa penempatan AMNM setelah Wilayah menunjukkan bahwa kegiatan ini hanya dapat dilakukan secara efektif jika didasarkan pada ikatan Wilayah yang kuat, yaitu cinta, kasih sayang, dan dukungan.

Bagaimana AMNM dilakukan?

Pentingnya AMNM diilustrasikan oleh kenyataan bahwa tanpa pengawasan moral timbal balik, masyarakat cenderung tergelincir ke dalam hedonisme dan kezaliman. Ayat ini memberikan tanggung jawab ini kepada seluruh anggota komunitas, bukan hanya kepada pemerintah atau ulama saja. Perempuan mukmin memiliki peran yang sama pentingnya dalam mengawasi lingkungan sosial dan keluarga mereka.

Etika Pelaksanaan AMNM

Melaksanakan AMNM tanpa hikmah justru dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar (mafsadah). Oleh karena itu, para sarjana menekankan prasyarat berikut bagi mereka yang melakukan AMNM:

  1. Ilmu: Harus mengetahui secara pasti mana yang Ma‘ruf dan mana yang Munkar, berdasarkan dalil syar’i, bukan asumsi pribadi.
  2. Kesabaran dan Kelembutan: Harus bersabar menghadapi reaksi dan rintangan.
  3. Ikhlas: Tujuannya harus semata-mata mencari ridha Allah, bukan mencari popularitas atau menjatuhkan orang lain.
  4. Prinsip Menghindari Mafsadah: Jika upaya mencegah kemungkaran kecil justru akan memicu kemungkaran yang lebih besar, maka pendekatan yang lebih lunak harus diterapkan, sesuai kaidah fiqih.

Di era digital, medan tempur AMNM telah meluas. Kini, mencegah kemungkaran juga berarti melawan disinformasi, menyebarkan konten edukatif yang Islami, dan menjaga integritas moral di ruang siber. Ini memerlukan kecerdasan dan adaptasi metode, namun esensi kewajiban dari At-Taubah 71 tetap abadi.

Kegagalan umat Islam dalam melaksanakan Amar Ma‘ruf Nahi Munkar merupakan penyebab utama krisis moral dan hilangnya berkah, karena ketika masyarakat abai terhadap pelanggaran syariat, rahmat Allah cenderung diangkat dari mereka.

Pilar Ketiga: Integrasi Ibadah Individual dan Sosial

Setelah menetapkan kewajiban sosial (Wilayah dan AMNM), Ayat 71 segera menyeimbangkan tuntutan tersebut dengan menegaskan komitmen pada ritual inti: ‘Yūqīmūnaṣ Ṣalāta’ (melaksanakan salat) dan ‘Wa Yu’tūnaz Zakāta’ (menunaikan zakat). Urutan ini sangat instruktif.

1. Iqamatus Salat (Mendirikan Salat)

Salat adalah tiang agama dan koneksi vertikal antara hamba dengan Penciptanya. Penggunaan kata Yuqīmūna (mendirikan, menegakkan) daripada Yashlūna (melakukan salat) menunjukkan bahwa kewajiban ini melampaui gerakan fisik semata. Mendirikan salat berarti melaksanakannya secara konsisten, pada waktunya, dengan tuma'ninah, dan yang terpenting, membiarkan salat tersebut memengaruhi perilaku moral seseorang (seperti yang disebutkan dalam Al-Ankabut: 45, bahwa salat mencegah perbuatan keji dan mungkar).

Dalam konteks Ayat 71, salat adalah sumber daya spiritual yang memungkinkan mukmin melaksanakan AMNM dengan integritas dan tanpa keputusasaan. Tanpa fondasi spiritual yang kuat yang diberikan oleh salat, upaya sosial akan rentan terhadap kelelahan, keangkuhan, atau penyimpangan tujuan.

2. Īta’uz Zakāt (Menunaikan Zakat)

Zakat, setelah salat, adalah kewajiban finansial utama dalam Islam. Jika salat adalah hubungan vertikal, zakat adalah hubungan horizontal, menata ulang keadilan ekonomi dalam masyarakat. Zakat memastikan bahwa kekayaan tidak hanya beredar di antara orang kaya. Dengan menempatkan Zakat di samping AMNM, Al-Qur'an menunjukkan bahwa ketidakadilan ekonomi adalah bentuk kemungkaran yang harus diatasi secara sistematis.

Kedermawanan (kebalikan dari kekikiran kaum munafik di ayat 67) adalah bukti keimanan sejati. Zakat membersihkan harta dan jiwa. Ayat 71 menyiratkan bahwa komunitas mukmin harus memiliki kemandirian finansial dan sistem kesejahteraan sosial yang dibangun di atas prinsip zakat, sedekah, dan wakaf, agar Wilayah mereka benar-benar efektif dan tidak hanya berupa kata-kata.

3. Ketaatan Mutlak (Wa Yuṭī‘ūnal Lāha Wa Rasūlahu)

Semua pilar—Wilayah, AMNM, Salat, dan Zakat—disimpulkan di bawah satu payung: ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah sumber hukum (masdar al-tashri’) bagi semua tindakan yang disebutkan sebelumnya. Ketaatan memastikan bahwa AMNM dilakukan sesuai batas-batas syariat (bukan berdasarkan emosi), dan ibadah ritual dilaksanakan sesuai tuntunan (Sunnah). Ketaatan ini adalah jaminan bahwa komunitas mukmin tidak akan menyimpang dari jalan yang lurus, meskipun tantangan sosial atau budaya berubah.

Relevansi Kontemporer At-Taubah 71: Sebuah Panggilan Global

Meskipun diturunkan pada abad ke-7, pesan Surah At-Taubah Ayat 71 bersifat atemporal dan menawarkan solusi terhadap banyak krisis masyarakat modern, yang sering kali didominasi oleh isolasionisme, apatis moral, dan kesenjangan sosial-ekonomi.

A. Menghadapi Individualisme Ekstrem

Masyarakat modern cenderung mempromosikan individualisme, di mana urusan moral orang lain dianggap bukan urusan kita. Ayat 71 secara keras menolak paham ini. Wilayah (saling melindungi) mengharuskan kita untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan peduli terhadap keadaan spiritual dan fisik tetangga kita, rekan kerja kita, dan sesama anggota komunitas. Keimanan kita diuji, bukan saat kita sendirian di ruang shalat, tetapi saat kita berinteraksi dengan masyarakat dan melihat ketidakadilan atau kemungkaran terjadi.

B. Amar Ma‘ruf Nahi Munkar di Ruang Publik

Di era informasi, AMNM mengambil bentuk baru. Kemungkaran kini dapat berupa penyebaran fitnah, konten pornografi, penipuan finansial online, atau pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan publik oleh pemegang kekuasaan. Melaksanakan AMNM hari ini meliputi:

Tanggung jawab ini jatuh pada semua, termasuk profesional, akademisi, dan seniman Muslim, yang harus memastikan bahwa karya dan profesi mereka selaras dengan konsep Ma‘ruf.

C. Pemberdayaan Mukminah

Ayat 71 adalah piagam kesetaraan fungsional. Dalam Wilayah modern, ini berarti menghilangkan hambatan struktural yang menghalangi perempuan Muslim untuk melaksanakan tanggung jawab AMNM dan Wilayah mereka. Perempuan harus didukung untuk menjadi pemimpin dalam pendidikan, amal, dan pengawasan moral, sesuai dengan batasan syariah. Ketika kedua gender bekerja sama sebagai Auliyā’, kekuatan komunitas menjadi berlipat ganda.

Rahmat Allah tidak akan turun secara penuh kecuali ketika komunitas tersebut secara kolektif berupaya menjaga integritas moralnya, dari yang terkecil hingga yang terbesar, dari yang ritual hingga yang sosial. Inilah janji At-Taubah 71.

Kesinambungan Amal: Siklus Kebaikan yang Tak Terputus

At-Taubah 71 menggambarkan sebuah siklus kebajikan yang saling menguatkan. Wilayah menghasilkan Amar Ma‘ruf, Amar Ma‘ruf mendorong penegakan Salat dan Zakat, dan ketaatan kepada Allah mengukuhkan semua itu. Siklus ini menciptakan ketahanan (resilience) dalam umat.

Kekuatan Salat dalam Aksi Sosial

Salat berfungsi sebagai pengisian ulang baterai spiritual. Seseorang yang secara konsisten berdiri di hadapan Allah lima kali sehari akan sulit untuk bersikap munafik atau malas dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya. Khushu’ (kekhusyukan) dalam salat seharusnya tercermin dalam kejujuran saat berinteraksi dengan sesama. Jika salat seseorang tidak menghasilkan keberanian untuk menasihati saudaranya dari kemungkaran, maka kualitas salatnya perlu dipertanyakan.

Zakat sebagai Pilar Keadilan Berkelanjutan

Zakat dan sedekah bukan sekadar donasi, tetapi mekanisme redistribusi yang bertujuan membasmi akar kemungkaran sosial, yaitu kemiskinan dan ketidakadilan. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi melalui sistem zakat yang efektif, maka individu lebih mampu fokus pada ibadah dan kontribusi sosial mereka, menciptakan masyarakat yang lebih stabil dan kondusif untuk Ma‘ruf.

Para Fuqaha (ahli fiqih) menekankan bahwa sistem Wilayah yang digambarkan di sini berfungsi sebagai sistem kontrol internal terbaik. Masyarakat yang memiliki kesadaran Wilayah tidak membutuhkan pengawasan eksternal yang berlebihan, karena setiap individu telah menjadi pengawas moral bagi dirinya sendiri dan bagi yang lain, didorong oleh cinta dan tanggung jawab, bukan paksaan hukum semata.

Inilah yang dimaksud dengan membangun masyarakat madani yang sejati; masyarakat yang dipimpin oleh prinsip ketaatan dan kasih sayang, bukan hanya oleh undang-undang dan sanksi duniawi.

Penutup: Janji Rahmat Ilahi (Ula’ika Sayarhamuhumullāh)

Ayat 71 ditutup dengan janji yang luar biasa dan meyakinkan: “Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.” (Ula’ika sayarhamuhumullāh). Kata Rahmat (kasih sayang dan belas kasih) dalam Al-Qur'an memiliki arti yang sangat mendalam, mencakup pengampunan di dunia, bimbingan, perlindungan, dan pahala tertinggi di akhirat.

Rahmat sebagai Konsekuensi Logis

Penting untuk dicatat bahwa rahmat ini bukanlah hadiah acak, melainkan konsekuensi yang logis dari pemenuhan semua prasyarat di atas. Ketika mukmin berhasil menyeimbangkan ibadah individual dan kolektif—yakni, mereka saling melindungi, aktif menegakkan kebaikan, menghindari keburukan, menjaga salat, menunaikan zakat, dan taat sepenuhnya—mereka secara otomatis menempatkan diri mereka dalam jalur penerima rahmat Allah.

Rahmat ini tidak hanya bersifat spiritual; ia juga memanifestasikan dirinya dalam bentuk kestabilan sosial, keberkahan ekonomi, dan keamanan kolektif di dunia. Sebuah komunitas yang menerapkan At-Taubah 71 adalah komunitas yang tangguh, adil, dan berdaya.

Penegasan akhir: “Innallāha ‘Azīzun Hakīm” (Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana). Ini mengingatkan kita bahwa janji rahmat ini datang dari Dzat Yang memiliki kekuasaan penuh (Al-’Aziz) untuk mewujudkannya, dan Yang menetapkan hukum-hukum-Nya dengan hikmah (Al-Hakim) yang tak tertandingi. Ketegasan perintah dalam ayat ini diiringi oleh jaminan keberhasilan dari Allah SWT.

Dengan demikian, Surah At-Taubah Ayat 71 adalah panggilan abadi bagi umat Islam untuk merekonstruksi diri mereka sebagai sebuah tubuh yang satu, di mana setiap anggota, laki-laki maupun perempuan, berperan aktif dalam menjamin kebaikan dan mencegah keburukan. Inilah jalan menuju rahmat abadi.

🏠 Homepage