Kerugian Abadi: Analisis Komprehensif Surah At-Taubah Ayat 9
Pendahuluan: Memahami Konteks Surah At-Taubah
Surah At-Taubah, yang merupakan salah satu surah terakhir yang diturunkan, memegang posisi yang sangat penting dalam Al-Qur'an. Berbeda dengan surah-surah lainnya, At-Taubah—yang berarti 'Pengampunan' atau 'Taubat'—dimulai tanpa basmalah. Ini secara tradisional dipahami karena surah ini secara umum mengandung pernyataan perang terhadap kaum musyrikin yang melanggar perjanjian dan, yang lebih relevan untuk pembahasan kita, mengungkap secara tajam dan terperinci sifat-sifat kaum munafik (hipokrit) di Madinah.
Ayat-ayat dalam At-Taubah tidak hanya berbicara tentang perjuangan fisik di medan perang, tetapi juga tentang perjuangan moral dan spiritual dalam komunitas Muslim. Kaum munafik adalah ancaman yang jauh lebih berbahaya daripada musuh yang terbuka, karena mereka bersembunyi di balik jubah keimanan sambil merusak sendi-sendi masyarakat dari dalam. Ayat 9 dari surah ini adalah salah satu teguran paling keras yang ditujukan kepada kelompok yang telah memilih kerugian abadi demi keuntungan sementara.
Kajian mendalam terhadap At-Taubah 9 memaksa kita untuk merenungkan nilai sejati dari keimanan dan bahaya absolut dari menukar hakikat kebenaran Ilahi dengan harga yang paling rendah: harta, status, atau kenyamanan duniawi yang fana. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan universal, melampaui konteks sejarah Madinah, menjangkau setiap jiwa yang tergoda untuk mengkompromikan prinsip-prinsip agamanya.
Teks Ayat 9 dan Terjemahan Literal
Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit (murah), lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. (Q.S. At-Taubah: 9)
Ayat ini adalah deskripsi ringkas namun padat mengenai transaksi spiritual yang dilakukan oleh kaum munafik atau orang-orang yang lemah imannya. Terdapat tiga elemen kunci dalam ayat ini yang perlu diuraikan secara detail untuk mencapai pemahaman yang komprehensif mengenai kedalaman peringatan ini.
Tiga Pilar Kerusakan dalam At-Taubah 9:
- Transaksi yang Buruk: Menukar Ayat Allah.
- Harga yang Diperoleh: *Thamana Qalila* (Harga Murah).
- Konsekuensi Fatal: *Fashaddu 'an Sabilih* (Menghalangi Jalan Allah).
Analisis Linguistik dan Tafsir (Kata Per Kata)
1. Isytarau (اشْتَرَوْا): Konsep Menjual dan Menukar
Kata kerja *Isytarau* diterjemahkan sebagai 'mereka menukar' atau 'mereka membeli'. Dalam konteks Al-Qur'an, pembelian spiritual tidak selalu merujuk pada transaksi moneter, tetapi lebih kepada pertukaran nilai. Ketika seseorang ‘membeli’ sesuatu, ia memberikan sesuatu yang ia miliki (modal, dalam hal ini iman atau kepatuhan pada ayat) untuk mendapatkan sesuatu yang lain (keuntungan duniawi).
A. Menukar Keimanan dengan Kehilangan
Para mufassir menjelaskan bahwa penggunaan kata ‘membeli’ di sini sangat retoris. Itu menunjukkan bahwa kebenaran (ayat-ayat Allah) berada dalam genggaman mereka, namun mereka secara sadar melepaskannya demi sesuatu yang nilainya jauh lebih rendah. Tindakan ini adalah tindakan akal yang sangat buruk, seolah-olah mereka adalah pedagang yang sengaja memilih kerugian besar. Imam Ar-Razi, dalam tafsirnya, menekankan bahwa pilihan ini menunjukkan kebodohan dan kegelapan hati, karena mereka memandang yang fana sebagai yang kekal.
Transaksi ini melibatkan pemalsuan komitmen. Mereka mungkin secara lahiriah mengaku beriman, tetapi hati mereka telah menukar kebenaran itu dengan pengakuan palsu demi kepentingan duniawi. Ini adalah karakteristik utama dari *Nifaq* (kemunafikan).
2. Bi-Aayaatillah (بِآيَاتِ اللَّهِ): Nilai yang Ditukar
‘Ayat-ayat Allah’ merujuk pada wahyu, hukum, janji, dan peringatan Allah SWT. Nilai dari Ayat-ayat Allah adalah tak terbatas; ia adalah panduan menuju keselamatan abadi. Ayat-ayat ini mencakup seluruh ajaran agama, mulai dari tauhid hingga perintah-perintah moral dan sosial.
A. Ayat Allah yang Dijual
Apa yang ‘dijual’ oleh kaum munafik? Mereka menjual:
- Hukum Syariat: Mereka mengabaikan atau memutarbalikkan hukum demi kepentingan politik atau sosial.
- Kebenaran Ajaran: Mereka menyembunyikan kebenaran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW agar tidak kehilangan popularitas atau kekayaan mereka.
- Janji dan Peringatan: Mereka meragukan janji surga dan peringatan neraka, sehingga mereka berani melakukan dosa secara terbuka maupun tersembunyi.
Setiap kali seseorang memilih untuk tidak menjalankan perintah Allah demi menjaga hubungan bisnis yang haram, atau memilih menipu demi mendapatkan jabatan, ia sedang melakukan transaksi yang dijelaskan dalam At-Taubah 9. Mereka menelanjangi ayat-ayat tersebut dari otoritas dan kesuciannya, menjadikannya komoditas yang bisa diperjualbelikan.
3. Thamanan Qalila (ثَمَنًا قَلِيلًا): Harga yang Rendah
A. Definisi 'Harga yang Sedikit'
Ini adalah inti dari teguran ini. Harga yang mereka terima bersifat *qalil* (sedikit, rendah, murah). Para ulama sepakat bahwa apa pun bentuk keuntungan duniawi—kekayaan, kekuasaan, reputasi, pujian, atau keamanan sementara—jika ditukar dengan keimanan dan ketaatan kepada Allah, maka nilainya secara mutlak adalah 'sedikit' dan tidak berarti.
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa harga duniawi disebut sedikit karena dua alasan:
- Sifatnya Fana: Kehidupan duniawi itu sementara, sedangkan ayat-ayat Allah membawa pada kebahagiaan abadi. Perbandingan antara yang fana dan yang abadi membuat nilai dunia otomatis menjadi nihil.
- Kurangnya Keberkahan: Keuntungan yang didapat melalui pengkhianatan terhadap kebenaran tidak akan membawa keberkahan dan hanya akan berakhir pada penyesalan dan azab yang panjang.
Harga yang sedikit ini bisa berupa uang receh bagi pengkhotbah yang memutarbalikkan ajaran, atau bisa berupa kekuasaan absolut bagi pemimpin yang mengesampingkan keadilan. Baik itu sedikit uang atau kekuasaan besar, di hadapan keagungan Allah, itu tetaplah *thamana qalila*.
Dampak Jangka Panjang: Fashaddu 'An Sabilih
1. Menghalangi Jalan Allah (فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ)
Konsekuensi dari ‘menjual’ ayat Allah bukan hanya kerugian pribadi, tetapi juga kerusakan sosial. Mereka tidak hanya tersesat sendiri, tetapi juga aktif ‘menghalangi’ (sadda) orang lain dari Jalan Allah (Islam, kebenaran, ketaatan).
Tindakan menghalangi ini memiliki dua dimensi utama:
A. Hambatan Aktif (Tindakan Terencana)
Kaum munafik secara aktif menyebarkan keraguan, kebohongan, dan fitnah. Mereka menggunakan keuntungan duniawi yang mereka peroleh dari pengkhianatan untuk menciptakan hambatan logistik, politik, dan psikologis bagi orang-orang yang ingin mengikuti kebenaran. Mereka mungkin memimpin dengan contoh yang buruk, membuat Islam terlihat tidak menarik atau bahkan represif, sehingga menjauhkan orang-orang yang mencari kebenaran.
B. Hambatan Pasif (Contoh Buruk)
Bahkan tanpa perencanaan jahat, kemunafikan mereka secara otomatis menghalangi orang lain. Ketika orang melihat seseorang yang mengaku beriman namun hidup dalam kecurangan, kerakusan, dan ketidakadilan, mereka akan meragukan kebenaran agama itu sendiri. Kehidupan munafik menjadi batu sandungan besar bagi dakwah. Ketika orang yang seharusnya menjadi teladan keimanan justru menukar integritasnya dengan harga murah, pesan kebenaran menjadi kabur dan diragukan.
Kerugian ini bersifat ganda: mereka merusak diri sendiri dan mereka merusak orang lain. Oleh karena itu, Allah SWT menyebut tindakan mereka sebagai sesuatu yang “amat buruklah” (*saa’a maa kaanuu ya’maluun*).
Alt Text: Ilustrasi timbangan yang tidak seimbang, menunjukkan sisi "Dunia Fana" (Harga Murah) lebih berat dan menekan ke bawah dibandingkan sisi "Kebenaran" (Ayat Allah), melambangkan kerugian spiritual yang dijelaskan dalam At-Taubah 9.
2. Konsekuensi Akhirat: Saa’a Maa Kaana Ya’maluun (Amat Buruk Perbuatan Mereka)
Pernyataan penutup ini adalah vonis Ilahi. Perbuatan mereka bukan hanya buruk, tetapi ‘amat buruk’ atau ‘seburuk-buruknya perbuatan’. Ini mengindikasikan bahwa hukuman mereka akan setimpal dengan kerusakan ganda yang mereka timbulkan: kerusakan terhadap diri sendiri (pengkhianatan iman) dan kerusakan terhadap orang lain (menghalangi jalan Allah).
Dalam konteks Surah At-Taubah secara keseluruhan, vonis ini sering dikaitkan dengan janji azab yang pedih, termasuk tempat terburuk di neraka, yang secara spesifik disiapkan bagi mereka yang mengaku beriman namun hatinya penuh dengan kemunafikan dan pengkhianatan.
At-Taubah 9 dalam Konteks Modern: Nifaq Kontemporer
Prinsip yang terkandung dalam At-Taubah 9 tidak terbatas pada kaum munafik di Madinah. Ayat ini relevan bagi setiap individu dan institusi di era modern. Pertanyaannya adalah: Hari ini, apa yang kita ‘jual’ dan apa ‘harga murah’ yang kita dapatkan?
1. Munafik Dalam Ranah Politik dan Kekuasaan
Di era modern, godaan untuk menukar ayat-ayat Allah dengan harga murah seringkali terwujud dalam ranah politik. Seorang pemimpin atau pejabat mungkin menukar prinsip keadilan yang diamanatkan agama (ayat-ayat Allah) demi mempertahankan jabatannya atau mendapatkan dukungan finansial (harga murah).
- Kompromi Moral: Mengeluarkan atau mendukung kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran moral agama demi popularitas sesaat.
- Korupsi: Tindakan korupsi adalah contoh klasik menukar amanah Ilahi (kewajiban melayani rakyat dengan adil) dengan kekayaan pribadi yang fana. Ini adalah menjual ayat Allah dengan harga paling rendah.
- Menyesatkan Massa: Menggunakan retorika agama palsu untuk membenarkan ketidakadilan, yang secara efektif menghalangi orang lain dari memahami esensi keadilan Islam yang sejati.
2. Munafik Dalam Ranah Ekonomi dan Bisnis
Dalam sistem kapitalis yang kompetitif, banyak yang tergoda untuk mengesampingkan etika Islam (Ayat Allah) demi keuntungan finansial cepat (Harga Murah). Praktik riba, penipuan (ghish), manipulasi pasar, dan eksploitasi buruh adalah manifestasi kontemporer dari transaksi yang dikutuk dalam ayat ini. Mereka menukar keberkahan abadi dengan keuntungan material yang hanya bertahan sekejap.
3. Munafik Dalam Ranah Intelektual dan Dakwah
Golongan ini adalah yang paling sensitif terhadap peringatan At-Taubah 9. Para ulama, cendekiawan, atau pendakwah yang memutarbalikkan interpretasi Al-Qur'an dan Sunnah untuk menyenangkan penguasa, mendapatkan sumbangan, atau menjaga basis penggemar mereka, sedang menjual ayat-ayat Allah. Mereka menggunakan lidah dan pengetahuan mereka untuk menyesatkan, bukannya membimbing. Harga murah yang mereka dapatkan adalah status sosial, popularitas, atau kenyamanan finansial. Kerusakan yang mereka timbulkan sangat besar karena mereka menyesatkan banyak orang (*fashaddu ‘an sabilih*).
Setiap pendakwah yang menahan kritik terhadap ketidakadilan atau memuji kezaliman demi mempertahankan posisinya sedang melakukan transaksi yang dilarang. Mereka menukar kewajiban Ilahi untuk menyerukan kebenaran (*al-haqq*) dengan harga yang sangat kecil.
4. Nifaq Personal (Kehidupan Sehari-hari)
Bahkan pada tingkat individu, ayat ini relevan. Misalnya, seseorang yang meninggalkan shalat demi menonton pertandingan olahraga, atau seseorang yang berbohong demi menghindari hukuman kecil. Dalam skala yang lebih kecil, setiap pilihan yang menempatkan kesenangan instan (harga murah) di atas ketaatan kepada Allah (ayat Allah) adalah refleksi dari prinsip yang diuraikan dalam ayat ini.
Ini adalah peperangan spiritual yang harus dihadapi setiap Muslim: membedakan antara nilai yang sejati dan abadi (akhirat) dengan nilai yang semu dan fana (dunia). Kaum munafik adalah mereka yang gagal dalam peperangan penilaian ini.
Kontras Nilai: Menimbang Kerugian dan Keuntungan
1. Konsep Perdagangan Terbaik (Tijarah)
Untuk memahami betapa buruknya transaksi dalam At-Taubah 9, kita harus membandingkannya dengan konsep 'perdagangan yang menyelamatkan' (*tijarah lan tabuur*) yang sering disebut dalam Al-Qur'an. Allah menawarkan perdagangan terbaik: menukar harta dan jiwa di jalan-Nya untuk mendapatkan surga. Transaksi ini adalah keuntungan mutlak.
Sebaliknya, transaksi kaum munafik adalah perdagangan terburuk: mereka menukar potensi surga (yang diperoleh melalui ketaatan kepada ayat Allah) dengan puing-puing dunia yang sebentar. Mereka memilih kerugian total (*al-khasarah al-mubin*).
A. Perspektif Keabadian
Jika kita mengukur kehidupan dunia dalam skala waktu kosmik atau keabadian, bahkan harta terbesar di dunia ini tidak lebih dari sebutir debu. Ayat ini mengajarkan perspektif abadi. Kerugian yang disebabkan oleh penukaran itu bukan kerugian sementara, melainkan kerugian abadi yang tidak dapat ditebus.
2. Membela Kehormatan Ayat Allah
Ayat At-Taubah 9 secara implisit menuntut umat Islam untuk menjaga kehormatan dan keagungan wahyu Ilahi. Ayat-ayat Allah adalah pedoman, bukan alat tawar-menawar. Keimanan sejati mengharuskan kita untuk mempertahankan ajaran Ilahi bahkan ketika itu bertentangan dengan kepentingan pribadi, kenyamanan, atau tekanan sosial.
Menjual ayat Allah menunjukkan rendahnya penghargaan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak melihat ayat-ayat sebagai harta yang paling berharga, melainkan sebagai beban atau alat yang dapat dikorbankan ketika menghadapi kesulitan atau peluang duniawi.
Maka, solusi atas kerugian yang digambarkan dalam ayat ini adalah peningkatan kesadaran spiritual (tazkiyatun nafs) dan pemahaman mendalam bahwa harga akhirat jauh lebih unggul dan abadi daripada harga duniawi yang sementara dan rendah.
Korelasi dengan Ayat-Ayat Mengenai Kemunafikan
Peringatan dalam At-Taubah 9 diperkuat oleh ayat-ayat lain, terutama dalam Surah Al-Baqarah dan Surah An-Nisa, yang juga membahas transaksi spiritual yang merugikan:
1. Al-Baqarah Ayat 16: Pembelian Kesesatan
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan meninggalkan petunjuk; maka perdagangan mereka itu tidak beruntung, dan mereka tidak mendapat petunjuk.
Ayat ini memiliki kemiripan struktur linguistik dengan At-Taubah 9, sama-sama menggunakan konsep 'pembelian' (*ishtara*). Perbedaannya, Al-Baqarah 16 berbicara tentang membeli kesesatan, sementara At-Taubah 9 secara spesifik menunjuk pada transaksi menukar 'Ayat Allah' dengan 'harga sedikit' dan dampaknya yaitu menghalangi orang lain.
2. An-Nisa Ayat 145: Tempat Terbawah Neraka
Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.
Ayat ini menjelaskan konsekuensi dari keburukan yang disebut di akhir At-Taubah 9 (*saa’a maa kaanuu ya’maluun*). Karena kerugian mereka tidak hanya bersifat pribadi tetapi juga sosial (menghalangi Jalan Allah), hukuman mereka menjadi yang paling berat. Tindakan mereka merusak fondasi komunitas, sehingga mereka layak mendapat hukuman terberat di tingkat neraka yang paling bawah.
Korelasi ayat-ayat ini menunjukkan bahwa menjual kebenaran dengan harga duniawi adalah kejahatan spiritual yang sangat serius, karena ia mencerminkan pengkhianatan ganda: pengkhianatan terhadap Allah dan pengkhianatan terhadap umat.
Implikasi Praktis dan Jalan Keluar dari Transaksi Buruk
1. Membangun Ketahanan Spiritual (*Istiqamah*)
Jalan keluar dari godaan *thamana qalila* adalah dengan memupuk *istiqamah* (keteguhan hati). Istiqamah berarti memilih kebenaran dan ketaatan dalam segala kondisi, bahkan ketika biaya duniawinya tinggi (kehilangan pekerjaan, dikucilkan, diejek).
Seorang Muslim yang memahami ajaran At-Taubah 9 harus secara terus-menerus mengevaluasi motifnya: Apakah tindakan ini didorong oleh ketaatan murni kepada Allah, atau apakah ada motif terselubung untuk mendapatkan pengakuan, harta, atau kekuasaan? Ketulusan (Ikhlas) adalah benteng pertahanan utama melawan kemunafikan.
2. Penilaian Ulang Terhadap Dunia (*Zuhud*)
Prinsip zuhud (hidup sederhana, tidak terikat pada dunia) bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan meletakkannya pada proporsi yang benar. Ketika dunia ditempatkan di tangan, bukan di hati, maka godaan 'harga murah' menjadi tidak signifikan. Seseorang tidak akan menjual Ayat Allah jika ia telah menyadari bahwa kenikmatan dunia adalah ilusi dibandingkan dengan kebahagiaan abadi.
Zuhud membantu seorang Muslim untuk mengenali *thamana qalila* sebagai apa adanya—sesuatu yang remeh, sementara, dan tidak layak dipertukarkan dengan kebenaran mutlak.
3. Peran Tanggung Jawab Sosial
Karena konsekuensi dari transaksi buruk ini adalah *fashaddu ‘an sabilih* (menghalangi jalan Allah), maka solusi praktisnya adalah menjadi agen yang justru ‘membuka’ dan ‘memudahkan’ jalan Allah bagi orang lain.
- Menjadi Teladan: Praktik Islam yang otentik dan beretika dalam kehidupan sehari-hari (bisnis, politik, interaksi sosial) adalah cara terbaik untuk menunjukkan keindahan ajaran Islam, sehingga menarik orang lain kepada kebenaran, bukan menjauhkannya.
- Amar Ma'ruf Nahi Munkar: Melawan penyimpangan dan kemunafikan, baik di tingkat individu maupun institusional, adalah kewajiban untuk memastikan Jalan Allah tetap jelas dan bebas dari hambatan yang diciptakan oleh mereka yang telah menjual kebenaran.
Ayat 9 dari Surah At-Taubah adalah cermin yang sangat tajam. Ia memaksa setiap mukmin untuk bertanya: Apa harga yang bersedia kita bayar untuk mempertahankan keimanan kita? Dan apakah kita, melalui kompromi kita, secara tidak sadar sedang menghalangi orang lain dari kebenaran?
Penutup: Peringatan yang Abadi
Peringatan keras dalam Surah At-Taubah ayat 9 adalah panggilan untuk introspeksi mendalam mengenai nilai-nilai yang kita junjung. Ayat ini mengajarkan bahwa pengkhianatan terhadap ajaran Ilahi (ayat-ayat Allah) demi mendapatkan sekeping dunia yang fana (harga murah) menghasilkan kerugian yang tidak terhitung: tidak hanya kerugian spiritual pribadi, tetapi juga menyebabkan kerusakan besar dalam komunitas dengan menghalangi jalan hidayah bagi orang lain.
Setiap Muslim harus waspada terhadap godaan *thamana qalila* dalam setiap aspek kehidupan, apakah itu berupa pujian palsu, keuntungan finansial haram, atau mempertahankan kekuasaan dengan mengorbankan keadilan. Hanya dengan memegang teguh nilai abadi dari kebenaran Ilahi, dan menolak godaan harga duniawi yang rendah, kita dapat memastikan diri kita berada di antara mereka yang beruntung, yang perdagangannya (iman) adalah perdagangan yang menyelamatkan, bukan perdagangan yang merugikan. Inilah esensi abadi dari pesan yang terkandung dalam At-Taubah 9.
Ketegasan At-Taubah 9 memastikan bahwa tidak ada ruang abu-abu dalam masalah prinsip: pilihan yang diambil oleh individu yang menukar kebenaran akan membawa mereka pada vonis "amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu," menjamin hukuman yang setimpal dan abadi. Ayat ini adalah fondasi etika dan moral yang harus dipegang teguh oleh setiap orang yang mengaku beriman, demi menjaga kemurnian hati dan keberkahan Jalan Allah.
Kejujuran dan integritas yang ditekankan oleh ayat ini adalah penawar utama bagi penyakit kemunafikan. Jika seorang Muslim selalu berpegangan pada kebenaran, bahkan di bawah tekanan terberat, ia telah memenangkan pertempuran melawan harga murah dunia. Kerugian yang disebabkan oleh kompromi sesaat itu tidak sebanding dengan satu pun detik kebahagiaan abadi yang dijanjikan Allah bagi mereka yang teguh dalam keimanan mereka.
Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran tidak pernah boleh dinegosiasikan. Ketika ajaran Allah dijadikan alat untuk mencapai tujuan duniawi, maka penggunanya telah menempatkan dirinya dalam kategori yang paling dicela, karena mereka bukan hanya pengkhianat iman, tetapi juga penghalang hidayah. Marilah kita terus merenungkan peringatan ini dan memastikan bahwa hati kita senantiasa menghargai ayat-ayat Allah di atas segala hal yang fana di dunia ini. Pengorbanan apapun demi kebenaran adalah investasi abadi, dan keuntungan duniawi apapun yang diperoleh dengan mengorbankan kebenaran adalah kerugian yang tidak terperikan.
Analisis mendalam ini mengajak kita kembali ke fondasi keimanan: prioritas mutlak terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Tidak ada jabatan, kekayaan, atau pujian yang layak dipertukarkan. Setiap langkah ketaatan adalah kemenangan atas godaan *thamana qalila*, dan setiap kompromi adalah langkah menuju kehancuran yang ditunjukkan dalam ayat ini. Ini adalah pelajaran terpenting dari Surah At-Taubah: kejujuran yang menembus ke dalam hati adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan sejati.
Ayat ini juga menjadi pengingat bagi seluruh umat manusia bahwa pertimbangan nilai harus selalu berdasarkan pada keabadian. Mereka yang memiliki pandangan picik dan hanya berorientasi pada keuntungan sesaat dunia pasti akan jatuh ke dalam perangkap menukar kemuliaan abadi dengan kesenangan fana. Keburukan perbuatan mereka (*saa’a maa kaanuu ya’maluun*) adalah hasil logis dari kesepakatan spiritual yang mereka buat, di mana mereka menjual yang paling berharga dengan harga yang paling rendah. Semoga Allah melindungi kita dari godaan nifaq dan harga murah dunia.