Kajian Mendalam At-Taubah 65-66: Batasan Keimanan dan Bahaya Istihza' (Meremehkan)

Mukadimah: Pentingnya Surah At-Taubah

Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki karakteristik yang unik dan tegas. Surah ini diturunkan pada periode akhir kenabian, pasca peristiwa Fathu Makkah, di tengah persiapan menghadapi ekspedisi Tabuk. Oleh karena itu, Surah At-Taubah sering disebut sebagai pembuka tabir, yang menyingkap secara eksplisit wajah-wajah kemunafikan yang selama ini tersembunyi di tengah komunitas Muslim Madinah. Konten surah ini sangat keras dan lugas, membahas ketaatan penuh, jihad, dan pemisahan yang jelas antara kaum Mukminin sejati dengan kaum Munafiqin. Ayat 65 dan 66 adalah jantung dari penyingkapan ini, menetapkan standar keimanan yang tidak dapat ditawar dan memperingatkan terhadap dosa lisan yang paling merusak.

Dua ayat ini membahas secara spesifik insiden ejekan dan tawa yang dilakukan oleh sekelompok orang munafik terhadap Rasulullah ﷺ dan para sahabat dalam perjalanan menuju Tabuk. Peristiwa ini bukan sekadar gosip ringan atau humor yang salah waktu, melainkan demonstrasi nyata dari ketidakpercayaan dan kekosongan spiritual di dalam hati mereka. Allah SWT, melalui firman-Nya, memberikan hukuman yang tidak hanya bersifat duniawi tetapi juga menetapkan status keimanan mereka yang sangat serius. Pemahaman mendalam terhadap At-Taubah 65-66 adalah kunci untuk menjaga kemurnian aqidah dan menghindari jebakan lisan yang dapat membatalkan seluruh amal.

Tafsir Ayat 65 dan 66

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (At-Taubah: 65)

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang berdosa. (At-Taubah: 66)

A. Ayat 65: Objek Istihza' yang Fatal

Ayat 65 merupakan pertanyaan retorik yang penuh ketegasan dan penghinaan. Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bertanya langsung kepada para pelaku ejekan tersebut. Pertanyaan ini menunjukkan betapa besar dan fundamentalnya kesalahan yang mereka perbuat. Istihza' (olok-olok, cemoohan, atau meremehkan) yang mereka lakukan diarahkan pada tiga pilar utama agama:

  1. Allah (Tuhan Yang Maha Esa): Mengolok-olok Zat Allah atau sifat-sifat-Nya adalah puncak dari kekufuran. Keagungan Allah tidak dapat dijadikan bahan candaan. Ejekan terhadap perintah atau larangan-Nya secara tidak langsung berarti meremehkan Dzat yang mengeluarkan perintah tersebut.
  2. Ayat-ayat-Nya (Wahyu dan Hukum): Ini mencakup Al-Qur'an, sunnah, dan seluruh syariat yang diwahyukan. Meremehkan ajaran agama, baik itu kewajiban shalat, puasa, atau konsep akhirat, menunjukkan bahwa mereka tidak menghargai sumber petunjuk ilahi. Ayat-ayat Allah adalah pembeda antara kebenaran dan kebatilan, dan menjadikannya bahan tertawaan adalah indikasi penolakan.
  3. Rasul-Nya (Utusan dan Pembawa Risalah): Rasulullah Muhammad ﷺ adalah perwujudan ajaran dan teladan sempurna. Meremehkan beliau, kepemimpinan beliau, atau bahkan penampilan fisik beliau (seperti yang terjadi dalam insiden Tabuk, di mana mereka mengolok-olok para penghafal Al-Qur'an) sama saja meremehkan misi kerasulan secara keseluruhan. Ketaatan kepada Rasul adalah ketaatan kepada Allah, sehingga mencela Rasul adalah mencela Dzat yang mengutusnya.

Penyebutan ketiga pilar ini secara berurutan menunjukkan bahwa meremehkan salah satu dari ketiganya sudah cukup fatal. Keimanan yang benar menuntut pengagungan total terhadap Allah, wahyu-Nya, dan utusan-Nya. Tidak ada ruang abu-abu atau kompromi dalam hal ini. Jika hati seseorang masih bisa menertawakan pilar-pilar ini, maka keimanan yang diklaimnya hanyalah topeng lahiriah belaka.

B. Ayat 66: Verdict dan Konsekuensi

Ayat 66 adalah penutup yang sangat keras dan mendalam, merobohkan seluruh dalih dan alasan yang mungkin mereka ajukan. Allah berfirman: "Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman."

Ini adalah pengadilan ilahi yang tidak bisa diganggu gugat. Pengakuan keimanan mereka dibatalkan secara mutlak karena perbuatan *istihza'* tersebut. Para ulama tafsir menegaskan bahwa meskipun ejekan itu dilakukan hanya secara lisan dan mungkin dengan niat yang dianggap remeh oleh pelakunya, dampak spiritualnya adalah *kufr* (kekafiran) karena ia menghancurkan pengagungan (ta'zhim) yang wajib dimiliki oleh seorang mukmin terhadap simbol-simbol suci.

Lafaz "قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ" (kamu telah kafir sesudah beriman) menunjukkan bahwa:

  1. Mereka sebelumnya dianggap beriman (minimal secara lahiriah, atau mereka mengklaimnya).
  2. Perbuatan *istihza'* ini menjadi batas pemisah yang mutlak, memindahkan mereka dari status beriman ke status kafir.
  3. Niat mereka (bahwa mereka hanya bergurau atau ingin menghilangkan kebosanan) tidak diterima sebagai pembelaan, karena inti dari perbuatan tersebut menunjukkan penolakan batin terhadap kebenaran.

Ayat ini kemudian memberikan ruang bagi Rahmat Allah dengan membagi kaum munafik menjadi dua kelompok:

"Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang berdosa."

Pembagian ini merujuk pada beberapa interpretasi:

Konteks Historis: Ekspedisi Tabuk

Ayat 65 dan 66 diturunkan dalam konteks yang sangat menantang, yaitu Ekspedisi Tabuk. Ini adalah ekspedisi militer ke utara untuk menghadapi pasukan Romawi, yang merupakan perjalanan panjang, berat, di tengah musim panas, dan memerlukan pengorbanan besar. Kondisi yang sulit ini menjadi penguji keimanan sejati.

Para munafik (Munafiqun) yang tergabung dalam rombongan Nabi ﷺ atau yang awalnya berniat ikut, mulai mencari cara untuk merusak moral kaum Mukminin. Dalam salah satu riwayat, ketika mereka sedang beristirahat, sekelompok munafik mulai berbicara di antara mereka. Mereka mengolok-olok para penghafal Al-Qur'an (seperti Ibnu Mas’ud dan lainnya) yang mereka sebut sebagai orang-orang rakus dan penakut, dan mengolok-olok Rasulullah ﷺ, seolah-olah beliau tidak akan pernah mampu menaklukkan benteng-benteng Romawi yang kokoh.

Ejekan ini bocor kepada Rasulullah ﷺ. Ketika beliau memanggil mereka, mereka mencoba berdalih bahwa mereka hanya berbicara santai untuk ‘menghilangkan kepenatan perjalanan’. Jawaban Allah melalui wahyu ini menegaskan bahwa tidak ada alasan yang dapat membenarkan ejekan terhadap agama. Allah tidak menerima alasan "kami hanya bercanda." Kedudukan Allah, wahyu, dan Rasul jauh di atas bahan gurauan.

Simbol Bahaya Istihza': Lidah dan Timbangan Iman Sebuah ilustrasi yang menggambarkan lidah yang mengeluarkan kata-kata ringan namun membebani timbangan keimanan. IMAN

Ilustrasi timbangan yang miring, menunjukkan bahwa ejekan (istihza') sekecil apapun memiliki beban kekafiran yang melebihi klaim keimanan.

Kisah ini menegaskan bahwa kemunafikan bukanlah sekadar ketidakmauan berjuang, tetapi lebih parah, ia adalah tindakan internal yang merusak martabat Islam. Ayat ini menjadi dasar fiqih yang penting: Perkataan yang meremehkan syariat adalah pembatal keislaman (nawaqidul Islam), terlepas dari niat candaan yang mendasarinya.

Implikasi Teologis dan Fiqih Kekafiran

A. Konsep Al-Kufr Ba’da Al-Iman (Kekafiran Setelah Keimanan)

Titik sentral dalam At-Taubah 66 adalah penetapan status *kufr* setelah adanya *iman*. Dalam ilmu tauhid, ini dikenal sebagai kekafiran akidah yang keluar dari millah (agama). Kekafiran di sini terjadi bukan karena penolakan terhadap eksistensi Tuhan, melainkan karena perusakan fundamental terhadap sikap pengagungan dan penghormatan yang mutlak.

Iman tidak hanya sekadar pengucapan dua kalimat syahadat. Iman adalah pengakuan dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pembuktian dengan amal. Ketika seseorang menjadikan Allah, ayat-ayat-Nya, atau Rasul-Nya sebagai bahan cemoohan, hati mereka telah kehilangan unsur pembenaran (tashdiq) dan pengagungan (ta'zhim). Tindakan ini adalah manifestasi kebencian atau ketidakpedulian yang secara hakiki bertentangan dengan iman.

Jelasnya, tindakan meremehkan ini menunjukkan bahwa hati pelakunya tidak memiliki rasa gentar (khashyah) atau penghormatan (ihstiram) terhadap yang Maha Suci. Mereka tidak menempatkan agama di posisi yang semestinya. Oleh karena itu, klaim keimanan mereka menjadi batal demi hukum syar’i.

B. Nifaq dan Dosa Lisan

Ayat ini adalah pelajaran tentang bahaya dosa lisan, khususnya yang bersumber dari penyakit *nifaq* (kemunafikan). Kemunafikan adalah penyakit yang lebih berbahaya daripada kekafiran terbuka karena ia menyamar sebagai keimanan, merusak dari dalam. Kaum munafik memiliki ciri khas yaitu selalu mencoba mencari celah untuk merusak atau meremehkan perintah agama. Dosa lisan ini seringkali dianggap remeh oleh manusia, padahal ia dapat menjerumuskan ke dalam neraka. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang tidak ia pedulikan, yang karenanya ia tergelincir ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat." Ayat 65-66 memberikan contoh konkret tentang kalimat mana yang dapat membatalkan iman.

Bahaya yang dibawa oleh kaum munafik adalah kontradiksi antara hati dan lidah. Mereka mengklaim keimanan, tetapi hati mereka dipenuhi keraguan dan penolakan. Ejekan adalah katarsis bagi keraguan internal ini. Ketika mereka berolok-olok, mereka sedang melegitimasi penolakan batiniah mereka terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.

C. Batasan Taubat dalam Kekafiran Lisan

Ayat 66 memberikan harapan, yaitu pemisahan antara yang diampuni dan yang diazab. Ini menegaskan bahwa pintu taubat tetap terbuka, bahkan setelah melakukan kekafiran melalui lisan (jika mereka benar-benar tulus kembali). Namun, taubatnya haruslah taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh), yang mencakup penyesalan mendalam, berhenti dari perbuatan dosa, dan bertekad tidak mengulanginya lagi, serta memperbaharui syahadat dan keislaman mereka.

Golongan yang diazab adalah mereka yang kekufuran lisannya diikuti oleh penolakan batin dan keengganan untuk mengakui kesalahan. Mereka mungkin mengajukan seribu alasan palsu untuk menghindari hukuman di dunia, namun hati mereka tetap kotor. Allah tahu mana permintaan maaf yang tulus dan mana yang hanya dalih politis agar tidak dihukum oleh komunitas Muslim.

Relevansi Ayat di Era Modern dan Media Sosial

Meskipun ayat ini turun dalam konteks sejarah Perang Tabuk, hukum dan peringatan yang dikandungnya bersifat abadi dan relevan, terutama di era modern yang penuh dengan gurauan dan satire tanpa batas. Media sosial, platform komedi, dan budaya internet yang serba cepat seringkali menjadi lahan subur bagi *istihza'* yang berkedok humor.

Saat ini, meremehkan agama bisa berwujud berbagai macam, yang seringkali dianggap 'ringan':

Prinsip yang ditekankan oleh At-Taubah 65-66 adalah: Sakralitas tidak dapat dipertaruhkan demi komedi. Niat baik 'hanya bercanda' tidak diterima ketika objek yang diolok-olok adalah Dzat Yang Maha Suci, wahyu-Nya, atau utusan-Nya. Seorang Mukmin sejati akan selalu menjaga lidahnya dan tidak akan pernah merasa nyaman melihat simbol-simbol agamanya dinodai, apalagi menjadi pelakunya.

Peringatan ini menjadi lebih penting di zaman di mana penyebaran konten meremehkan sangatlah cepat. Satu kalimat di media sosial yang mengandung *istihza'* bisa disebarkan oleh ribuan orang, menjebak banyak individu dalam kekafiran yang tidak disadari. Oleh karena itu, setiap Muslim wajib memiliki filter yang ketat dalam berkomunikasi, memastikan bahwa tidak ada gurauan yang melanggar batas pengagungan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Prinsip Ta’zhim (Pengagungan) dalam Aqidah

At-Taubah 65-66 bukan hanya tentang larangan mencela, tetapi tentang penegasan prinsip akidah fundamental yang disebut Ta’zhim, yaitu pengagungan total. Iman yang sahih menuntut agar Allah, Rasul, dan wahyu-Nya ditempatkan pada posisi tertinggi, di atas segala hal di dunia ini. Ketika pengagungan ini hilang, keimanan pun runtuh.

Pengagungan ini harus meliputi tiga dimensi:

1. Ta’zhim Al-Ilahiyah (Pengagungan Ketuhanan): Meyakini bahwa Allah SWT adalah sumber segala kebenaran, keindahan, dan kekuasaan. Ini berarti menerima seluruh nama dan sifat-Nya tanpa penolakan, perumpamaan, atau pengejekan.

2. Ta’zhim Ar-Risalah (Pengagungan Kerasulan): Menghormati Rasulullah ﷺ sebagai penyampai wahyu yang maksum (terjaga dari dosa) dan teladan utama. Penghormatan ini mencakup menghidupkan sunnah beliau dan menghindari segala bentuk penghinaan terhadap kepribadian atau ajaran beliau.

3. Ta’zhim Asy-Syariah (Pengagungan Syariat): Menghormati seluruh hukum dan ajaran agama, bahkan yang tidak sesuai dengan hawa nafsu atau akal terbatas kita. Merasa keberatan, apalagi meremehkan, terhadap kewajiban atau larangan, menunjukkan hilangnya pengagungan terhadap hikmah di baliknya.

Peristiwa dalam ayat ini terjadi karena para munafik tidak memiliki *ta'zhim* ini. Dalam kesulitan perjalanan Tabuk, syariat (perintah jihad) terasa berat. Untuk melampiaskan keengganan mereka, mereka lari kepada ejekan. Ejekan adalah katup pelepas bagi hati yang tidak tulus menerima beban syariat.

Meremehkan syariat, meskipun dilakukan sambil tertawa, adalah bentuk penentangan pasif. Berbeda dengan orang kafir yang menolak syariat secara terbuka, munafik menolaknya sambil berpura-pura menerima. Ayat 66 dengan tegas menyatakan bahwa hasil akhirnya sama: **kekafiran setelah keimanan**.

Detail Fiqih: Niat dan Jenis Istihza'

Para fuqaha (ahli fikih) telah membahas secara rinci sejauh mana batasan *istihza'* yang dapat menyebabkan kekafiran. Secara umum, mereka membagi *istihza'* menjadi beberapa kategori:

1. Istihza' Sharih (Ejekan Jelas)

Ini adalah ejekan yang secara langsung dan terang-terangan diarahkan kepada Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, atau Nabi ﷺ. Para ulama sepakat bahwa jenis ini adalah kekafiran (kufrun akbar) tanpa perlu melihat niat. Baik pelakunya bermaksud serius atau hanya bercanda, perbuatannya secara obyektif merusak pengagungan. Inilah yang terjadi pada kelompok di Tabuk: mereka meremehkan Rasul dan pembawa Al-Qur'an.

2. Istihza' Dhimni (Ejekan Implisit)

Ini terjadi ketika seseorang melakukan tindakan atau mengucapkan kata-kata yang secara tidak langsung meremehkan syariat. Contohnya, mengenakan pakaian ibadah dengan cara yang menghina, atau mengubah lafaz adzan atau doa menjadi lagu parodi. Dalam kasus ini, ulama menekankan pentingnya konteks dan niat, namun tetap berhati-hati. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa jika tindakan tersebut secara umum dipahami sebagai penghinaan terhadap simbol agama, maka ia tetap mendekati kekafiran karena merusak penghormatan publik terhadap agama.

3. Niat dan Hukum Kekafiran

Ayat 66 memberikan pelajaran bahwa niat candaan (berdalih "kami hanya bergurau") tidak dapat digunakan sebagai pembelaan dalam perkara yang menyangkut kehormatan Ilahiyah. Mengapa? Karena candaan adalah pilihan, bukan paksaan. Memilih objek candaan yang suci menunjukkan bahwa nilai kesucian tersebut tidak tertanam di dalam hati. Jika seorang Mukmin sejati merasa tertekan atau bosan, ia akan mencari hiburan yang mubah (diperbolehkan), bukan yang haram, apalagi yang membatalkan keimanan.

Konsekuensi dari At-Taubah 65-66 ini sangat besar. Ia menetapkan bahwa tidak ada dosa yang lebih mudah dilakukan dan memiliki konsekuensi yang lebih besar selain dosa lisan yang meremehkan akidah. Ini menjadi peringatan keras bagi para dai, penulis, atau pengguna media sosial yang mungkin tergoda untuk menggunakan simbol agama demi humor atau keuntungan sesaat.

Pelajaran Praktis: Menjaga Lidah dan Kehormatan

Apabila kita merenungkan kedalaman ancaman dalam At-Taubah 65-66, kita dapati bahwa menjaga lidah adalah salah satu jihad terbesar bagi seorang Mukmin. Lidah adalah penentu keselamatan atau kehancuran. Keselamatan manusia, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, seringkali ditentukan oleh kemampuan mengendalikan lisan.

Untuk mengamalkan hikmah dari ayat ini, kita harus mengembangkan kepekaan spiritual yang tinggi:

A. Mengutamakan Ta’zhim di Atas Segalanya

Setiap interaksi dengan teks suci (Al-Qur'an), praktik ibadah, atau nama-nama Allah harus didahului oleh rasa pengagungan. Jika kita mendapati diri kita merasa terhibur dengan candaan yang melibatkan agama, itu adalah sinyal bahaya bahwa hati kita mulai keras dan rasa hormat kita memudar.

B. Membedakan Kritik Mubah dan Istihza' Haram

Kritik konstruktif terhadap praktik umat Islam yang salah (misalnya, korupsi yang dilakukan atas nama agama, atau bid’ah yang muncul dalam praktik keagamaan) adalah hal yang berbeda dengan *istihza'*. Kritik diarahkan pada perbuatan manusia, sementara *istihza'* diarahkan pada ajaran atau syariat itu sendiri. Ayat 65-66 melarang penghinaan terhadap Allah, ayat-ayat-Nya (hukum dan wahyu), dan Rasul-Nya. Kritik terhadap kesalahan implementasi oleh manusia adalah mubah dan terkadang wajib, tetapi harus dilakukan tanpa meremehkan sumbernya.

C. Prinsip Kehati-hatian dalam Humor

Dalam mencari hiburan, seorang Mukmin harus selalu berpegang pada prinsip kehati-hatian (*wara'*). Lebih baik menghindari gurauan yang mendekati garis batas agama daripada mengambil risiko kehilangan keimanan. Humor yang diperbolehkan adalah humor yang tidak melibatkan hal-hal suci dan tidak melukai perasaan orang lain. Segala sesuatu yang suci (muqaddasat) harus dijaga dari jangkauan candaan.

D. Menghadapi Lingkungan Istihza'

Jika seseorang berada dalam lingkungan yang biasa meremehkan agama, kewajiban seorang Mukmin adalah menjauh. Al-Qur'an mengajarkan: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” (Al-An’am: 68). Ini adalah tindakan preventif untuk menjaga iman diri sendiri dari kontaminasi kekafiran lisan.

Penegasan Hukum Ilahi dan Keadilan

Ayat 66 juga menutup dengan penegasan keadilan Allah yang absolut: "Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang berdosa (mujrimin)." Penekanan pada kata *mujrimin* (orang-orang yang melakukan kejahatan) memberikan kedalaman makna pada dosa ini.

Meremehkan agama bukan hanya kesalahan pribadi; itu adalah kejahatan terhadap komunitas dan terhadap kebenaran universal. Ini adalah kejahatan karena merusak pondasi moral dan spiritual masyarakat. Hukuman yang ditetapkan (azab bagi yang tidak bertaubat) adalah konsekuensi logis dari kejahatan ini. Azab itu bukan hanya hukuman fisik, melainkan juga azab spiritual, yaitu dicabutnya cahaya keimanan dari hati mereka.

Keadilan Allah memastikan bahwa mereka yang bertaubat dengan tulus akan mendapatkan pengampunan, menunjukkan bahwa Rahmat-Nya mendahului murka-Nya. Tetapi bagi mereka yang keras kepala dan terus bersembunyi di balik dalih, pintu pengampunan akan tertutup, dan identitas sejati mereka sebagai *mujrimin* akan terungkap sepenuhnya.

Pemahaman ini mendorong kita untuk senantiasa melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap kata-kata kita. Di saat kita merasakan tekanan hidup, kepenatan, atau kebosanan, kita harus selalu ingat bahwa mencari pelampiasan dengan mengorbankan kehormatan agama adalah transaksi yang paling merugikan, yang risikonya adalah kehilangan iman yang telah kita usahakan sepanjang hidup. Konsekuensi dari At-Taubah 65-66 adalah sebuah peringatan keras yang berlaku sepanjang masa: hati-hati dengan lisan Anda, karena ia adalah penentu nasib akhirat Anda.

Memahami bahwa kekafiran bisa datang dari kata-kata yang dianggap remeh adalah proteksi akidah yang vital. Seorang Mukmin harus hidup dalam keadaan senantiasa mengagungkan Allah, mencintai Rasul-Nya, dan memuliakan wahyu-Nya. Segala bentuk gurauan yang menyeret salah satu dari tiga pilar tersebut adalah garis merah yang tidak boleh dilintasi. Keimanan sejati terpancar melalui lisan yang senantiasa memuji, bukan yang meremehkan.

Kesungguhan dalam menjaga lisan dari ejekan merupakan bukti kesungguhan hati dalam memeluk Islam. Kesejatian iman menuntut penghormatan yang tidak pernah padam terhadap segala yang datang dari sisi Allah. Meremehkan ajaran-Nya, meskipun hanya sebentuk guyonan, adalah pintu gerbang menuju kemunafikan dan kekafiran yang fatal. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim, ayat 65 dan 66 Surah At-Taubah adalah pengingat abadi akan kewajiban menjaga kesucian dan keagungan agama di atas segala-galanya.

Pilar-pilar tauhid, kerasulan, dan wahyu adalah mahkota keimanan. Melemparkan cemoohan pada mahkota ini sama dengan menanggalkan identitas keislaman itu sendiri. Ayat ini mengajarkan bahwa agama bukanlah mainan; ia adalah perkara hidup dan mati, kebahagiaan abadi dan kesengsaraan abadi. Semoga Allah melindungi kita dari lisan yang tidak terkontrol dan hati yang penuh kemunafikan, serta menganugerahi kita *ta'zhim* yang sempurna terhadap segala sesuatu yang suci.

Pendalaman Konsep Mujrimin dan Hikmah Larangan Istihza'

Istilah *Mujrimin* (orang-orang yang berdosa/kriminal) yang digunakan di akhir ayat 66 merujuk pada kejahatan yang melampaui batas. Dalam konteks ayat ini, kejahatan mereka adalah *Istihza'* yang dilakukan dengan kesadaran dan tanpa penyesalan sejati. Kejahatan ini bersifat ganda: pertama, kejahatan akidah terhadap Allah; kedua, kejahatan sosial terhadap komunitas Mukminin karena upaya merusak moral dan keimanan mereka di masa sulit.

Mari kita telaah lebih jauh mengapa *Istihza'* dikategorikan sebagai dosa yang membatalkan iman, bahkan jika diniatkan sebagai candaan. Kaidah syariat yang berlaku adalah: Apa yang wajib diagungkan, haram dihina. Pengagungan (Ta'zhim) adalah esensi akidah. Apabila hati seseorang mampu mentertawakan sesuatu yang wajib diagungkan, berarti hati tersebut telah kosong dari keimanan. Ibaratnya, seseorang tidak mungkin mencintai tanah airnya tetapi secara terbuka membakar benderanya sambil tertawa. Perbuatan tersebut membuktikan bahwa rasa cinta atau hormat itu telah sirna.

Penting untuk dipahami bahwa keimanan adalah hal yang sangat berharga dan rapuh. Ia harus dilindungi dari semua hal yang merusak, baik yang berasal dari amal fisik maupun lisan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dalam membahas isu ini, menekankan bahwa kehinaan yang ditujukan kepada Rasulullah ﷺ atau syariat adalah kekafiran, karena ia bertentangan langsung dengan hak Allah atas pengagungan. Hukum ini bukan sekadar pencegahan, tetapi penegasan bahwa pengagungan adalah syarat sah iman.

Fenomena Kekeringan Spiritual

Di balik *istihza'* yang dilakukan oleh kaum munafik terdapat kekeringan spiritual. Mereka tidak merasakan manisnya iman (*halawatul iman*). Ketika iman terasa pahit atau berat (seperti dalam perjalanan sulit menuju Tabuk), orang yang imannya lemah akan mencari pembenaran untuk melarikan diri, dan ejekan adalah salah satu bentuk pelarian tersebut. Mereka merasa ajaran agama membatasi kebebasan mereka, sehingga mereka meremehkan ajaran itu agar terasa lebih ringan bagi jiwa mereka yang enggan berkorban.

Maka, hikmah terbesar dari At-Taubah 65-66 adalah pengingat untuk senantiasa menyuburkan hati dengan cinta dan pengagungan. Semakin seseorang mencintai Allah dan Rasul-Nya, semakin ia akan menjaga lidahnya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang dapat menyinggung kehormatan Ilahi, bahkan dalam keadaan paling rileks sekalipun.

Ayat ini mengajarkan kepada komunitas Muslim untuk memiliki kewaspadaan tinggi terhadap anggota komunitas mereka sendiri. Bahaya terbesar bagi suatu umat bukanlah serangan fisik dari musuh, tetapi keropos internal yang disebabkan oleh kemunafikan dan meremehkan syariat. Kaum munafik adalah virus yang menyebar keraguan melalui kata-kata manis atau ejekan yang dibungkus humor. Identifikasi tegas yang dilakukan oleh Allah dalam ayat ini bertujuan membersihkan barisan Mukminin sejati dari elemen-elemen perusak tersebut.

Kajian mendalam terhadap tafsir para ulama terdahulu, seperti Imam At-Tabari, Imam Al-Qurtubi, dan Ibnu Katsir, menunjukkan konsensus kuat mengenai keseriusan dosa ini. Mereka semua sepakat bahwa meskipun pelakunya sebelumnya mengucapkan syahadat, perbuatan *istihza'* ini membatalkan syahadat tersebut, kecuali jika diikuti dengan taubat yang segera dan tulus. Ini memberikan pelajaran bahwa keimanan tidak statis; ia dapat meningkat dan menurun, bahkan dapat hilang sepenuhnya karena dosa-dosa tertentu yang fundamental.

Perbandingan dengan Dosa Besar Lainnya

Mengapa *istihza'* dianggap lebih berat daripada dosa besar lain seperti zina, mencuri, atau minum khamar (yang meskipun dosa besar, tidak serta merta mengeluarkan dari Islam)? Jawabannya terletak pada dimensi akidah. Dosa-dosa besar yang lain adalah pelanggaran terhadap perintah syariat karena dorongan hawa nafsu, namun pelakunya mungkin masih memiliki *ta'zhim* (pengagungan) terhadap hukum Allah. Sementara itu, *istihza'* adalah pelanggaran yang berakar pada penolakan batin terhadap keagungan sumber hukum. Itu adalah dosa yang menyerang inti keimanan itu sendiri—yaitu rasa hormat dan tunduk total kepada Allah dan Rasul-Nya.

Oleh karena itu, At-Taubah 65-66 berdiri sebagai peringatan abadi, bukan hanya untuk para munafik di masa Nabi, tetapi untuk setiap generasi Muslim yang hidup di tengah godaan meremehkan agama. Di zaman di mana kebenaran relatif dan segala sesuatu ditertawakan, menjaga kehormatan simbol-simbol suci adalah benteng terakhir pertahanan akidah. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa menjaga lisan dan hati, dan dianugerahi taubat yang diterima di sisi-Nya, menjauhkan kita dari status *kafir sesudah beriman* dan azab yang menanti para *mujrimin*.

Memahami kedalaman makna dari "kekafiran setelah keimanan" menuntut refleksi serius. Ini bukan hanya masalah fiqih yang kering, melainkan masalah spiritual yang paling mendasar. Kekafiran yang dimaksud adalah kehancuran fondasi keimanan yang telah dibangun. Seseorang yang telah merasakan nikmatnya Islam, kemudian kembali menjadi kafir karena tindakan lisan yang ceroboh, telah mengalami kerugian yang tak terhingga. Kerugian ini jauh melampaui kerugian harta benda atau status sosial.

Di antara hikmah lain yang tersembunyi adalah penekanan bahwa iman adalah tanggung jawab personal yang menuntut pengawasan diri yang ketat. Walaupun para munafik yang mengejek itu berkelompok (sebuah *ta'ifah*), hukuman dan pengampunan diberikan berdasarkan kondisi individu mereka. Ada golongan yang dimaafkan karena taubat tulus, dan ada golongan yang diazab karena kriminalitas batin mereka yang berkelanjutan. Ini menunjukkan bahwa meskipun dosa dilakukan secara kolektif, pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah individual.

Ayat ini juga menjadi dasar hukum yang tegas dalam menjaga martabat para ulama dan pemimpin agama. Meskipun mereka adalah manusia biasa yang tidak maksum, meremehkan mereka hanya karena mereka membawa ilmu atau praktik agama yang mungkin tidak populer, dapat menyeret seseorang pada dosa *istihza'* terhadap ilmu dan syariat yang mereka wakili. Dalam konteks Tabuk, ejekan terhadap para pembaca Al-Qur'an dan tentara Muslim yang kurang mampu adalah bentuk peremehan terhadap risalah secara keseluruhan.

Sebagai penutup dari pendalaman ini, kesimpulan utama dari At-Taubah 65-66 adalah: Kehormatan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya adalah harga mati yang tidak dapat dijadikan alat hiburan, candaan, atau pelampiasan emosi. Pelanggaran terhadap batas ini secara langsung membatalkan ikrar keimanan dan menempatkan pelakunya dalam status kekafiran yang fatal, kecuali dengan taubat yang murni.

Kewajiban untuk berhati-hati dalam setiap kata yang terucap adalah manifestasi dari takwa yang hakiki. Di zaman ini, di mana batas-batas moral dan etika sering dikaburkan demi viralitas atau popularitas, seorang Mukmin harus berpegang teguh pada prinsip pengagungan. Lidah yang terbiasa memuji dan mengagungkan tidak akan pernah sanggup untuk meremehkan. Inilah pelajaran utama dan abadi dari Surah At-Taubah ayat 65 dan 66, sebuah fondasi kokoh bagi penjagaan akidah di setiap masa dan tempat.

🏠 Homepage