I. Pendahuluan: Ayat Keseimbangan Ilmu dan Aksi
Di antara sekian banyak ayat Al-Qur'an yang membahas tatanan sosial, pendidikan, dan strategi peradaban, Surah At-Tawbah ayat 122 menempati posisi yang sangat fundamental. Ayat ini tidak hanya berfungsi sebagai arahan taktis pada masa perang, tetapi juga meletakkan dasar permanen bagi pembentukan struktur masyarakat Islam yang seimbang, di mana tidak semua elemen umat harus bergerak ke satu arah saja. Ia adalah perintah yang menetapkan prinsip spesialisasi, pembagian tugas, dan kewajiban menuntut ilmu agama secara mendalam.
Konteks turunnya ayat ini adalah setelah peristiwa Perang Tabuk, di mana kaum Muslimin didorong untuk berpartisipasi dalam setiap mobilisasi pertahanan atau ekspedisi. Namun, Allah SWT melalui ayat ini memberikan batasan penting. Jika semua orang bersemangat untuk bergerak (melakukan ‘nafar’), maka institusi pendidikan dan pewarisan ilmu agama akan terancam punah. Ayat ini menyeimbangkan antara semangat pengorbanan di medan juang fisik ('nafar' dalam arti jihad) dengan jihad intelektual ('tafaqqahu fiddin').
Artinya: "Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang/mobilisasi). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (tafaqqahu fiddin) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri (dari kemaksiatan dan kebodohan)." (Q.S. At-Tawbah: 122)
Ayat ini adalah piagam pendidikan tertinggi dalam Islam. Ia bukan sekadar izin untuk tinggal, melainkan sebuah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi sebagian kelompok untuk mengkhususkan diri dalam ilmu, demi kepentingan seluruh umat. Tanpa spesialisasi ini, umat akan kehilangan arah, dalil, dan kemampuan untuk membedakan antara yang hak dan yang batil berdasarkan argumentasi yang kokoh (hujjah).
1.1. Tiga Pilar Utama Ayat 122
Interpretasi mendalam terhadap ayat ini selalu berpusat pada tiga perintah fundamental yang membentuk strategi peradaban Islam:
- Prinsip Pembagian Tugas (Fardhu Kifayah): Tidak semua wajib bergerak, menunjukkan adanya kebutuhan spesialisasi.
- Kewajiban Mendalamkan Ilmu (Tafaqquh Fiddin): Tujuan utama kelompok yang tinggal adalah mencapai pemahaman agama yang mendalam, melampaui sekadar pengetahuan permukaan.
- Mekanisme Pendidikan Umat (Al-Indzar): Ilmu yang didapat harus dikomunikasikan kembali kepada masyarakat luas sebagai peringatan dan bimbingan, memastikan pengetahuan tidak hanya menjadi milik elite.
Pilar-pilar ini secara kolektif menegaskan bahwa kelangsungan umat tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik, tetapi jauh lebih penting lagi, pada kekuatan intelektual dan spiritual yang terwariskan melalui sistem pendidikan yang berkesinambungan.
II. Analisis Tafsir dan Makna Linguistik
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu membedah istilah-istilah kuncinya, yang membawa implikasi hukum dan filosofis yang luas dalam konteks pembentukan komunitas ilmiah.
2.1. Makna Lafadz 'Nafar' dan 'Kaffah'
Kata نَفَرَ (Nafar) berarti 'berangkat', 'bergerak cepat', atau 'mobilisasi'. Dalam konteks Surah At-Tawbah, yang banyak membahas peperangan dan jihad, 'nafar' sering dipahami sebagai berangkat menuju medan perang. Namun, para mufassir kontemporer juga memperluas maknanya menjadi mobilisasi untuk kepentingan besar umat, seperti hijrah, atau bahkan mobilisasi umum dalam pembangunan peradaban.
Frasa لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً (Liyanfiru Kaffah), yang berarti "pergi semuanya," adalah larangan tegas. Larangan ini bukan karena berangkat itu buruk, tetapi karena kerugian yang akan timbul jika tidak ada yang tersisa untuk menjaga benteng ilmu dan spiritual. Apabila semua potensi terbaik masyarakat dicurahkan hanya pada satu aspek, maka aspek lainnya—khususnya pondasi agama—akan rapuh. Ini adalah penegasan Al-Qur'an terhadap perlunya diversifikasi peran dalam masyarakat yang ideal. Jika seluruh umat menjadi prajurit, siapa yang akan menjadi guru? Siapa yang akan menjadi qadhi (hakim)? Siapa yang akan menjadi mujtahid?
Alt Text: Ilustrasi keseimbangan antara Ilmu (Buku) dan Aksi (Panah) yang dianalogikan sebagai esensi dari At-Tawbah 122.
2.2. Inti Perintah: Tafaqquh Fiddin
Kata لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ (Liyatafaqqahu Fiddin) adalah jantung dari ayat ini. 'Tafaqquh' berasal dari akar kata 'fiqh' (pemahaman). Namun, 'tafaqqahu' (bentuk V dari akar kata tersebut) menunjukkan usaha yang mendalam, berkelanjutan, dan intensif untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, bukan sekadar pengetahuan. Ini adalah upaya untuk mencapai tingkat yurisprudensi, yaitu kemampuan untuk menggali hukum dan hikmah dari sumber-sumber primer (Al-Qur'an dan Sunnah).
Tafaqquh fiddin mensyaratkan:
- Sistematisasi: Belajar secara terstruktur, dari dasar hingga puncak.
- Spesialisasi: Fokus pada bidang-bidang tertentu (Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh).
- Kemampuan Ijtihad: Mencapai kapasitas untuk menganalisis dan menetapkan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Ibnu Abbas RA dan para mufassir klasik menekankan bahwa 'tafaqquh' ini harus dilakukan dengan niat yang murni dan upaya yang keras. Ini bukan waktu luang, melainkan kewajiban yang sama beratnya dengan 'nafar' ke medan perang, sebab kegagalannya berpotensi menghancurkan landasan spiritual umat.
2.3. Tujuan Akhir: Al-Indzar
Setelah mencapai pemahaman mendalam, tujuannya adalah وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ (Waliyundziru Qawmahum), yaitu "untuk memberi peringatan kepada kaumnya." 'Indzar' adalah peringatan yang disertai dengan pengetahuan tentang konsekuensi. Ini berbeda dari sekadar 'tabligh' (menyampaikan) atau 'nashihah' (nasihat). Indzar mengandung unsur urgensi, otoritas berbasis ilmu, dan tanggung jawab moral.
Peringatan ini dilakukan: إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ (Idza Raja’u Ilayhim), "apabila mereka telah kembali kepada kaumnya." Frasa ini menggarisbawahi pentingnya mobilitas dan penyebaran ilmu. Kelompok yang menuntut ilmu harus secara fisik bergerak ke pusat-pusat ilmu (madrasah, majelis, atau kota-kota ilmuwan) dan kemudian kembali ke komunitas asal mereka (pedalaman, desa, atau wilayah yang kekurangan ilmu) untuk mengaplikasikan dan menyebarkan apa yang telah mereka pelajari. Ini membentuk siklus pendidikan yang berkelanjutan: *Belajar - Kembali - Mengajar - Memperingatkan*.
III. Strategi Keseimbangan dan Fardhu Kifayah
At-Tawbah 122 mengukuhkan konsep Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) dalam konteks ilmu pengetahuan. Jika tidak ada satu pun kelompok yang melakukan Tafaqquh Fiddin, maka seluruh komunitas berdosa. Sebaliknya, jika kelompok spesialis telah terbentuk, maka kewajiban tersebut gugur bagi yang lain, memungkinkan mereka fokus pada peran sosial dan ekonomi lainnya.
3.1. Penolakan terhadap Monokultur Peran
Ayat ini mengajarkan bahwa peradaban tidak dapat dibangun di atas monokultur peran. Jika semua Muslim menjadi pedagang, siapa yang akan menjadi ulama? Jika semua menjadi ahli fikih, siapa yang akan menjadi insinyur dan dokter yang berlandaskan moral Islam? Ayat ini secara implisit memvalidasi dan memberkati diversifikasi profesi dan spesialisasi, asalkan ada kelompok inti yang menjaga fondasi spiritual dan hukum masyarakat.
Fokus utama ayat ini adalah menciptakan otoritas ilmu yang kredibel. Otoritas ini harus mampu:
- Menjawab permasalahan baru (Nawazil) dengan dalil syar’i.
- Mengoreksi penyimpangan akidah dan praktik keagamaan.
- Memberikan bimbingan moral dan etika berdasarkan pemahaman yang mendalam.
3.2. Peran 'Tha’ifah' (Kelompok Kecil)
Pemilihan kata طَآئِفَةٌ (Tha'ifah), yang berarti 'sekelompok kecil' atau 'sebagian', sangat penting. Ini menunjukkan bahwa spesialisasi ilmu yang mendalam tidak diharapkan dari mayoritas masyarakat. Pendidikan tingkat tinggi dan Tafaqquh Fiddin adalah tugas bagi segelintir orang yang memenuhi kriteria intelektual, moral, dan spiritual yang tinggi.
Kelompok minoritas ini, meskipun kecil secara jumlah, memiliki dampak mayoritas terhadap arah keagamaan dan moral umat. Mereka adalah 'garis depan' intelektual, yang bertugas menjaga keaslian ajaran agama dari distorsi internal maupun tekanan eksternal. Kualitas Tafaqquh dari kelompok inilah yang menentukan kualitas Indzar yang akan mereka sampaikan.
Jika kelompok yang 'nafar' untuk belajar adalah kelompok yang malas, tidak tekun, atau hanya mencari gelar tanpa kedalaman, maka proses Indzar akan gagal total. Oleh karena itu, kriteria penerimaan dan standar pengajaran di pusat-pusat ilmu haruslah sangat ketat, mencerminkan besarnya tanggung jawab yang diemban oleh 'tha'ifah' ini.
IV. Kedalaman Tafaqquh Fiddin: Melampaui Pengetahuan Permukaan
Tafaqquh Fiddin, sebagaimana diamanatkan ayat ini, jauh melampaui kemampuan membaca Al-Qur'an dan mengetahui rukun Islam. Ia menuntut penguasaan disiplin ilmu keislaman yang bersifat instrumental dan substansial.
Pemahaman yang mendalam mensyaratkan integrasi antara ilmu-ilmu syar’i (ilmu nash) dan ilmu-ilmu aqli (ilmu alat). Tafaqquh bukanlah sekadar hafalan, melainkan proses dialektis dan analitis yang memungkinkan seorang mujtahid memahami *maqasid asy-syari'ah* (tujuan-tujuan syariat) secara holistik.
4.1. Disiplin Ilmu yang Wajib Dikuasai
Untuk mencapai tingkat Tafaqquh, seorang penuntut ilmu harus menguasai serangkaian disiplin ilmu yang saling terkait, yang mencakup:
- Ilmu Bahasa Arab dan Sastra: Karena Al-Qur'an dan Hadis diwahyukan dalam bahasa Arab yang kaya dan nuansanya. Kesalahan dalam memahami tata bahasa (nahwu, sharf, balaghah) dapat berakibat fatal dalam interpretasi hukum.
- Ilmu Tafsir dan Ushul Tafsir: Memahami konteks turunnya ayat (asbabun nuzul), mekanisme penafsiran, dan metode interpretasi yang sahih.
- Ilmu Hadis dan Musthalah Hadis: Memiliki kemampuan memilah mana hadis yang sahih, hasan, atau dhaif, serta memahami sanad (rantai perawi) dan matan (isi) hadis.
- Ushul Fiqh (Prinsip Yurisprudensi): Ini adalah 'mesin' Tafaqquh. Ushul Fiqh mengajarkan bagaimana cara mengambil hukum dari nash, bagaimana menggunakan Ijma’ (konsensus), Qiyas (analogi), Istihsan, dan Istishhab. Tanpa Ushul Fiqh, seseorang tidak akan bisa berijtihad.
- Ilmu Perbandingan Mazhab: Memahami perbedaan pendapat ulama terdahulu dan alasan di balik perbedaan tersebut, sehingga mampu bersikap adil dan tidak fanatik buta.
Proses penguasaan ilmu-ilmu ini membutuhkan dedikasi bertahun-tahun, yang menegaskan mengapa At-Tawbah 122 hanya menugaskan 'tha'ifah' (sebagian kecil) untuk pekerjaan yang maha berat ini.
4.2. Tafaqquh dalam Era Modern
Implikasi Tafaqquh Fiddin di era kontemporer meluas. Hari ini, ancaman terhadap umat tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari kompleksitas isu internal seperti ekonomi global, bioetika, dan teknologi informasi.
Oleh karena itu, Tafaqquh Fiddin harus mencakup spesialisasi interdisipliner. Seorang ulama modern harus mampu:
- Memahami Fiqh Muamalat (hukum transaksi) dengan pemahaman mendalam tentang sistem perbankan syariah modern dan derivatif finansial.
- Memahami Fiqh Kedokteran (Bioetika) dengan pengetahuan tentang proses kloning, transplantasi organ, dan rekayasa genetika.
- Memahami Fiqh Prioritas (Fiqh Awlawiyat), menimbang mana masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan umat.
Alt Text: Diagram menunjukkan Ilmu (Tafaqquh Fiddin) yang berakar dari sumber utama Al-Qur'an dan As-Sunnah.
V. Mekanisme Al-Indzar: Kewajiban Mengajarkan dan Memperingatkan
Jika Tafaqquh adalah proses internalisasi, maka Al-Indzar adalah proses eksternalisasi dan aplikasi ilmu. Ini adalah tugas terberat bagi para ulama: mentransformasikan ilmu yang rumit menjadi bimbingan praktis yang dapat dipahami dan diikuti oleh masyarakat umum.
Al-Indzar tidak sekadar memberikan kuliah. Ia adalah tanggung jawab pastoral dan sosial untuk memastikan masyarakat berada di atas landasan akidah yang benar dan praktik ibadah yang sah. Ini adalah tugas ‘warisan para Nabi’, yaitu berdakwah dengan ilmu (bi ‘ilmin), bukan dengan emosi atau dugaan.
5.1. Etika dan Metode Indzar
Peringatan (Indzar) yang efektif harus didasarkan pada tiga komponen kunci:
- Hikmah (Kebijaksanaan): Penyampaian harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman audiens. Ilmu yang rumit harus disederhanakan tanpa kehilangan esensinya.
- Mau’izhah Hasanah (Nasihat yang Baik): Menggunakan bahasa yang lembut, memotivasi, dan penuh kasih sayang, menghindari celaan yang merusak.
- Mujadalah Billati Hiya Ahsan (Berdebat dengan Cara Terbaik): Jika diperlukan perdebatan, ia harus dilakukan dengan argumentasi logis yang kuat dan niat mencari kebenaran, bukan mencari kemenangan.
Tanpa etika Indzar ini, ulama yang berilmu tinggi sekalipun bisa gagal dalam tugasnya, karena masyarakat menolak kebenaran yang disampaikan dengan kekerasan atau arogansi intelektual.
5.2. Indzar Melalui Lembaga Pendidikan Formal
Di masa lalu, Indzar dilakukan melalui majelis ilmu di masjid atau halaqah. Di zaman modern, Indzar menuntut penggunaan sistem pendidikan yang terstruktur. Sekolah-sekolah, universitas Islam, dan pondok pesantren adalah saluran utama untuk mewujudkan Indzar kolektif.
Institusi pendidikan harus dirancang untuk memproduksi dua jenis individu yang diperlukan umat:
- Al-Fuqaha (Spesialis): Yang melanjutkan siklus Tafaqquh, menjadi guru besar, mufti, dan mujtahid.
- Al-Munzirun (Penyebar Peringatan): Yang menjadi guru, dai, pemimpin komunitas, dan pejabat publik yang mampu menerapkan ilmu syar’i dalam kehidupan sehari-hari dan memimpin masyarakat dengan dasar keilmuan yang kuat.
Kegagalan lembaga pendidikan dalam memisahkan kedua fokus ini (mencetak spesialis vs. mendidik publik) seringkali menghasilkan lulusan yang tidak cukup mendalam (bukan Fuqaha) namun merasa berhak berfatwa (ber-Indzar), yang justru menimbulkan kebingungan di tengah umat.
5.3. Tanggung Jawab Moral Ulama dalam Indzar
Ayat 122 meletakkan beban moral yang sangat berat di pundak para ulama. Mereka harus bersikap independen dari kekuasaan politik dan kepentingan materi, karena fungsi Indzar adalah menyampaikan kebenaran tanpa takut disensor atau ditentang.
Jika ulama tunduk pada kekuasaan atau popularitas, maka Indzar mereka akan menjadi sia-sia. Mereka tidak akan mampu ‘memperingatkan’ (yundziru) kaumnya dari kesesatan atau kezaliman yang dilakukan oleh pihak berkuasa, atau dari praktik-praktik sosial yang bertentangan dengan syariat.
Indzar yang otentik menuntut keberanian intelektual dan integritas moral. Inilah yang membedakan ulama pewaris Nabi (waratsatul anbiya) dari sekadar juru bicara atau tokoh agama yang mencari popularitas. Mereka harus siap menjadi suara yang menentang arus, demi menjaga keutuhan agama dan kemaslahatan umat.
VI. Relevansi Kontemporer dan Implementasi Global
Meskipun turun dalam konteks mobilisasi militer, implementasi prinsip At-Tawbah 122 bersifat universal dan berlaku di setiap zaman, terutama dalam menghadapi tantangan modern yang kompleks dan multinasional.
6.1. Integrasi Ilmu Dunia dan Ilmu Akhirat
Konsep Tafaqquh Fiddin tidak boleh disempitkan hanya pada Fiqh Ibadah. Di masa kini, Tafaqquh harus mencakup pemahaman mendalam tentang bagaimana Syariah berinteraksi dengan ilmu-ilmu umum (sains, teknologi, ekonomi, politik).
Kelompok 'Tha'ifah' saat ini harus mencakup:
- Ahli Ekonomi Islam: Memahami dasar-dasar syariah dan mampu merancang sistem keuangan global yang bebas dari riba.
- Ahli Hukum Islam (Perbandingan): Mampu menerapkan prinsip-prinsip Syariah dalam sistem hukum sipil modern, dan berinteraksi dengan hukum internasional.
- Ahli Pendidikan dan Psikologi Islam: Mampu merancang kurikulum dan metode pendidikan yang menghasilkan generasi yang seimbang antara kecerdasan spiritual dan profesional.
6.2. Nafar dan Hijrah Intelektual
Dalam konteks modern, ‘nafar’ (berangkat) untuk menuntut ilmu seringkali berarti hijrah intelektual. Ini bisa berarti:
- Pergi ke pusat-pusat studi Islam tradisional yang masih menjaga sanad keilmuan yang otentik.
- Menghabiskan waktu untuk riset mendalam di bidang spesialisasi tertentu (misalnya, di perpustakaan besar atau pusat riset modern).
- Berinteraksi dan belajar dari ulama lintas mazhab dan lintas negara untuk mendapatkan perspektif global.
Setelah 'nafar' ini, kewajiban untuk ‘kembali’ (raja’u) menjadi sangat penting. Banyak ilmuwan yang belajar di luar negeri, namun gagal kembali ke komunitas asal mereka, yang akhirnya menyebabkan 'brain drain' spiritual. Ayat 122 menekankan bahwa ilmu yang didapat di pusat harus dibawa kembali ke pinggiran, agar kesenjangan ilmu tidak semakin lebar.
Jika pusat-pusat kota memiliki ulama yang berkualitas, sementara daerah pedalaman dilanda kebodohan agama, maka umat secara keseluruhan gagal menjalankan amanat At-Tawbah 122. Keadilan penyebaran ilmu adalah indikator utama keberhasilan Indzar.
6.3. Indzar Digital dan Media Massa
Di era informasi, medan Indzar telah meluas ke ruang digital. Ulama dan kelompok spesialis kini harus mampu menggunakan media massa dan platform digital sebagai alat untuk 'memperingatkan kaum mereka'.
Ini menuntut Tafaqquh yang tidak hanya menguasai konten (ilmu syar’i) tetapi juga konteks (media digital dan psikologi komunikasi). Indzar digital harus menghadapi tantangan seperti:
- Penyebaran Berita Palsu (Hoaks) Keagamaan: Membutuhkan ulama yang cepat tanggap dan mampu memberikan klarifikasi berbasis dalil.
- Radikalisasi dan Ekstremisme: Membutuhkan ulama yang mampu menyajikan Islam moderat dan inklusif dengan argumentasi yang lebih kuat daripada narasi ekstremis.
- Penyederhanaan Hukum: Menghindari fatwa instan yang merusak kedalaman Tafaqquh.
Kehadiran ulama spesialis di ruang digital adalah Fardhu Kifayah baru, memastikan bahwa masyarakat yang paling rentan terhadap informasi yang salah, yaitu kaum muda dan masyarakat awam, mendapatkan bimbingan yang benar.
VII. Tantangan dan Implikasi Kegagalan Tafaqquh
Amanat At-Tawbah 122 merupakan benteng pertahanan umat. Jika benteng ini runtuh—yaitu jika kelompok 'tha'ifah' gagal mencapai kedalaman ilmu atau gagal melakukan Indzar—maka konsekuensinya sangat besar bagi peradaban Islam.
7.1. Bahaya Takhfif (Pengurangan) dan Superficialitas
Tantangan terbesar di zaman ini adalah superficialitas (kedangkalan). Banyak pihak yang ingin menjadi 'munzir' (pemberi peringatan) tanpa melalui proses 'tafaqquh' yang melelahkan. Mereka mengandalkan buku-buku terjemahan, internet, atau pengetahuan parsial untuk berfatwa. Ini adalah bahaya besar yang disebut Rasulullah SAW sebagai ‘berbicara tentang Allah tanpa ilmu’.
Kedangkalan ini melahirkan fenomena:
- Fanatisme tanpa Dalil: Mengikuti mazhab atau guru secara membabi buta karena minimnya kemampuan analisis.
- Liberalisme yang Berlebihan: Menginterpretasi nash secara bebas tanpa memperhatikan kaidah ushul fiqh.
- Ekstremisme: Menerapkan hukum secara kaku (dhahir nash) tanpa memahami konteks, hikmah, atau maqasid syariah.
Semua penyimpangan ini adalah hasil langsung dari kegagalan umat dalam menghasilkan kelompok 'tha'ifah' yang benar-benar ahli dan mendalam. Jika yang 'kembali' (raja’u) adalah orang yang dangkal, maka yang mereka sampaikan (indzar) adalah kebingungan.
7.2. Indikasi Kegagalan Indzar
Bagaimana kita tahu bahwa mekanisme Indzar telah gagal di suatu komunitas? Indikasinya meliputi:
- Kepunahan Keadilan: Ketika kezaliman merajalela di masyarakat dan ulama diam, berarti fungsi Indzar untuk ‘memperingatkan’ penguasa dan masyarakat dari dosa telah mati.
- Dominasi Kebodohan: Ketika ritual keagamaan dilakukan tanpa pemahaman maknanya, dan masyarakat lebih percaya pada mitos daripada dalil.
- Fragmentasi dan Perpecahan: Ketika umat terpecah belah oleh perbedaan-perbedaan kecil yang seharusnya bisa diselesaikan oleh ijtihad ulama spesialis, namun ulama spesialis itu sendiri tidak diakui atau tidak ada.
Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan agama yang mendalam, yang menjadi inti At-Tawbah 122, adalah investasi untuk kohesi sosial dan keselamatan spiritual jangka panjang. Ini adalah jihad yang tidak akan pernah selesai selama peradaban masih berdiri.
7.3. Kewajiban Menghormati dan Mendukung Ahli Ilmu
Agar 'tha'ifah' dapat mendedikasikan diri sepenuhnya pada Tafaqquh, umat memiliki kewajiban untuk mendukung mereka secara material dan moral. Jika ahli ilmu disibukkan oleh urusan duniawi untuk mencari nafkah, waktu dan energi mereka untuk riset dan Tafaqquh akan berkurang drastis.
Ayat ini secara tidak langsung mewajibkan pendanaan pendidikan tinggi keagamaan dan dukungan penuh terhadap ulama. Masyarakat yang memahami amanat At-Tawbah 122 akan memastikan bahwa para ahli agama mereka bebas dari kekhawatiran finansial, sehingga mereka dapat fokus secara total dalam menjalankan 'nafar' intelektual mereka. Inilah wujud implementasi Fardhu Kifayah secara kolektif.
Keseimbangan antara 'nafar' fisik dan 'nafar' intelektual harus senantiasa terjaga. Ketika ancaman fisik menguat, sebagian besar harus 'nafar' untuk mempertahankan diri, namun harus ada yang tinggal untuk berdoa dan menjaga dalil. Ketika tantangan intelektual dan moral menguat, maka 'nafar' terbesar adalah 'nafar' menuju majelis ilmu, memperkuat barisan intelektual yang akan kembali membawa pencerahan (Indzar) bagi kaumnya. Ini adalah siklus abadi yang menjaga umat dari kehancuran, baik fisik maupun spiritual.
Tafaqquh Fiddin bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan mendasar bagi sebuah peradaban yang ingin eksis dan memberikan kontribusi nyata di dunia. Ia adalah mata air yang harus terus dijaga kemurniannya, sehingga air Indzar yang disebarkan ke seluruh penjuru umat tetap bersih, jernih, dan menyegarkan jiwa yang haus akan kebenaran hakiki. Ayat 122 memastikan bahwa tugas pencarian ilmu adalah tugas mulia, setara bahkan melebihi peran-peran penting lainnya dalam spektrum kehidupan sosial dan spiritual.
Ayat yang agung ini mengajarkan sebuah filosofi kehidupan kolektif, di mana setiap anggota memiliki peran yang tak tergantikan. Seorang prajurit melindungi batas fisik, sementara seorang ulama melindungi batas akidah dan syariah. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama, sama-sama berjuang (berjihad) di medan tugasnya masing-masing. Keseimbangan ini tidak boleh digoyahkan; jika kaum ilmuwan berhenti belajar, atau jika mereka berhenti mengajar, maka kegagalan Indzar akan memastikan bahwa umat secara perlahan tersesat dalam gelapnya kebodohan, menjadikan mereka sasaran empuk bagi setiap ideologi dan pemikiran yang merusak. Oleh karena itu, mandat tafaqquh dan indzar harus dihidupkan kembali, diperkuat, dan diposisikan sebagai prioritas tertinggi dalam kebijakan pendidikan dan dakwah kontemporer umat Islam.
Dapat disimpulkan bahwa keberlangsungan peradaban Islam diukur bukan dari seberapa banyak jumlah populasinya, melainkan dari seberapa berkualitas kelompok spesialis (tha'ifah) yang melaksanakan Tafaqquh Fiddin. Kualitas mereka akan menentukan kualitas nasihat, fatwa, dan panduan moral yang diberikan kepada publik. Jika kualitas ini menurun, maka seluruh bangunan spiritual dan etika masyarakat akan ambruk. Inilah peringatan abadi yang terkandung dalam firman Allah, dan inilah panggilan yang terus bergema sepanjang masa bagi setiap generasi Muslim: Utuslah yang terbaik dari antara kalian untuk menimba ilmu, agar mereka kembali dan menyelamatkan kaumnya.