Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah yang sarat dengan hukum-hukum muamalah, perjanjian, dan terutama penyesalan serta pengampunan. Ayat 103 dari surah ini berdiri sebagai salah satu fondasi utama dalam memahami hubungan antara harta, penyucian spiritual, dan peran kepemimpinan dalam masyarakat Muslim. Ayat ini bukan sekadar perintah pengumpulan dana, melainkan sebuah instruksi ilahi yang mengikat secara ekonomi, sosial, dan spiritual.
Inti dari perintah ini adalah pemahaman bahwa harta benda, meskipun merupakan nikmat dari Allah, dapat menjadi sumber penyakit hati jika tidak dibersihkan. Melalui mekanisme yang diatur dalam ayat ini, Allah Swt. menetapkan jalan bagi umat Islam untuk mencapai kesucian jiwa dan ketenangan batin, baik bagi pemberi maupun penerima. Kajian mendalam mengenai ayat 103 membutuhkan analisis terhadap tiga pilar utama: perintah mengambil sedekah (Zakat), proses penyucian (*tath-hir* dan *tazkiyah*), dan efek menenangkan dari doa Nabi (*sakan*).
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ayat ini ditujukan secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin umat. Perintah "خُذْ" (*Khudz* - Ambillah) adalah kata kerja imperatif yang menunjukkan otoritas dan kewajiban. Ini menegaskan bahwa pengumpulan Zakat bukanlah pilihan pribadi semata, melainkan tugas kenegaraan dan kepemimpinan yang wajib dilaksanakan untuk menjamin tegaknya keadilan dan kesucian dalam masyarakat.
Para ulama tafsir, termasuk Imam Al-Baghawi dan Ibnu Katsir, menghubungkan turunnya ayat 103 dengan peristiwa spesifik setelah Perang Tabuk. Perang ini menjadi ujian besar bagi keimanan kaum Muslimin, di mana sebagian orang Badui dan orang munafik menolak untuk ikut serta. Namun, ada pula sekelompok orang mukmin yang tulus yang tertinggal (dikenal sebagai *al-Mukhallafoon*) bukan karena kemunafikan, melainkan karena kelemahan atau kelalaian, seperti Abu Lubabah dan kawan-kawan.
Ketika Rasulullah Saw. kembali ke Madinah, orang-orang yang menyesal ini mengikat diri mereka di tiang masjid sebagai bentuk penyesalan yang mendalam. Setelah taubat mereka diterima melalui wahyu (sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya, At-Taubah 102), mereka meminta agar sebagian harta mereka diambil sebagai sedekah (Zakat) untuk membersihkan dosa-dosa mereka. Mereka berkata, "Ya Rasulullah, ambillah dari harta kami sedekah yang dapat membersihkan kami." Mereka merasa bahwa dosa yang telah mereka lakukan hanya bisa dicuci melalui pengorbanan harta yang dicintai.
Meskipun demikian, hukum yang diturunkan dalam ayat 103 ini tidak terbatas hanya pada mereka yang bertaubat. Para fuqaha (ahli fikih) sepakat bahwa perintah dalam ayat ini bersifat umum dan berlaku bagi seluruh umat Islam yang memiliki harta yang mencapai *nishab*, mewajibkan pemimpin (ulil amri) untuk mengumpulkan Zakat sebagai kewajiban yang berkelanjutan.
Perintah 'Khudz' (Ambillah) memberikan legitimasi mutlak kepada pemimpin atau otoritas negara untuk meminta, mengumpulkan, bahkan memaksa jika perlu, penyerahan Zakat dari individu Muslim yang mampu. Ini menegaskan bahwa Zakat bukan sekadar transaksi sukarela seperti sedekah biasa (*tathawwu'*), tetapi adalah hak bagi negara dan hak bagi fakir miskin yang harus ditegakkan melalui sistem hukum. Mayoritas ulama tafsir kontemporer, seperti Sayyid Qutb dalam *Fi Zilalil Qur'an*, menekankan bahwa ini adalah penetapan peran negara dalam ekonomi Islam.
Meskipun ayat menggunakan kata 'Sadaqah' (صَدَقَةً), para mufassir dan fuqaha sepakat bahwa dalam konteks ayat ini, yang dimaksud adalah Zakat wajib (*al-Zakat al-fardhu*). Kata 'Sadaqah' digunakan karena secara etimologis, ia berasal dari kata *shidq* (kejujuran), menunjukkan kejujuran iman seseorang. Ketika harta diserahkan dalam bentuk Zakat, itu adalah bukti nyata dan jujur atas keimanan seseorang kepada perintah Allah. Namun, dalam konteks At-Taubah 103, 'Sadaqah' merujuk pada:
Zakat adalah mekanisme redistribusi kekayaan yang bertujuan mengurangi kesenjangan sosial. Dengan dikeluarkannya Zakat, harta yang seharusnya berputar hanya di kalangan orang kaya (sebagaimana dihindari dalam Surah Al-Hasyr 7) didistribusikan kepada delapan golongan penerima (*asnaf*). Proses ini memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi dan mencegah penumpukan harta yang dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan kecemburuan sosial. Harta yang telah dizakati dianggap sebagai harta yang berkah dan halal, siap untuk diinvestasikan kembali dalam perputaran ekonomi yang lebih adil.
Tanpa peran aktif negara (atau badan amil yang sah), sistem Zakat akan runtuh, mengubahnya dari kewajiban kolektif menjadi amal individual yang tidak terorganisir. Oleh karena itu, perintah 'Khudz' adalah landasan bagi pembentukan *Baitul Maal* (lembaga keuangan negara Islam) atau Badan Amil Zakat modern.
Bagian terpenting dari ayat ini terletak pada tujuan Zakat, yang diungkapkan melalui dua kata kerja yang saling melengkapi: تُطَهِّرُهُمْ (*Tuthahhiruhum* - membersihkan mereka) dan وَتُزَكِّيهِم بِهَا (*Wa tuzakkihim biha* - dan menyucikan mereka dengannya).
*Tath-hir* merujuk pada pembersihan dari kotoran atau hal-hal negatif. Dalam konteks harta, *tath-hir* berarti:
Kata *Tazkiyah* jauh lebih mendalam daripada *Tath-hir*. Ia berasal dari kata *zaka* (tumbuh, berkembang, bertambah, baik). *Tazkiyah* memiliki dua dimensi utama:
Dalam tafsir Al-Razi, ditekankan bahwa urutan *Tath-hir* (membersihkan dari keburukan) lalu *Tazkiyah* (menumbuhkan kebaikan) adalah penting. Jiwa harus dihilangkan dulu penyakit-penyakitnya (Zakat sebagai pembersih dosa dan kekikiran) sebelum ia siap untuk ditanami sifat-sifat mulia dan keberkahan (Zakat sebagai penumbuh iman dan kekayaan hati).
Proses Tazkiyah yang diamanatkan oleh ayat 103 adalah inti dari seluruh syariat. Tujuan akhir dari Zakat adalah melatih manusia untuk tidak diperbudak oleh harta. Ketika seorang Muslim mampu melepaskan sebagian hartanya yang dicintai demi ketaatan, ia membuktikan bahwa ia telah mencapai derajat penyucian yang membebaskannya dari belenggu materi duniawi. Inilah yang oleh para sufi disebut sebagai 'kekayaan hakiki'—kekayaan hati, bukan kekayaan fisik.
Ayat 103 tidak berhenti pada perintah mengumpulkan Zakat dan tujuan penyuciannya, tetapi menambahkan instruksi: وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ (*Wa shalli 'alaihim, inna shalaataka sakanun lahum* - Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka).
Perintah ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. setelah beliau menerima Zakat dari para mukmin, terutama dari mereka yang bertaubat. 'Shalli' di sini berarti mendoakan mereka, memohonkan ampunan, keberkahan, dan rahmat dari Allah atas nama mereka. Doa ini bersifat pengakuan dan penegasan bahwa taubat dan amal mereka (Zakat) telah diterima oleh Allah.
Kata سَكَنٌ (*Sakan*) secara literal berarti tempat tinggal atau ketenangan, merujuk pada kondisi stabil, aman, dan damai. Ketika ayat ini menyatakan bahwa doa Nabi adalah *Sakan* bagi mereka, ini mengandung makna spiritual yang mendalam:
Meskipun Nabi Muhammad Saw. telah tiada, para ulama modern menafsirkan bahwa prinsip ini tetap berlaku. Ketika amil atau pengelola Zakat menerima harta dari muzakki, mereka disunahkan untuk mendoakan keberkahan bagi pemberi Zakat. Doa ini, meskipun tidak setara dengan doa Nabi, tetap memiliki fungsi yang sama: memberikan ketenangan hati kepada pemberi Zakat bahwa amal mereka telah diakui dan dicatat oleh lembaga yang sah.
Ayat 103 At-Taubah adalah sumber hukum (dalil) utama bagi beberapa ketentuan fikih yang fundamental mengenai Zakat:
Ayat ini menegaskan bahwa Zakat adalah ibadah yang memiliki dimensi sosial (ijtima’iyyah). Berbeda dengan shalat atau puasa yang bersifat individual, Zakat menuntut interaksi dan redistribusi. Fikih empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat bahwa kewajiban mengeluarkan Zakat tidak gugur meskipun negara tidak mengumpulkannya. Namun, kewajiban negara untuk mengumpulkan dan mendistribusikannya adalah wajib berdasarkan perintah 'Khudz'.
Target perintah 'Khudz' adalah pemimpin umat (Imam/Khalifah/Ulil Amri). Ini mengesahkan peran otoritas negara untuk:
Meskipun ayat ini turun dalam konteks harta yang dimiliki oleh orang bertaubat, para ulama memperluas objek Zakat (amwalihim - harta mereka) mencakup semua jenis harta yang telah ditetapkan syariat untuk dizakati, termasuk emas, perak, hasil pertanian, ternak, dan harta perdagangan (*tijarah*). Fleksibilitas kata *amwalihim* menunjukkan bahwa Zakat adalah pajak kekayaan secara umum yang harus dibersihkan secara periodik.
Zakat harta (*Zakatul Mal*) diletakkan sebagai syarat diterimanya taubat bagi kaum yang berdosa dalam konteks ini. Ini menunjukkan bahwa ibadah ritual tidak lengkap tanpa kepedulian finansial dan sosial. Penyucian diri (*Tazkiyah*) melalui Zakat dianggap sebagai salah satu amalan terbaik setelah keimanan itu sendiri.
Lebih dari sekadar kewajiban hukum, At-Taubah 103 memberikan peta jalan menuju kesempurnaan akhlak dan kedamaian hati. Perjuangan terbesar seorang Muslim dalam urusan harta adalah mengatasi penyakit *shuhh* (kekikiran akut) dan *tama'* (ketamakan).
Kecintaan yang berlebihan terhadap dunia (*hubbud dunya*) adalah pangkal dari segala dosa. Harta sering kali menjadi manifestasi paling kuat dari kecintaan ini. Ketika Zakat dikeluarkan, itu adalah tindakan perlawanan terhadap ego yang ingin menahan. Proses ini melatih hati untuk mengakui bahwa kepemilikan sejati hanyalah milik Allah. Sifat kikir, yang dihindari oleh ayat ini, disebutkan dalam hadits sebagai sifat yang menghancurkan umat terdahulu.
Zakat yang sempurna adalah yang didasari keikhlasan, tanpa mengharapkan pujian manusia atau balasan duniawi. Ayat 103 menjamin bahwa balasan tertinggi dari Zakat adalah penyucian jiwa yang menghasilkan ketenangan (sakan). Dengan meyakini bahwa amal ini diterima oleh Rasulullah (atau amil), seorang Muslim mencapai tingkatan spiritual di mana ia tidak lagi bergantung pada harta untuk merasa bernilai, tetapi bergantung pada ridha Allah.
Dalam banyak ayat Al-Qur'an, Zakat (atau *ita'uz Zakat*) selalu digandengkan dengan Shalat. Ini menunjukkan keterkaitan yang tidak terpisahkan antara ibadah vertikal (hablun minallah) dan ibadah horizontal (hablun minannas). At-Taubah 103 menambahkan dimensi ketiga: peran kepemimpinan dalam mengesahkan dan mengamankan kedua ibadah tersebut melalui pengumpulan dan doa.
Jika Shalat membersihkan dosa-dosa yang terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, maka Zakat membersihkan dosa-dosa yang terkait dengan hubungan manusia dengan sesamanya dan penggunaan hartanya. Keduanya merupakan sayap iman yang harus berfungsi bersamaan untuk mencapai *Tazkiyatun Nafs* yang holistik.
Orang yang hatinya tenang (*sakinah*) karena telah memenuhi kewajiban agamanya dan merasa diterima oleh komunitas akan menjadi individu yang jauh lebih produktif dan positif. Hilangnya rasa bersalah dan kecemasan—yang dijamin oleh doa Nabi—membebaskan energi psikologis untuk digunakan dalam ketaatan dan pembangunan peradaban. Dengan demikian, Zakat tidak hanya memperbaiki ekonomi, tetapi juga kesehatan mental dan spiritual umat.
Perintah dalam At-Taubah 103 segera diimplementasikan secara ketat oleh Rasulullah Saw. dan para Khalifah Rasyidin. Sejarah mencatat betapa pentingnya peran lembaga Zakat sebagai tiang negara.
Nabi Muhammad Saw. secara pribadi menerima Zakat dari mereka yang datang bertaubat. Riwayat menyebutkan bahwa ketika Zakat datang, beliau memohonkan ampunan bagi mereka. Tradisi ini mencontohkan bahwa pengelola Zakat harus selalu menyertai penerimaan dana dengan doa dan ucapan syukur, menjaga kehormatan muzakki.
Setelah wafatnya Nabi, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah munculnya kelompok-kelompok yang menolak menyerahkan Zakat kepada negara, meskipun mereka masih menjalankan Shalat. Mereka berargumen bahwa kewajiban Zakat hanya berlaku selama Nabi masih hidup (karena ayat 103 menyebutkan 'doa kamu').
Abu Bakar dengan tegas menolak argumen ini. Beliau menyatakan, "Demi Allah, aku akan memerangi siapa pun yang memisahkan antara shalat dan Zakat." Keputusan Abu Bakar untuk memerangi para penolak Zakat (Perang Riddah) didasarkan pada penafsiran bahwa Zakat, yang diperintahkan dalam At-Taubah 103, adalah pilar agama dan merupakan hak negara yang harus diambil (Khudz). Keputusan ini menyelamatkan sistem keuangan Islam dan memastikan kesinambungan implementasi ayat 103.
Khalifah Umar bin Khattab memperluas dan menyempurnakan administrasi Zakat. Beliau menunjuk amil yang terdidik dan memastikan distribusi Zakat dilakukan dengan sangat efisien, memastikan bahwa hak fakir miskin di pelosok wilayah kekuasaan Islam terpenuhi. Praktik Umar menunjukkan bahwa implementasi ayat 103 memerlukan struktur administratif yang kuat dan transparan.
Meskipun konteks politik dan ekonomi telah berubah drastis, prinsip-prinsip yang terkandung dalam At-Taubah 103 tetap relevan dan krusial bagi umat Islam kontemporer.
Dalam ketiadaan Khilafah tunggal, peran kepemimpinan yang diperintahkan untuk 'mengambil' Zakat diemban oleh lembaga-lembaga amil Zakat resmi yang diakui oleh negara atau komunitas Muslim. Lembaga ini harus memenuhi standar keadilan, profesionalisme, dan akuntabilitas agar dapat menjalankan fungsi *Tath-hir* (pembersihan) dan *Tazkiyah* (penyucian) secara efektif.
Transparansi dalam pengelolaan dana Zakat menjadi kunci. Jika muzakki merasa dana Zakatnya dikelola dengan tidak amanah, efek ketenangan jiwa (*sakan*) yang dijanjikan dalam ayat ini akan hilang, dan kepercayaan umat akan terkikis.
Di era di mana kesenjangan kekayaan semakin melebar, Zakat adalah mekanisme yang paling efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Jika seluruh umat Islam di dunia yang memenuhi *nishab* menunaikan Zakatnya secara terpusat, potensi dana yang terkumpul akan cukup untuk mengentaskan jutaan jiwa dari garis kemiskinan, mewujudkan tujuan sosial-ekonomi dari *Tazkiyah* secara kolektif.
Ayat 103 menekankan 'amwalihim' (harta mereka) secara umum. Dalam fikih kontemporer, hal ini mendorong pengembangan Zakat modern, seperti Zakat penghasilan (profesi), Zakat investasi, dan Zakat saham. Prinsip *Tath-hir* menuntut bahwa semua bentuk kekayaan, tidak hanya yang tradisional, harus dibersihkan untuk menjamin kesucian jiwa dan keberkahan ekonomi.
Prinsip *Sakan* mengingatkan bahwa aspek humanis dan spiritual tidak boleh dilupakan dalam manajemen Zakat. Setiap amil harus memperlakukan muzakki dan mustahik dengan hormat dan senantiasa mendoakan keberkahan bagi pemberi, dan kemudahan bagi penerima. Doa kolektif ini memperkuat ikatan persaudaraan dan menciptakan lingkungan sosial yang damai, di mana pemberian dan penerimaan dilakukan tanpa rasa malu atau sombong.
Surah At-Taubah ayat 103 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang menghubungkan hukum (fikih), ekonomi (muamalah), dan spiritualitas (tazkiyah). Ayat ini mengajarkan umat Islam bahwa penyucian diri bukanlah proses internal semata, tetapi menuntut tindakan nyata melalui pengorbanan harta.
Penyucian yang ditawarkan melalui Zakat adalah holistik:
Kekuatan imperatif 'Khudz' menegaskan bahwa kewajiban ini harus dilaksanakan secara terpusat oleh otoritas, menjamin bahwa sistem Zakat berfungsi sebagai mekanisme penyelamat sosial dan penjaga spiritual bagi seluruh komunitas. Selama umat Islam memegang teguh tiga pilar ini—perintah mengambil Zakat, proses Tazkiyah, dan fungsi Sakan—maka keberkahan dan ketenangan jiwa akan senantiasa menyertai mereka.
Ayat 103 pada akhirnya mengajarkan sebuah filosofi hidup: bahwa kekayaan sejati bukanlah pada apa yang kita kumpulkan, melainkan pada apa yang kita berikan, dan bahwa kepemimpinan yang sejati adalah kepemimpinan yang mampu membersihkan, menumbuhkan, dan menenangkan jiwa pengikutnya.
Penyucian yang sempurna, baik bagi individu maupun masyarakat, hanya dapat dicapai ketika ketaatan terhadap perintah *Khudz min amwalihim sadaqatan* dijalankan dengan penuh kesadaran akan janji ilahi: *Tuthahhiruhum wa tuzakkihim biha*.
Demikianlah, melalui satu ayat yang ringkas namun padat, Allah Swt. membekali umat ini dengan kunci untuk kebersihan duniawi dan ukhrawi. Ketaatan terhadap hukum ini adalah cerminan dari ketulusan iman, sebagaimana Allah menutup ayat ini dengan menegaskan keagungan-Nya: وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)—Dia mendengar setiap permohonan taubat dan doa, dan Dia mengetahui setiap niat di balik setiap pemberian.
Implementasi dari Surah At-Taubah 103 adalah jihad ekonomi dan spiritual yang berkelanjutan, menuntut usaha kolektif dan individual untuk menjaga kesucian harta dan jiwa, demi mencapai kehidupan yang penuh *sakinah* (ketenangan) di dunia dan di akhirat.