QS At-Taubah Ayat 105: Fondasi Amal, Kesaksian Ilahi, dan Tanggung Jawab Sosial

Surah At-Taubah (Pengampunan), ayat ke-105, merupakan salah satu pilar utama dalam pemahaman Islam mengenai etos kerja, akuntabilitas, dan hubungan abadi antara tindakan manusia di dunia dengan balasan di akhirat. Ayat ini datang sebagai penegas bahwa setiap gerakan, niat, dan upaya yang dilakukan oleh seorang mukmin tidak pernah luput dari pengawasan. Ia adalah perintah yang tegas, sekaligus janji yang menenangkan.

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

"Dan katakanlah (Muhammad), ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, demikian juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’"

Ayat ini, dengan hanya beberapa kalimat, memuat doktrin teologis mendalam yang membentuk kerangka perilaku Islami. Ia menegaskan bahwa amal (kerja/tindakan) bukanlah sekadar aktivitas fisik, melainkan sebuah ibadah yang berada di bawah sistem pengawasan berlapis—sebuah sistem yang memastikan keikhlasan dan kualitas kerja.

I. Tafsir Perintah Bekerja (I'malu) dan Hakikat Amal

Ayat dibuka dengan perintah lugas: وَقُلِ اعْمَلُوا (Waqul i'malu), yang berarti “Dan katakanlah: Bekerjalah kamu.” Perintah ini ditujukan secara universal kepada seluruh umat Islam. Ini bukan sekadar izin, melainkan sebuah dorongan moral dan spiritual untuk tidak berdiam diri, tetapi aktif dalam membangun dunia dan akhirat.

A. Makna Luas dari Al-Amal

Kata al-Amal (pekerjaan) dalam konteks ayat ini jauh melampaui pekerjaan mencari nafkah semata. Ia mencakup tiga dimensi utama:

Perintah ‘bekerja’ ini mengikis pandangan bahwa ibadah hanya terbatas pada ritual. Sebaliknya, ayat ini menjadikan seluruh kehidupan seorang mukmin, jika didasari niat yang benar (ikhlas), sebagai ladang amal yang terus-menerus. Kualitas kerja (itqan) dan kejujuran dalam beramal menjadi tolok ukur utama, bukan hanya kuantitasnya.

B. Konteks Historis Ayat (Asbabun Nuzul)

Meskipun tafsir klasik sering mengaitkan ayat 105 dengan konteks yang lebih luas, banyak mufasir yang menempatkannya sebagai kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang membahas tentang kaum munafik dan mereka yang menunda-nunda taubat. Ayat 102 hingga 104 berbicara tentang sekelompok orang yang mengakui dosa mereka dan berjanji untuk beramal saleh. Ayat 105 kemudian berfungsi sebagai instruksi umum yang menuntut bukti nyata dari taubat mereka: berhenti dari kata-kata manis dan mulailah beraksi.

Oleh karena itu, perintah untuk beramal di sini adalah penekanan bahwa taubat yang tulus harus diikuti dengan tindakan perbaikan. Keimanan harus terwujud dalam kinerja nyata. Ayat ini mengajarkan bahwa taubat bukanlah akhir, melainkan awal dari fase kerja yang lebih intens dan bertanggung jawab.

II. Tiga Lapisan Kesaksian (Syahadah) Terhadap Amal

Inti teologis dari ayat ini terletak pada frasa فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ, yang berarti: “Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, demikian juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.” Ini adalah sistem pengawasan berlapis yang berfungsi sebagai motivasi tertinggi dan filter keikhlasan.

Representasi Tiga Tingkat Kesaksian terhadap Amal Ilustrasi tiga mata yang mengawasi sepasang tangan yang sedang bekerja, melambangkan pengawasan Allah, Rasul, dan Mukminin.
Visualisasi Tiga Tingkat Kesaksian terhadap Setiap Tindakan (Amal).

A. Kesaksian Pertama: Allah (Saksinya Abadi)

Kesaksian Allah adalah lapisan pengawasan yang paling mendasar dan mutlak. Frasa فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ (maka Allah akan melihat pekerjaanmu) menegaskan konsep Ihsan—bahwa kita beribadah seolah-olah melihat Allah, dan jika tidak bisa, yakinlah bahwa Allah melihat kita.

Penglihatan Allah (ar-Ru’yah) tidak terbatas pada penglihatan fisik. Allah melihat niat (niyyah) yang tersembunyi di dalam hati sebelum amal itu terwujud, dan Dia melihat kualitas amal ketika ia dilaksanakan. Ini adalah jaminan keadilan universal: amal yang tulus, meskipun kecil dan tidak disaksikan manusia, akan tetap dicatat dan dibalas.

Implikasi dari kesaksian Ilahi ini adalah pentingnya Ikhlas. Karena Allah mengetahui yang gaib (al-Ghaib), kita tidak bisa berpura-pura. Ikhlas menjadi satu-satunya mata uang yang sah di hadapan-Nya. Bekerja hanya untuk mencari pujian manusia (riya’) akan meruntuhkan nilai amal tersebut, meskipun secara lahiriah terlihat sempurna.

B. Kesaksian Kedua: Rasul-Nya (Saksinya Khusus)

Tafsir mengenai bagaimana Rasulullah ﷺ melihat amal kita setelah wafatnya adalah subjek yang diulas mendalam oleh ulama. Pandangan mayoritas Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa amal umat dipaparkan (diperlihatkan) kepada Rasulullah ﷺ.

Kesaksian Rasul ini berfungsi sebagai motivasi untuk melakukan amal sesuai dengan tuntunan syariat. Seorang mukmin didorong untuk tidak hanya beramal, tetapi juga beramal yang maqbul (diterima), yaitu amal yang sesuai dengan contoh terbaik (Uswah Hasanah) yang diajarkan Nabi Muhammad ﷺ.

C. Kesaksian Ketiga: Orang-Orang Mukmin (Saksinya Sosial)

Ini adalah lapisan pengawasan yang paling unik dan memiliki implikasi sosial yang besar: وَالْمُؤْمِنُونَ (dan orang-orang mukmin). Para mufasir menjelaskan kesaksian mukminin dalam beberapa cara:

Lapisan kesaksian ini menekankan bahwa Islam tidak mengizinkan pertapaan atau isolasi total. Amal seorang mukmin harus memiliki dampak positif dan terlihat baik di mata komunitas yang saleh. Ini adalah dorongan untuk menjaga etika sosial, integritas, dan menghindari hipokrisi (kemunafikan). Jika Allah melihat niat, maka mukminin melihat manifestasi dari niat tersebut melalui perilaku yang tampak.

III. Konsekuensi Akhirat: Kembali kepada Sang Maha Mengetahui

Ayat 105 ditutup dengan penegasan tentang tujuan akhir dari seluruh kerja dan kesaksian ini: وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ. Artinya: “dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

A. Konsep Al-Marji’ (Pengembalian)

Frasa ‘kamu akan dikembalikan’ (satutradduun) merujuk pada Hari Kebangkitan. Semua manusia akan kembali kepada Sang Pencipta setelah kehidupan dunia usai. Ini adalah penutup yang mengingatkan bahwa dunia hanyalah jembatan, dan tujuan utama dari ‘bekerja’ adalah mempersiapkan diri untuk pertemuan tersebut.

Pengembalian ini bersifat mutlak. Tidak ada seorang pun yang bisa bersembunyi atau lari dari pertanggungjawaban. Kesaksian yang diberikan di dunia—baik oleh Allah, Rasul, maupun Mukminin—akan menjadi bagian dari berkas putusan akhir.

B. Allah sebagai ‘Alimul Ghaib wa Asy-Syahadah

Penekanan pada sifat Allah sebagai عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ (Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata) sangat penting:

Karena Allah mengetahui keduanya, Dia adalah hakim yang paling sempurna. Amal yang tersembunyi karena ikhlas akan diberikan balasan secara penuh, dan amal yang dilakukan secara terang-terangan karena riya’ akan diungkap hakikatnya. Ayat ini menjamin bahwa keadilan absolut akan ditegakkan tanpa cela.

C. Pemberitaan Amal (At-Tanbi’ah)

Pada Hari Kiamat, Allah akan فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ (lalu Dia memberitakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan). Pemberitaan ini bukan hanya pengumuman, melainkan pemaparan menyeluruh atas catatan amal (Kitab Al-A’mal).

Pemaparan ini bersifat detail dan personal. Bahkan bagi orang yang berbuat baik, pemaparan ini akan menegaskan posisi dan kemuliaannya; bagi yang berbuat buruk, pemaparan ini akan menjadi penyesalan terbesar. Konsep ini adalah motivator tertinggi bagi seorang mukmin untuk menjaga kualitas amal setiap saat, sebab tidak ada yang tersembunyi dari catatan Ilahi.

IV. Implikasi Filosofis dan Penerapan Ayat 105 dalam Kehidupan Kontemporer

Q.S. At-Taubah 105 bukan hanya ayat tafsir; ia adalah manual operasional bagi setiap individu yang mengaku beriman. Ayat ini mengajarkan prinsip-prinsip etos kerja, manajemen waktu, dan integritas yang berlaku sepanjang zaman.

A. Etos Kerja Berbasis Akuntabilitas Ilahi

Dalam ekonomi dan pekerjaan modern, sering kali dorongan utama adalah keuntungan material atau pengakuan atasan. Ayat 105 membalikkan piramida motivasi ini. Motivasi tertinggi bukanlah gaji atau promosi, melainkan kesadaran bahwa Allah, Rasul-Nya, dan komunitas mukminin melihat apa yang kita lakukan.

Hal ini mendorong konsep Itqan (kesempurnaan/profesionalisme) dalam bekerja. Seseorang yang menerapkan At-Taubah 105 tidak akan korupsi, tidak akan menipu dalam takaran, dan tidak akan menunda-nunda pekerjaan, bahkan ketika dia bekerja sendirian tanpa pengawasan manusia, karena dia tahu bahwa pengawasan Ilahi bersifat konstan dan tak terhindarkan.

B. Membangun Kesadaran Sosial (Syahadah Al-Mukminin)

Lapisan kesaksian mukminin mencegah individualisme ekstrem. Ayat ini mewajibkan seorang mukmin untuk tidak hanya fokus pada amalnya sendiri, tetapi juga untuk menjadi bagian aktif dari masyarakat yang saling menasihati dalam kebaikan.

Jika kita tahu bahwa amal kita dilihat oleh orang-orang mukmin, kita didorong untuk menjaga citra baik (murua’ah) dan menjadi teladan. Sebaliknya, mukminin yang lain memiliki tanggung jawab untuk memberikan umpan balik yang konstruktif (nasihat) dan menolong sesama dalam kebaikan, sehingga lingkaran pengawasan sosial ini tetap sehat dan berfungsi.

Di era digital, di mana tindakan sering kali tersembunyi di balik layar, kesadaran akan ‘Syahadah Al-Mukminin’ ini menjadi pengingat untuk menjaga etika digital. Apa yang diunggah, ditulis, atau disebarkan di ruang publik adalah ‘amal’ yang disaksikan, dan akan dimintai pertanggungjawaban.

C. Hubungan Timbal Balik Antara Iman dan Amal

Iman (kepercayaan) dan Amal (tindakan) sering diperdebatkan dalam teologi, namun ayat 105 secara definitif menyatukan keduanya. Perintah ‘Bekerjalah’ adalah buah dari iman. Tanpa iman yang kokoh, amal hanya menjadi gerakan tanpa ruh; tanpa amal, iman hanya menjadi klaim kosong.

Kesadaran akan Alimul Ghaib wa Asy-Syahadah mengajarkan bahwa kualitas iman diukur dari konsistensi dan integritas amal, baik yang tersembunyi (ghaib) maupun yang terlihat (syahadah). Jika seseorang berusaha keras dalam amal yang dilihat manusia (misalnya, bersedekah di depan umum) tetapi lalai dalam amal yang gaib (misalnya, salat malam atau menjaga lisan saat sendirian), maka integritas imannya patut dipertanyakan.

V. Dimensi Kontinuitas: Amal Sebagai Jembatan Dunia dan Akhirat

Ayat 105 memberikan garis waktu yang jelas mengenai perjalanan amal: dari perintah di masa kini (I’malu), pengawasan berkelanjutan (fasayarallahu), hingga pertanggungjawaban di masa depan (satutradduun). Kontinuitas ini adalah esensi dari kehidupan Islami.

A. Konsep Rasa Malaikat Pencatat dan Penglihatan Allah

Meskipun kita tahu ada malaikat Raqib dan Atid yang mencatat, ayat ini memilih untuk menonjolkan penglihatan langsung dari Allah, Rasul, dan Mukminin. Penglihatan Allah melampaui catatan fisik malaikat. Penglihatan ini bersifat langsung, menyeluruh, dan memuat penilaian kualitas batin (niat) yang tidak bisa dicatat oleh makhluk.

Penguatan rasa pengawasan langsung ini, yang sering disebut sebagai Muraqabah, adalah mekanisme psikologis dan spiritual untuk mencapai kedisiplinan diri tertinggi. Muraqabah memastikan bahwa amal dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa tidak ada detail yang terlewatkan. Kehidupan seorang mukmin harus menjadi rentetan tindakan yang berkualitas tinggi karena setiap detik dinilai oleh Sang Pencipta.

B. Memahami 'Syahadah' Rasul pasca Wafat

Para ulama seperti Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Katsir menekankan bahwa pemaparan amal kepada Rasulullah ﷺ merupakan kemuliaan tersendiri bagi beliau dan juga rahmat bagi umat. Ini menunjukkan hubungan yang tidak terputus antara Nabi dan pengikutnya.

Pemaparan ini, walau bersifat ghaib bagi kita, memberikan makna mendalam pada usaha kita untuk mengikuti sunnah beliau. Mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ akan melihat amal kita seharusnya memotivasi kita untuk melakukan amal yang akan membuatnya bangga, dan menghindar dari amal yang akan membuatnya sedih atau memohonkan ampunan bagi kita.

Hal ini juga terkait dengan konsep syafaat. Rasulullah ﷺ, sebagai saksi atas umat, memiliki kedudukan khusus untuk memberikan syafaat kelak di akhirat. Kualitas amal yang dilihatnya di dunia ini akan menentukan sejauh mana kita pantas menerima kemurahan dari syafaat tersebut.

C. Amal dan Keadilan Struktural

Penerapan ayat 105 tidak hanya berlaku pada level individu, tetapi juga pada level struktural dan kepemimpinan. Pemimpin yang memahami ayat ini akan menyadari bahwa kekuasaan, sumber daya, dan keputusan yang dibuat adalah ‘amal’ yang disaksikan oleh tiga lapisan tersebut.

Dengan demikian, ayat ini merupakan landasan etika untuk reformasi sosial dan tata kelola yang baik (good governance) dalam perspektif Islam, menuntut integritas menyeluruh dari atas hingga bawah.

VI. Analisis Linguistik dan Pilihan Kata dalam Ayat 105

Keagungan ayat Al-Qur'an sering terletak pada pilihan kata yang spesifik. Dalam At-Taubah 105, setiap kata kerja dan kata benda membawa makna teologis yang mendalam:

A. Penggunaan Huruf Sīn (س) pada ‘Fasayarā’ (Akan Melihat)

Penggunaan huruf sīn (س) di awal kata kerja سَيَرَى (sayarā) menunjukkan masa depan yang dekat atau kepastian yang akan datang. Allah ‘akan melihat’ pekerjaanmu. Ini bukan sekadar janji, tetapi sebuah kepastian yang akan terwujud. Hal ini memperkuat rasa akuntabilitas instan—bahwa penglihatan Allah terhadap amal itu bukan ditunda hingga Hari Kiamat, tetapi terus berlangsung setiap saat.

B. Kontras Ghaib dan Syahadah

Penyandingan الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ (Al-Ghaib dan Asy-Syahadah) adalah pasangan kata kunci yang mendefinisikan otoritas Allah secara absolut. Dalam bahasa Arab, Syahadah berarti ‘yang disaksikan’ atau ‘yang hadir’, sedangkan Ghaib berarti ‘yang tersembunyi’ atau ‘yang tidak hadir’ di hadapan panca indra.

Ketika Allah disebut sebagai ‘Alimul Ghaib wa Asy-Syahadah, ini menghilangkan setiap celah keraguan. Tidak ada satupun sudut kehidupan, baik yang tersembunyi di balik dinding hati maupun yang terbentang luas di hadapan mata dunia, yang luput dari pengetahuan dan kekuasaan-Nya. Ini memberikan penghiburan bagi yang dizalimi dan peringatan keras bagi yang zalim.

C. Penutup dengan ‘Tunabbi'ukum’ (Dia Memberitakan Kepada Kamu)

Ayat ditutup dengan kata kerja فَيُنَبِّئُكُم (fayunabbi'ukum), yang berasal dari kata Naba’, yang berarti ‘berita penting’ atau ‘berita besar’. Allah tidak sekadar ‘memberitahu’ (yakulu), tetapi ‘memberitakan’ (yunabbi'u) amal perbuatan kita.

Kata ini menyiratkan formalitas, kebenaran yang tak terbantahkan, dan sifat yang definitif. Ketika Allah memberitakan amal kita, itu adalah keputusan akhir yang mencakup seluruh detail dan hakikat dari niat terdalam hingga dampak terluarnya. Ini menegaskan bobot dari pertanggungjawaban yang akan dihadapi.

VII. Ikhlas dan Manajemen Niat di Bawah Tiga Kesaksian

Inti spiritual dari At-Taubah 105 adalah Ikhlas (ketulusan niat). Dalam pandangan Islam, amal yang paling besar sekalipun dapat runtuh nilainya tanpa keikhlasan, dan amal yang paling kecil dapat menjadi berat timbangannya dengan adanya niat yang tulus semata-mata karena Allah.

A. Menghindari Riya’ (Pamer) dalam Amal yang Terlihat

Karena amal kita dilihat oleh ‘orang-orang mukmin’, terdapat godaan besar untuk beramal demi pujian (Riya’). Ayat ini memberikan resep spiritual untuk mengatasi riya’:

Alih-alih menyembunyikan amal baik sepenuhnya (yang kadang sulit dalam pekerjaan publik), fokusnya harus dialihkan dari pandangan manusia menuju pandangan Allah. Ketika seseorang merasa terdorong untuk pamer, ia harus segera mengingat bahwa فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ. Penglihatan Allah jauh lebih berharga dan abadi daripada sanjungan manusia yang sementara.

Kehadiran mukminin sebagai saksi seharusnya berfungsi sebagai motivasi untuk mempertahankan standar moral yang tinggi, bukan sebagai alasan untuk berpuas diri dengan penampilan luar. Mukminin yang sejati adalah cermin yang membantu kita melihat kekurangan diri, bukan panggung untuk pertunjukan diri.

B. Memperkuat Amal Sirr (Rahasia)

Kesadaran bahwa Allah adalah ‘Alimul Ghaib memberikan energi besar untuk melakukan amal-amal rahasia (amal sirr). Amal yang tidak diketahui oleh siapapun selain Allah dan diri sendiri memiliki nilai yang sangat tinggi karena menjamin kemurnian niat.

Dalam sejarah Islam, para salafus saleh dikenal sangat menjaga amal sirr mereka. Mereka memahami bahwa amal sirr adalah benteng keikhlasan. Ayat 105 secara halus mendorong keseimbangan: bekerjalah secara nyata di dunia (syahadah) dan perkuat niat di hati (ghaib).

C. Kesabaran dan Konsistensi (Istiqamah)

Perjalanan amal adalah marathon, bukan sprint. Ayat ini menuntut istiqamah (konsistensi) karena pengawasan Allah, Rasul, dan Mukminin adalah berkelanjutan. Nilai amal di mata Allah tidak hanya dinilai dari puncak performa sesaat, tetapi dari ketekunan dan konsistensi yang ditunjukkan sepanjang hidup.

Seorang mukmin yang bekerja berdasarkan ayat 105 akan terus memperbaiki diri, tidak patah semangat oleh kritik (selama kritik itu benar dan konstruktif dari mukminin), dan tidak sombong oleh pujian, karena ia tahu bahwa ujian sesungguhnya ada di akhirat, di hadapan Sang Maha Mengetahui.

VIII. Penutup: Pesan Abadi At-Taubah Ayat 105

Q.S. At-Taubah 105 adalah salah satu ayat paling komprehensif yang merangkum etika, teologi, dan hukum sosial dalam Islam. Ia menghancurkan batas antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta ritual dan non-ritual. Setiap hembusan napas dan setiap tindakan dianggap sebagai sebuah ‘amal’ yang direkam dalam sistem pengawasan yang sempurna.

Pesan intinya jelas: Bekerjalah, karena pekerjaanmu adalah ibadahmu.

Ayat ini mengajak kita untuk hidup dengan kesadaran tiga dimensi:

  1. Kesadaran Vertikal (Allah): Bekerja dengan keikhlasan mutlak, karena Dia adalah Sang Maha Melihat yang Ghaib. Ini menumbuhkan ketakwaan pribadi (taqwa).
  2. Kesadaran Kenabian (Rasul): Bekerja dengan kepatuhan syariat, karena tindakan kita dipaparkan kepada Sang Pembawa Risalah. Ini menjamin keabsahan amal (ittiba'us sunnah).
  3. Kesadaran Horizontal (Mukminin): Bekerja dengan integritas sosial, karena tindakan kita menjadi teladan atau ujian bagi komunitas. Ini memperkuat solidaritas dan etika sosial.

Pada akhirnya, seluruh kerja keras, pengawasan, dan ujian di dunia ini hanyalah persiapan untuk momen ‘pengembalian’ di mana Allah, Yang Mengetahui segala yang tersembunyi dan terlihat, akan memberitakan secara rinci apa yang telah kita kerjakan. Kesadaran ini adalah kompas abadi bagi setiap muslim untuk mengarungi bahtera kehidupan menuju pelabuhan keabadian yang diridai.

IX. Pendalaman Konsep Tauhid dalam Etos Kerja

Ayat 105 adalah manifestasi praktis dari tauhid rububiyyah dan uluhiyyah. Tauhid rububiyyah mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta dan Pengatur alam semesta; oleh karena itu, kerja keras (amal) adalah bagian dari takdir yang harus dijalankan. Tauhid uluhiyyah mengajarkan bahwa hanya Allah yang berhak disembah; oleh karena itu, amal harus ditujukan hanya kepada-Nya (Ikhlas).

Keterkaitan amal dengan tauhid terlihat jelas dalam sistem pengawasan: hanya yang memiliki otoritas penciptaan dan pengetahuan sempurna (Allah) yang mampu menjadi saksi sejati atas niat. Jika kita bekerja karena yakin bahwa Allah melihat (muraqabah), maka kita telah mengaplikasikan tauhid dalam perilaku sehari-hari, mengubah pekerjaan profan menjadi ritual yang suci.

A. Konsep Rizki dan Amal dalam Pandangan Ayat

Beberapa orang salah memahami konsep tawakkal (berserah diri) dan berhenti bekerja, menunggu rezeki datang begitu saja. Ayat 105 menolak pandangan fatalistik ini. Tawakkal yang benar harus didahului oleh amal yang maksimal. Perintah اعْمَلُوا adalah prasyarat spiritual dan material sebelum berserah diri kepada Allah atas hasilnya.

Dalam mencari rezeki, seorang mukmin harus memastikan amalnya tidak hanya produktif, tetapi juga halal, karena amal yang dilihat Allah meliputi cara mendapatkan rezeki tersebut. Kekayaan yang diperoleh melalui jalan haram, meskipun terlihat sukses di hadapan mukminin, akan runtuh nilainya di hadapan Alimul Ghaib.

B. Kesaksian Nabi dan Kehidupan Setelah Wafat

Pemahaman mengenai ‘penglihatan’ Rasulullah ﷺ pasca-wafat membuka diskusi teologis tentang alam barzakh. Walaupun kita tidak dapat membandingkan dimensi keberadaan beliau di barzakh dengan kehidupan dunia, yang pasti adalah fungsi kesaksian tersebut tetap aktif dan relevan. Ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan Nabi Muhammad ﷺ sebagai perantara (bukan dalam ibadah, tetapi dalam pengawasan). Beliau adalah syahid (saksi) atas umatnya.

Seorang ulama besar pernah berkata, “Jika engkau tahu amalmu akan dipaparkan kepada yang lebih rendah kedudukannya darimu, tentu engkau akan memperbaikinya. Maka bagaimana jika amalmu dipaparkan kepada kekasih Allah yang paling agung?” Pertanyaan retoris ini menggarisbawahi urgensi untuk menyelaraskan setiap tindakan dengan standar Sunnah Nabi.

X. Memperluas Makna Tanggung Jawab Sosial (Fardhu Kifayah)

Amal yang diperintahkan dalam ayat ini mencakup fardhu ‘ain (kewajiban individu) dan fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Ketika masyarakat membutuhkan dokter, insinyur, atau pendidik, melaksanakan pekerjaan tersebut dengan profesionalisme yang tinggi (Itqan) adalah bagian dari amal yang disaksikan oleh mukminin.

A. Profesionalisme Sebagai Ibadah

Ayat 105 adalah landasan bagi profesionalisme Islami. Dalam pekerjaan, keahlian dan kejujuran harus beriringan. Seorang arsitek yang merancang bangunan harus melakukannya dengan integritas teknis, karena jika bangunannya roboh akibat kelalaian, itu adalah ‘amal buruk’ yang disaksikan oleh Allah, Rasul, dan mukminin. Sebaliknya, seorang guru yang mengajar dengan sabar dan tulus sedang melakukan amal saleh yang tercatat dalam ketiga lapisan kesaksian tersebut.

B. Syarat-Syarat Penerimaan Amal Menurut Ayat

Berdasarkan At-Taubah 105, amal yang diterima (maqbul) harus memenuhi dua syarat utama yang ditegaskan dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan kedua syarat ini terbungkus dalam sistem pengawasan:

  1. As-Shawāb (Kebenaran): Amal harus benar secara syariat, sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Inilah fungsi kesaksian Rasul.
  2. Al-Ikhlās (Ketulusan): Amal harus ikhlas, dilakukan semata-mata karena Allah. Inilah fungsi kesaksian Allah sebagai Alimul Ghaib.

Kedua syarat ini tidak bisa dipisahkan. Amal tanpa ketulusan adalah debu yang berterbangan, dan amal yang tulus tetapi tidak sesuai syariat (bid’ah) adalah penolakan terhadap kepemimpinan Rasul. Ayat 105 memastikan bahwa kedua dimensi ini selalu termotivasi melalui kesadaran akan pengawasan abadi.

XI. Kontrol Diri (Muhasabah) dan Persiapan Menghadap ‘Alimul Ghaib

Jika kita tahu akan ada pemaparan detail tentang seluruh perbuatan kita, maka kewajiban untuk melakukan Muhasabah (introspeksi diri) menjadi sangat mendesak. Muhasabah adalah proses harian untuk meninjau kembali amal yang telah dilakukan, sebelum ia ditinjau oleh Allah di akhirat.

A. Muhasabah Sebelum, Saat, dan Sesudah Amal

Dengan menerapkan Muhasabah yang ketat, seorang mukmin secara proaktif merespons ancaman pemaparan amal di akhirat. Dia mencoba membersihkan ‘berkas’nya di dunia sebelum berkas tersebut diserahkan kepada Sang Hakim Yang Maha Adil.

At-Taubah 105, dengan segala kedalaman maknanya, adalah seruan untuk bertindak, sebuah tantangan untuk mencapai keikhlasan tertinggi, dan sebuah janji mengenai keadilan absolut. Ia menegaskan bahwa setiap mukmin adalah seorang pekerja, dan setiap pekerja adalah subjek pengawasan Ilahi yang sempurna dan berkelanjutan.

Hanya dengan menyadari penuh bahwa setiap langkah kehidupan adalah amal yang disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya, dan Mukminin, seorang hamba dapat mencapai puncak ketaatan dan mempersiapkan diri untuk saat pengembalian yang pasti: وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ.

🏠 Homepage