Mendalami Ayat 105 Surah At-Taubah: Pilar Ibadah dan Pertanggungjawaban
Surah At-Taubah adalah salah satu surah yang memiliki kekhasan signifikan dalam Al-Qur'an, sering kali membahas ketegasan hukum, perjanjian, dan pembedaan yang jelas antara kaum Mukminin dan kaum Munafikin. Di tengah rangkaian ayat-ayat yang menekankan pentingnya kejujuran iman dan kesungguhan dalam berjihad, muncullah sebuah seruan universal yang menjadi landasan etos kerja setiap Muslim: Ayat 105. Ayat ini tidak hanya memerintahkan umat untuk bekerja, tetapi juga menetapkan kerangka pengawasan ilahi dan pengembalian final kepada Sang Maha Mengetahui.
Teks Arab, Transliterasi Latin, dan Terjemah
Analisis Mendalam Lafazh Kunci (Tahlil Lafzi)
Untuk memahami kedalaman pesan dalam At-Taubah 105, kita harus mengupas lafazh-lafazh penting yang menyusun struktur ayat ini. Setiap kata membawa bobot makna yang fundamental bagi akidah dan syariat Islam.
1. Kata Kunci: وَقُلِ اعْمَلُوا (Wa Qul I'malū) – Dan Katakanlah: Bekerjalah
Ayat ini dimulai dengan perintah ganda: 'Qul' (Katakanlah) yang ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan 'I'malū' (Bekerjalah/Beramallah) yang ditujukan kepada seluruh umat. Lafazh 'I'malū' adalah bentuk perintah jamak (amar), yang menegaskan bahwa amal, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, bukanlah pilihan sekunder, melainkan keharusan yang mengikat. Kata ‘Amal’ dalam konteks ini jauh lebih luas dari sekadar 'kerja fisik'; ia mencakup segala bentuk usaha, tindakan, niat, ibadah, dan kontribusi sosial. Perintah ini datang setelah Allah SWT menjelaskan perihal orang-orang yang bertaubat dan yang masih lalai, menunjukkan bahwa taubat harus diikuti oleh aksi nyata, bukan sekadar pengakuan lisan. Ini adalah seruan untuk produktivitas yang berlandaskan takwa.
Perintah I'malū menetapkan etos proaktif dalam Islam. Tidak ada ruang bagi kepasifan atau fatalisme yang salah tafsir. Seorang Muslim diwajibkan untuk mengerahkan segala upaya dalam mencari rezeki, menuntut ilmu, dan beribadah, sebelum menyerahkan hasilnya kepada kehendak Ilahi. Intensitas perintah ini menunjukkan bahwa waktu yang dimiliki manusia harus diisi dengan perbuatan yang bernilai, baik di mata Allah maupun bermanfaat bagi sesama manusia.
2. Konsep Pengawasan: فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ (Fasayarallāhu ‘Amalakum)
Lafazh 'Fasayarallāhu' mengandung huruf ‘Fa’ yang berarti akibat atau oleh karena itu, dan huruf ‘Sa’ yang menunjukkan masa depan yang dekat (segera). Artinya, "Maka, Allah akan segera melihat/menyaksikan amalmu." Penglihatan Allah di sini bukan hanya sekadar mengetahui, melainkan mencakup penilaian, pengawasan menyeluruh, dan pencatatan yang detail. Tidak ada satu pun niat tersembunyi atau usaha tersembunyi yang luput dari pandangan-Nya.
Penegasan bahwa Allah adalah pengawas utama berfungsi sebagai pengingat fundamental tentang keikhlasan. Ketika seseorang sadar bahwa Allah menyaksikan setiap geraknya, ia akan termotivasi untuk menjaga kualitas dan integritas amalnya, terlepas dari pengakuan manusia. Kesadaran ini membentuk fondasi dari konsep ihsan (beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika tidak mampu, yakinlah bahwa Allah melihatmu).
3. Tiga Saksi: وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ (Wa Rasūluhū Wal Mu’minūn)
Ayat ini menambahkan dua lapisan pengawasan selain Allah SWT: Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin. Pengawasan ini bersifat ganda:
- Rasulullah ﷺ: Selama beliau hidup, beliau melihat dan menilai amal umatnya secara langsung. Setelah wafatnya, pandangan ini ditafsirkan ulama sebagai penyampaian amal umat kepada beliau di alam barzakh, atau melalui sunnah dan syariat yang beliau tinggalkan. Ketaatan terhadap sunnah adalah manifestasi dari amal yang disaksikan dan disetujui oleh Rasulullah.
- Orang-orang Mukmin: Pengawasan kaum Mukminin merujuk pada aspek sosial dan komunitas dari ibadah dan amal. Amal yang baik akan menciptakan teladan yang baik (sunnah hasanah) dan disaksikan oleh masyarakat. Dalam ilmu fikih, ini terkait dengan konsep kesaksian jamaah (syahadah al-jamaah) atas kebaikan atau keburukan seseorang, yang akan menjadi bagian dari catatan akhiratnya. Ini mendorong transparansi, tanggung jawab sosial, dan pencegahan riya’ (pamer) yang negatif, karena amal harus tetap ikhlas meskipun disaksikan.
Tiga tingkat kesaksian ini—Ilahi, Kenabian, dan Komunal—menjamin bahwa amal manusia akan diuji secara komprehensif, baik dari sisi niat (hanya Allah yang tahu) maupun dari sisi dampak dan pelaksanaan (yang dilihat oleh Rasul dan Mukminin).
4. Pengembalian: وَسَتُرَدُّونَ (Wa Saturaddūna)
Kata 'Saturaddūna' berarti "dan kalian akan dikembalikan." Huruf ‘Sa’ di sini kembali menekankan kepastian waktu yang akan datang. Pengembalian ini merujuk pada hari Kiamat, hari perhitungan (Hisab) dan pembalasan (Jaza’). Struktur kalimat ini memberikan peringatan keras bahwa kehidupan dunia adalah sementara dan setiap individu pasti akan kembali kepada pencipta mereka untuk diadili.
Kesadaran akan ‘pengembalian’ ini seharusnya menjadi pendorong utama bagi kualitas amal. Setiap kerja keras di dunia adalah investasi untuk hari di mana segala upaya akan dipertanggungjawabkan secara mutlak.
5. Sang Maha Mengetahui: إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ (Ilā ‘Ālimil-Ghaibi Wasy-Syahādah)
Frasa ini adalah penegasan terhadap salah satu sifat agung Allah SWT, bahwa Dia adalah Yang Mengetahui hal-hal yang tersembunyi (Ghaib) dan hal-hal yang tampak (Syahādah). Ilmu Allah meliputi hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia (seperti niat, masa depan, dan takdir), serta hal-hal yang nyata dan teramati di dunia (perilaku dan hasil pekerjaan).
Penegasan sifat ini di akhir ayat memperkuat makna pertanggungjawaban. Hakim pada hari itu adalah Dzat yang tidak mungkin melakukan kesalahan atau kekeliruan, karena ilmu-Nya mencakup setiap dimensi waktu, ruang, dan batin. Ini menjamin keadilan yang sempurna dalam proses perhitungan amal.
Tafsir Tematik Ayat 105: Fondasi Etika Kerja Islam
Ayat 105 berfungsi sebagai fondasi teologis bagi etika kerja (amal) dalam Islam, menggabungkan motivasi spiritual (keikhlasan) dan tanggung jawab sosial (kualitas kerja).
Motivasi Amal: Bukan Hanya Ibadah Ritual
Meskipun Surah At-Taubah banyak berbicara tentang taubat dan jihad, perintah 'I'malū' mencakup semua dimensi kehidupan. Dalam konteks yang lebih luas, amal yang dimaksudkan mencakup:
- Amal Ibadah (Ukhrawi): Shalat, puasa, zakat, haji, dan dzikir, yang harus dilakukan dengan keikhlasan tertinggi karena disaksikan langsung oleh Allah.
- Amal Muamalah (Duniawi): Bekerja mencari nafkah, pendidikan, penelitian, pembangunan masyarakat, dan segala bentuk kontribusi positif. Semua aktivitas ini diangkat derajatnya menjadi ibadah jika diniatkan karena Allah dan dilakukan sesuai syariat.
Ayat ini menghilangkan dikotomi antara kehidupan dunia dan akhirat. Seluruh pekerjaan duniawi dapat diintegrasikan ke dalam tujuan akhirat, asalkan dilakukan dengan itqan (profesionalisme) dan amanah (integritas), mengingat adanya tiga tingkatan pengawasan.
Keikhlasan dan Peringatan Riya’
Aspek 'Allah melihat' adalah penekanan tertinggi pada keikhlasan (Ikhlas). Seorang Mukmin harus bekerja keras dengan kesadaran bahwa nilai sebenarnya dari amal terletak pada niatnya, yang hanya diketahui Allah. Namun, penyebutan Rasul dan Mukminin sebagai saksi memberikan keseimbangan penting.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa pengawasan Mukminin adalah pengawasan kualitas dan dampak. Jika amal seseorang buruk, masyarakat akan mengetahuinya, dan jika baik, ia akan memberikan inspirasi. Hal ini mendorong seseorang untuk tidak menyembunyikan kebaikan karena takut dianggap riya’, tetapi justru melaksanakan kebaikan secara terang-terangan jika itu mendorong orang lain, selama niat utamanya tetap karena Allah.
Hakikat Pengawasan Komunal (Syahadah Al-Mukminin)
Dalam masyarakat modern, ayat ini mengilhami prinsip akuntabilitas dan transparansi. Pengawasan oleh "orang-orang Mukmin" dapat dimaknai sebagai pengawasan institusional, audit, dan evaluasi publik yang dilakukan oleh komunitas profesional atau lembaga berwenang yang jujur.
Implikasi dari pengawasan ini adalah bahwa pekerjaan harus memenuhi standar etika tertinggi. Seorang pedagang harus jujur dalam timbangan, seorang insinyur harus kokoh dalam perencanaan bangunan, dan seorang pendidik harus tulus dalam pengajaran, karena komunitas akan menjadi saksi atas hasil kerja mereka. Kualitas kerja (itqan) adalah bagian tak terpisahkan dari iman.
Alt Text: Ilustrasi Kerja dan Pengawasan (Amal dan Syahadah). Sebuah visualisasi etos kerja yang disaksikan oleh tiga pihak, menuntun pada pertanggungjawaban.
Penekanan pada Akidah: Hari Perhitungan Mutlak
Bagian kedua ayat, yang berbicara tentang pengembalian kepada ‘Ālimil-Ghaibi Wasy-Syahādah, adalah penutup yang berfungsi sebagai pemutus argumen dan penegas akidah. Ini adalah bagian yang paling menggugah kesadaran eskatologis.
Sifat Ilmu Allah: Ghaib dan Syahādah
Mengapa Allah perlu menekankan bahwa Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata? Penekanan ini memastikan bahwa tidak ada celah bagi manusia untuk lari dari pertanggungjawaban. Dalam sistem hukum manusia, terkadang bukti fisik (syahādah) hilang atau niat (ghaib) sulit dibuktikan. Namun, di hadapan Allah, seluruh arsip alam semesta—termasuk niat terdalam dan peluang yang terlewatkan—akan terungkap. Tidak ada alibi, tidak ada penangguhan, dan tidak ada pengacara yang mampu membela.
Inilah yang dimaksud dengan "fa yunabbi’ukum bimā kuntum ta’malūn" (lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan). Pemberitaan ini bukan sekadar pengumuman, melainkan penyajian detail catatan amal yang sempurna, mencakup konteks, kualitas, dan niat di balik setiap perbuatan. Kesadaran akan presentasi akhir ini harus mendorong manusia untuk selalu berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan, karena semuanya direkam secara akurat.
Implikasi Fiqih dan Syariat dari At-Taubah 105
Ayat ini memiliki implikasi hukum dan praktis yang mendalam dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam etika bermuamalah dan integritas publik.
Amanah dan Akuntabilitas
Konsep amanah (kepercayaan) secara langsung terkait dengan perintah untuk bekerja. Ketika seseorang diberi tanggung jawab, baik sebagai pemimpin, karyawan, atau bahkan hanya sebagai anggota keluarga, ia telah menerima amanah yang akan disaksikan oleh Allah. Kegagalan dalam amanah, seperti korupsi, penipuan, atau kemalasan yang disengaja, tidak hanya merugikan manusia (yang disaksikan oleh Mukminin), tetapi juga melanggar janji di hadapan Allah.
Dalam fiqih muamalah, ayat ini menjadi landasan mengapa standar kejujuran dan profesionalisme harus lebih tinggi dalam transaksi Islam dibandingkan sistem lainnya. Sebab, pengawasan di sini bersifat metafisik dan temporal. Setiap kecurangan yang berhasil disembunyikan dari manusia (Ghaib bagi manusia) akan nyata di hadapan Sang Pencipta (Syahādah bagi Allah).
Hubungan dengan Ayat Taubat
Ayat 105 muncul setelah ayat-ayat yang berbicara tentang taubatnya sekelompok orang yang sebelumnya menunda-nunda keikutsertaan mereka dalam peperangan (seperti Perang Tabuk). Taubat mereka diterima, tetapi Ayat 105 hadir sebagai penutup yang esensial: Taubat harus dibuktikan dengan perbuatan baik yang berkesinambungan. Tidak cukup hanya menyesal; yang utama adalah mengubah penyesalan menjadi energi produktif untuk masa depan. Ini berarti taubat yang murni adalah taubat yang disempurnakan dengan amal saleh.
Para Munafikin yang lalai adalah antitesis dari perintah ‘I'malū’. Mereka hanya berpura-pura, sehingga pekerjaan mereka (jika ada) tidak memiliki kualitas dan ketulusan. Sebaliknya, orang-orang yang bertaubat sejati harus membalas kelalaian masa lalu dengan etos kerja yang kuat, yang disaksikan oleh tiga pihak tersebut.
Etos Produktivitas dan Pemanfaatan Waktu
‘I'malū’ adalah seruan untuk memanfaatkan waktu secara maksimal. Waktu adalah modal utama (ra'sul mal) seorang Mukmin. Jika amal adalah investasi, maka setiap detik yang berlalu tanpa produktivitas (baik duniawi maupun ukhrawi) adalah kerugian. Ayat ini menjadi dorongan bagi umat Islam untuk menjadi garda terdepan dalam inovasi, ilmu pengetahuan, dan pembangunan peradaban, karena seluruh usaha tersebut dihitung sebagai amal saleh jika diniatkan benar.
Perluasan Tafsir Klasik dan Modern
Para mufasir sepanjang sejarah telah memberikan interpretasi yang kaya terhadap Ayat 105, memperkuat universalitas pesannya.
Tafsir Imam At-Tabari
Imam At-Tabari menekankan bahwa perintah 'I'malū' ditujukan secara khusus kepada mereka yang bertaubat agar mereka menunjukkan kesungguhan mereka melalui amal nyata setelah sebelumnya dikritik karena kelalaian. Bagi At-Tabari, ‘amal’ di sini berfungsi sebagai bukti otentik dari klaim keimanan dan taubat mereka. Allah akan melihat kebenaran niat mereka, dan kaum Mukminin akan melihat dampak nyata dari perubahan perilaku mereka, sehingga taubat mereka diakui secara sosial.
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir berfokus pada aspek pengawasan, menjelaskan bahwa penyebutan Rasul dan Mukminin bertujuan untuk memberikan dorongan moral (tahdhid) dan peringatan. Rasulullah dan kaum Mukminin menjadi saksi kebaikan di dunia, yang akan memperkuat posisi seseorang di akhirat. Beliau juga menegaskan bahwa ilmu Allah yang mencakup ‘ghaib’ (tersembunyi) memastikan bahwa amal yang disembunyikan (seperti shalat malam atau sedekah rahasia) tidak akan sia-sia, bahkan memiliki pahala yang lebih besar karena keikhlasannya.
Interpretasi Kontekstual Modern
Dalam konteks modern, ulama kontemporer sering menggunakan ayat ini sebagai dasar untuk membangun etos kerja yang profesional. Mereka menafsirkan ‘Amalakum’ sebagai kualitas produk, layanan, atau hasil akademik. Jika amal adalah hasil kerja seorang insinyur, maka kualitas struktur yang ia bangun adalah amal yang disaksikan oleh Mukminin (masyarakat pengguna). Jika ia lalai, kerusakan struktur tersebut menjadi saksi keburukan amalnya. Dengan demikian, profesionalisme dan tanggung jawab teknis adalah bagian dari tuntutan syariat yang berakar pada At-Taubah 105.
Sinergi Antara Keikhlasan dan Kualitas (Itqan)
Ayat 105 dengan cerdas menyandingkan dua tuntutan besar dalam Islam: Ikhlas (niat yang benar, ranah Ghaib) dan Itqan (kualitas kerja yang unggul, ranah Syahādah).
Ikhlas sebagai Pondasi
Karena Allah yang melihat niat terdalam, keikhlasan mutlak menjadi prasyarat diterimanya amal. Jika seseorang bekerja keras hanya demi pujian (riya’) atau materi semata, ia mungkin sukses di dunia (Syahādah), tetapi amalnya di hadapan Allah nihil (Ghaib).
Itqan sebagai Manifestasi
Kualitas kerja adalah bukti fisik dari iman. Hadis Nabi ﷺ menyebutkan bahwa Allah mencintai ketika seseorang melakukan suatu pekerjaan dengan itqan (profesionalisme/kesempurnaan). Ketika Mukminin menyaksikan pekerjaan yang berkualitas tinggi dan bermanfaat, mereka memberikan kesaksian positif, yang merupakan rahmat dari Allah atas amal yang dilakukan.
Ayat ini mengajarkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memilih salah satu. Amal haruslah Ikhlas di hati, dan Itqan dalam pelaksanaan. Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam menunaikan perintah ‘I'malū’.
Sejauh mana aplikasi ayat ini dalam kehidupan sehari-hari? Ia menuntut konsistensi. Seorang pekerja di kantor, seorang ibu rumah tangga yang mendidik anak, seorang pelajar yang menuntut ilmu—semua berada di bawah payung pengawasan ini. Kerajinan seorang ibu dalam menjaga kebersihan rumah, kesabaran seorang guru dalam mengajar, atau integritas seorang politisi dalam melayani publik, semuanya adalah amal yang akan dilihat Allah, Rasul-Nya (melalui kepatuhan syariat), dan komunitas Mukminin yang merasakan dampaknya.
Pentingnya Pengembalian dan Ilmu Ilahi
Kesadaran bahwa kita akan dikembalikan kepada 'Alimil Ghaib Wasy-Syahādah adalah pengingat paling efektif untuk tidak pernah berpuas diri dengan amal yang minim. Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menunda, berbuat curang, atau berlaku lalai. Namun, peringatan tegas di akhir ayat ini menyingkirkan semua alasan tersebut. Pertanggungjawaban di Hari Akhir adalah realitas yang akan dihadapi oleh setiap individu, di mana segala 'ketidaktahuan' di dunia akan diangkat, dan kebenaran akan disajikan secara telanjang.
Ini adalah seruan untuk terus menerus melakukan muhasabah (introspeksi). Apakah amal yang sedang saya lakukan saat ini cukup berkualitas untuk disajikan di hadapan Allah SWT? Apakah ia telah memberikan manfaat yang disaksikan oleh kaum Mukminin? Apakah niat saya murni, yang hanya diketahui oleh ‘Ālimil-Ghaibi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tolok ukur kesuksesan sejati seorang hamba di dunia ini.
Penutup dan Pengulangan Makna Esensial
Ayat 105 Surah At-Taubah, meski ringkas, memuat peta jalan lengkap bagi kehidupan seorang Mukmin: perintah untuk bertindak (I'malū), kesadaran akan pengawasan Ilahi dan sosial, serta kepastian pertanggungjawaban universal. Ia merangkum hubungan antara akidah, syariat, dan etika, menjadikan setiap aktivitas di dunia sebagai potensi ibadah yang akan menghasilkan pahala abadi.
Amal yang diperintahkan dalam ayat ini adalah investasi jangka panjang, yang buahnya tidak hanya dinikmati di dunia dalam bentuk keberkahan dan ketenangan, tetapi juga dikumpulkan sebagai bekal utama saat seseorang dikembalikan kepada Sang Pencipta, Yang Mengetahui setiap ghaib dan syahadah. Prinsip kerja keras, keikhlasan, dan akuntabilitas yang termuat dalam ayat ini berfungsi sebagai landasan moral dan spiritual yang tak tergoyahkan bagi pembangunan individu dan peradaban yang berlandaskan takwa.
Umat Islam diperintahkan untuk menjadi pribadi yang proaktif, berintegritas tinggi, dan sadar penuh bahwa setiap helai usaha mereka sedang disaksikan oleh Mahkamah Tertinggi, Mahkamah yang keputusannya mutlak dan abadi. Oleh karena itu, seruan untuk bekerja adalah seruan untuk hidup dengan kualitas terbaik, demi meraih ridha Allah semata.
Ketegasan At-Taubah 105 adalah bukti bahwa Islam menolak konsep ‘iman tanpa perbuatan’. Iman adalah energi pendorong, dan amal adalah manifestasi yang tidak terelakkan dari energi tersebut. Tanpa amal, iman menjadi kering. Dengan amal yang tulus dan berkualitas, iman menjadi hidup dan subur, menghasilkan buah yang manis di hadapan Allah SWT, Rasul-Nya, dan seluruh kaum Mukminin yang menjadi saksi di bumi ini. Kesadaran akan tiga saksi ini menjadi motivasi abadi bagi setiap Muslim untuk selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam menjalani kehidupan yang penuh dinamika dan tantangan, ayat ini berfungsi sebagai kompas. Ketika godaan untuk berlaku curang atau malas datang, ingatlah bahwa Allah menyaksikan. Ketika kita ingin berputus asa dari kebaikan, ingatlah bahwa kaum Mukminin menyaksikan dan akan terinspirasi. Dan ketika kita merasa lelah, ingatlah bahwa pada akhirnya, kita akan dikembalikan kepada Sang Hakim Adil, yang akan menghitung setiap tetes keringat dan niat tersembunyi. Inilah janji abadi dari At-Taubah 105, landasan abadi bagi etos kerja seorang hamba yang beriman.
Penting untuk diingat bahwa pesan sentral ayat ini adalah tentang keteladanan yang harus dipancarkan oleh seorang Mukmin. Jika amal kebaikan kita terlihat oleh sesama Mukmin, maka itu akan menjadi inspirasi. Jika kita berlaku jujur dalam perdagangan, para Mukmin lain akan terdorong untuk meniru kejujuran tersebut. Oleh karena itu, pengawasan Mukminin bukan hanya bersifat pengadil, tetapi juga bersifat edukatif dan inspiratif. Kita bekerja tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menjadi mercusuar moral bagi umat.
Lebih jauh lagi, tafsir mengenai ‘Ālimil-Ghaibi Wasy-Syahādah menyajikan spektrum ilmu Allah yang tak terbatas. Hal ini menghilangkan kekhawatiran bahwa amal kecil yang tersembunyi akan luput. Sedekah subuh yang tidak terlihat siapa pun, doa di tengah malam yang sunyi, atau pengorbanan kecil yang dilakukan tanpa diketahui, semuanya berada dalam kategori 'Ghaib' bagi manusia, namun sempurna terhitung oleh Allah. Sebaliknya, keburukan yang dilakukan secara tersembunyi, yang mungkin lolos dari hukum dunia, tetap merupakan bagian dari 'Ghaib' yang akan dibeberkan di Hari Akhir. Kepastian ini menguatkan akidah tentang keadilan mutlak Tuhan.
Ketegasan perintah 'I'malū' tidak hanya berlaku pada masa Nabi, tetapi relevan sepanjang zaman. Di era modern, di mana standar etika sering kali dikompromikan demi keuntungan material, ayat ini menjadi pengingat spiritual bahwa nilai sejati dari pekerjaan bukanlah besaran upah atau pengakuan publik, melainkan ketaatan kepada Allah dan kontribusi yang jujur kepada masyarakat. Seorang Mukmin harus menjadi contoh profesionalisme, integritas, dan keunggulan di bidang apa pun ia berkarya, karena profesi itu adalah ladang amal yang akan disaksikan.
Dengan demikian, At-Taubah 105 adalah salah satu ayat paling fundamental yang merumuskan hubungan vertikal (dengan Allah melalui niat) dan horizontal (dengan manusia melalui kualitas kerja). Ini adalah seruan untuk gerakan yang tidak pernah berhenti, untuk perbaikan diri yang berkelanjutan, dan untuk kesiapan spiritual menghadapi pengembalian akhir. Ayat ini menanamkan kedisiplinan yang didorong oleh cinta dan takut kepada Allah, menghasilkan individu yang produktif, beretika, dan siap menghadapi Hari Perhitungan.
Setiap kali kita memulai suatu pekerjaan atau menyelesaikan suatu tugas, hendaknya kita mengingat tiga pasang mata yang menyaksikan: Allah Yang Maha Mengetahui Niat, Rasul-Nya yang mewariskan Sunnah kesempurnaan, dan Kaum Mukminin yang akan merasakan dampak dari hasil pekerjaan kita. Kesadaran akan pengawasan tripartit ini adalah kunci untuk mencapai kualitas amal yang diterima di sisi Allah SWT dan bermanfaat bagi kemanusiaan.