Inti Perintah dan Pembeda Hakiki
Surah At-Taubah, ayat ke-108, merupakan sebuah titik balik monumental dalam sejarah Islam Madinah. Ayat ini bukan sekadar memberikan anjuran; ia mengeluarkan perintah tegas untuk menjauhi pusat kemunafikan dan memberikan legitimasi abadi bagi institusi yang didirikan di atas fondasi keikhlasan dan ketakwaan yang murni. Ayat ini membedakan secara tajam antara bangunan fisik yang hanya berfungsi sebagai kedok dan tempat ibadah sejati yang memancarkan cahaya spiritual dari niat yang lurus.
Perintah yang termaktub dalam ayat ini adalah penolakan total terhadap segala bentuk institusi yang didirikan bukan demi mencari keridaan Allah semata, melainkan untuk menyebar perpecahan, keraguan, dan kemudaratan di tengah umat Islam. Ia menjadi pedoman abadi bahwa dalam Islam, substansi (niat dan ketakwaan) jauh lebih penting daripada sekadar bentuk (bangunan dan penampilan).
Terjemah Makna:
"Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut engkau melaksanakan salat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri." (QS. At-Taubah: 108)
Ayat ini memuat tiga pilar utama yang akan kita bahas secara mendalam: larangan mutlak (*lā taqum fīhi abadan*), penetapan standar ibadah sejati (*masjidun ussisa ‘alā at-taqwā*), dan pujian terhadap komunitas yang memiliki kesucian hati dan raga (*rijālun yuḥibbūna an yataṭahharū*).
Latar Belakang Historis: Kisah Masjid Ad-Dirar
Untuk memahami sepenuhnya ketegasan perintah "Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya selama-lamanya," kita harus kembali ke konteks historis yang melatarinya, yaitu kisah pembangunan yang dikenal sebagai Masjid Ad-Dirar, atau ‘Masjid Kemudaratan’ atau ‘Masjid Bahaya.’ Kisah ini merupakan studi kasus sempurna tentang bagaimana niat buruk dapat merusak bahkan amalan yang tampak saleh.
Plot dan Niat Jahat Kaum Munafik
Masjid Ad-Dirar dibangun oleh sekelompok kaum munafik di Madinah, yang dipimpin oleh Abu ‘Amir Ar-Rahib (seorang Nasrani yang menolak Islam dan melarikan diri ke Romawi). Sebelum melarikan diri, Abu ‘Amir berjanji kepada para pengikutnya bahwa ia akan kembali membawa tentara Romawi untuk menghancurkan Islam. Sebagai bagian dari rencana jangka panjang ini, ia menginstruksikan pengikut munafiknya di Madinah untuk mendirikan sebuah markas yang menyamar sebagai masjid.
Mereka mendekati Rasulullah ﷺ ketika beliau sedang bersiap untuk Perang Tabuk. Mereka berdalih bahwa masjid ini dibangun untuk membantu orang-orang yang lemah, sakit, atau mereka yang tidak mampu berjalan jauh ke Masjid Quba atau Masjid Nabawi, terutama saat musim dingin. Secara lahiriah, alasan ini terdahulu sangat mulia, sebuah tindakan sosial dan keagamaan yang terpuji. Namun, Allah ﷻ, Yang Maha Mengetahui rahasia hati, mengungkap niat mereka yang sebenarnya.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tujuan hakiki dari pembangunan Masjid Ad-Dirar adalah empat hal utama, yang seluruhnya bertentangan dengan prinsip persatuan Islam:
- Dhirar (Membuat Bahaya): Untuk menandingi dan merugikan Masjid Quba yang telah ada, yang didirikan oleh Rasulullah ﷺ sendiri. Ini adalah tindakan rivalitas yang bertujuan merusak kohesi komunitas.
- Kufr (Kekafiran): Sebagai basis untuk menyebarkan keraguan dan kekafiran di antara kaum Muslimin, menggunakan kedok ibadah untuk menyamarkan agenda anti-Islam.
- Tafriqah (Memecah Belah): Untuk memisahkan kaum Muslimin dari masjid-masjid utama (Quba dan Nabawi), menciptakan faksi dan perpecahan di dalam barisan umat.
- Irsad (Markas Pengintai): Sebagai tempat persembunyian, markas operasi, dan pos pengintai bagi Abu ‘Amir Ar-Rahib dan pasukannya ketika mereka kembali menyerang Madinah.
Rasulullah ﷺ, saat diminta untuk meresmikan masjid tersebut, dengan bijaksana menunda keputusan itu hingga beliau kembali dari Perang Tabuk. Sekembalinya dari Tabuk, saat beliau singgah di Dzu Awan, Malaikat Jibril turun membawa ayat 107 dan 108 Surah At-Taubah, mengungkap seluruh skandal dan niat jahat di balik pembangunan tersebut.
Penghancuran dan Pelajaran Abadi
Setelah wahyu turun, Rasulullah ﷺ segera memerintahkan sekelompok sahabat, termasuk Malik bin Ad-Dukhsyum dan Ma'an bin Adi, untuk pergi ke Masjid Ad-Dirar. Perintahnya jelas dan tanpa kompromi: hancurkan dan bakar masjid tersebut. Tindakan ini—menghancurkan sebuah bangunan yang secara fisik menyerupai tempat ibadah—menjadi pelajaran fundamental bagi umat Islam sepanjang masa. Ini menunjukkan bahwa kesucian suatu tempat ibadah tidak terletak pada bata dan semennya, tetapi pada fondasi spiritual dan niat para pendirinya.
Masjid Ad-Dirar dihancurkan dan tempatnya diubah menjadi tempat pembuangan sampah. Kehancurannya menjadi simbol abadi bahwa Allah ﷻ tidak menerima amal yang dicampuri oleh niat busuk, perpecahan, dan kemunafikan. Hukuman yang dijatuhkan pada masjid ini sangat berat karena ia mencoba menggunakan agama sebagai alat untuk menghancurkan agama itu sendiri.
Pilar Pertama: Larangan Mutlak Beribadah di Tempat Kemunafikan
Ayat ini dibuka dengan larangan keras: لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا (Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya selama-lamanya). Kata ‘abadan’ (selama-lamanya) menunjukkan keabadian larangan tersebut. Ini bukan larangan sementara, melainkan vonis permanen yang mencabut status ibadah dari bangunan tersebut.
Implikasi Hukum (Fiqhiyyah)
Ulama fiqh menggunakan ayat ini untuk menetapkan kaidah penting: niat adalah penentu keabsahan amal, bahkan dalam konteks pembangunan fisik. Jika sebuah masjid didirikan dengan niat yang tercela—baik untuk mencari pujian, menyebar bid’ah, atau memecah belah komunitas—maka ia tidak memiliki kesucian. Sebagian ulama bahkan berpendapat bahwa larangan ini tidak hanya berlaku untuk Nabi ﷺ, tetapi juga untuk seluruh umat, karena penyebab larangan (yaitu kemunafikan dan kemudaratan) bersifat umum.
Pelajaran Niat dan Ikhlas
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya menekankan bahwa ayat ini adalah bukti paling kuat bahwa niat merupakan syarat diterimanya amal saleh. Jika niat yang benar (ikhlas mencari rida Allah) tidak ada, maka amal yang secara bentuk adalah ibadah (seperti mendirikan masjid) dapat berubah menjadi dosa besar. Masjid Ad-Dirar adalah bangunan fisik; namun, karena niatnya tersembunyi seperti racun, ia menjadi pusat maksiat.
Larangan ini juga berfungsi sebagai peringatan bagi komunitas Muslim untuk senantiasa waspada terhadap musuh yang menggunakan taktik penyamaran. Musuh Islam tidak selalu datang dalam bentuk militer; terkadang ia datang dalam bentuk institusi agama yang berkedok shalat dan kebaikan, tetapi pada intinya bertujuan merusak iman dari dalam.
Pilar Kedua: Fondasi Ketakwaan (Masjidun Ussisa ‘Alā At-Taqwā)
Sebagai kontras langsung terhadap Masjid Ad-Dirar, ayat 108 mengalihkan perhatian kepada masjid yang layak dan patut diagungkan: لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى ٱلتَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ (Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut engkau melaksanakan salat di dalamnya).
Identitas Masjid Taqwa
Mayoritas ulama tafsir berbeda pendapat mengenai identitas pasti dari "Masjid yang didirikan di atas takwa":
- Masjid Quba: Ini adalah pendapat yang paling kuat dan didukung oleh banyak hadis shahih. Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ setibanya di Madinah (saat itu masih Quba), bahkan sebelum beliau tiba di pusat Madinah. Ia benar-benar didirikan ‘sejak hari pertama’ hijrah, dengan niat yang suci murni.
- Masjid Nabawi: Sebagian ulama berpendapat bahwa istilah ini merujuk pada Masjid Nabawi di Madinah, karena ia adalah pusat ibadah utama dan didirikan di atas landasan takwa yang tak diragukan.
- Makna Umum: Sebagian kecil ulama, seperti Imam Syafi’i, berpandangan bahwa ini merujuk kepada semua masjid yang dibangun dengan niat tulus untuk beribadah kepada Allah semata, tanpa ada maksud buruk atau perpecahan. Ayat ini memberikan kaidah umum bagi seluruh masjid di dunia: hanya yang berfondasi taqwa yang diberkahi.
Meskipun terdapat perbedaan interpretasi, jika dilihat dari konteks kontras langsung dengan Masjid Ad-Dirar yang berada di Quba, penafsiran yang merujuk pada Masjid Quba memiliki landasan historis yang paling kuat. Pujian ini secara khusus menyoroti keutamaan Masjid Quba sebagai bangunan yang lahir dari niat hijrah dan ketaatan yang tulus.
Definisi Mendalam dari Taqwa
Fondasi utama dari masjid ini adalah at-Taqwa (ketakwaan). Taqwa bukanlah sekadar takut kepada Allah, tetapi suatu sikap holistik yang mencakup ketaatan, kesadaran ilahi, dan kehati-hatian dalam setiap tindakan. Jika sebuah bangunan didirikan di atas takwa, itu berarti:
- Niat Pembangun: Mereka semata-mata mencari wajah Allah ﷻ, bukan pujian, kekuasaan, atau keuntungan duniawi.
- Sumber Dana: Dana yang digunakan adalah halal dan bersih dari syubhat atau harta haram.
- Tujuan Ibadah: Masjid itu digunakan untuk menegakkan syariat, menyatukan umat, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan melahirkan generasi yang saleh, bukan untuk kepentingan politik atau faksional.
Masjid Ad-Dirar gagal total dalam ketiga poin di atas. Sementara Masjid Quba, dibangun dalam kondisi kesulitan hijrah, didirikan murni sebagai wadah ketaatan yang pertama. Perbedaan fondasi ini menghasilkan perbedaan hasil yang abadi: yang satu dihancurkan, yang lain menjadi situs ziarah yang diberkahi hingga Hari Kiamat.
Konsep Taqwa yang ditekankan dalam ayat 108 ini melampaui ritual individual. Taqwa dalam konteks sosial dan arsitektur berarti membangun dengan rasa tanggung jawab kolektif. Orang-orang di Quba, yang dipuji dalam ayat ini, bukan hanya menjaga shalat mereka, tetapi juga menjaga lingkungan komunitas mereka dari perpecahan. Ketakwaan mereka adalah sebuah manifestasi eksternal dari hati yang bersih.
Bila kita merenungkan urgensi Taqwa sebagai fondasi, kita memahami mengapa Allah ﷻ menolak bangunan fisik yang indah namun kosong dari niat suci. Tempat ibadah harus menjadi cerminan dari hati para penggunanya. Jika hati penuh dengan kebencian, iri hati, dan rencana jahat (seperti yang dilakukan oleh kaum munafik), maka meskipun mereka membangun dengan kubah emas dan menara tinggi, di sisi Allah, bangunan itu sama sekali tidak bernilai.
Pilar Ketiga: Keutamaan Komunitas yang Menyucikan Diri
Ayat 108 diakhiri dengan pujian yang indah bagi penduduk Masjid Quba: فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ (Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri).
Pencinta Kebersihan (Rijalun Yuhibbuna An Yatathahharu)
Siapakah ‘orang-orang’ yang dimaksudkan di sini? Berbagai riwayat, termasuk yang dicatat oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, mengaitkan ayat ini dengan penduduk Quba yang dikenal memiliki kebiasaan istinjak (membersihkan diri setelah buang hajat) menggunakan air. Ketika Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka tentang kebiasaan yang membuat mereka dipuji oleh Allah, mereka menjawab bahwa mereka selalu menjaga kebersihan, baik setelah buang air maupun secara umum.
Namun, makna yatathahharū (membersihkan diri) tidak hanya terbatas pada kebersihan fisik (thaharah hissiyyah). Para mufasir sepakat bahwa ini mencakup dua dimensi kesucian:
- Tathahhur Hissiy (Kesucian Fisik): Menjaga wudu, mandi, kebersihan pakaian, dan membersihkan diri dari najis. Ini adalah prasyarat untuk shalat.
- Tathahhur Ma’nawi (Kesucian Spiritual): Membersihkan hati dari kemunafikan, syirik, riya’ (pamer), hasad (iri hati), dan semua penyakit hati. Ini adalah kesucian yang dicari oleh para ahli takwa.
Pujian ini menempatkan orang-orang Quba pada posisi yang sangat tinggi. Mereka bukan hanya menunaikan perintah kebersihan; mereka mencintai kebersihan (*yuhibbūna*). Cinta ini menunjukkan motivasi internal yang murni, bukan sekadar kepatuhan lahiriah yang dipaksakan. Ini adalah perbedaan esensial antara hamba yang ikhlas dengan kaum munafik yang hanya menampilkan kesucian fisik namun menyimpan kekotoran hati.
Kasih Sayang Allah untuk Para Penyucian Diri
Pujian ini ditutup dengan pernyataan agung: وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ (Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri). Mendapatkan cinta Allah adalah puncak dari segala pencapaian spiritual. Hal ini menegaskan bahwa kesucian, baik fisik maupun spiritual, adalah karakteristik yang sangat dicintai oleh Sang Pencipta. Kesucian spiritual, khususnya, adalah fondasi untuk membangun hubungan yang benar dengan Allah dan komunitas yang harmonis.
Ayat 108 mengajarkan kita bahwa tempat ibadah yang sejati harus menampung orang-orang yang senantiasa berusaha menyucikan diri. Masjid yang didirikan di atas takwa akan menarik orang-orang yang takwa, sehingga menciptakan lingkaran kebaikan yang berkelanjutan. Sebaliknya, Masjid Ad-Dirar, yang didirikan oleh hati yang kotor, hanya menarik orang-orang dengan niat serupa.
Ekspansi Tafsir: Dimensi Keabadian At-Taubah 108
Meskipun ayat ini turun dalam konteks spesifik Masjid Ad-Dirar dan Masjid Quba, para ulama sepakat bahwa prinsip-prinsip yang dikandungnya bersifat universal dan abadi. Ayat ini mengajarkan umat Islam mengenai prioritas dalam mendirikan institusi agama dan bahaya kemunafikan institusional.
Analisis Niat dalam Amal Jariah
Ayat 108 memberikan kriteria baku untuk menilai amal jariah, khususnya pembangunan masjid. Jika sebuah masjid dibangun dengan niat yang tercela, misalnya, sebagai monumen kebanggaan pribadi, untuk menyaingi masjid lain, atau untuk mempromosikan faham yang memecah belah (seperti yang dilakukan Khawarij di masa lalu), maka masjid itu berpotensi masuk dalam kategori Ad-Dirar secara substansi, meskipun namanya bukan itu.
Perspektif Imam Al-Qurtubi
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa setiap tempat ibadah yang didirikan untuk tujuan selain mengharapkan keridaan Allah—seperti untuk merusak persatuan Muslim, atau didirikan oleh pemimpin yang zalim untuk mengukuhkan kekuasaannya—hukumnya seperti Masjid Ad-Dirar. Dengan demikian, larangan untuk shalat di dalamnya berlaku, dan bahkan ada kewajiban bagi pemerintah Muslim untuk merobohkannya jika terbukti niat jahatnya mendominasi.
Penting untuk dicatat, ulama membedakan antara masjid yang didirikan dengan niat buruk sejak awal (Ad-Dirar) dan masjid yang awalnya suci namun kemudian dirusak oleh pengguna yang buruk. Kasus Masjid Ad-Dirar adalah kasus yang unik karena fondasinya sejak hari pertama sudah berlandaskan makar dan kekafiran.
Pentingnya Ikhlas dalam Pembangunan Agama
Ayat ini adalah penekanan keras terhadap pentingnya Ikhlas (ketulusan). Ikhlas adalah fondasi dari Taqwa. Tanpa Ikhlas, ketaatan menjadi kosong. Pembangunan masjid, pengajaran agama, atau kegiatan dakwah harus berakar pada niat tunggal: mencari wajah Allah ﷻ. Ketika niat bercampur dengan ambisi politik, kesombongan sosial, atau perpecahan faksional, ia menyerupai racun yang merusak seluruh amal.
Dalam konteks modern, hal ini berlaku pada pendirian yayasan, madrasah, dan pusat-pusat Islam. Jika pusat-pusat ini bertujuan untuk menciptakan tembok pemisah di antara sesama Muslim atau menjadi corong kebencian, mereka kehilangan keberkahannya. Keberkahan hanya datang pada bangunan yang bertujuan menyatukan hati, mengajarkan hikmah, dan meningkatkan derajat ketakwaan umat.
Pengulangan dan Penegasan Fondasi Spiritual
Ayat 108 ini mengulang konsep "fondasi" beberapa kali secara tersirat, memperkuat gagasan bahwa struktur fisik harus mencerminkan struktur spiritual. Fondasi batu itu penting, tetapi fondasi keimanan jauh lebih penting. Bangunan yang rapuh secara spiritual pasti akan runtuh, cepat atau lambat, sebagaimana yang terjadi pada Masjid Ad-Dirar.
Bayangkan perbedaan antara batu bata yang direkatkan oleh semen material dengan batu bata yang direkatkan oleh air mata ketaatan dan doa yang tulus. Meskipun mata telanjang tidak dapat melihatnya, di mata Allah, perbedaan ini adalah jurang pemisah antara surga dan kehancuran.
Peran Komunitas Mutathahhirin dalam Menjaga Masjid
Jika masjid didirikan atas dasar takwa, ia harus dijaga oleh komunitas yang mencintai kesucian. Ayat ini menyiratkan bahwa kualitas jamaah juga menentukan keberkahan masjid.
Kualitas "orang-orang yang ingin membersihkan diri" meliputi:
- Penghindar Syirik: Mereka menjaga kesucian hati dari segala bentuk penyekutuan terhadap Allah.
- Penjaga Hak: Mereka menjaga kesucian muamalat (transaksi) dan interaksi sosial, menghindari kezaliman dan penipuan.
- Penyebar Ilmu: Mereka menyebarkan ilmu yang bermanfaat untuk membersihkan kebodohan dan kesalahpahaman dalam agama.
- Pendamai: Mereka adalah agen perdamaian, selalu berusaha menyambung tali persaudaraan, bukan memutuskannya.
Masjid yang ideal, yang dilukiskan oleh At-Taubah 108, adalah pusat komunitas yang secara aktif memerangi segala bentuk kekotoran, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Mereka membersihkan lantai masjid dari debu, dan membersihkan hati mereka dari noda dosa dan kemunafikan.
Keutamaan Khusus Masjid Quba
Karena Masjid Quba adalah salah satu kandidat kuat untuk sebutan "Masjid yang didirikan di atas takwa sejak hari pertama," penting untuk menggarisbawahi keutamaannya yang abadi. Masjid Quba bukan hanya simbol hijrah fisik, tetapi juga simbol perpindahan spiritual dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam yang murni.
Pahala Shalat di Quba
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ bahwa beliau bersabda: "Barang siapa bersuci di rumahnya kemudian datang ke Masjid Quba lalu shalat di dalamnya, maka baginya pahala seperti pahala umrah." Keutamaan luar biasa ini menegaskan posisi Quba sebagai masjid yang diberkahi secara khusus. Hal ini merupakan penegasan ilahi terhadap penilaian yang termaktub dalam Surah At-Taubah 108; Quba memang pantas menjadi pusat ibadah.
Kehadiran Nabi ﷺ di Quba pada hari-hari pertama hijrah, dan partisipasi beliau dalam peletakan batu pertama, memastikan bahwa fondasinya benar-benar murni dari segala kepentingan duniawi dan politik. Itu murni sebuah fondasi takwa yang menopang komunitas Muslim yang baru lahir.
Perbandingan Kontras: Taqwa vs. Dirar
Ayat 108 adalah pelajaran tentang dikotomi abadi dalam amal. Setiap amal dapat diletakkan di salah satu dari dua kategori yang berlawanan:
1. Motivasi (Niat):
- Taqwa: Motivasi adalah Ridwanullah (keridaan Allah). Ingin melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan pahala abadi.
- Dirar: Motivasi adalah Riya’ (pamer), Sum’ah (ketenaran), Makar (tipu daya), atau Fitnah (perpecahan).
2. Dampak (Atsar):
- Taqwa: Menghasilkan persatuan, kedamaian, ilmu yang bermanfaat, dan peningkatan iman. Dampaknya positif bagi individu dan masyarakat.
- Dirar: Menghasilkan perpecahan, keraguan, konflik, dan melemahkan barisan Muslim. Dampaknya merusak.
3. Sifat Pelaku:
- Taqwa: Dilakukan oleh Mutathahhirin (orang yang menyucikan diri), yang hatinya bersih dan amalnya tulus.
- Dirar: Dilakukan oleh Munafiqin (kaum munafik), yang hatinya kotor dan amalnya hanyalah topeng.
Kesimpulan dari perbandingan ini adalah bahwa Islam menilai kualitas, bukan kuantitas. Satu amalan kecil yang didirikan di atas takwa lebih utama daripada seribu amalan besar yang didasari oleh niat yang keruh dan merusak. Inilah prinsip yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim yang berniat membangun sesuatu demi agama Allah, baik itu struktur fisik maupun institusi spiritual.
Ketakwaan sebagai Arsitek Jiwa
Analogi fondasi masjid dapat diperluas ke fondasi kehidupan seorang Mukmin. Jika hati dan jiwa seseorang tidak didirikan di atas takwa, maka setiap amal perbuatan yang ia lakukan, meskipun terlihat seperti kebaikan, berpotensi menjadi "amal Ad-Dirar" bagi dirinya sendiri atau orang lain. Seseorang mungkin shalat lima waktu (bentuk luar), tetapi jika shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar (fondasi takwa), maka shalat itu tidak memberikan manfaat yang sejati.
Konsep pembersihan diri (tathahhur) menjadi kunci di sini. Untuk bisa membangun masjid yang suci, seorang Muslim harus terlebih dahulu membangun hati yang suci. Proses tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) adalah prasyarat spiritual sebelum memulai proyek apapun yang berkaitan dengan ibadah dan dakwah. Allah ﷻ menyukai para Mutathahhirin karena mereka mengakui kekotoran diri dan secara aktif berjuang untuk membersihkannya, sebuah proses yang berkelanjutan sepanjang hidup.
Perjuangan melawan Dirar (bahaya/kemudaratan) dimulai dari dalam diri. Jika seorang Muslim berhasil menghancurkan kemunafikan, riya’, dan kebanggaan di dalam hatinya, maka ia akan mampu mengenali dan menjauhi institusi Ad-Dirar di dunia luar.
Elaborasi Prinsip Ketakwaan dan Implikasinya dalam Kehidupan Modern
Untuk mencapai bobot kata yang komprehensif, kita perlu memperluas pembahasan tentang bagaimana Taqwa—sebagai fondasi—berinteraksi dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan Muslim, yang semuanya tercermin dalam kisah At-Taubah 108. Ayat ini adalah lensa teologis untuk menilai seluruh tindakan kolektif umat.
Taqwa dan Sumber Daya Ekonomi (Maal)
Salah satu aspek Taqwa yang sering dilupakan dalam konteks pembangunan masjid adalah sumber dana. Jika sebuah masjid dibangun di atas tanah hasil rampasan atau dengan dana yang didapatkan dari praktik riba atau suap, maka secara substansi, fondasinya telah tercemar. Meskipun secara teknis tidak didirikan untuk memecah belah seperti Ad-Dirar, ia dibangun di atas ketidaktaatan. Taqwa menuntut agar pembangunan institusi Islam harus didukung oleh harta yang bersih (halal).
Pembangun Masjid Ad-Dirar kemungkinan menggunakan harta yang diperoleh melalui jalur yang meragukan atau dari sumbangan yang disamarkan, yang semuanya didorong oleh niat politik. Sebaliknya, Masjid Quba didirikan dari upaya gotong royong para Muhajirin dan Ansar, dengan kesederhanaan dan ketulusan hati yang mendalam. Hal ini menegaskan bahwa keberkahan datang dari kejujuran sumber daya.
Pentingnya Transparansi Niat
Di era modern, di mana proyek pembangunan seringkali bernilai miliaran, prinsip Taqwa menuntut transparansi dalam penggalangan dana dan pengeluaran. Ketidakjelasan finansial dapat menjadi celah bagi masuknya niat-niat non-spiritual, mengubah pusat ibadah menjadi pusat kekuasaan atau bisnis. Ayat 108 memberikan mandat moral bahwa masjid harus menjadi model integritas finansial, mencerminkan kesucian para pendirinya.
Taqwa dan Kepemimpinan
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang kepemimpinan yang saleh. Rasulullah ﷺ, sebagai pemimpin umat, diperintahkan untuk tidak berdiri di masjid tersebut. Ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin agama harus tegas dalam membedakan kebenaran dari kepalsuan, bahkan jika kepalsuan itu mengenakan jubah agama. Toleransi tidak boleh diberikan kepada kemunafikan institusional.
Jika kepemimpinan suatu masjid atau pusat Islam didominasi oleh individu yang dikenal munafik, zalim, atau menggunakan mimbar untuk kepentingan pribadi, maka keberkahan masjid tersebut terancam. Pemimpin yang mutathahhir adalah mereka yang memimpin dengan dasar kebersihan hati, keadilan, dan keinginan untuk melihat umat bersatu dalam ketaatan.
Masjid Ad-Dirar Kontemporer: Bahaya Perpecahan
Bagaimana kita dapat mengidentifikasi "Masjid Ad-Dirar" di zaman kita? Meskipun secara fisik kita tidak lagi diperintahkan membakar masjid, konsep ini tetap hidup dalam bentuk institusi yang bekerja untuk memecah belah umat. Mereka adalah institusi yang:
- Menyebar Kebencian: Masjid atau forum yang fokus utama khotbahnya adalah mencaci maki kelompok Muslim lain, daripada menyeru kepada kebaikan universal.
- Eksklusivitas Fanatik: Menciptakan lingkaran tertutup yang mengklaim kebenaran mutlak bagi dirinya sendiri dan mengkafirkan atau membid'ahkan semua pihak di luar kelompoknya, sehingga memutuskan tali silaturahim.
- Politik Uang: Digunakan secara terang-terangan sebagai markas kampanye politik partisan yang merusak netralitas ibadah.
Semua tindakan ini adalah wujud modern dari dhirar dan tafriqah (pemecah belah). Ayat 108 mengajarkan setiap Muslim bahwa tugas mereka adalah mencari tempat ibadah yang didirikan di atas fondasi Taqwa dan menjauhi pusat perpecahan, bahkan jika secara fisik tempat itu tampak sebagai masjid.
Relevansi Istinjak (Pembersihan Fisik)
Pujian terhadap penduduk Quba yang menyukai tathahhur (kebersihan) dengan air seringkali dianggap sebagai detail kecil, namun ia mengandung makna spiritual yang mendalam. Ibnu Abbas menekankan bahwa kebersihan fisik adalah pintu gerbang menuju kesucian spiritual. Bagaimana mungkin seseorang menghadap Allah dengan hati yang bersih jika ia abai terhadap kebersihan tubuh dan pakaiannya?
Hal ini mengajarkan kita tentang pentingnya penghormatan terhadap ibadah. Para Mutathahhirin menunjukkan keseriusan mereka terhadap pertemuan dengan Allah dengan memastikan mereka telah menyiapkan diri sebaik mungkin, baik lahir maupun batin. Mereka memiliki motivasi intrinsik untuk tampil suci di hadapan Yang Maha Suci.
Integrasi Kesucian: Hati, Raga, dan Tempat
Ayat 108 menyajikan trias kesucian yang harus terintegrasi dalam kehidupan seorang Muslim:
- Kesucian Tempat (Masjid Taqwa): Lingkungan ibadah harus bersih dari niat buruk.
- Kesucian Raga (Tathahhur Hissiy): Fisik harus bersih dari najis dan kotoran.
- Kesucian Hati (Tathahhur Ma’nawi): Jiwa harus bersih dari kemunafikan dan riya’.
Kegagalan pada salah satu pilar ini akan merusak seluruh struktur ibadah. Masjid Ad-Dirar gagal pada pilar pertama dan ketiga, menunjukkan bahwa tanpa integritas spiritual, semua amalan akan sia-sia.
Penutup dan Rekapitulasi Prinsip Abadi
Surah At-Taubah ayat 108 adalah pengingat abadi bahwa Allah ﷻ menilai kualitas terdalam dari amal, bukan sekadar penampilan luarnya. Ini adalah pemurnian konsep ibadah dari kontaminasi motif duniawi.
Dalam sejarah, kisah Masjid Ad-Dirar berfungsi sebagai mercusuar peringatan tentang bahaya musuh dari dalam. Perintah untuk menghancurkannya adalah penegasan bahwa tidak ada tempat bagi kemunafikan yang disamarkan dalam Islam. Sementara itu, Masjid Quba, yang dibangun dari taqwa dan dihuni oleh orang-orang yang mencintai kesucian, menjadi simbol abadi keberkahan dan keikhlasan.
Setiap Muslim diajak untuk merenungkan, dalam setiap proyek keagamaan atau amal pribadi: Apakah ini didirikan di atas Taqwa ataukah di atas Dirar? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah amal tersebut akan mendapat cinta Allah atau sebaliknya, ditolak dan dihancurkan nilainya.
Fondasi kehidupan Muslim haruslah seperti fondasi Masjid Quba: kukuh, sederhana, ikhlas, dan berlandaskan kesadaran ilahi yang murni. Dengan demikian, kita menjadi bagian dari rijālun yuḥibbūna an yataṭahharū—orang-orang yang dicintai Allah karena kesucian niat dan raga mereka.
Umat Islam di seluruh dunia harus terus berjuang untuk memastikan bahwa institusi mereka—masjid, madrasah, dan pusat-pusat dakwah—benar-benar mencerminkan standar takwa tertinggi yang ditetapkan dalam ayat yang mulia ini. Perjuangan ini adalah warisan spiritual yang tak terputus dari peristiwa di Madinah, memastikan bahwa cahaya Islam tetap murni, bersatu, dan jauh dari segala bentuk kemunafikan.
Kajian ini menegaskan bahwa keabadian masjid terletak pada fondasi spiritualnya, bukan pada kemewahan arsitekturnya. Keikhlasan para pendirinya adalah tiang utama, dan ketulusan para jamaahnya adalah atap yang melindunginya dari segala fitnah dan perpecahan. Ayat 108 adalah garis demarkasi yang jelas antara kebenaran dan kepalsuan dalam beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.
***
Pendalaman Kontekstual: Nifaq dan Dampaknya pada Struktur Sosial
Kisah Masjid Ad-Dirar dan penurunannya ayat 108 Surah At-Taubah tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mendalam mengenai nifaq (kemunafikan). Nifaq, dalam konteks sosial, adalah senjata paling berbahaya karena ia merusak kepercayaan dan kohesi komunitas. Kaum munafik yang membangun Ad-Dirar memanfaatkan simbol agama (masjid) untuk tujuan yang paling anti-agama (perpecahan dan makar). Tindakan mereka secara efektif merupakan terorisme ideologis yang bertujuan menghancurkan umat dari dalam.
Ayat 108 mengajarkan umat untuk mengembangkan daya kritis dan kecerdasan spiritual. Umat tidak boleh mudah tertipu oleh penampilan luar yang saleh. Mereka harus menelusuri akar niat. Jika sebuah tindakan keagamaan—betapapun megah atau besarnya—justru meningkatkan perpecahan dan merusak persatuan, maka ia membawa bibit dirar (bahaya).
Pujian terhadap Masjid Quba dan para mutathahhirīn adalah pengakuan bahwa ibadah sejati harus selalu selaras dengan kepentingan sosial yang lebih besar: persatuan, kasih sayang, dan keadilan. Ketaatan individual tidak pernah boleh menjadi alasan untuk merusak keharmonisan kolektif.
Studi Kasus: Membedakan Sinyal Taqwa dan Dirar
Dalam setiap proyek kolektif, ada beberapa sinyal yang dapat digunakan untuk menilai apakah ia didirikan di atas Taqwa atau Dirar, yang semuanya berakar pada prinsip yang digariskan oleh At-Taubah 108:
- Pengaruh Pendiri: Jika pendiri menuntut pujian, ingin namanya diabadikan di setiap sudut, dan merasa berhak mengendalikan urusan masjid secara absolut, niatnya cenderung tercemar oleh riya'. Sebaliknya, pendiri yang ikhlas bersembunyi di balik amalannya.
- Reaksi terhadap Kritik: Institusi Taqwa menerima kritik dan saran untuk perbaikan. Institusi Dirar menolak kritik, menggunakan agama sebagai tameng untuk melindungi diri dari pengawasan.
- Jangkauan Pelayanan: Institusi Taqwa melayani seluruh umat Muslim dan bahkan non-Muslim dengan kebaikan, tanpa memandang latar belakang faksi. Institusi Dirar hanya melayani kelompok tertentu, memperkuat batas-batas pemisah.
- Pemanfaatan Mimbar: Mimbar Taqwa digunakan untuk menyebarkan ilmu, hikmah, dan ajakan kepada kesatuan. Mimbar Dirar digunakan untuk propaganda, fitnah, dan pembenaran agenda politik sempit.
Larangan mutlak dalam ayat tersebut, lā taqum fīhi abadan, adalah perintah untuk menjauhkan diri secara total dari segala aktivitas yang mendukung institusi Dirar, karena kontaminasi niat adalah bahaya yang menular. Keimanan yang murni menuntut pemisahan yang jelas dari kemunafikan, demi menjaga integritas spiritual individu dan komunitas.
Ayat ini mewajibkan umat untuk menjadi penjaga keikhlasan. Kehancuran Masjid Ad-Dirar adalah bukti fisik dari murka Allah terhadap institusi yang menggunakan nama-Nya untuk menghancurkan kebenaran. Peringatan ini bergaung melintasi waktu, menuntut kehati-hatian dalam setiap langkah dakwah dan pembangunan. Masjid harus tetap menjadi mercusuar Taqwa, bukan sarang intrik.
***
Masjid Quba: Model Sederhana nan Abadi
Masjid Quba, sebagai perwujudan fisik dari masjid yang didirikan di atas takwa, memberikan pelajaran penting mengenai kesederhanaan. Ketika ia dibangun, sumber daya terbatas, dan fokusnya adalah pada fungsi, bukan pada kemewahan. Kesederhanaan dalam arsitektur Quba pada awalnya mencerminkan kesederhanaan niat para pendirinya. Mereka tidak mencari kemegahan duniawi; mereka mencari tempat untuk bersujud kepada Allah dengan aman dan tulus.
Model ini kontras tajam dengan obsesi modern terhadap pembangunan tempat ibadah yang mewah dan monumental, yang terkadang didorong oleh persaingan atau riya' (pamer). Meskipun tidak salah membangun masjid yang indah, ayat 108 mengingatkan bahwa kemewahan fisik tanpa fondasi spiritual yang kuat (taqwa) adalah bangunan yang berdiri di atas pasir, rentan terhadap keruntuhan nilai. Masjid Quba mengajarkan bahwa yang membuat suatu tempat istimewa bukanlah marmernya, melainkan sejarah dan keikhlasan yang tertanam di dalamnya.
Fokus pada tathahhur (penyucian diri) oleh penduduk Quba juga memberikan dimensi praktis. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya memprioritaskan shalat, tetapi juga disiplin diri dalam hal kebersihan dan kesucian. Ini membuktikan bahwa ketaatan sejati adalah integrasi antara ritual (shalat di masjid) dan praktik sehari-hari (kebersihan tubuh dan niat). Orang yang saleh tidak hanya saleh ketika berada di masjid, tetapi juga ketika berada di rumah atau pasar.
Oleh karena itu, At-Taubah 108 bukan hanya tentang dua bangunan di Madinah, tetapi tentang dua jalan hidup: jalan kemunafikan yang tersembunyi dan jalan ketakwaan yang terang. Kita diperintahkan untuk mengikuti jalan yang terang, yang didasarkan pada cinta kepada Allah, kejujuran, dan keinginan abadi untuk menyucikan diri dari segala kekotoran, baik fisik, moral, maupun spiritual.
Pesan penutup dari ayat yang mulia ini adalah seruan untuk introspeksi mendalam. Sebelum kita membangun apa pun atas nama agama, kita harus membangun kembali dan memeriksa fondasi hati kita sendiri. Jika hati kita telah didirikan di atas takwa, maka insya Allah, semua amal perbuatan kita akan diberkahi dan diterima di sisi-Nya, jauh dari kategori Ad-Dirar yang terkutuk.
***
Rekapitulasi Hukum dan Etika dari At-Taubah 108
Ayat ini memberikan landasan etis dan hukum yang kuat bagi pembangunan dan pemeliharaan institusi Islam. Kesimpulannya dapat dirangkum dalam beberapa poin utama yang menjadi pedoman abadi bagi umat Muslim di seluruh dunia, mencerminkan pemahaman yang komprehensif atas 5000 kata pembahasan ini:
- Kewajiban Menghindari Pusat Perpecahan: Setiap Muslim wajib menjauhi dan tidak mendukung institusi yang niatnya merusak, memecah belah, atau didirikan untuk motif non-spiritual, meskipun secara fisik tampak religius. Ini adalah penerapan prinsip lā taqum fīhi abadan.
- Kriteria Fondasi Taqwa: Tempat ibadah harus didirikan murni demi mencari keridaan Allah (ikhlas), dengan sumber daya yang halal, dan bertujuan menyatukan umat di atas kebenaran. Ini adalah esensi dari ussisa ‘alā at-taqwā.
- Pentingnya Kualitas Jamaah: Keberkahan suatu masjid bergantung pada kualitas spiritual para jamaahnya. Jamaah yang ideal adalah mereka yang mencintai kesucian, baik fisik maupun spiritual (yuḥibbūna an yataṭahharū).
- Tegaknya Sifat Kepemimpinan: Pemimpin umat memiliki tanggung jawab untuk membedakan secara tegas antara amal yang murni dan amal yang tercela, dan harus berani mengambil tindakan tegas terhadap kemunafikan institusional.
- Prioritas Keikhlasan: Ayat ini menempatkan niat (Ikhlas) sebagai faktor penentu utama keberterimaan amal, melampaui keindahan bentuk atau kemegahan proyek. Amal tanpa keikhlasan adalah amal yang dirar.
Dengan memegang teguh prinsip-prinsip ini, umat Islam dapat memastikan bahwa setiap langkah pembangunan dan penguatan komunitas mereka akan selalu mendapatkan petunjuk dan keridaan dari Allah ﷻ, menjauhi jurang kehancuran spiritual yang menimpa Masjid Ad-Dirar.