Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki karakter yang unik dan keras. Ia adalah salah satu dari sedikit surah yang tidak diawali dengan basmalah, menandakan permulaan sebuah deklarasi perang spiritual dan moral terhadap kemunafikan dan perjanjian yang dilanggar. Surah ini secara tajam mengungkap tabir yang menutupi hati para munafik (orang-orang yang menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekafiran), membedakan mereka dari kaum Mukminin sejati. Dalam konteks inilah, ayat 125 muncul sebagai pisau bedah ilahiah yang membelah respons jiwa manusia terhadap wahyu yang diturunkan, khususnya wahyu yang menuntut komitmen penuh dan pengorbanan.
Ayat-ayat dalam At-Taubah diturunkan pasca Perang Tabuk dan menjelang akhir kehidupan Nabi Muhammad SAW, ketika komunitas Madinah sudah mapan, namun elemen-elemen pengkhianatan dan keraguan masih bercokol. Surah ini bukan hanya tentang hukum perang, tetapi lebih fundamental, tentang hukum hati. Ia menetapkan bahwa wahyu Allah, khususnya Al-Qur'an, tidak bersifat netral. Ketika Al-Qur'an diturunkan, ia bekerja sebagai katalisator: ia akan meningkatkan apa yang sudah ada di dalam hati. Jika ada iman, iman itu akan tumbuh subur; jika ada penyakit, penyakit itu akan membusuk dan mematikan.
"Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat penyakit, maka (dengan surah itu) menambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir." (QS. At-Taubah: 125)
Pusat dari ayat 125 adalah frasa: fī qulūbihim maraḍun (di dalam hati mereka terdapat penyakit). Penyakit yang dimaksud di sini bukanlah penyakit fisik, melainkan penyakit spiritual yang dikenal dalam terminologi Islam sebagai *nifāq* (kemunafikan), keraguan (*shakk*), atau kelemahan iman yang akut. Para mufasir, seperti Imam Qurtubi dan Ibnu Katsir, sepakat bahwa penyakit ini adalah kemunafikan yang kronis dan tertanam. Hati yang sakit adalah hati yang retak, tidak utuh dalam penerimaan kebenaran.
Nifaq adalah kondisi ganda: lisan mengucapkan syahadat, tetapi batin menolaknya atau meragukannya. Ketika Al-Qur'an diturunkan, ia menuntut ketaatan total, pengorbanan harta dan jiwa (seperti yang sering ditekankan dalam At-Taubah). Bagi orang yang hatinya sakit, tuntutan ini terasa memberatkan, bahkan ancaman. Mereka takut kehilangan kenyamanan duniawi, status sosial, atau harta benda mereka. Alih-alih tunduk, mereka mencari celah, mengajukan pertanyaan yang meragukan, atau bahkan menyebarkan desas-desus.
Penyakit ini bukan hanya sekadar kurangnya ketaatan, tetapi ketidakmampuan fundamental untuk menerima otoritas Ilahi. Setiap kali perintah baru datang, keraguan mereka tumbuh, karena mereka melihat Islam hanya melalui lensa kepentingan pribadi. Mereka adalah mereka yang, ketika diminta berinfak, merasa enggan; ketika diminta berperang, mencari alasan untuk tinggal di belakang. Mereka menganggap dirinya bagian dari komunitas, tetapi sebenarnya mereka adalah parasit yang menggerogoti kekuatan internal umat.
Ketika wahyu yang tegas seperti Surah At-Taubah datang, yang mengupas habis motif tersembunyi, para munafik merasa terancam dan marah. Mereka seharusnya bertaubat, tetapi karena penyakit itu sudah parah, wahyu tersebut hanya menegaskan kecenderungan mereka untuk menolak. Ini adalah proses spiral ke bawah, di mana setiap dosis kebenaran, alih-alih menyembuhkan, malah memperparah infeksi hati mereka, mengubah penyakit menjadi kanker spiritual yang tak tersembuhkan.
Perluasan konsep penyakit hati mencakup juga sifat-sifat buruk yang menghalangi penerimaan petunjuk, seperti hasad (iri hati), riya' (pamer), hubbud dunya (cinta dunia berlebihan), dan sombong. Meskipun kemunafikan adalah bentuk penyakit hati yang paling ekstrem dan mematikan yang dibahas dalam konteks At-Taubah, sifat-sifat lain ini adalah pintu masuk yang membuka ruang bagi kemunafikan untuk berkembang. Hati yang dipenuhi cinta dunia tidak akan pernah menerima ayat-ayat yang memerintahkan infak, sedekah, atau jihad. Sebaliknya, ayat-ayat tersebut akan terasa memberatkan dan menyakitkan, sehingga meningkatkan penolakan batin mereka.
Fenomena yang digambarkan oleh ayat ini adalah sebuah keajaiban retoris Al-Qur'an. Wahyu Ilahi, yang merupakan obat universal, berubah menjadi racun bagi hati yang telah membusuk. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran itu sendiri tidak bersyarat, tetapi penerimaannya sangat bergantung pada kesiapan bejana (hati) yang menerimanya. Apabila bejana itu miring atau kotor, maka apapun yang dituangkan ke dalamnya akan tumpah atau tercemar. Bagi orang munafik, Al-Qur'an adalah cermin yang menelanjangi keburukan mereka. Daripada menyesali keburukan itu, mereka membenci cerminnya, dan kebencian itu sendiri adalah bagian dari kekafiran yang terus bertambah.
Puncak dari deskripsi ayat ini terletak pada frasa: fazādat-hum rijsān ilā rijsihim (maka (dengan surah itu) menambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)). Kata kunci di sini adalah *Rijs* (رجس), yang secara harfiah berarti kotoran, kekejian, najis, atau hukuman. Dalam konteks ayat ini, *Rijs* memiliki beberapa dimensi teologis dan spiritual yang saling terkait:
Rijs yang paling utama adalah kekafiran (*kufr*) itu sendiri. Setiap kali wahyu datang, para munafik memiliki dua pilihan: menerima atau menolak. Ketika mereka menolak, penolakan itu menjadi satu lapisan kekafiran baru yang ditambahkan pada lapisan kekafiran yang sudah ada. Penolakan mereka bukan lagi hasil dari ketidaktahuan, tetapi hasil dari kesombongan dan keputusan yang disengaja untuk menutup hati. Al-Qur'an menjadi saksi atas penolakan mereka, dan penolakan ini memperkuat posisi mereka sebagai penentang kebenaran.
Beberapa ulama menafsirkan *Rijs* sebagai hukuman atau azab yang ditimpakan Allah kepada mereka. Semakin banyak ayat yang mereka tolak, semakin besar dosa dan konsekuensi yang mereka pikul. Dengan kata lain, Al-Qur'an menjadi sarana bagi Allah untuk memperparah kondisi batin mereka sebagai bentuk hukuman duniawi atas kemaksiatan tersembunyi mereka. Ini adalah manifestasi dari keadilan ilahiah di mana petunjuk diberikan, namun karena penolakan, petunjuk itu berbalik menjadi bumerang yang mematikan.
Pada awalnya, penyakit hati mungkin hanya berupa keraguan samar. Namun, ketika mereka mendengar ayat-ayat yang jelas dan kuat, bukannya keraguan itu hilang, malah keraguan itu memproduksi keraguan-keraguan baru. Mereka mulai meragukan niat Nabi, meragukan janji Allah, dan meragukan keabsahan ajaran Islam secara keseluruhan. Setiap pertanyaan yang muncul, yang seharusnya diselesaikan dengan keimanan, justru memperkuat pondasi skeptisisme mereka. Wahyu yang datang berfungsi sebagai ujian lakmus: ia mengukuhkan kebenaran bagi yang beriman, tetapi mengukuhkan kepalsuan bagi yang sakit hatinya.
Proses penambahan *Rijs* ini adalah kunci untuk memahami mengapa seorang munafik tidak bisa dimaafkan. Ini bukan hanya tentang stagnasi spiritual; ini adalah tentang kemunduran yang dipercepat. Mereka tidak tinggal diam; mereka secara aktif bergerak menuju titik kekafiran yang absolut. Semakin banyak mereka berinteraksi dengan kebenaran (wahyu), semakin jauh mereka dari kebenaran itu. Ini adalah gambaran tragis dari jiwa yang memilih kegelapan, bahkan ketika berada di bawah sinar matahari hidayah yang paling terang.
Ayat 125 diakhiri dengan peringatan yang sangat mengerikan: wa mātū wa hum kāfirūn (dan mereka mati dalam keadaan kafir). Ini adalah akhir yang pasti bagi mereka yang membiarkan penyakit hati mereka berkembang hingga mencapai tahap *Rijs* yang tak tertanggungkan. Kematian dalam keadaan kafir (su’ul khatimah) adalah kegagalan mutlak dalam kehidupan ini, karena ia menjamin azab yang abadi di akhirat.
Poin penting dari frasa ini adalah kepastiannya. Allah SWT menggunakan bentuk kalimat yang menunjukkan bahwa ini adalah takdir yang tak terhindarkan bagi mereka yang telah mencapai titik balik spiritual ini. Setelah penyakit hati mereka berubah menjadi kekafiran total melalui penolakan wahyu, pintu taubat bagi mereka menjadi tertutup. Tidak ada kesempatan kedua karena mereka telah secara definitif memilih jalan penolakan meskipun kebenaran telah disampaikan berulang kali.
Kondisi ini mengajarkan umat Muslim tentang urgensi membersihkan hati secara terus-menerus. Ayat ini adalah peringatan keras bahwa iman bukanlah kondisi statis; ia harus dipelihara, dan penyakit hati harus segera diobati. Menunda pengobatan, atau menolak obat (Al-Qur'an), akan mengakibatkan kematian spiritual sebelum kematian fisik, memastikan bahwa ketika ajal menjemput, mereka akan ditemukan dalam kondisi paling buruk yang mungkin, yaitu dalam kekafiran.
Kematian dalam kekafiran bagi seorang munafik adalah hasil logis dari akumulasi *rijz*. Ketika kematian datang, ia hanya mengunci kondisi spiritual yang telah mereka pilih dan pelihara sepanjang hidup mereka. Hati yang telah dipenuhi dengan keraguan, kebencian, dan keengganan terhadap petunjuk tidak akan memiliki ruang untuk keimanan di saat-saat terakhir. Ini adalah konsekuensi dari kebebasan memilih manusia yang disalahgunakan—mereka memilih untuk mati secara spiritual, dan Allah mengabulkan pilihan itu di akhir hayat mereka.
Ayat ini sering dikutip dalam pembahasan takdir dan hidayah. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak secara sewenang-wenang menyesatkan mereka. Sebaliknya, Allah memberi mereka wahyu (sebab hidayah), tetapi karena kecenderungan hati mereka yang rusak, wahyu tersebut justru menjadi sarana bagi mereka untuk memperkuat penyesatan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, Allah membiarkan mereka dalam kesesatan karena mereka sendiri yang memilihnya dan menolak setiap pintu kembali. Ini adalah ilustrasi sempurna dari prinsip bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada di dalam diri mereka.
Ayat ini menetapkan hukum spiritual yang abadi: kebenaran adalah ujian. Bagi yang bersih, ujian itu menaikkan derajat; bagi yang kotor, ujian itu menenggelamkannya. Ini adalah pemurnian komunitas; wahyu berfungsi sebagai filter yang memisahkan gandum (mukmin) dari sekam (munafik).
Penggunaan kata *wa mātū* (dan mereka mati) dalam bentuk lampau yang menunjukkan kepastian, seolah-olah kematian dalam kekafiran itu sudah terjadi dan tidak dapat diubah lagi, menggarisbawahi keabadian vonis tersebut. Ini bukan hanya ancaman, melainkan penegasan takdir yang telah dimeteraikan oleh pilihan-pilihan mereka yang terus-menerus menolak cahaya. Hal ini memberikan dorongan yang kuat bagi kaum beriman untuk selalu introspeksi, karena garis batas antara iman sejati dan kemunafikan yang terselubung terkadang sangat tipis.
Ayat 125 tidak berdiri sendiri. Ia berada dalam konteks ayat-ayat sebelumnya yang memuji kaum Mukminin. Perhatikan bagaimana Al-Qur'an selalu menggunakan kontras untuk memperjelas kebenaran. Jika wahyu meningkatkan *rijz* pada orang munafik, maka sebaliknya, wahyu meningkatkan *imān* pada orang beriman.
Ayat 124, yang mendahului ayat ini, bertanya: "Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’" Kemudian Allah menjawab dengan kontras yang indah (implisit dalam ayat 124 dan eksplisit dalam konsepsi Surah ini):
Bagi kaum Mukminin, setiap wahyu baru—meskipun keras, meskipun menuntut—selalu disambut dengan sukacita dan peningkatan keyakinan. Mereka tidak melihat perintah sebagai beban, tetapi sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka menerima tantangan dengan kepatuhan, sehingga iman mereka bertambah kuat. Inilah yang disebut oleh ulama sebagai prinsip peningkatan iman (*ziyadatul imān*): iman itu naik dan turun.
1. **Pengetahuan yang Lebih Dalam:** Setiap ayat baru membuka tabir pengetahuan baru tentang sifat Allah, janji-Nya, atau hukum-hukum-Nya, yang memperkuat keyakinan intelektual (*‘ilmul yaqīn*).
2. **Kepatuhan yang Tulus:** Kaum Mukminin melaksanakan perintah baru dengan tulus. Tindakan kepatuhan ini memperkuat keyakinan praktis mereka. Mereka melihat buah dari ketaatan mereka, dan ini menghasilkan peningkatan iman secara emosional (*‘ainul yaqīn*).
3. **Keyakinan di Tengah Ujian:** Surah At-Taubah penuh dengan ujian, khususnya dalam ekspedisi militer yang sulit. Kaum Mukminin yang lulus ujian ini mendapatkan keyakinan tertinggi (*haqqul yaqīn*), karena mereka menyaksikan pertolongan Allah secara langsung setelah mereka taat.
Sementara orang munafik merasa terancam oleh Surah At-Taubah karena ia menuntut pengorbanan, orang beriman sejati merasa gembira karena surah itu memberikan panduan yang jelas. Kebenaran yang tajam adalah pedoman bagi mereka, bukan ancaman. Mereka tahu bahwa tuntutan itu datang dari Yang Maha Bijaksana, dan karenanya, mereka bersukacita karena mendapat kesempatan untuk membuktikan kesetiaan mereka. Kontras ini berfungsi sebagai sistem diagnostik spiritual bagi setiap individu di komunitas Muslim: respons Anda terhadap wahyu yang sulit menentukan kualitas iman Anda.
Peningkatan iman yang dialami oleh kaum Mukminin ini adalah kebalikan total dari penambahan *Rijs* pada kaum munafik. Jika kaum munafik mengalami keterpurukan dan kenajisan spiritual, kaum Mukminin mengalami kemurnian dan kenaikan spiritual. Ini adalah proses penyaringan ilahi yang sempurna, di mana bahan yang baik menjadi semakin murni, dan bahan yang rusak menjadi semakin rusak, sesuai dengan sifat intrinsik masing-masing. Oleh karena itu, Al-Qur'an adalah rahmat bagi yang beriman dan kerugian bagi yang zalim.
Ayat 125, meski ditujukan pada konteks sejarah kemunafikan di Madinah, membawa pelajaran abadi bagi setiap Muslim yang ingin menjaga kemurnian hatinya. Ini adalah ayat tentang pentingnya *Tazkiyatun Nafs* (penyucian jiwa) dan peran Al-Qur'an di dalamnya.
Setiap kali kita mendengar ayat Al-Qur'an, kita harus bertanya pada diri sendiri: "Apakah ayat ini membuat imanku bertambah, atau justru memunculkan keraguan, keberatan, atau kebencian tersembunyi?" Jika respons kita terhadap perintah Allah (misalnya, tentang hijab, zakat, atau larangan riba) adalah rasa berat, mencari pembenaran untuk melanggar, atau kemarahan, ini adalah alarm bahwa ada *maradhun fi qulubihim*—penyakit dalam hati.
Penyakit hati modern mungkin berupa: penolakan terhadap hukum-hukum yang tidak sesuai dengan budaya kontemporer, keraguan terhadap janji-janji Allah (khususnya rezeki), atau iri hati terhadap keberhasilan orang lain. Semua ini adalah embrio *Rijs* yang bisa mematikan jika tidak segera diatasi. Solusi utamanya adalah keterbukaan total dan penyerahan diri (*Islām*) yang murni ketika berhadapan dengan Kalam Allah.
Ayat ini mengajarkan bahwa Al-Qur'an berfungsi ganda. Dalam Surah Al-Isra' (17:82), Allah berfirman bahwa Al-Qur'an adalah obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, tetapi ia tidak menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian. Ini mengukuhkan prinsip bahwa efek wahyu tergantung pada kondisi penerimanya.
Untuk memastikan Al-Qur'an menjadi obat, kita harus mendekatinya dengan hati yang bersih, siap menerima, dan siap mengamalkan, bahkan ketika perintahnya terasa berat. Proses *Tadabbur* (perenungan mendalam) harus disertai dengan *Mujahadah* (perjuangan keras) untuk mengamalkan. Tanpa mujahadah, perenungan hanya akan menjadi pengetahuan teoritis yang tidak menyentuh hati, dan ini justru bisa menjadi sumber *Rijs* karena kita mengetahui kebenaran tetapi menolaknya.
Kepatuhan terhadap Al-Qur'an adalah cara membersihkan hati. Setiap ketaatan adalah deterjen spiritual yang membersihkan najis *rijz*. Sebaliknya, setiap penolakan atau penundaan ketaatan adalah penambahan noda yang membuat hati semakin gelap dan kaku. Seorang Muslim harus menyadari bahwa penyakit kemunafikan tidak muncul tiba-tiba; ia tumbuh dari penumpukan kompromi kecil dan penolakan-penolakan batin yang akhirnya berujung pada kekafiran total.
Konteks historis Surah At-Taubah mengajarkan kita bahwa ujian iman seringkali muncul melalui materi: infak, harta, dan keterlibatan dalam perjuangan (baik fisik maupun non-fisik). Mereka yang cintanya kepada dunia melebihi cintanya kepada Allah akan gagal dalam ujian ini, dan setiap ayat yang memerintahkan pelepasan ikatan duniawi akan menambah kekesalan dan *rijz* mereka. Oleh karena itu, Tazkiyatun Nafs menuntut pemisahan total antara diri sejati dengan segala bentuk keterikatan duniawi yang menghalangi kepatuhan. Cinta dunia adalah sumber dari segala penyakit hati yang berakhir pada *rijz*.
Untuk menghindari takdir tragis yang dijelaskan dalam ayat 125, seorang hamba harus secara rutin melakukan audit spiritual. Apakah ada sudut hati yang masih menyimpan keraguan? Apakah ada perintah yang sengaja diabaikan karena takut akan konsekuensi duniawi? Mengidentifikasi dan menghilangkan penyakit-penyakit kecil ini adalah pencegahan terbaik agar *rijz* tidak mengakar. Hanya dengan keterbukaan total, kerendahan hati yang mendalam, dan penerimaan tanpa syarat terhadap setiap wahyu, seorang Mukmin dapat memastikan bahwa Al-Qur'an hanya menambah iman dan kebahagiaan mereka.
Kemunafikan, seperti yang dijelaskan dalam At-Taubah, seringkali bersifat komunal. Kaum munafik saling mendukung dalam keraguan mereka. Oleh karena itu, ayat 125 juga menyerukan perlunya lingkungan sosial yang sehat. Komunitas Mukmin sejati harus berfungsi sebagai lingkungan yang memurnikan, di mana kelemahan spiritual segera diperbaiki, bukan dipelihara. Ujian yang diturunkan kepada komunitas (seperti tekanan sosial, kesulitan ekonomi, atau peperangan) adalah sarana Allah untuk memisahkan kaum Mukminin yang kokoh dari mereka yang hatinya berpenyakit, sehingga penyakit itu tidak menyebar dan menghancurkan kekuatan umat dari dalam.
Ayat ini adalah refleksi abadi tentang dualitas wahyu: ia adalah air kehidupan bagi yang sehat, dan racun yang mempercepat kematian bagi yang sudah sakit. Tidak ada posisi tengah. Setiap individu diuji oleh ayat ini setiap hari, menentukan apakah hati mereka sedang menuju pada *ziyadatul iman* (penambahan iman) atau *ziyadatan ilā rijsihim* (penambahan kekafiran mereka). Keselamatan terletak pada pilihan sadar untuk selalu memilih ketaatan dan menyambut setiap petunjuk sebagai rahmat.
Penting untuk menggarisbawahi sifat progresif dari peningkatan *rijz*. Ini bukan kejadian tunggal, tetapi proses penumpukan dosa dan penolakan yang terjadi berulang kali. Ketika seorang munafik mendengar sebuah ayat, ia menolaknya. Ketika ia mendengar ayat berikutnya, ia menolak lagi, dan penolakan kedua lebih mudah daripada yang pertama karena hati telah mengeras. Akumulasi pengerasan hati ini adalah *rijz* itu sendiri. Ini menunjukkan betapa berbahaya mengabaikan bisikan keraguan atau menunda taubat; setiap penundaan memperkuat cengkeraman penyakit, membuat penyembuhan semakin mustahil.
Hati yang beriman, sebaliknya, bersifat elastis dan lunak terhadap kebenaran. Ketika Al-Qur'an dibacakan, hati tersebut merespons dengan rasa takut dan harap, tunduk, dan segera mencari cara untuk mengamalkan. Kualitas ini, yang disebut *khushū‘* (kekhusyukan), adalah antitesis dari penyakit hati. Kekhusyukan memastikan bahwa Al-Qur'an menemukan tanah subur di dalam diri, sehingga benih iman yang ditanam dapat tumbuh dan berkembang, menghasilkan peningkatan spiritual yang dijanjikan bagi kaum Mukminin sejati.
Oleh karena itu, perjuangan untuk kesucian hati adalah perjuangan yang tak kenal lelah melawan *nifāq* internal. Ayat 125 adalah peta jalan diagnostik yang jelas, sebuah pengingat bahwa tujuan hidup haruslah mencapai kematian dalam keadaan iman, dan satu-satunya cara untuk menjaminnya adalah dengan membiarkan Al-Qur'an terus-menerus memurnikan, bukan mencemari. Jika hati kita bergetar karena rasa takut dan harap saat mendengar wahyu, berarti kita berada di jalan yang benar. Jika wahyu hanya menghasilkan kecaman, kemarahan, atau sinisme, maka sudah saatnya kita melakukan operasi spiritual mendalam sebelum terlambat, sebelum *rijz* menenggelamkan kita ke dalam kematian yang tragis.
Ayat ini menutup semua perdebatan tentang ambiguitas moral di hadapan kebenaran ilahi. Dalam agama Islam, tidak ada ruang abu-abu spiritual yang abadi. Manusia selalu bergerak, baik menuju cahaya (Iman) atau menuju kegelapan (Kekafiran/Rijz). Dan faktor penentu pergerakan itu adalah respons fundamental hati terhadap wahyu Allah. Surah At-Taubah, dengan kekerasannya, memaksa setiap orang untuk memilih sisi. Pilihan itu, diabadikan dalam ayat 125, menentukan nasib kekal mereka.