I. Pengantar Ayat Puncak At-Taubah
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kekhasan yang membedakannya dari surah-surah lain, terutama karena surah ini tidak diawali dengan basmalah. Surah ini seringkali dikenal sebagai surah yang menekankan aspek keberanian, penegasan prinsip, dan pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin yang melanggar. Namun, di balik nuansa ketegasan dan jihad yang kuat, surah ini ditutup dengan dua ayat yang lembut, penuh kasih, dan sarat makna, yaitu ayat 128 dan 129. Kedua ayat ini berfungsi sebagai penutup yang menyeimbangkan, mengingatkan bahwa tujuan utama dari semua ketegasan adalah rahmat.
Ayat 128, khususnya, adalah sebuah testimoni Ilahi yang paling mendalam mengenai karakter Rasulullah Muhammad SAW. Ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah jaminan dari Pencipta alam semesta tentang siapa utusan terakhir-Nya. Ayat ini memusatkan perhatian kita pada dimensi kemanusiaan yang tertinggi, dimensi kasih sayang yang melampaui batas-batas kemanusiaan biasa, sebuah kepedulian yang melelahkan namun dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Ayat ini adalah fondasi psikologis bagi setiap mukmin untuk memahami betapa besarnya cinta Nabi kepada mereka, suatu cinta yang menjadi jembatan menuju cinta Allah SWT.
Penting untuk dicatat bahwa pewahyuan ini datang pada periode akhir kenabian, menegaskan kembali sifat Nabi setelah beliau melalui serangkaian perjuangan, peperangan, dan tantangan sosial yang amat besar. Ayat ini seolah menjadi pelukan hangat bagi umat yang telah berjuang bersamanya, sekaligus menjadi pedoman abadi bagi generasi yang datang setelahnya. Studi mendalam terhadap setiap kata dalam ayat ini akan membuka cakrawala pemahaman mengenai hakikat kenabian dan implikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
II. Ayat 128: Teks, Terjemah, dan Konteks
Teks Arab dan Transliterasi
(Lāqad jā'akum rasūlun min anfusikum 'azīzun 'alaihi mā 'anittum ḥarīṣun 'alaikum bil-mu'minīna ra'ūfun raḥīm.)
Terjemahan Utama
Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Ayat ini dibagi menjadi beberapa klausa yang saling membangun, masing-masing menjelaskan dimensi yang berbeda dari misi dan pribadi Nabi Muhammad SAW:
- "Lāqad jā'akum rasūlun min anfusikum": Penegasan kedatangan Rasul dari kalangan mereka sendiri.
- "'Azīzun 'alaihi mā 'anittum": Betapa berat penderitaan umat terasa baginya.
- "Ḥarīṣun 'alaikum": Keinginan yang kuat dan berapi-api agar umatnya berada dalam kebaikan.
- "Bil-mu'minīna ra'ūfun raḥīm": Puncak sifatnya; santun dan penyayang khusus bagi orang-orang mukmin.
III. Analisis Semantik Mendalam Kalimat Kunci
1. Min Anfusikum (Dari Kalangan Kalian Sendiri)
Frasa ini memiliki makna yang berlapis. Secara harfiah, itu berarti beliau adalah manusia biasa, lahir dari garis keturunan yang sama dengan umat yang beliau hadapi, bukan malaikat atau entitas surgawi yang asing. Hal ini memastikan bahwa ajaran yang dibawa adalah relevan dan dapat dilaksanakan oleh manusia. Namun, para mufasir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, juga menafsirkan "min anfusikum" sebagai 'yang terbaik di antara kalian' atau 'yang paling mulia nasabnya'. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak hanya berbagi kemanusiaan, tetapi juga merupakan representasi tertinggi dari potensi moral dan spiritual umat manusia.
Makna kedekatan ini sangat krusial. Nabi memahami kesulitan mereka, mengetahui budaya mereka, dan merasakan tantangan hidup mereka, karena beliau berasal dari latar belakang yang sama. Keterhubungan emosional ini adalah prasyarat bagi munculnya kasih sayang yang akan dijelaskan di bagian selanjutnya. Tidak ada jarak psikologis antara pemimpin dan yang dipimpin; Nabi adalah refleksi terbaik dari masyarakat itu sendiri, namun telah dimurnikan dan diangkat melalui wahyu.
Kajian linguistik terhadap kata anfus (bentuk jamak dari nafs - jiwa/diri) menunjukkan bahwa Nabi adalah bagian integral, tidak terpisahkan dari identitas komunal mereka. Beliau bukan pengawas yang datang dari luar, melainkan penasihat dari dalam. Ini membangun rasa kepercayaan yang amat sangat penting dalam menghadapi tantangan dakwah yang penuh gejolak di masa-masa awal Islam. Kualitas ini membedakan beliau dari para penguasa atau pemimpin spiritual yang menjaga jarak, menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau adalah kepemimpinan pelayanan dan kedekatan personal.
2. 'Azīzun 'Alaihi Mā 'Anittum (Berat Terasa Olehnya Penderitaanmu)
Ini adalah inti dari empati kenabian. Kata 'azīz berarti 'berat', 'sukar', atau 'penting'. Kata 'anittum berasal dari kata dasar 'anat yang berarti 'kesulitan', 'kesusahan', 'penderitaan', atau 'kesalahan yang menimbulkan kesulitan besar'. Ini merujuk pada segala macam kesulitan yang dihadapi umat, baik di dunia maupun di akhirat.
Penderitaan yang disebutkan mencakup:
- Penderitaan Fisik: Kekurangan, penyakit, kelelahan dalam jihad, dan penganiayaan dari musuh.
- Penderitaan Spiritual: Ketakutan umat akan api neraka, kesulitan dalam menunaikan perintah agama (seperti kewajiban yang berat), dan rasa bersalah atas dosa-dosa mereka.
- Penderitaan Sosial: Perpecahan di antara mereka, masalah keluarga, dan ketidakadilan yang mereka alami.
Tafsir klasik menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW merasakan setiap kesulitan yang dialami umatnya seolah-olah kesulitan itu menimpa dirinya sendiri. Jika ada satu orang mukmin yang tersandung dalam dosa, atau kesulitan dalam melaksanakan ibadah, hal itu menimbulkan beban yang sangat besar di hati beliau. Sifat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau didasarkan pada partisipasi emosional total. Beliau tidak pernah memerintahkan sesuatu yang sulit tanpa berbagi kesulitan tersebut, dan beliau selalu mencari cara untuk meringankan beban umatnya, sebagaimana tercermin dalam banyak hukum Islam yang bersifat fleksibel (rukhsah).
Keagungan dari 'azīzun 'alaihi adalah bahwa penderitaan umat bukanlah sekadar fakta yang diketahui Nabi, tetapi merupakan kenyataan yang membebani jiwa beliau. Ini adalah level kepedulian yang melampaui tugas seorang pemimpin biasa. Ini adalah wujud dari kecintaan seorang ayah yang tak ingin melihat anaknya menderita sedikit pun. Setiap beban terasa berat di pundak beliau, sebuah indikasi dari hati yang sangat murni dan terikat erat dengan takdir umatnya.
3. Harīṣun 'Alaikum (Sangat Menginginkan Kebaikan Bagimu)
Kata harīṣ secara literal berarti 'sangat bersemangat', 'bernafsu', atau 'ambisius'. Dalam konteks ini, ia memiliki konotasi positif yang ekstrem: keinginan yang membara, yang tidak pernah padam, agar umatnya mendapatkan kebaikan, hidayah, dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ini menunjukkan energi aktif yang beliau investasikan dalam dakwah dan bimbingan.
Sifat harīṣ ini termanifestasi dalam:
- Kerja Keras Tiada Henti: Beliau terus berdakwah, meskipun ditolak, dicerca, atau dilempari batu (seperti di Thaif). Semangat beliau untuk melihat umat manusia diselamatkan tidak pernah surut.
- Keselamatan Akhirat: Keinginan terbesar beliau adalah agar umatnya masuk surga. Ini adalah ambisi spiritual yang paling tinggi. Beliau selalu memperingatkan tentang bahaya neraka dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan.
- Kesuksesan Duniawi: Beliau juga sangat harīṣ terhadap kesejahteraan sosial, ekonomi, dan moral umatnya di dunia. Ajaran beliau tentang zakat, etika bisnis, dan hak-hak sosial adalah bukti konkret dari keinginan ini.
Jika 'azīz adalah sisi pasif (merasakan sakit), maka harīṣ adalah sisi aktif (berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan sakit). Keduanya saling melengkapi, menunjukkan sosok yang tidak hanya berempati tetapi juga proaktif dalam mencari solusi dan memberikan jalan keluar dari kesulitan. Keinginan yang membara ini adalah bahan bakar yang mendorong seluruh aktivitas kenabian, menjadikan beliau sosok yang tidak pernah menyerah dalam membimbing dan mendidik.
Para ulama tafsir menekankan bahwa harīṣ di sini terutama merujuk pada upaya beliau untuk memastikan seluruh umat mendapat petunjuk, menunjukkan bahwa beliau tidak pernah membeda-bedakan orang yang layak diselamatkan. Selama ada peluang sekecil apa pun, beliau akan berjuang untuk itu, bahkan terhadap mereka yang jelas-jelas memusuhi beliau. Inilah puncak dari integritas misi kenabian.
IV. Puncak Sifat Kenabian: Ra'ūfun Raḥīm
Puncak dari ayat ini adalah pengukuhan dua nama sifat Ilahi yang diberikan Allah secara eksplisit kepada Rasul-Nya: Ra'ūf dan Raḥīm. Kedua kata ini merupakan turunan dari konsep rahmat (kasih sayang), tetapi masing-masing memiliki nuansa makna yang berbeda dan saling memperkuat.
1. Ra'ūf (Penyantun/Sangat Lembut)
Kata Ra'ūf (dari kata dasar ra'fah) merujuk pada bentuk kasih sayang yang paling intens, mendalam, dan segera. Ini adalah kasih sayang yang membuat seseorang ingin mencegah terjadinya bahaya atau kesulitan sebelum ia menimpa. Jika rahmān adalah rahmat yang meliputi segala sesuatu, dan rahīm adalah rahmat yang akan diterima di akhirat, maka ra'ūf adalah bentuk kasih sayang yang paling sensitif terhadap kebutuhan saat ini.
Dalam konteks Nabi Muhammad SAW, sifat Ra'ūf termanifestasi dalam sikap beliau yang senantiasa mencari cara termudah bagi umatnya. Contohnya adalah penundaan atau keringanan dalam pelaksanaan ibadah tertentu, atau saran-saran beliau yang selalu mengedepankan kemudahan. Beliau mencegah kesulitan yang tidak perlu, dan menolak setiap tindakan yang dapat membebani umat secara berlebihan. Sifat ini adalah perisai yang melindungi umat dari peraturan atau ekspektasi yang tidak realistis.
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa Ra'ūf adalah sifat yang memotivasi untuk menghilangkan rasa sakit. Dalam diri Nabi, sifat ini berarti beliau tidak hanya berduka atas penderitaan umat, tetapi juga segera bertindak untuk meringankan, bahkan jika itu berarti mengorbankan kenyamanan atau waktu beliau sendiri. Inilah sifat yang menjadikan interaksi beliau dengan sahabat begitu lembut dan penuh ketenangan, menenangkan hati yang gelisah dan memberikan jaminan keamanan psikologis.
2. Raḥīm (Penyayang/Berkelanjutan)
Kata Raḥīm (dari kata dasar raḥmah) merujuk pada kasih sayang yang berkelanjutan, yang memberikan manfaat jangka panjang dan hasil yang baik di masa depan. Jika Ra'ūf adalah kasih sayang yang melindungi saat ini, maka Raḥīm adalah kasih sayang yang menjamin keselamatan abadi, terutama di Akhirat.
Sifat Raḥīm pada Nabi Muhammad SAW tercermin dalam ketekunan beliau memberikan bimbingan, mengajarkan hukum-hukum Allah, dan mendidik umat agar mencapai derajat tertinggi di surga. Semua ajaran, hadis, dan sunnah beliau adalah manifestasi dari Raḥīm; ia adalah investasi abadi bagi kebahagiaan umatnya. Beliau tahu bahwa kesulitan di dunia adalah sementara, tetapi kehilangan hidayah adalah kerugian yang abadi. Oleh karena itu, beliau menginvestasikan segalanya untuk memastikan masa depan spiritual umatnya terjamin.
Mengapa Allah menggabungkan kedua sifat ini, dan hanya kepada orang-orang mukmin? Penggabungan Ra'ūf dan Raḥīm menunjukkan kesempurnaan kasih sayang Nabi. Beliau memberikan perhatian segera (Ra'ūf) dan jaminan masa depan (Raḥīm). Dan sifat ini secara khusus ditujukan bil-mu'minīna (kepada orang-orang mukmin). Meskipun rahmat beliau secara umum meliputi seluruh alam, intensitas Ra'ūf dan Raḥīm yang digarisbawahi oleh ayat ini adalah hak istimewa bagi mereka yang telah memilih jalan keimanan dan kepatuhan. Ini adalah balasan atas kesetiaan mereka.
V. Dimensi Kepedulian Nabi Terhadap Beban Umat
Untuk memahami kedalaman frasa 'Azīzun 'alaihi mā 'anittum, kita harus melihat bagaimana kepedulian Nabi SAW termanifestasi dalam praktik legislatif dan sosial beliau. Beliau adalah pemimpin yang secara aktif memodifikasi atau meringankan hukum demi kemudahan umatnya, sebuah bukti nyata bahwa beban mereka benar-benar terasa berat bagi beliau.
1. Pencegahan Kesulitan yang Tidak Perlu
Banyak riwayat menunjukkan Nabi melarang pertanyaan yang tidak perlu atau berlebihan yang dapat mengakibatkan hukum yang lebih berat. Sebagai contoh, beliau pernah bersabda bahwa jika bukan karena beliau takut memberatkan umatnya, beliau akan memerintahkan mereka untuk bersiwak (membersihkan gigi) setiap kali berwudu. Kepedulian ini mencegah kewajiban sunnah menjadi fardhu yang memberatkan dalam kondisi sulit. Beliau selalu memilih yang termudah, sepanjang tidak melanggar perintah dasar Allah.
Aspek ini sering diabaikan; kemudahan dalam syariat bukanlah kebetulan, melainkan hasil langsung dari rasa berat yang dirasakan Nabi atas kesulitan umat. Jika syariat Islam dikenal sebagai agama yang mudah (yusrun), ini adalah karena hati Nabi yang ra'ūf dan harīṣ senantiasa memohon keringanan dan mengarahkan umat pada praktik yang paling praktis.
2. Rasa Sakit atas Kegagalan Moral
Kepedulian Nabi tidak hanya terbatas pada kesulitan fisik. Beliau merasakan sakit yang mendalam ketika melihat umatnya menyimpang dari moralitas atau melakukan dosa yang merusak jiwa. Sakit hati beliau karena kemaksiatan umat adalah penderitaan spiritual yang setara dengan penderitaan fisik yang mereka alami. Hal ini terlihat jelas ketika beliau berinteraksi dengan para pendosa, di mana beliau lebih memilih menutupi aib mereka, mendoakan ampunan, dan memberikan jalan taubat, daripada menghukum mereka dengan keras. Kasih sayang beliau menjadi pelabuhan terakhir bagi mereka yang merasa tak layak diampuni.
Dalam riwayat tentang seorang sahabat yang mengakui dosanya, Nabi berusaha mencari alasan untuk meringankan hukumannya. Sikap ini menunjukkan bahwa beliau tidak menikmati hukuman; justru beliau sangat berharap umatnya terhindar dari konsekuensi buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah cerminan paling murni dari sifat 'azīzun 'alaihi mā 'anittum.
3. Kepedulian Terhadap Generasi Mendatang
Kepedulian Nabi melampaui generasi sahabat; ia mencakup seluruh umat hingga hari Kiamat. Ajaran-ajaran beliau, sunnah-sunnah beliau yang terperinci, semuanya dirancang untuk memudahkan kehidupan spiritual dan duniawi kita. Setiap keringanan yang kita nikmati dalam syariat, seperti bolehnya menjamak shalat saat bepergian atau membatalkan puasa karena sakit, adalah warisan langsung dari rasa berat yang beliau rasakan. Beliau merencanakan ajaran ini agar dapat bertahan dan relevan, bahkan dalam perubahan zaman yang paling ekstrem.
Ini adalah bukti bahwa Ra'ūf dan Raḥīm bukanlah sifat yang pasif, melainkan sebuah program rahmat yang komprehensif, mencakup hukum, etika, dan spiritualitas. Setiap peraturan yang beliau bawa dipancarkan dari sumber kasih sayang yang ingin meminimalisir kesulitan umat dan memaksimalkan pahala mereka.
VI. Membandingkan Ra'ūf dan Raḥīm Allah dan Rasul
Surah At-Taubah ayat 128 adalah satu-satunya ayat dalam Al-Qur'an di mana dua sifat Ilahi, Ra'ūf dan Raḥīm, secara eksplisit dikaitkan dengan makhluk (Rasulullah SAW). Hal ini memberikan status unik kepada beliau. Tentu saja, sifat-sifat Allah bersifat mutlak dan sempurna (Azali), sementara sifat pada Nabi adalah pemberian dan terbatas (karena beliau adalah makhluk).
Namun, penyematan nama-nama ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manifestasi tertinggi dari kedua sifat tersebut di antara umat manusia. Beliau adalah cerminan paling jelas dari kasih sayang Ilahi di bumi. Ketika Allah menyebut diri-Nya Ra'ūf, itu berarti kasih sayang-Nya melampaui batas dan tidak dapat dibayangkan. Ketika sifat itu disematkan pada Nabi, itu berarti beliau adalah saluran kasih sayang tersebut, yang merasakan apa yang dirasakan Allah terhadap hamba-Nya yang lemah, dan kemudian bertindak untuk memimpin mereka dengan kelembutan yang nyata.
Para mufasir menekankan bahwa pemberian gelar Ra'ūfun Raḥīm ini adalah kehormatan luar biasa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya, sebagai penutup surah yang penuh dengan tuntutan dan penegasan. Ini adalah pesan bahwa meskipun ada jihad dan ketegasan, inti dari misi ini adalah kasih sayang dan kemanusiaan yang mendalam.
Kasih Sayang sebagai Prinsip Hukum (Maqasid Syariah)
Konsep Ra'ūf dan Raḥīm berfungsi sebagai prinsip utama (Maqasid Syariah) dalam memahami hukum Islam. Semua hukum yang diperkenalkan oleh Nabi bertujuan untuk mencapai salah satu dari lima tujuan utama: perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Namun, di atas semua itu, cara hukum tersebut disampaikan dan dilaksanakan harus mencerminkan sifat Ra'ūf Nabi.
Artinya, seorang Muslim yang berpegang teguh pada syariat harus mencontoh kelembutan ini. Hukum ditegakkan untuk keadilan, tetapi penegakannya harus diwarnai oleh kepedulian yang mendalam, karena kesulitan umat terasa berat, dan keselamatan mereka sangat diinginkan. Mengamalkan ayat 128 berarti menjalankan syariat tidak dengan kekakuan, tetapi dengan hati yang penuh empati, seperti hati Rasulullah SAW.
Jika kita menelaah lebih jauh, kita akan menemukan bahwa setiap hadis yang menekankan kemudahan, atau setiap kisah di mana Nabi menunda hukuman demi taubat, adalah interpretasi praktis dari Ra'ūfun Raḥīm. Sifat ini adalah cetak biru bagi semua interaksi sosial dan spiritual dalam Islam. Keselamatan dan kenyamanan umat selalu diprioritaskan, bahkan jika itu harus mengorbankan kepatuhan absolut yang kaku.
VII. Implementasi Praktis Karakter Kenabian dalam Kehidupan Muslim
Ayat 128 tidak hanya untuk dikagumi, tetapi untuk ditiru. Meskipun kita tidak akan pernah mencapai derajat kenabian, kita diperintahkan untuk meneladani akhlak beliau. Bagaimana seorang Muslim dapat mencerminkan sifat 'Azīzun 'alaihi mā 'anittum dan Harīṣun 'alaikum dalam komunitas modern?
1. Empati Terhadap Kesulitan Orang Lain
Seorang Muslim harus mengembangkan kepekaan terhadap penderitaan orang lain. Penderitaan tetangga yang kelaparan, penderitaan saudara yang terjerumus dalam hutang, atau bahkan penderitaan teman yang sedang berjuang dengan kesulitan iman, semua itu harus terasa berat di hati kita. Kepedulian Nabi mengajarkan kita bahwa spiritualitas tidak terpisah dari kepedulian sosial. Penderitaan orang lain bukan sekadar berita, tetapi beban yang harus dipikul bersama.
Ini menuntut kita untuk aktif mencari tahu kesulitan yang dihadapi komunitas kita. Nabi tidak menunggu masalah datang; beliau secara proaktif berusaha meringankan. Meniru 'Azīzun 'alaihi berarti tidak bersikap apatis atau acuh tak acuh ketika melihat kesulitan, melainkan merasa gelisah dan terdorong untuk bertindak. Kepekaan ini adalah tolok ukur keimanan yang sejati.
2. Semangat untuk Kebaikan Komunal (Harīṣ)
Sifat Harīṣun 'alaikum harus diterjemahkan menjadi keinginan yang kuat untuk melihat komunitas kita berhasil. Ini bukan hanya dalam hal kesuksesan duniawi, tetapi terutama kesuksesan spiritual. Dalam dakwah, ini berarti menyampaikan kebenaran dengan semangat, tetapi tanpa paksaan atau penghakiman yang keras. Kita harus menginginkan hidayah bagi orang lain sama kuatnya dengan kita menginginkannya bagi diri kita sendiri.
Dalam konteks keluarga, ini berarti kita harus harīṣ dalam mendidik anak-anak kita, tidak lelah mengulang ajaran kebaikan. Dalam konteks pekerjaan, ini berarti kita harus harīṣ dalam memberikan pelayanan yang terbaik, jujur, dan adil. Semangat ini harus menjadi energi positif yang mendorong kita keluar dari zona nyaman untuk berbuat lebih baik bagi orang lain.
3. Kelembutan dalam Bimbingan (Ra'ūf dan Rahīm)
Ketika berinteraksi dengan orang yang berbuat salah, kita harus menggunakan sifat Ra'ūf dan Raḥīm. Nabi mengajarkan kita untuk tidak langsung menghakimi, tetapi memberikan bimbingan dengan kelembutan yang mencegah keputusasaan. Seorang pendidik yang mencerminkan sifat Nabi akan lebih menekankan pada solusi dan harapan, daripada pada kesalahan dan hukuman. Sikap ini membangun jembatan, bukan tembok.
Sifat Ra'ūf mengingatkan kita untuk selalu mempertimbangkan kondisi unik dan keterbatasan individu. Tidak semua orang memiliki kekuatan spiritual atau fisik yang sama. Kelembutan ini menuntut pemimpin, guru, dan orang tua untuk bersikap fleksibel dan memahami bahwa jalan menuju Allah adalah perjalanan yang berbeda bagi setiap individu.
VIII. Penutup: Warisan Kasih Sayang yang Abadi
Surah At-Taubah ayat 128, yang seringkali disebut sebagai ayat yang menggambarkan intisari kepribadian Rasulullah SAW, adalah pengingat abadi bahwa kekuatan Islam terletak pada kasih sayang, empati, dan kepedulian. Ini adalah fondasi etika dan spiritual yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim. Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan, melainkan tentang pengorbanan emosional dan upaya tak kenal lelah untuk menyejahterakan orang yang dipimpin.
Ketika kita merenungkan frasa 'Azīzun 'alaihi mā 'anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu), kita diingatkan tentang betapa besarnya cinta Nabi kepada kita. Cinta ini melampaui waktu dan ruang, dan tetap relevan bagi umat yang hidup ratusan tahun setelah wafatnya beliau. Kita adalah warisan dari kepedulian beliau, dan tugas kita adalah menjaga warisan ini dengan meneladani kelembutan dan semangat beliau dalam setiap aspek kehidupan.
Keagungan ayat ini terletak pada penegasannya: beliau adalah Rasul min anfusikum, seorang manusia di antara kita, yang membuktikan bahwa puncak kasih sayang dan kemanusiaan dapat dicapai. Dan dengan pengukuhan beliau sebagai Ra'ūfun Raḥīm, kita memiliki jaminan bahwa bimbingan yang beliau tinggalkan adalah bimbingan yang paling lembut, paling peduli, dan paling berbelas kasih yang pernah dikenal umat manusia. Ayat ini, ditempatkan di akhir surah yang keras, berfungsi sebagai rahmat terakhir dan paling menghibur, memastikan bahwa pintu rahmat Allah selalu terbuka melalui teladan Rasul-Nya.
Pemahaman mendalam terhadap ayat 128 ini bukan hanya memperkuat cinta kita kepada Rasulullah SAW, tetapi juga merevolusi cara kita melihat tanggung jawab kita terhadap sesama. Setiap interaksi, setiap ajaran, setiap tindakan kita harus mencerminkan rasa berat terasa olehnya penderitaanmu dan sangat menginginkan kebaikan bagimu. Inilah esensi sejati dari menjadi bagian dari Ummah Muhammad.
Kasih sayang beliau adalah bekal terbesar kita. Dengan memahami betapa beliau merasakan penderitaan kita, kita termotivasi untuk mengurangi penderitaan itu dengan menaati perintah-Nya. Dengan mengetahui betapa beliau menginginkan kebaikan bagi kita, kita terdorong untuk mengejar kebaikan tersebut. Dan dengan menyaksikan sifat Ra'ūf dan Raḥīm beliau, kita mendapatkan penghiburan abadi bahwa kita dipimpin oleh utusan yang paling mulia dan paling penyayang di sisi Allah SWT.
IX. Elaborasi Filologis: Rasa Berat di Hati Nabi
Mari kita ulas sekali lagi kedalaman semantik dari frasa 'Azīzun 'Alaihi Mā 'Anittum. Kata 'azīz, dalam konteks Al-Qur'an, sering kali mengindikasikan sesuatu yang kuat, mulia, atau yang sulit dicapai atau ditanggung. Ketika ia dikaitkan dengan penderitaan ('anittum), ia merangkum intensitas beban psikologis yang dialami Nabi. Beliau tidak hanya sekadar 'tahu' bahwa umatnya menderita, tetapi penderitaan itu adalah sesuatu yang 'menjadi berat' di hati beliau, seolah-olah hati beliau terbebani oleh setiap kesulitan yang dihadapi umatnya. Ini bukan sekadar simpati, melainkan empati yang bersifat spiritual dan profetik.
Penderitaan ('anat) yang dimaksudkan oleh ayat ini tidak hanya merujuk pada ketidaknyamanan minor, tetapi pada kesulitan fundamental yang mengancam keselamatan spiritual dan fisik. Contoh terbaik adalah ketika beliau berdoa memohon agar keringanan dalam hukum-hukum tertentu, atau ketika beliau menghadapi kemunafikan yang mengancam integritas komunitas. Rasa sakit ini adalah manifestasi langsung dari hubungannya yang istimewa dengan Allah dan tanggung jawab besar yang diemban. Beban dakwah, pengkhianatan, dan kesulitan hidup umat adalah mata rantai yang membebani jiwa beliau.
Mufasir klasik, seperti Al-Tabari dan Al-Razi, menghabiskan banyak halaman untuk menjelaskan bahwa rasa berat ini adalah pengorbanan kenabian itu sendiri. Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling dicintai oleh Allah, namun melalui ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa di balik kemuliaan itu terdapat beban batin yang luar biasa. Setiap air mata seorang janda, setiap kesulitan seorang musafir, setiap kebingungan seorang muallaf, semuanya menambah bobot di hati suci beliau. Hal ini menjelaskan mengapa beliau senantiasa berusaha untuk mempermudah, karena hati beliau tidak sanggup menanggung penderitaan yang bertambah.
Kontras antara Harīṣ dan 'Azīz
Penyandingan antara 'Azīzun 'alaihi dan Harīṣun 'alaikum menciptakan dinamika yang sempurna: pertama, beliau merasakan rasa sakit (emosi pasif yang mendalam), dan kedua, beliau bertindak untuk memperbaiki keadaan tersebut (usaha proaktif yang membara). Kedua sifat ini memastikan bahwa tidak ada momen di mana Nabi bersikap pasif terhadap nasib umatnya. Jika umat menderita (segi 'azīz), beliau akan segera berusaha menyelamatkan dan memperbaiki (segi harīṣ). Hal ini menjadikan kepemimpinan beliau sangat efektif, karena didorong oleh cinta yang tulus dan bukan sekadar kewajiban.
Sifat Harīṣ dalam konteks ini adalah hasrat yang kudus. Ini adalah 'ambisi' untuk menyelamatkan setiap jiwa dari api neraka. Keinginan beliau agar setiap manusia memeluk Islam dan mendapatkan kebahagiaan abadi sangatlah besar, bahkan terkadang beliau merasa putus asa atas penolakan kaumnya. Ayat-ayat lain mengisyaratkan bahwa beliau hampir mencelakakan dirinya sendiri karena kesedihan atas ketidakpercayaan kaumnya. At-Taubah 128 memvalidasi kesedihan ini, namun mengubahnya menjadi sifat terpuji: semangat yang membara demi kebaikan umat.
X. Kasih Sayang Nabi dalam Tradisi Hadis dan Sirah
Ayat 128 bukanlah klaim teoritis semata, melainkan ringkasan dari seluruh riwayat hidup (Sirah) Nabi Muhammad SAW. Kehidupan beliau adalah tafsir praktis dari sifat Ra'ūfun Raḥīm. Setiap interaksi, dari yang paling pribadi hingga yang paling publik, mencerminkan kedua sifat ini.
1. Rahmat terhadap Anak-Anak dan Keluarga
Sifat Ra'ūf beliau terlihat jelas dalam interaksi beliau dengan anak-anak. Diceritakan bahwa beliau mempercepat salatnya jika mendengar tangisan bayi, karena beliau merasa khawatir akan kesulitan yang dialami ibu bayi tersebut. Beliau tidak ingin membebani seorang ibu yang sedang salat dengan rasa cemas terhadap anaknya. Ini adalah manifestasi nyata dari 'Azīzun 'alaihi mā 'anittum dalam skala domestik, menunjukkan bahwa bahkan kesulitan kecil pun terasa berat di hati beliau.
Kasih sayang beliau juga meluas kepada hewan dan lingkungan, namun fokus ayat 128 secara eksplisit adalah bil-mu'minīna, menunjukkan keistimewaan hubungan antara Nabi dan orang-orang beriman. Hubungan ini diibaratkan seperti hubungan antara jiwa dan raga, di mana kesejahteraan salah satunya sangat vital bagi yang lain.
2. Pembelaan terhadap yang Lemah
Seluruh sistem keadilan sosial yang beliau bangun di Madinah berakar pada sifat Ra'ūf beliau. Beliau membela kaum yang lemah, yatim piatu, dan orang miskin, karena penderitaan mereka adalah penderitaan beliau. Hukum waris, hak-hak wanita, dan larangan riba semuanya bertujuan untuk meringankan beban dan mencegah eksploitasi, yang merupakan perwujudan aktif dari Harīṣun 'alaikum.
Bahkan dalam urusan perang dan perdamaian, kelembutan beliau seringkali mendominasi. Perjanjian Hudaibiyah, meskipun tampak merugikan secara politik, menunjukkan sifat Ra'ūf beliau, karena beliau ingin menghindari pertumpahan darah yang tidak perlu dan membuka jalan bagi perdamaian jangka panjang. Keputusan beliau selalu ditarik dari mata air rahmat, bahkan ketika situasi menuntut ketegasan.
3. Kekuatan Ayat Penutup
Penempatan ayat 128 dan 129 sebagai penutup Surah At-Taubah berfungsi sebagai penyeimbang teologis dan spiritual yang sangat kuat. Surah ini dimulai dengan ultimatum keras (pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin yang melanggar) dan membahas kewajiban jihad. Jika surah diakhiri dengan nada ketegasan, mungkin umat akan merasa takut atau kaku. Namun, dengan menutupnya dengan pujian tertinggi tentang kasih sayang Nabi, Allah mengingatkan bahwa tujuan akhir dari semua perjuangan adalah rahmat, kemudahan, dan keselamatan. Pesan yang ditinggalkan adalah: Agama ini dibangun atas cinta dan kasih sayang, yang diwujudkan melalui sosok Rasulullah SAW.
Kesimpulannya, setiap Muslim yang ingin memahami hakikat risalah Islam harus kembali kepada inti dari At-Taubah 128: memahami bahwa kita dipimpin oleh Rasul yang memikul penderitaan kita dan sangat bersemangat untuk kebahagiaan kita, dan bahwa kepemimpinan beliau adalah manifestasi tertinggi dari Ra'ūf dan Raḥīm.