Surah At-Taubah (Pengampunan) memegang posisi yang unik dalam Al-Qur'an. Ia adalah satu-satunya surah yang tidak diawali dengan basmalah, mencerminkan sifatnya yang tegas, khususnya dalam menetapkan batas-batas antara keimanan dan kemunafikan, serta antara amal lahiriah yang bersifat ritualistik dengan inti keimanan yang menggerakkan perjuangan sejati. Di tengah penetapan standar keimanan tersebut, muncullah ayat yang sangat fundamental yang menjadi titik perdebatan sekaligus pemurnian konsep amal: At-Taubah ayat 19.
Ayat ini secara eksplisit mengajukan sebuah perbandingan retoris yang tajam, menantang persepsi dangkal tentang apa yang sesungguhnya merupakan kemuliaan di sisi Allah SWT. Apakah amal yang terlihat dan terukur, seperti pelayanan terhadap jemaah haji, sebanding dengan keyakinan yang tertancap kokoh di hati dan manifestasi keyakinan tersebut dalam bentuk perjuangan (jihad) di jalan-Nya?
I. Teks dan Terjemah At-Taubah Ayat 19
(19) Apakah kamu menjadikan pemberian minum kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram sama dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
Ayat ini berfungsi sebagai penolakan tegas terhadap mereka yang cenderung meninggikan amal-amal ritual dan pelayanan publik, tanpa didasari oleh fondasi keimanan yang murni dan kesediaan untuk berkorban.
II. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)
Konteks turunnya ayat ini sangat penting untuk memahami kedalaman pesannya. Para ulama tafsir sepakat bahwa ayat ini turun sebagai respons terhadap pernyataan atau kebanggaan yang diutarakan oleh beberapa tokoh pada masa awal Islam, khususnya setelah penaklukan Mekah.
Kisah Kebanggaan Tokoh Quraisy
Salah satu riwayat utama menyebutkan adanya diskusi di antara para sahabat dan mereka yang baru masuk Islam. Beberapa individu dari Quraisy, sebelum memeluk Islam atau di awal keislaman mereka, merasa bangga dengan peran yang mereka mainkan di masa Jahiliyah. Mereka adalah pengurus Ka'bah dan penyedia layanan air (siqayah) bagi para peziarah.
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib (pamanda Nabi), dan beberapa sahabat lainnya terlibat dalam diskusi mengenai amal mana yang paling mulia. Abbas, yang memegang peranan penting dalam layanan air (siqayah) di masa lalu, mungkin menyebutkan kemuliaan tugasnya. Sementara yang lain menyebutkan kemuliaan Hijrah atau Jihad.
Ayat ini kemudian turun untuk menengahi dan mengoreksi pandangan tersebut. Ia menegaskan bahwa amal lahiriah, betapapun mulianya di mata manusia dan betapapun pentingnya secara logistik, tidak akan pernah setara dengan iman yang tulus kepada Allah dan Hari Akhir, yang kemudian dibuktikan melalui pengorbanan (jihad).
Inti dari Asbabun Nuzul ini adalah pengajaran universal: nilai sebuah amal tidak terletak pada kemegahan luarnya, tetapi pada motivasi dan kualitas keimanan yang menyertainya.
III. Tafsir Lafdzi dan Analisis Perbandingan
Untuk mencapai kedalaman makna ayat ini, kita perlu membedah istilah-istilah kunci yang digunakan dalam perbandingan yang Allah ajukan.
A. Kelompok Pertama: Amal Lahiriah
Kelompok pertama yang disebutkan adalah mereka yang melakukan:
- Siqāyat al-Hājj (سِقَايَةَ الْحَاجِّ): Pemberian minum kepada jemaah haji. Ini merujuk pada tugas mulia yang secara historis dipegang oleh Bani Hasyim. Tugas ini sangat penting di Mekah yang panas dan kering, memastikan kelangsungan hidup para peziarah.
- ‘Imārat al-Masjid al-Harām (وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ): Mengurus atau memakmurkan Masjidil Haram. Pemakmuran di sini mencakup pemeliharaan fisik, kebersihan, dan manajemen.
Penting dicatat, pada saat ayat ini turun, banyak dari mereka yang melaksanakan tugas ini (sebelum penaklukan Mekah) masih dalam keadaan musyrik, atau baru saja memeluk Islam dengan keimanan yang belum matang. Allah mengakui nilai logistik dari amal ini, tetapi menolak nilainya jika dilakukan tanpa iman yang benar.
B. Kelompok Kedua: Pilar Keimanan Sejati
Kelompok kedua adalah mereka yang memiliki tiga pilar fundamental:
- Man Āmana Billāhi (مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ): Orang yang beriman kepada Allah. Ini adalah pondasi tauhid yang murni, bebas dari syirik, dan menerima sepenuhnya kedaulatan serta keesaan-Nya.
- Wal Yawm al-Ākhir (وَالْيَوْمِ الْآخِرِ): (Beriman) kepada Hari Akhir. Keimanan ini mencakup keyakinan akan kebangkitan, perhitungan, surga, dan neraka. Keyakinan ini adalah mesin pendorong utama bagi setiap amal kebajikan, karena ia menempatkan ganjaran dan hukuman melampaui kepentingan duniawi.
- Wa Jāhada fī Sabīlillāhi (وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ): Dan berjihad di jalan Allah. Ini adalah manifestasi praktis dari iman yang telah tertanam. Jihad adalah perjuangan maksimal yang dilakukan seorang hamba untuk menegakkan kalimat Allah, yang mencakup segala bentuk pengorbanan (harta, waktu, jiwa).
C. Kesimpulan Perbandingan: Lā Yastawūn (Mereka Tidak Sama)
Ayat ini diakhiri dengan penegasan mutlak: لَا يَسْتَوُونَ عِندَ اللَّهِ (Mereka tidak sama di sisi Allah). Pengurus Masjid dan penyedia air, meski amalnya baik secara sosial, tidak akan setara nilainya dengan seorang mukmin yang menjadikan iman kepada Allah dan Hari Akhir sebagai poros hidupnya dan membuktikannya melalui perjuangan.
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menjelaskan bahwa perbandingan ini bertujuan untuk menyingkirkan ilusi bahwa amal ritual dapat menggantikan prinsip tauhid dan jihad. Amal yang paling agung adalah yang muncul dari iman yang mendalam, bukan yang hanya bersifat fisik atau warisan tradisi.
IV. Jihad sebagai Puncak Manifestasi Iman
Karena jihad (berjuang di jalan Allah) adalah elemen kunci yang membedakan kelompok kedua, penting untuk memahami konsepnya secara luas, sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat ini dan tafsir klasik, untuk mencapai volume yang memadai dan kedalaman analisis.
A. Kedudukan Jihad dalam Islam
Istilah *Jihad* (جهاد) berasal dari kata dasar *jahada* (جَهَدَ) yang berarti mencurahkan seluruh upaya, mengerahkan segala daya dan tenaga. Ia bukan sekadar peperangan, melainkan spektrum perjuangan yang sangat luas.
Dalam konteks At-Taubah 19, Jihad menunjukkan bahwa keimanan sejati tidak pernah pasif. Ia menuntut tindakan, pengorbanan, dan kesediaan untuk menghadapi tantangan, baik dari luar (musuh) maupun dari dalam (hawa nafsu).
B. Dimensi Jihad yang Luas
Para ulama membagi Jihad ke dalam beberapa tingkatan:
1. Jihad an-Nafs (Perjuangan Melawan Diri Sendiri)
Ini adalah perjuangan fundamental untuk melawan hawa nafsu, godaan syahwat, dan bisikan setan. Mujahid sejati adalah ia yang mampu menundukkan dirinya sendiri untuk taat kepada perintah Allah. Jihad jenis ini mencakup upaya keras dalam:
- Jihad bil Ilm: Berjuang menuntut ilmu agama dan menyebarkannya.
- Jihad bil Hawa: Berjuang melawan keinginan yang bertentangan dengan syariat.
- Jihad bil Amal: Berjuang untuk mengamalkan ilmu tersebut secara konsisten dan ikhlas.
Tanpa keberhasilan dalam Jihad an-Nafs, amal lahiriah seperti *siqayah* atau *imarah* hanya akan menjadi hiasan tanpa ruh keikhlasan.
2. Jihad bil Lisan wal Qalam (Perjuangan dengan Lisan dan Pena)
Ini adalah upaya dakwah, amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan membela kebenaran melalui argumen, tulisan, dan komunikasi. Ayat ini secara implisit meninggikan upaya intelektual dan spiritual ini, karena ia membangun fondasi iman dalam masyarakat.
3. Jihad bil Maal (Perjuangan dengan Harta)
Pengorbanan harta merupakan indikator penting keimanan. Dalam banyak ayat Al-Qur'an, Allah selalu menyandingkan Jihad dengan jiwa (*bil nafs*) dan harta (*bil maal*). Memberikan infaq, sedekah, dan membiayai segala keperluan dakwah dan pertahanan Islam adalah bagian dari Jihad bil Maal. Ayat 19 secara langsung memukul logika materialistik; bahwa mengeluarkan harta untuk sekadar memberi minum (seperti yang dilakukan kaum musyrik karena tradisi) tidak sebanding dengan pengorbanan harta yang didorong oleh tauhid murni.
4. Jihad bil Saif (Perjuangan Fisik)
Ini adalah bentuk pertahanan dan pembebasan yang dilakukan pada masa peperangan. Meskipun ini adalah bentuk Jihad yang paling sering disalahpahami, ia adalah manifestasi tertinggi dari pengorbanan fisik, di mana nyawa dipertaruhkan demi tegaknya kalimat Allah. Kesediaan seorang mukmin untuk berada di medan ini adalah bukti konkret keimanan kepada Hari Akhir—karena ia mengutamakan pahala abadi daripada keselamatan duniawi.
V. Prinsip Keutamaan Amal dan Keikhlasan
Ayat At-Taubah 19 ini tidak diturunkan untuk meremehkan tugas *siqayah* atau *imarah*. Kedua tugas tersebut adalah ibadah yang mulia jika dilakukan dengan niat yang benar. Namun, tujuan ayat ini adalah menetapkan hierarki nilai amal (prioritas), sebuah prinsip yang fundamental dalam Syariat Islam.
A. Fondasi vs. Cabang
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah membandingkan fondasi (Iman dan Jihad) dengan cabang (pelayanan). Jelas bahwa bangunan tidak dapat berdiri tanpa fondasi. Jika seseorang menyediakan layanan terbaik di dunia (siqayah dan imarah) namun ia tidak beriman kepada Allah atau mempersekutukan-Nya, maka amalnya gugur di sisi Allah. Ayat ini mengajarkan bahwa tauhid adalah syarat diterimanya amal.
Amal pelayanan yang dilakukan oleh seorang mukmin akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda karena didasari oleh dua pilar: keimanan yang tulus dan kesiapan untuk berjuang. Sebaliknya, amal yang sama, jika dilakukan oleh kaum musyrik atau munafik, hanya akan bernilai sebagai kebaikan sosial di dunia, tanpa ganjaran ukhrawi.
B. Konsep Dzulm (Kezaliman)
Ayat ini ditutup dengan kalimat yang kuat: وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim).
Siapakah kaum yang zalim yang dimaksud dalam konteks ini? Mereka adalah orang-orang yang:
- Zalim terhadap Hak Allah: Yaitu mereka yang menyamakan amal yang didasari tauhid murni dengan amal yang hanya didasari tradisi atau kebanggaan, sehingga mereka tidak menempatkan Allah pada tempat yang semestinya (syirik).
- Zalim terhadap Diri Sendiri: Mereka yang menyia-nyiakan hidupnya dengan amal-amal yang tidak diterima karena rusaknya akidah.
Kezaliman terbesar adalah syirik, yaitu mempersekutukan Allah. Jika seseorang menganggap amal pelayanan fisik (yang mungkin dilakukan oleh orang musyrik) setara dengan iman dan jihad, ia telah melakukan kezaliman intelektual dan spiritual yang serius.
VI. Implementasi Kontemporer At-Taubah 19
Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks pertentangan antara kaum musyrikin Mekah dan kaum mukminin, prinsip yang dikandungnya bersifat abadi dan relevan bagi kehidupan umat Islam modern, khususnya dalam menghadapi kecenderungan untuk memprioritaskan penampilan luar.
Dalam masyarakat modern, perbandingan antara *siqayah* dan *iman/jihad* dapat dianalogikan sebagai berikut:
1. Prioritas Siasah atas Ibadah
Banyak organisasi atau individu yang cenderung fokus pada proyek-proyek besar yang bersifat fisik atau sosial (membangun panti asuhan, masjid megah, atau acara amal besar), yaitu semacam *imarah* modern. Walaupun amal ini baik, ayat 19 mengingatkan bahwa fokus utama harus tetap pada penguatan akidah (Iman kepada Allah dan Hari Akhir) dan perjuangan menegakkan kebenaran (Jihad).
Seorang aktivis yang gigih dalam proyek kemanusiaan tetapi lalai dalam shalatnya, atau seorang pengurus masjid yang rajin tetapi berbuat syirik dalam keyakinannya, berada dalam bayang-bayang peringatan ayat 19.
2. Pertentangan antara Materialisme dan Ukhrawi
Jihad, khususnya Jihad bil Nafs dan bil Maal, menuntut pengorbanan yang mengutamakan hasil Akhirat. Ayat 19 menjadi pembanding bagi mereka yang melakukan amal kebaikan demi pujian, keuntungan politik, atau popularitas duniawi. Keikhlasan, yang merupakan inti dari Iman kepada Hari Akhir, harus menjadi pembeda. Jika amal fisik (seperti membangun infrastruktur) dilakukan tanpa keyakinan penuh pada Hari Perhitungan, nilainya akan berkurang drastis.
3. Jihad Dakwah dan Intelektual
Jihad di jalan Allah pada masa kini sering kali bermanifestasi dalam bentuk perjuangan intelektual melawan ideologi yang merusak, membela Islam dari fitnah, dan menyebarkan ajaran yang benar. Ini adalah perjuangan yang menuntut waktu, energi, dan risiko sosial, yang jauh lebih berat daripada sekadar sumbangan dana atau kehadiran fisik dalam acara seremonial.
Ayat 19 memotivasi umat untuk tidak merasa puas dengan amal yang mudah atau populer, tetapi untuk selalu mencari bentuk pengorbanan yang paling sulit dan paling berharga di mata Allah, yaitu yang bersentuhan langsung dengan pemurnian tauhid dan penegakan keadilan.
Garis pemisah yang tegas dalam At-Taubah 19 memposisikan Iman, Hari Akhir, dan Jihad sebagai fondasi yang jauh melampaui amal fisik semata.
VII. Kaitan Ayat 19 dengan Ayat-Ayat Al-Qur'an Lain
Ayat 19 At-Taubah bukanlah anomali, tetapi bagian dari tema besar Al-Qur'an yang konsisten meninggikan kualitas batin di atas kuantitas luar. Beberapa ayat lain memperkuat prinsip ini:
A. Surah Al-Maidah (5:54)
Ayat ini menyebutkan sifat-sifat generasi yang dicintai Allah setelah orang-orang yang murtad. Sifat-sifat tersebut meliputi rendah hati terhadap mukminin, perkasa terhadap kafirin, dan berjihad di jalan Allah tanpa takut celaan pencela. Ayat ini menegaskan bahwa keimanan yang kuat pasti menghasilkan perjuangan aktif (jihad), sama seperti yang disandingkan dalam At-Taubah 19.
B. Surah An-Nisa (4:95-96)
Surah An-Nisa secara eksplisit menyatakan superioritas orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berjuang), kecuali mereka yang memiliki uzur (halangan). Allah menjanjikan derajat yang lebih tinggi bagi para mujahidin.
Konteks ini sangat erat hubungannya dengan At-Taubah 19. Ayat 19 membandingkan amal pelayanan tradisional dengan Jihad, sementara An-Nisa 95 membandingkan orang yang pasif (duduk) dengan Mujahid. Keduanya mencapai kesimpulan yang sama: pengorbanan aktif demi agama adalah yang tertinggi.
C. Surah Al-Mulk (67:2)
Konsep keutamaan amal juga terkait erat dengan kualitas, bukan kuantitas. Allah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara hamba-Nya yang paling baik amalnya (أَحْسَنُ عَمَلًا). Ulama tafsir, seperti Fudhail bin Iyadh, menjelaskan bahwa *ahsanu amala* berarti amal yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai sunnah). Ayat 19 mengajarkan bahwa iman yang benar (ikhlas) adalah syarat mutlak untuk mencapai *ahsanu amala*, dan Jihad adalah manifestasi dari amal yang benar itu.
VIII. Konsekuensi dan Pengajaran Mendalam dari Ayat 19
Untuk mencapai bobot pembahasan yang diharapkan, kita perlu mengeksplorasi secara ekstensif konsekuensi teologis dan praktis dari pemisahan yang jelas antara dua kelompok amal ini.
A. Pemurnian Konsep Ibadah
Ayat ini memerangi penyakit spiritual yang dikenal sebagai "ritualisme kosong"—melakukan ibadah atau amal karena kebiasaan, tuntutan sosial, atau mencari pujian, tanpa adanya kehadiran hati dan tujuan ukhrawi yang kuat. At-Taubah 19 memaksa setiap Muslim untuk introspeksi: apakah amal saya didasarkan pada keimanan yang mengakar (Iman kepada Allah dan Hari Akhir), atau hanya sekadar tradisi (*siqayah* dan *imarah* tanpa ruh)?
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menekankan bahwa iman kepada Hari Akhir adalah penentu. Karena keyakinan pada ganjaran abadi inilah yang membuat seseorang rela berkorban (Jihad) secara total, melepaskan ikatan duniawi. Pelayanan tanpa dasar ini sering kali hanya berorientasi pada keuntungan duniawi (nama baik, reputasi, atau kekuasaan).
B. Fiqh Prioritas (Fiqh Al-Awlawiyat)
Ayat 19 adalah dalil utama bagi Fiqh Al-Awlawiyat, yaitu ilmu tentang penentuan prioritas dalam ibadah dan amal. Prioritas pertama adalah pemurnian akidah (tauhid). Prioritas berikutnya adalah amal yang paling besar risikonya dan paling besar dampaknya, yaitu Jihad dalam arti luasnya. Amal-amal yang berkaitan dengan pelayanan publik dan ritual (seperti siqayah dan imarah) berada di bawah dua prioritas utama tersebut jika tidak didasari olehnya.
Dalam konteks modern, ini berarti bahwa pengeluaran dana dan waktu untuk proyek dakwah, pendidikan tauhid, dan perjuangan melawan kemungkaran (Jihad bil Lisan/Qalam) harus didahulukan daripada hanya membangun struktur fisik masjid yang mewah, jika dana tersebut terbatas.
C. Dampak pada Persatuan Umat
Ayat ini juga meredam potensi perpecahan yang didasarkan pada kebanggaan klan atau suku atas amal tertentu. Di masa jahiliyah, klan-klan Mekah berebut kehormatan mengurus Ka'bah dan memberi minum. Islam datang menghapuskan kebanggaan asabiyah (kesukuan) ini, menggantinya dengan kebanggaan yang berdasarkan iman dan amal saleh yang murni.
Semua Muslim, terlepas dari latar belakang sosial atau peran tradisional mereka, dinilai berdasarkan standar yang sama: seberapa tulus iman mereka dan seberapa besar pengorbanan mereka dalam perjuangan di jalan Allah. Tidak ada keistimewaan berdasarkan keturunan atau jabatan ritualistik.
IX. Telaah Linguistik: Kedalaman Makna ‘Jihad’
Karena besarnya volume yang diminta, kita harus memperdalam analisis terminologi *Jihad* dalam konteks Qur'ani yang lebih luas, untuk menunjukkan mengapa Allah memilih kata ini sebagai penyeimbang *siqayah* dan *imarah*.
1. Jihad vs. Qital
Sangat penting untuk membedakan antara *Jihad* (perjuangan maksimal) dan *Qital* (peperangan/pertempuran fisik). Al-Qur'an menggunakan keduanya, tetapi *Jihad* memiliki cakupan yang jauh lebih luas.
Ayat 19 menggunakan kata *Jāhada* (berjihad). Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa yang dituntut dari seorang mukmin sejati adalah komitmen total untuk mengerahkan semua sumber daya—intelektual, fisik, finansial—untuk tujuan Allah. Jika Allah hanya bermaksud perang fisik, Dia mungkin akan menggunakan istilah *Qātala*.
Para mujahidin yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang secara proaktif mencari cara untuk meninggikan kalimat Allah, tidak hanya menunggu panggilan untuk berperang, tetapi berperang melawan segala bentuk kebatilan dalam segala lini kehidupan.
2. Peran Hari Akhir sebagai Katalis Jihad
Keimanan kepada Hari Akhir berfungsi sebagai katalis yang mendorong Jihad. Mengapa seseorang rela meninggalkan kenyamanan duniawi untuk berjuang? Karena ia yakin bahwa ganjaran abadi di Akhirat jauh lebih berharga daripada apa pun yang bisa ia raih di dunia ini. Seseorang yang hanya fokus pada *siqayah* dan *imarah* tanpa iman yang kuat mungkin hanya mencari keuntungan cepat (pahala sosial, terima kasih manusia). Sementara mujahid bertransaksi langsung dengan Allah, menukarkan usaha duniawi dengan surga.
Oleh karena itu, kombinasi triad Iman – Hari Akhir – Jihad adalah formula kebahagiaan sejati dan penentu derajat tertinggi di sisi Allah SWT.
X. Peran dan Tanggung Jawab Seorang Mukmin Sejati
Jika At-Taubah 19 menetapkan standar, maka seorang mukmin harus mengukur dirinya berdasarkan standar tersebut, bukan berdasarkan seberapa banyak ia berkontribusi pada proyek-proyek yang mudah terlihat oleh mata manusia.
A. Menjaga Konsistensi Akidah
Amal yang paling ringan sekalipun (seperti tersenyum kepada sesama) akan menjadi berat di timbangan jika didasari oleh tauhid yang murni. Sebaliknya, amal yang paling berat (seperti melayani ribuan peziarah) akan ringan jika akidah pelakunya ternoda syirik, riya, atau kebanggaan. Prioritas pertama yang diajarkan oleh ayat ini adalah menjaga konsistensi dan kemurnian iman kepada Allah.
B. Keberanian dalam Berkorban
Jihad menuntut keberanian spiritual dan fisik. Dalam menghadapi tantangan zaman yang penuh fitnah, Jihad berarti berani menyuarakan kebenaran, berani berbeda dari arus mayoritas yang salah, dan berani menanggung risiko finansial atau sosial demi prinsip agama.
Tanggung jawab mukmin sejati, sebagai respons terhadap At-Taubah 19, adalah menolak pasifisme spiritual. Kehidupan Muslim haruslah berupa perjuangan terus-menerus, baik dalam bentuk Jihad an-Nafs yang sunyi atau Jihad bil Lisan yang terang-terangan.
C. Menghargai Seluruh Bentuk Ibadah
Meskipun ayat ini meninggikan Jihad, ia tidak memerintahkan kita untuk menghentikan *siqayah* atau *imarah*. Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa ketika amal pelayanan ini dilakukan oleh orang yang beriman dan berjihad, amal tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi. Perbedaannya terletak pada fondasinya: amal pelayanan harus menjadi buah dari iman, bukan pengganti iman.
Seorang mukmin yang berjihad akan melayani haji dengan kualitas keikhlasan yang jauh lebih tinggi daripada mereka yang hanya melayani karena tradisi klan atau gaji. Iman mengubah amal yang biasa menjadi ibadah yang luar biasa.
XI. Penolakan terhadap Zalim: Sebuah Peringatan Keras
Penggalan terakhir ayat, وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim), berfungsi sebagai peringatan keras. Kezaliman di sini, menurut banyak mufassir, adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
A. Kezaliman dalam Penilaian
Mereka yang menyamakan amal ritual tanpa iman dengan iman yang disertai pengorbanan telah berbuat zalim dalam hal penilaian syariat. Mereka telah merendahkan nilai tauhid dan pengorbanan sejati. Kezaliman ini menghalangi hidayah karena hati mereka telah tertutup oleh kebanggaan yang salah.
B. Konsekuensi Hilangnya Hidayah
Jika Allah menahan hidayah, maka semua usaha seseorang untuk mencari kebenaran akan sia-sia, meskipun ia sibuk dengan pembangunan atau pelayanan. Hidayah adalah anugerah spiritual yang memungkinkan seseorang melihat mana yang benar-benar bernilai di sisi Allah.
Ayat ini mengajarkan bahwa kesibukan dalam kegiatan keagamaan lahiriah tidak menjamin hidayah. Hidayah diperoleh melalui pemurnian akidah, pengakuan terhadap hierarki amal, dan kesediaan untuk berjuang dan berkorban.
Kezaliman ini adalah cerminan dari kesombongan spiritual; mengira amal yang mudah atau yang populer sudah cukup untuk mencapai derajat tertinggi, padahal amal tersebut tidak didukung oleh kemurnian tauhid dan kesungguhan perjuangan.
XII. Khulasah (Kesimpulan Akhir)
At-Taubah ayat 19 adalah pedoman keutamaan yang abadi bagi umat Muslim. Ia menyajikan perbandingan yang menentukan bagi seluruh umat, dari masa lalu hingga masa depan. Ayat ini menggarisbawahi tiga pelajaran utama:
- Syarat Keabsahan Amal: Iman yang tulus kepada Allah dan Hari Akhir adalah fondasi dan syarat mutlak diterimanya segala amal, termasuk pelayanan sosial dan pemakmuran masjid.
- Derajat Amal Tertinggi: Manifestasi tertinggi dari iman adalah perjuangan (Jihad) di jalan Allah, baik dengan harta, jiwa, lisan, atau pena. Jihad adalah bukti otentik dari keimanan yang hidup dan menuntut pengorbanan.
- Peringatan terhadap Ritualisme: Amal lahiriah, sepopuler atau semulia apapun di mata manusia (seperti Siqayah dan Imarah), tidak akan pernah setara dengan kombinasi Iman, Hari Akhir, dan Jihad. Menganggapnya setara adalah bentuk kezaliman yang dapat menghalangi datangnya hidayah.
Dengan memahami kedalaman makna At-Taubah 19, seorang Muslim diarahkan untuk selalu memprioritaskan kualitas batin dan kesiapan berkorban, memastikan bahwa setiap tindakan lahiriahnya adalah cerminan murni dari keyakinan yang tertanam kokoh di dalam hati. Hanya dengan inilah seorang hamba dapat mencapai derajat kemuliaan yang hakiki di sisi Allah, Rabbul 'alamin.