Simbol Keseimbangan Hukum dan Perlindungan
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kekhasan tersendiri. Ia merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan bacaan Basmalah. Hal ini diyakini oleh para ulama karena surah ini diturunkan dalam konteks pernyataan perang, pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin yang melanggar janji, serta penetapan batasan-batasan hukum yang keras terkait interaksi dengan pihak-pihak yang memusuhi Islam di masa awal. Surah ini menetapkan norma-norma terakhir mengenai hubungan antara komunitas Muslim yang baru lahir dengan berbagai kelompok di sekitarnya, termasuk kaum musyrikin dan Ahlul Kitab (People of the Book).
Ayat-ayat dalam Surah At-Taubah seringkali dibahas dalam konteks hukum internasional Islam, terutama mengenai konsep Jihad, perdamaian, dan kewajiban perlindungan terhadap minoritas non-Muslim. Di antara ayat-ayat fundamental yang membentuk kerangka interaksi tersebut, Surah At-Taubah ayat 29 menempati posisi sentral. Ayat ini secara spesifik membahas kewajiban berperang melawan kelompok Ahlul Kitab tertentu dan menetapkan ketentuan Jizya sebagai alternatif resolusi konflik dan sebagai pengakuan terhadap perlindungan yang diberikan negara Islam.
Memahami ayat ini memerlukan pemahaman yang holistik terhadap konteks historis, linguistik, dan hukumnya. Tanpa pemahaman konteks penurunan, penafsiran ayat ini rentan terhadap penyimpangan atau penarikan kesimpulan yang terlepas dari tujuan syariat yang lebih luas, yaitu tegaknya keadilan dan keamanan.
Ayat 29 dari Surah At-Taubah berbunyi:
(At-Taubah [9]: 29)
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu) orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar Jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Qātilul-ladhīna lā yu’minūna billāhi wa lā bil-yaumil-ākhiri wa lā yuḥarrimūna mā ḥarramallāhu wa rasūluhū wa lā yadīnūna dīnal-ḥaqqi minalladhīna ūtul-kitāba ḥattā yu‘ṭul-jizyata ‘an yadin wa hum ṣāghirūn.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu memecah setiap frasa kunci dalam ayat ini dan menelaah penafsirannya berdasarkan para mufasir klasik dan kontemporer.
Perintah ini adalah perintah tegas untuk melakukan tindakan militer. Namun, para ulama menekankan bahwa perintah ini harus dilihat dalam konteks keseluruhan ajaran Islam. Ia merujuk pada peperangan yang bersifat defensif atau ofensif yang tujuannya adalah menghilangkan ancaman dan membebaskan kaum Muslimin dari penindasan atau pengkhianatan perjanjian. Ini bukanlah perintah untuk menyerang siapa pun tanpa sebab, melainkan ditujukan kepada mereka yang secara aktif menolak kedaulatan kebenaran (dīn al-ḥaqq) dan yang pada dasarnya menimbulkan konflik.
Frasa ini secara literal berarti "orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian." Ini menimbulkan pertanyaan penting, karena Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) pada dasarnya mengakui keberadaan Allah dan Hari Akhir, meskipun dengan interpretasi yang berbeda dari Islam. Para mufasir seperti Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ‘ketidakberimanan’ di sini merujuk pada:
Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Frasa ini menegaskan bahwa kepatuhan terhadap hukum Ilahi adalah tolok ukur utama. Meskipun Ahlul Kitab memiliki hukum mereka sendiri, ayat ini menargetkan mereka yang secara terang-terangan melanggar prinsip-prinsip moral dan hukum dasar yang diakui secara umum dalam agama wahyu, atau secara khusus merujuk pada penolakan mereka terhadap hukum-hukum syariat Islam yang berlaku di wilayah Muslim. Namun, sebagian besar ulama merujuk ini pada penolakan mereka terhadap otoritas kenabian Muhammad ﷺ yang membawa hukum terakhir (syariat Islam).
Dan mereka tidak beragama dengan agama yang benar (dīn al-ḥaqq). Dalam konteks ayat ini, dīn al-ḥaqq (agama yang benar) adalah Islam, sebagai wahyu terakhir dan penyempurna dari seluruh wahyu sebelumnya. Penolakan mereka terhadap dīn al-ḥaqq inilah yang menjadi dasar perbedaan fundamental dan kadang-kadang, menjadi alasan konflik yang diakhiri dengan pilihan Jizya.
Mereka yang diberikan Al-Kitab (Ahlul Kitab). Frasa ini secara jelas membatasi sasaran perintah perang tersebut hanya pada Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), dan bukan pada semua non-Muslim secara umum, seperti kaum Musyrikin Arab, yang mana perlakuan terhadap mereka telah dibahas pada ayat-ayat sebelumnya dalam surah yang sama.
Sampai mereka membayar Jizya (pajak perlindungan) dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk/rendah hati (ṣāghirūn).
Ini adalah bagian krusial yang menawarkan alternatif terhadap peperangan: penerimaan perjanjian dan pembayaran Jizya. Jizya adalah pajak perlindungan yang dibayarkan oleh non-Muslim yang tinggal di bawah kekuasaan negara Islam (dhimmi).
Ayat 29 ini diyakini diturunkan setelah adanya konflik dengan Romawi (Bizantium) dan menjelang atau saat persiapan Perang Tabuk. Tujuan utama ayat ini bukanlah untuk memaksa konversi, melainkan untuk menetapkan sebuah kerangka politik dan hukum yang stabil di wilayah Arab dan sekitarnya, terutama setelah komunitas Muslim menjadi kekuatan regional yang dominan.
Pada masa itu, kekuatan Romawi (Nasrani) dan Persia (Majusi) adalah dua adidaya yang seringkali menindas populasi di perbatasan Arab. Ayat ini datang untuk memastikan bahwa jika Ahlul Kitab menolak perdamaian atau secara terang-terangan menunjukkan permusuhan, mereka harus dihadapkan pada dua pilihan jelas: perang atau pengakuan kedaulatan Muslim melalui pembayaran Jizya dan hidup sebagai warga negara yang dilindungi (dhimmi).
Fokus utama adalah pada stabilisasi batas-batas wilayah dan menghentikan intervensi asing yang mengancam komunitas Muslim. Rasulullah ﷺ sendiri, setelah penurunan ayat ini, mengutus Khalid bin Walid ke Dumatul Jandal dan daerah utara, memberikan opsi yang sama kepada komunitas Ahlul Kitab di sana: masuk Islam, berperang, atau membayar Jizya.
Jizya adalah salah satu pilar hukum keuangan publik dalam sistem Islam. Ia adalah kontrak bilateral: non-Muslim membayar sejumlah uang (Jizya), dan negara Islam memberikan perlindungan mutlak (Dhimma) bagi nyawa, harta benda, tempat ibadah, dan kebebasan beragama mereka. Diskusi mengenai Jizya oleh para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sangatlah detail dan menunjukkan konsensus mengenai sifat protektifnya.
Jizya (berasal dari kata jazā’, yang berarti ‘balasan’ atau ‘kompensasi’) adalah kompensasi yang dibayarkan oleh Ahlul Kitab karena mereka dibebaskan dari dua kewajiban utama yang dibebankan kepada Muslim: kewajiban militer dan kewajiban zakat (yang merupakan pajak religius bagi Muslim). Tujuan Jizya adalah menciptakan stabilitas fiskal dan sosial, memastikan non-Muslim dapat hidup damai tanpa paksaan untuk mengubah keyakinan mereka, sambil tetap tunduk pada hukum sipil negara Islam.
Hukum Islam sangat spesifik mengenai siapa yang wajib membayar Jizya:
Jika seorang dhimmi bergabung dengan militer Muslim (misalnya sebagai tenaga bantu), ia dibebaskan dari kewajiban Jizya. Hal ini membuktikan bahwa Jizya adalah biaya ganti rugi atas perlindungan militer.
Tarif Jizya tidak ditetapkan secara tunggal dalam Al-Qur’an atau Hadis. Oleh karena itu, para fuqaha (ahli hukum Islam) menetapkan tarif berdasarkan kemampuan dan tingkat kemakmuran, menunjukkan fleksibilitas hukum Islam:
Penting ditekankan bahwa Jizya adalah pajak kepala (poll tax) yang relatif ringan dibandingkan pajak tanah (Kharaj) atau kewajiban Zakat yang dibebankan kepada Muslim. Jika seorang dhimmi menjadi miskin, Jizya-nya dihapuskan; bahkan, ia berhak menerima bantuan dari baitul mal (kas negara Muslim), sebagaimana didokumentasikan dalam surat Khalifah Umar bin Khattab ra. kepada Abu Ubaidah.
Pembayaran Jizya mengaktifkan status Dhimma, yang berarti perlindungan mutlak. Status dhimmi menjamin hak-hak berikut:
Keseluruhan sistem ini menunjukkan bahwa Jizya bukanlah pajak penindasan, melainkan imbalan atas hak-hak istimewa dan perlindungan sipil yang tidak dinikmati oleh non-Muslim di luar wilayah kekuasaan Islam pada masa itu, apalagi jika dibandingkan dengan rezim kekaisaran Romawi atau Persia.
Pembahasan ini secara komprehensif menguraikan bahwa Jizya adalah instrumen politik-ekonomi yang memastikan koeksistensi damai, di mana non-Muslim berkontribusi pada kas negara tanpa harus mengorbankan keyakinan atau nyawa mereka di medan perang, sementara mereka mendapatkan manfaat penuh dari keamanan negara. Apabila perlindungan ini gagal (misalnya, jika tentara Muslim kalah perang), para Khalifah di masa lalu (seperti Abu Ubaidah ketika menghadapi Heraklius) bahkan mengembalikan uang Jizya kepada rakyat dhimmi karena janji perlindungan telah dilanggar, membuktikan bahwa Jizya adalah harga sebuah kontrak perlindungan.
Penting untuk memperluas pemahaman tentang status dhimmi yang muncul dari perjanjian Jizya. Dhimmi, atau 'orang yang dilindungi', memiliki hak yang hampir setara dengan Muslim dalam hal keamanan publik dan ekonomi. Mereka diizinkan melakukan perdagangan, memiliki properti, dan terlibat dalam sektor publik, asalkan tidak melanggar moralitas atau hukum pidana Islam. Status dhimmi melampaui sekadar toleransi pasif; ia adalah jaminan perlindungan aktif oleh negara.
Dalam konteks hukum pidana, hukuman bagi kejahatan yang dilakukan terhadap dhimmi sama dengan kejahatan terhadap Muslim. Misalnya, pembunuhan dhimmi dihukum qisas (hukuman setimpal), menegaskan kesetaraan nilai nyawa manusia di hadapan hukum Islam, terlepas dari keyakinan agamanya. Jika Khalifah Umar bin Khattab ra. menetapkan tarif Jizya yang berbeda, itu dilakukan semata-mata berdasarkan prinsip keadilan distributif, memastikan bahwa beban pajak tidak jatuh berat pada mereka yang lemah, sebuah prinsip yang jarang ditemukan dalam sistem pajak kekaisaran kuno.
Para ahli fikih, dalam membahas ‘an yadin wa hum ṣāghirūn, memperluas makna ‘tunduk’ menjadi ‘tunduk pada kekuasaan hukum Islam’ dan bukannya merendahkan diri secara pribadi. Apabila seorang dhimmi membayar dengan sukarela dan damai, tujuan ayat tersebut telah tercapai, yaitu pengakuan formal terhadap hegemoni hukum Islam sebagai pelindung di wilayah tersebut. Ini adalah kunci untuk membedakan antara penindasan pribadi dan penegakan kedaulatan negara. Penafsiran yang condong pada penghinaan pribadi telah ditolak oleh sebagian besar ulama moderat, yang menekankan bahwa tujuan syariat adalah keadilan dan martabat.
Jizya juga berfungsi sebagai regulator ekonomi. Dengan pembayaran ini, negara Islam dapat membiayai pertahanan tanpa perlu membebani Muslim dengan pajak yang terlalu tinggi, memungkinkan Muslim untuk fokus pada kewajiban Zakat yang bersifat sosial-keagamaan. Sistem ini mengakui bahwa non-Muslim juga mendapatkan manfaat dari infrastruktur dan keamanan yang disediakan negara, dan karenanya wajar jika mereka berkontribusi secara finansial. Ini adalah bentuk awal dari konsep pajak pelayanan publik di masa modern, namun dengan dimensi teologis dan perlindungan yang lebih mendalam.
Penyebutan Jizya dalam Surah At-Taubah menandai titik balik. Sebelumnya, interaksi Muslim dengan Ahlul Kitab diatur oleh perjanjian spesifik dan kadang-kadang, hanya diatur oleh prinsip moral umum. Ayat 29 memberikan kerangka hukum yang universal untuk interaksi politik dengan Ahlul Kitab yang menolak untuk berdamai atau yang menolak mengakui kedaulatan Muslim di wilayah mereka. Ini adalah manifestasi dari otoritas yang matang, bukan agresi tanpa batas.
Ayat 29 ini seringkali dijadikan rujukan utama dalam pembahasan Jihad Qitali (Jihad dalam bentuk peperangan). Penting untuk menempatkannya dalam hierarki hukum Jihad.
Ayat ini memerintahkan perang (Qātilū), namun tujuannya bukanlah pemusnahan, melainkan pencapaian kondisi tertentu: ḥattā yu‘ṭul-jizyata (sampai mereka membayar Jizya). Ini berarti perang dihentikan segera setelah Jizya diterima. Jizya adalah jalan keluar yang diakui syariat untuk menghindari perang. Dengan kata lain, perang adalah alat untuk mencapai perdamaian yang terjamin dan stabil, di mana kedua belah pihak dapat hidup berdampingan di bawah satu payung hukum yang disepakati.
Jihad dalam konteks ini adalah respons terhadap penolakan total untuk hidup di bawah perjanjian. Jika Ahlul Kitab memilih perang daripada mengakui kedaulatan Islam dan perlindungan (dengan membayar Jizya), maka perintah Qātilū menjadi relevan. Ini menunjukkan prinsip fundamental dalam Islam: penawaran perdamaian yang adil harus selalu ada sebelum konflik bersenjata dapat dibenarkan.
Ayat ini secara eksplisit menargetkan Ahlul Kitab yang memiliki karakteristik tertentu—yaitu yang tidak tunduk pada prinsip dasar Tauhid dan yang tidak menerima otoritas hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Ini bukanlah perintah umum untuk menyerang semua penganut Yahudi dan Nasrani. Sejarah membuktikan bahwa banyak komunitas Ahlul Kitab yang hidup damai di bawah kekuasaan Muslim tanpa konflik militer, asalkan perjanjian Dhimma dihormati. Ayat ini ditujukan kepada entitas politik atau militer dari Ahlul Kitab yang menentang negara Islam saat itu.
Penafsiran modern oleh ulama seperti Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa perintah berperang dalam ayat ini, seperti banyak ayat pedang lainnya, terbatas pada situasi di mana Muslim diserang, diusir, atau dihadapkan pada ancaman eksistensial, atau ketika perjanjian damai dilanggar secara sepihak oleh pihak lain. Ayat 29 menetapkan bahwa konflik dengan Ahlul Kitab dapat diselesaikan bukan hanya melalui konversi atau perang habis-habisan, melainkan melalui pengakuan politik (Jizya).
Penerapan Surah At-Taubah ayat 29 menjadi cetak biru bagi kebijakan luar negeri dan internal negara-negara Islam selama berabad-abad, dari era Khulafa’ur Rasyidin hingga periode Abbasiyah dan Utsmaniyah. Hukum yang ditetapkan dalam ayat ini memastikan keberadaan minoritas non-Muslim yang dilindungi di seluruh wilayah kekhalifahan.
Contoh paling terkenal adalah Piagam Umar (al-Uhdatul Umariyyah) yang diberikan kepada penduduk Yerusalem setelah penaklukan. Piagam ini menjamin keamanan jiwa dan harta benda, serta kebebasan beragama bagi umat Nasrani di kota tersebut. Sebagai gantinya, mereka setuju membayar Jizya. Ini menunjukkan bagaimana interpretasi praktis para sahabat terhadap ayat 29 adalah perlindungan dan toleransi yang dilembagakan secara hukum, bukan penindasan.
Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah melihat seorang Yahudi tua yang mengemis di jalan karena tidak mampu membayar Jizya. Umar tidak hanya membebaskannya dari Jizya, tetapi juga memberinya tunjangan rutin dari Baitul Mal (kas negara), dengan berkata: “Tidaklah adil jika kami mengambil Jizya darimu saat kau masih muda, lalu kami meninggalkanmu saat kau tua.” Kisah ini menegaskan bahwa tujuan Jizya adalah keadilan ekonomi dan perlindungan sosial, bukan penarikan keuntungan secara kejam.
Pada Abad Pertengahan, ketika Eropa menerapkan sistem diskriminatif terhadap minoritas Yahudi dan Muslim (terutama selama dan setelah Reconquista di Spanyol), sistem Dhimma di bawah payung Jizya menawarkan tingkat toleransi yang jauh lebih tinggi. Yahudi dan Nasrani berkembang sebagai dokter, pedagang, dan penasihat di istana-istana Muslim di Kordoba, Baghdad, dan Istanbul. Ini adalah bukti bahwa implementasi praktis dari ayat 29 menghasilkan masyarakat yang majemuk dan fungsional, meskipun tunduk pada otoritas hukum Islam.
Para ulama seperti Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah merinci tugas dan hak Dhimmi, mendasarkan seluruh struktur hukum mereka pada kewajiban pembayaran Jizya sebagai kontrak sosial. Jika Muslim gagal melindungi dhimmi, kontrak tersebut batal, dan Jizya harus dikembalikan. Konsep tanggung jawab negara ini merupakan kemajuan signifikan dalam tata kelola pemerintahan pada zamannya.
Kepastian hukum dan perlindungan yang dijamin oleh Jizya adalah faktor utama mengapa banyak komunitas non-Muslim, terutama di bawah pemerintahan Utsmaniyah, lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Muslim daripada di bawah pemerintahan Eropa yang seringkali memaksakan konversi atau pengusiran. Ayat 29, oleh karena itu, harus dibaca sebagai landasan untuk tata kelola pemerintahan multikultural yang berlandaskan hukum dan kontrak.
Dalam sejarah, penafsiran ‘wa hum ṣāghirūn’ (dan mereka dalam keadaan tunduk) menjadi titik perdebatan paling sensitif. Ada beberapa pandangan ekstrem dari sebagian kecil ulama yang menafsirkan 'ṣāghirūn' sebagai kewajiban merendahkan diri secara visual, namun pandangan mayoritas yang didukung oleh praktik Khalifah adalah penafsiran hukum:
Imam Syafi’i dan Imam Malik berbeda pendapat dengan Imam Hanafi dalam detail tata cara pembayaran (apakah harus berdiri atau duduk), namun semua sepakat bahwa penghinaan yang merusak martabat manusia dilarang, sebab syariat secara umum mengajarkan penghormatan terhadap manusia (karāmatul insān).
Kajian mendalam tentang sejarah menunjukkan bahwa ayat 29 memberikan kerangka hukum yang kokoh untuk mengelola perbedaan agama dalam sebuah negara. Kerangka ini menawarkan opsi selain konflik bersenjata, yaitu kontrak sosial (Dhimma) yang diperkuat dengan kontribusi finansial (Jizya) sebagai pengganti kewajiban militer.
Di era modern, di mana negara-negara diatur oleh konsep kewarganegaraan (citizenship) dan kesetaraan di bawah hukum, konsep Jizya dan Dhimma dianggap oleh banyak ulama kontemporer sebagai hukum yang relevan secara historis dan politis, tetapi mungkin tidak wajib diterapkan dalam bentuk aslinya. Kewajiban-kewajiban fiskal telah diserap ke dalam sistem pajak umum yang berlaku bagi semua warga negara, tanpa memandang agama.
Namun, prinsip abadi yang terkandung dalam ayat 29 tetap relevan:
Dengan demikian, semangat ayat 29 adalah menegakkan tatanan yang stabil dan adil, meskipun instrumennya (Jizya) mungkin telah berevolusi seiring perubahan bentuk negara modern.
Sangat esensial untuk kembali pada tujuan utama ayat: menghentikan peperangan. Kalimat "sampai mereka membayar Jizya" berfungsi sebagai klausul penghentian konflik. Jika Ahlul Kitab menerima syarat Jizya, konflik militer berakhir, dan fase damai yang diatur oleh hukum Dhimma dimulai. Ini menegaskan bahwa Islam memprioritaskan penyelesaian damai dan stabil di atas konflik yang berlarut-larut. Ayat ini menormalisasi hubungan politik dengan mereka yang berbeda keyakinan, mengakui hak mereka untuk mempertahankan agama mereka asalkan mereka mengakui otoritas politik yang sah.
Ayat 29 bukan hanya sebuah peraturan tentang perang, melainkan sebuah peraturan tentang transisi dari konflik menuju koeksistensi yang diatur oleh sebuah perjanjian abadi. Ini adalah salah satu ayat yang menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam menyerap dan melindungi keragaman dalam batas-batas negara yang berdaulat.
Banyak ulama mendasarkan prinsip perlindungan dhimmi bukan hanya pada ayat 29, tetapi juga pada Hadis Nabi Muhammad ﷺ yang sangat tegas. Salah satu Hadis yang paling sering dikutip adalah: "Siapa saja yang menzalimi seorang dhimmi, atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar batas kemampuannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaannya, maka aku adalah lawannya pada Hari Kiamat." Hadis ini menunjukkan bahwa inti dari sistem Jizya dan Dhimma adalah keadilan dan perlindungan, bukan pembebanan atau penindasan. Ayat 29 dan Hadis ini bekerja sama untuk membangun sistem yang menjamin martabat dan hak-hak dasar bagi semua penduduk negara Islam.
Dengan menimbang seluruh konteks historis dan pandangan fikih, dapat disimpulkan bahwa Surah At-Taubah ayat 29 adalah sebuah konstitusi politik yang mengatur hubungan militer dan finansial antara negara Islam dan Ahlul Kitab yang secara politik menentang, dengan Jizya sebagai mekanisme damai dan perlindungan yang memastikan hak minoritas non-Muslim tetap terjamin.
Surah At-Taubah ayat 29 adalah ayat yang sangat spesifik, diturunkan untuk mengatasi situasi geopolitik tertentu di mana komunitas Muslim memerlukan kerangka hukum yang jelas untuk berinteraksi dengan kekuatan Ahlul Kitab di sekitarnya yang menolak untuk mengakui kedaulatan Islam yang baru terbentuk atau yang menunjukkan permusuhan.
Analisis mendalam menunjukkan bahwa ayat ini bukan merupakan perintah untuk memaksakan agama atau memulai genosida, melainkan menawarkan tiga opsi jelas kepada Ahlul Kitab yang memusuhi: masuk Islam, berperang, atau menerima perjanjian perlindungan melalui Jizya. Opsi ketiga (Jizya) adalah mekanisme yang paling sering dipilih dan menghasilkan sistem Dhimma, yang secara efektif menjamin kebebasan beragama, keselamatan jiwa, dan perlindungan harta benda bagi minoritas di bawah kekuasaan Muslim.
Prinsip utama yang terkandung dalam ayat 29 adalah penegakan kedaulatan (Dīn al-Ḥaqq), perlindungan yang dilembagakan, dan keadilan fiskal. Jizya, dalam konteks historisnya, adalah harga dari perdamaian dan keamanan yang ditawarkan oleh negara Islam, membebaskan non-Muslim dari kewajiban militer yang berat. Pemahaman yang benar terhadap ayat ini menuntut pemisahan antara hukum-hukum temporer yang terikat pada konteks konflik di Madinah abad ketujuh, dan prinsip-prinsip abadi syariat yang universal, yaitu menegakkan keadilan dan menghindari paksaan dalam beragama.
Kekuatan hukum Islam yang termanifestasi dalam ayat ini adalah kemampuannya untuk mengelola keragaman dan memfasilitasi koeksistensi yang damai, asalkan kedaulatan dan keutuhan negara dihormati. Ayat 29 dari Surah At-Taubah, oleh karena itu, merupakan landasan historis bagi perlindungan minoritas yang tertanam dalam tradisi hukum Islam.
Perluasan dan pengulangan konsep Jizya dan Dhimma, serta perbandingan historisnya dengan sistem pajak dan perlindungan di era Kekhalifahan, memperkuat pemahaman bahwa tujuan syariat adalah kemaslahatan, dan perlindungan atas jiwa serta keyakinan merupakan kemaslahatan tertinggi, yang pada akhirnya membawa kedamaian dan ketertiban sosial yang diidamkan oleh semua pihak.
Pendekatan multi-disiplin terhadap ayat ini, yang mencakup linguistik, sejarah, tafsir, dan fiqh, membuka wawasan bahwa teks suci ini senantiasa relevan dalam mengajarkan prinsip-prinsip diplomasi, hukum militer, dan pengelolaan masyarakat yang beragam, sepanjang masa dan peradaban.