Tafsir Mendalam Surah At-Taubah Ayat 30: Penegasan Tauhid dan Kesesatan Klaim

Kajian Komprehensif Mengenai Sanggahan Ilahi Terhadap Ahli Kitab

Simbol Nur Ilahi di Atas Kesesatan Sebuah representasi visual yang menunjukkan cahaya ilahi (Tauhid) bersinar mengatasi bayangan klaim yang menyimpang.

Cahaya Kebenaran (Nur) menerangi kekeliruan teologis.

I. Pengantar Surah At-Taubah dan Keagungan Ayat 30

Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara'ah, menempati posisi unik dalam Al-Qur'an. Surah ini adalah satu-satunya yang tidak dimulai dengan basmalah, mencerminkan sifatnya yang tegas, berupa deklarasi pelepasan diri, dan perjanjian. Surah ini diturunkan di Madinah, terutama setelah peristiwa Tabuk, dan membahas secara mendalam hubungan antara komunitas Muslim yang baru terbentuk dengan berbagai kelompok di sekitar mereka: kaum munafik, musyrikin, dan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).

Di antara ayat-ayat yang memiliki beban teologis dan historis yang sangat besar adalah At-Taubah ayat 30. Ayat ini berfungsi sebagai sanggahan ilahi yang lugas dan tajam terhadap penyimpangan akidah yang dianut oleh sebagian besar Yahudi dan Nasrani pada masa itu. Inti dari ayat ini adalah penolakan tegas terhadap segala bentuk klaim ketuhanan atau putra Allah yang disematkan kepada makhluk, suatu penegasan fundamental terhadap prinsip Tauhid (Keesaan Allah) yang murni.

Kajian terhadap ayat ini tidak hanya penting untuk memahami konteks sejarah permulaan Islam, tetapi juga krusial dalam memahami perbedaan mendasar antara Tauhid Islam dengan konsep-konsep trinitarian atau personifikasi ilahi lainnya. Ayat ini membuka tirai polemik yang panjang mengenai kebenaran wahyu, dan bagaimana umat-umat terdahulu secara bertahap menyimpang dari ajaran para nabi mereka. Oleh karena itu, kita akan menelaah teks, konteks, dan implikasi mendalam dari firman Allah SWT ini.

II. Teks, Terjemahan, dan Transliterasi

وَقَالَتِ ٱلْيَهُودُ عُزَيْرٌ ٱبْنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ ٱللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَٰهِهِمْ ۖ يُضَٰهِـُٔونَ قَوْلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن قَبْلُ ۚ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Wa qālatil-Yahūdu ‘Uzairunibnullāh, wa qālatin-Naṣārāl-Masīḥubnullāh. Żālika qauluhum bi-afwāhihim, yuḍāhi’ūna qaulal-lażīna kafarū min qabl. Qātalahumullāh. Annā yu’fakūn.

Dan orang-orang Yahudi berkata, "Uzair putra Allah," dan orang-orang Nasrani berkata, "Al-Masih putra Allah." Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Semoga Allah melaknat mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling?

(Q.S. At-Taubah [9]: 30)

III. Konteks Historis dan Asbabun Nuzul

Pemahaman terhadap latar belakang pewahyuan (Asbabun Nuzul) sangat penting untuk mengurai makna ayat ini. Ayat At-Taubah ayat 30 diwahyukan pada periode ketika interaksi antara Muslim dan Ahli Kitab (terutama setelah Perang Tabuk) mencapai intensitas tinggi. Meskipun pada awalnya terdapat toleransi tertentu, klaim-klaim teologis yang ekstrem dari sebagian Yahudi dan Nasrani menjadi penghalang besar bagi penerimaan Tauhid yang murni.

Pentingnya Peristiwa Tabuk

Surah At-Taubah secara keseluruhan berhubungan erat dengan ekspedisi Tabuk. Dalam ekspedisi tersebut, Nabi Muhammad ﷺ berhadapan dengan kekuatan Bizantium yang dominan, yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Pada saat yang sama, komunitas Yahudi di Madinah (walaupun sudah terusir atau dikalahkan secara militer) dan komunitas-komunitas Yahudi lain di Jazirah Arab masih mempertahankan doktrin mereka. Ayat ini diturunkan untuk memperjelas posisi Islam terhadap klaim teologis mereka, memisahkan diri dari kesesatan akidah, dan memberikan landasan bagi umat Islam dalam berdialog maupun berhadapan dengan mereka.

Pemisahan Identitas Akidah

Ayat ini menandai titik tegas di mana Allah membedakan secara fundamental antara Tauhid Islam dengan penyimpangan akidah yang terjadi dalam Yudaisme dan Kekristenan. Tauhid menolak segala bentuk antropomorfisme atau penyekutuan Allah dengan makhluk-Nya, bahkan makhluk yang mulia sekalipun seperti Nabi Isa (Yesus) atau Uzair (Ezra).

IV. Analisis Mendalam terhadap Klaim Teologis

Ayat ini menyebutkan dua klaim besar dari dua kelompok Ahli Kitab, yang keduanya secara inheren bertentangan dengan konsep Tauhid:

A. Klaim Yahudi: "Uzair adalah Putra Allah"

Klaim ini sering menimbulkan kebingungan di kalangan pembaca modern, karena dalam Yudaisme kontemporer, tidak ada aliran utama yang secara eksplisit mengajarkan Uzair (Ezra) sebagai 'Putra Allah' dalam arti literal ketuhanan. Namun, para ahli tafsir klasik, seperti Imam At-Tabari dan Ibnu Katsir, memberikan penjelasan yang menghilangkan kontradiksi ini.

1. Siapa Uzair (Ezra)?

Uzair adalah seorang nabi atau tokoh suci dalam tradisi Yahudi yang hidup setelah kehancuran Baitul Maqdis yang pertama dan pembuangan bangsa Israel ke Babilonia. Ia sangat dihormati karena perannya dalam merekonstruksi dan menghafal Taurat setelah kitab sutab tersebut hilang. Berkat Uzair, syariat dan hukum Taurat kembali tegak. Karena jasa yang luar biasa ini, sebagian komunitas Yahudi memuliakannya secara berlebihan.

2. Konteks Penggunaan Istilah "Putra Allah"

Dalam bahasa Arab dan konteks teologis Timur Tengah, istilah "putra Allah" (*ibnullah*) dapat memiliki beberapa makna, mulai dari makna kiasan (kekasih, hamba pilihan, orang yang sangat dimuliakan) hingga makna literal (bagian dari Dzat Ilahi).

Banyak ulama berpendapat bahwa klaim ini tidak berlaku untuk seluruh Bani Israel, melainkan hanya pada sekte atau kelompok tertentu yang eksis di Jazirah Arab pada masa Nabi Muhammad ﷺ. Ini didukung oleh riwayat dari Mujahid yang mengatakan bahwa klaim ini diucapkan oleh sebagian Yahudi Yaman. Karena Uzair dianggap mampu "menghidupkan" kembali Taurat setelah musnah, mereka menyematkan derajat yang sangat tinggi kepadanya, bahkan melebihkan derajatnya di atas Nabi Musa, dan mengklaim ia memiliki hubungan yang bersifat Ilahi.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa klaim ini adalah ekspresi dari kekaguman yang berlebihan yang melampaui batas kewajaran, sehingga Allah menggolongkannya sebagai penyekutuan (syirik), meskipun mungkin niat mereka pada mulanya tidak sepenuhnya literal seperti klaim Nasrani terhadap Isa Al-Masih. Namun, ketika klaim itu secara eksplisit diucapkan, ia melanggar Tauhid.

B. Klaim Nasrani: "Al-Masih adalah Putra Allah"

Klaim ini jauh lebih dikenal dan merupakan inti dari teologi Kristen, yang mengajarkan bahwa Yesus Kristus (Isa Al-Masih) adalah Anak Allah yang dilahirkan dan bagian dari Tritunggal Mahakudus. Klaim ini secara tegas ditolak dalam Islam.

1. Kesatuan dan Perbedaan dalam Klaim

Sementara Uzair hanya diakui sebagai 'Putra Allah' oleh sebagian kecil Yahudi, klaim terhadap Al-Masih adalah klaim mayoritas. Islam menghormati Isa Al-Masih sebagai salah satu Nabi Ulul Azmi, tetapi secara mutlak menolak status ketuhanan atau putra Allah baginya. Isa adalah hamba Allah (*‘abdullah*) dan rasul-Nya, yang diciptakan melalui mukjizat tanpa ayah biologis.

2. Penolakan terhadap Tritunggal

Penolakan terhadap status 'putra Allah' bagi Isa dalam At-Taubah ayat 30 merupakan penolakan terhadap seluruh konsep Tritunggal (Trinitas) yang dikembangkan dalam teologi Kristen, yang mengimplikasikan adanya sekutu bagi Allah dalam Dzat, Sifat, dan kekuasaan-Nya. Al-Qur'an secara konsisten menegaskan bahwa Allah itu Esa (*Ahad*), tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (*Lam Yalid wa Lam Yūlad* - Al-Ikhlas [112]: 3).

C. Analisis Ungkapan: "Itulah Ucapan yang Keluar dari Mulut Mereka"

Frasa: (ذَٰلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَٰهِهِمْ - *Żālika qauluhum bi-afwāhihim*) memiliki makna yang mendalam. Para ahli tafsir menafsirkannya sebagai berikut:

V. Fenomena Meniru Orang Kafir Terdahulu

Ayat ini kemudian memberikan dimensi historis yang sangat penting: (يُضَٰهِـُٔونَ قَوْلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن قَبْلُ - *Yuḍāhi’ūna qaulal-lażīna kafarū min qabl*) yang berarti "Mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu."

A. Makna Yudāhhūna (يُضَٰهِـُٔونَ)

Kata Yudāhhūna berarti menyerupai, meniru, atau meneladani. Ini bukan sekadar kesamaan kebetulan, melainkan suatu pola historis kesesatan. Allah menjelaskan bahwa penyimpangan yang dilakukan oleh Ahli Kitab ini bukanlah hal yang baru; ia adalah pengulangan dari kesalahan fundamental yang telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu yang menuhankan atau mensucikan makhluk.

B. Siapa "Orang Kafir Terdahulu" itu?

Para mufassir menyebutkan beberapa kemungkinan mengenai siapa yang dimaksud dengan "orang-orang kafir yang terdahulu":

  1. Penyembah Berhala Kuno: Bangsa Sumeria, Babilonia, atau Mesir kuno yang memiliki panteon dewa-dewi, di mana dewa-dewa tersebut memiliki "putra" atau "keturunan." Ini adalah pola syirik yang paling tua.
  2. Penyembah Matahari dan Bulan: Golongan yang menyembah benda langit dan menganggapnya sebagai manifestasi ilahi.
  3. Para Penyembah Malaikat: Seperti orang-orang Musyrik Quraisy yang mengklaim bahwa malaikat adalah putri-putri Allah (sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Najm).

Intinya, klaim bahwa Allah memiliki anak adalah pola penyimpangan universal yang selalu terjadi ketika manusia gagal mempertahankan Tauhid murni. Klaim teologis Yahudi dan Nasrani, dalam pandangan Al-Qur'an, hanyalah versi modern dari mitologi pagan kuno yang disematkan pada tokoh-tokoh suci kenabian. Dengan kata lain, mereka memasukkan unsur syirik purba ke dalam agama monoteistik yang seharusnya murni.

VI. Peringatan Ilahi yang Tegas

Ayat ini ditutup dengan dua pernyataan yang sangat keras, menunjukkan kemurkaan Ilahi terhadap penyimpangan akidah ini.

A. Laknat Allah: "Qātalahumullāh"

(قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُ - *Qātalahumullāh*) secara literal berarti "Semoga Allah memerangi/membunuh mereka." Dalam konteks bahasa Arab Al-Qur'an, frasa ini adalah bentuk ungkapan kemarahan dan laknat yang sangat kuat, sering diterjemahkan sebagai: "Semoga Allah melaknat mereka," atau "Semoga Allah menghukum mereka."

Penggunaan ungkapan ini menggarisbawahi betapa seriusnya dosa syirik. Syirik (menyekutukan Allah) adalah satu-satunya dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah jika pelakunya meninggal dalam keadaan tersebut (An-Nisa [4]: 48). Oleh karena itu, klaim bahwa Allah memiliki mitra atau anak, meskipun muncul dari latar belakang agama yang seharusnya monoteistik, adalah pelanggaran terbesar yang mengundang laknat dan hukuman yang berat.

B. Pertanyaan Retoris: "Annā Yu’fakūn"

(أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ - *Annā yu’fakūn*) diterjemahkan sebagai "Bagaimana mereka sampai berpaling?" atau "Bagaimana mereka bisa dipalingkan dari kebenaran?"

Ini adalah pertanyaan retoris yang mencela. Artinya, setelah Allah mengutus para nabi, menurunkan kitab suci yang mengajarkan Tauhid yang jelas, dan memberikan bukti-bukti nyata tentang keesaan-Nya, sungguh mengherankan bagaimana manusia masih bisa tersesat dan berpegang pada keyakinan yang begitu jelas kesalahannya. Pertanyaan ini menyiratkan bahwa penyimpangan tersebut bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena kesombongan, fanatisme buta, atau mengikuti hawa nafsu dan tradisi yang menyimpang.

VII. Analisis Linguistik dan Sintaksis

Kekuatan At-Taubah ayat 30 tidak hanya terletak pada pesan teologisnya, tetapi juga pada pilihan kata-kata Arab yang digunakan.

1. Penggunaan Qālat (قَالَتْ)

Ayat ini menggunakan kata kerja bentuk feminin, *Qālat* (berkata), untuk subjek jamak (Yahudi dan Nasrani). Secara tata bahasa, ini menunjukkan bahwa klaim tersebut adalah pandangan kolektif yang dominan atau pandangan yang disuarakan oleh para pemimpin atau otoritas agama mereka, bukan hanya klaim individu. Ini menguatkan bahwa klaim tersebut telah menjadi doktrin resmi dalam komunitas-komunitas tersebut.

2. Uzairun Ibnullāh (عُزَيْرٌ ٱبْنُ ٱللَّهِ)

Struktur kalimat ini, menggunakan nominatif (marfū’), menekankan predikat. Artinya, Uzair *adalah* putra Allah. Ini menunjukkan penegasan klaim tanpa keraguan di pihak mereka yang mengucapkannya, menempatkannya sebagai fakta teologis.

3. Afwāhihim (أَفْوَٰهِهِمْ)

Penggunaan kata *Afwāhihim* (mulut mereka) menekankan bahwa klaim tersebut bersifat lisan dan buatan manusia. Ini membedakannya dari firman Allah (*kalāmullah*), yang datang dari sumber ilahi yang murni. Klaim mereka hanya sebatas ucapan yang tidak didukung oleh realitas ontologis tentang Allah.

VIII. Implikasi Teologis Islam

Ayat At-Taubah ayat 30 memiliki implikasi yang sangat luas dalam teologi Islam, memperkuat pilar-pilar akidah yang mendasar.

A. Penegasan Mutlak Tauhid Al-Uluhiyyah

Ayat ini adalah salah satu penegasan terkuat terhadap Tauhid Al-Uluhiyyah, yaitu keesaan Allah dalam hal ibadah dan ketuhanan. Ia menolak secara total konsep partenogenesis teologis (keturunan ilahi). Islam mengajarkan bahwa hubungan antara Allah dan makhluk-Nya adalah hubungan antara Pencipta dan ciptaan, Tuan dan hamba. Tidak ada percampuran atau kesamaan dalam esensi ketuhanan.

Dalam pandangan Islam, ketika seseorang menyematkan status 'putra' kepada Allah, ia secara esensial membatasi dan menafikan keunikan Dzat Allah. Allah adalah Al-Ahad (Yang Maha Esa), yang sifat-Nya tidak dapat dibandingkan dengan sifat makhluk, dan tidak tunduk pada hukum alam atau kebutuhan reproduksi seperti makhluk hidup.

B. Kritisisme Terhadap Fanatisme Agama

Penyimpangan yang terjadi pada Yahudi (terhadap Uzair) dan Nasrani (terhadap Al-Masih) berakar pada pemuliaan yang berlebihan terhadap tokoh-tokoh suci. Allah mengutuk kecenderungan manusia untuk mengangkat status utusan Allah hingga melampaui batas kemanusiaan mereka. Islam memberikan peringatan keras agar umatnya tidak jatuh ke dalam kesalahan yang sama, misalnya dengan memuja Nabi Muhammad ﷺ secara berlebihan hingga menganggap beliau memiliki sifat ketuhanan. Nabi Muhammad adalah rasul Allah dan hamba-Nya (*‘abduhū wa rasūluh*).

Seorang ulama kontemporer pernah menjelaskan, "Ketika hati manusia dipenuhi dengan kekaguman yang tidak terkontrol, ia cenderung melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh wahyu, mengubah penghormatan menjadi penyembahan, dan mengubah nabi menjadi Tuhan. Inilah esensi kesesatan yang ditunjuk oleh At-Taubah 30."

C. Kesatuan Pesan Para Nabi

Dengan menyatakan bahwa klaim-klaim tersebut meniru kaum kafir terdahulu, Al-Qur'an menyiratkan bahwa ajaran asli Musa dan Isa adalah Tauhid murni, sama seperti ajaran Ibrahim dan Muhammad. Penyimpangan terjadi seiring berjalannya waktu, ketika tradisi manusia dan interpretasi teologis mengalahkan pesan fundamental keesaan Tuhan.

IX. Dampak Sosial dan Relevansi Kontemporer

Meskipun At-Taubah ayat 30 diwahyukan dalam konteks polemik dan konflik di Jazirah Arab, pesannya tetap sangat relevan bagi umat Islam saat ini dalam menghadapi pluralitas agama dan ideologi modern.

A. Dasar Dialog Antar-Iman yang Jelas

Ayat ini memberikan landasan teologis yang tegas bagi umat Islam dalam berdialog dengan komunitas Yahudi dan Kristen. Dialog harus dilakukan atas dasar prinsip yang tidak dapat dikompromikan: Keesaan Allah yang mutlak. Islam dapat menghargai persamaan moral dan historis dengan Ahli Kitab, tetapi harus selalu mempertahankan batasan akidah yang jelas, menolak klaim ketuhanan atau putra Allah bagi makhluk. Tanpa kejelasan ini, Tauhid akan tereduksi menjadi konsep yang ambigu.

B. Peringatan terhadap Sinkretisme

Di era globalisasi, ada godaan untuk mencampuradukkan keyakinan atau mereduksi perbedaan agama demi mencapai kesamaan superfisial (sinkretisme). Ayat 30 ini berfungsi sebagai benteng, mengingatkan umat Islam untuk tidak mengadopsi atau menyerupai praktik-praktik teologis dari agama lain yang bertentangan dengan Tauhid, bahkan jika praktik tersebut didorong oleh niat baik untuk "toleransi" atau "persatuan" yang kebablasan.

C. Menghindari Ghuluw (Ekstremitas dalam Penghormatan)

Pelajaran terpenting dari klaim Uzair dan Al-Masih adalah bahaya dari *ghuluw* (berlebihan) dalam mencintai atau menghormati figur suci. Umat Islam diperintahkan untuk mencintai Nabi Muhammad ﷺ lebih dari diri sendiri, tetapi dilarang keras untuk mengangkatnya ke tingkat ketuhanan. Ayat ini mengajarkan keseimbangan: menghormati utusan sebagai utusan, tetapi hanya menyembah Pengutus (Allah).

X. Detail Tambahan dan Pandangan Para Mufassir Klasik

Untuk mencapai kedalaman kajian yang komprehensif, penting untuk meninjau bagaimana mufassir terdahulu melihat spesifik klaim Uzair, karena klaim tersebut merupakan titik pembeda yang khas dalam Islam.

Pandangan Imam Al-Qurtubi

Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya mencatat bahwa kelompok Yahudi yang mengucapkan klaim ini adalah kelompok tertentu yang disebut Al-Kutubiyyah atau Al-Iraqiun (Yahudi di Irak). Beliau juga mengutip hadis dari Anas bin Malik yang menyebutkan bahwa Allah berfirman: "Aku tidak pernah mengirimkan seorang nabi pun kecuali dia disembah bersama-Ku." Hal ini menunjukkan bahwa penyimpangan syirik sering kali terjadi di setiap umat.

Al-Qurtubi menekankan bahwa *Qātalahumullāh* (Semoga Allah melaknat mereka) adalah doa yang buruk yang ditujukan kepada mereka yang menyekutukan Allah secara eksplisit, menunjukkan bahwa ancaman terhadap syirik adalah nyata dan tidak ada keringanan dalam masalah ini.

Pandangan Fakhruddin Ar-Razi

Ar-Razi memberikan analisis rasional yang mendalam mengenai mengapa klaim putra Allah itu tidak logis. Ia berpendapat bahwa keputraan harus didasarkan pada salah satu dari tiga asumsi:

  1. Kebutuhan biologis: Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan anak untuk meneruskan kekuasaan.
  2. Kesamaan substansi: Klaim ini berarti substansi Allah dan substansi anak-Nya sama. Ini berarti Allah terbatas dan dapat dibagi, yang mustahil bagi Dzat Yang Maha Esa.
  3. Penggantian atau pewarisan: Allah adalah Al-Hayyu Al-Qayyum (Yang Maha Hidup dan Berdiri Sendiri), tidak akan pernah mati atau digantikan.

Oleh karena itu, klaim 'Putra Allah' adalah klaim yang tidak hanya bertentangan dengan wahyu, tetapi juga bertentangan dengan akal sehat yang mengakui kesempurnaan dan keunikan Dzat Ilahi.

XI. Penutup: Kekuatan Prinsip Tauhid

Ayat At-Taubah ayat 30 merupakan salah satu penegasan paling penting dalam Al-Qur'an tentang hakikat Tauhid dan bahaya Syirik. Melalui ayat ini, Allah SWT tidak hanya mengoreksi penyimpangan teologis yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi mereka, tetapi juga memberikan peringatan abadi kepada umat Islam.

Klaim bahwa Uzair atau Al-Masih adalah putra Allah ditolak keras, bukan karena kebencian terhadap individu nabi tersebut, tetapi karena klaim tersebut merusak fondasi segala kebenaran: Keesaan Allah. Ketika fondasi Tauhid runtuh, seluruh struktur keimanan akan terancam.

Pelajaran yang abadi dari ayat ini adalah kewajiban untuk mempertahankan kemurnian akidah dan selalu kembali kepada sumber wahyu yang otentik. Setiap langkah menjauh dari Tauhid adalah langkah menuju kegelapan, sebuah jalan yang sama dengan yang ditempuh oleh kaum kafir terdahulu. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk memahami keesaan-Nya dengan sempurna dan menjauhi segala bentuk penyekutuan.

🏠 Homepage