Surah At-Taubah, yang dikenal juga sebagai Al-Bara’ah, adalah salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada periode penting penegakan kedaulatan Islam. Ayat-ayat di dalamnya seringkali mengandung arahan keras mengenai batasan-batasan akidah dan hukum. Ayat ke-31 dari surah ini memberikan peringatan fundamental tentang keesaan Allah (Tauhid) dan batasan otoritas manusia dalam menetapkan hukum dan syariat.
Ayat ini bukan hanya sebuah narasi historis tentang kesalahan umat terdahulu, melainkan sebuah prinsip abadi yang menetapkan batasan ketaatan. Pesan utama yang disampaikan adalah penolakan mutlak terhadap segala bentuk persekutuan dalam bidang legislasi dan penetapan hukum. Mereka yang mengangkat otoritas manusia—baik itu pendeta, rahib, ulama, atau penguasa—ke tingkat yang menandingi otoritas Allah, pada hakikatnya telah jatuh dalam kategori syirik, meskipun secara lisan mereka mengaku beriman kepada Tuhan Yang Esa.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, penting untuk mengurai tiga istilah kunci yang digunakan Al-Qur'an:
Ini merujuk kepada para sarjana, ulama, atau rabbi di kalangan umat Yahudi. Mereka adalah otoritas keilmuan yang bertugas menafsirkan Taurat dan mengajarkan hukum-hukum agama. Ketaatan kepada mereka didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap kitab suci.
Ini merujuk kepada para rahib atau biarawan di kalangan umat Nasrani (Kristen). Mereka adalah figur asketis yang dikenal karena praktik ibadah, pengekangan diri, dan dianggap memiliki tingkat kesalehan spiritual yang tinggi. Ketaatan kepada mereka sering didasarkan pada karisma dan klaim kedekatan spiritual mereka dengan Tuhan.
Bentuk jamak dari 'Rabb' (Tuhan, Pemelihara, Penguasa). Dalam konteks Tauhid, Rabb adalah satu-satunya entitas yang memiliki hak penuh untuk menciptakan, memelihara, dan, yang terpenting dalam ayat ini, untuk menetapkan hukum (legislasi). Ketika manusia menjadikan ulama atau pendeta sebagai ‘Arbab,’ artinya mereka telah memberikan hak kepada manusia untuk menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dan mereka menaati ketetapan manusia tersebut.
Kesalahan mendasar yang dijelaskan ayat ini bukanlah ritual sujud, melainkan ketaatan absolut yang menempatkan hukum buatan manusia di atas hukum Ilahi. Ketaatan ini merupakan bentuk syirik dalam kedaulatan (Tauhid al-Hakimiyyah).
Salah satu tafsiran paling otoritatif mengenai ayat ini datang dari riwayat Hadits yang melibatkan 'Adiy bin Hatim Al-Tha'i, yang dulunya adalah seorang Nasrani sebelum memeluk Islam. Ketika ia mendengar Nabi Muhammad ﷺ membacakan ayat ini:
"Wahai Rasulullah, kami tidak pernah menyembah mereka (rahib dan pendeta)!"
Nabi ﷺ menjawab:
"Tidakkah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, lalu kalian mengikutinya? Dan tidakkah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, lalu kalian mengikutinya?"
'Adiy menjawab, "Ya, benar."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Itulah bentuk ibadah kalian kepada mereka."
Kisah ini menjadi fondasi utama penafsiran ayat, menegaskan bahwa ibadah (penyembahan) dalam konteks ini meliputi ketaatan mutlak terhadap syariat yang ditetapkan, bahkan jika syariat tersebut bertentangan dengan wahyu Ilahi.
Ayat At-Taubah 31 adalah batu penjuru dalam memahami konsep Tauhid al-Hakimiyyah (Keesaan Allah dalam menetapkan hukum). Tauhid tidak hanya terbatas pada Tauhid ar-Rububiyyah (Allah sebagai Pencipta) dan Tauhid al-Uluhiyyah (Allah sebagai satu-satunya yang berhak diibadahi), tetapi juga mencakup Tauhid dalam penetapan hukum.
Al-Qur'an menegaskan bahwa hak untuk menghalalkan (penentuan sesuatu itu mubah) dan mengharamkan (penentuan sesuatu itu terlarang) adalah hak prerogatif mutlak milik Allah semata. Ketika seorang manusia, lembaga, atau otoritas keagamaan mengklaim hak ini—dan para pengikutnya menaati klaim tersebut—maka pada saat itu mereka telah menempatkan otoritas manusia tersebut sebagai ‘Rabb’ (Tuhan) yang bersekutu dengan Allah.
Ini adalah poin krusial: Syirik tidak hanya terjadi melalui sujud di depan patung. Syirik yang paling halus dan berbahaya adalah ketika ketaatan mutlak yang seharusnya hanya ditujukan kepada Pencipta, dialihkan kepada makhluk, khususnya dalam urusan penetapan hukum dan syariat yang fundamental.
Ayat ini secara tidak langsung mengecam praktik taqlid buta (mengikuti tanpa dasar ilmu) yang melampaui batas kewajaran. Meskipun ketaatan kepada ulama dan pemimpin agama diperlukan dalam banyak aspek, batasnya adalah selama ketaatan itu sejalan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Begitu seorang ulama menyimpang dari batas syariat, ketaatan kepadanya harus dihentikan, karena ketaatan kepada makhluk tidak boleh mengalahkan ketaatan kepada Khaliq (Pencipta).
Semua praktik ini, meskipun dilakukan dengan niat ibadah, berakhir menjadi syirik karena melanggar batasan bahwa hanya Allah yang berhak menetapkan dan mengubah hukum-hukum agama.
Meskipun ayat ini ditujukan pada perilaku Yahudi dan Nasrani, prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan sangat relevan bagi umat Islam. Ayat ini menjadi peringatan tegas agar umat Islam tidak jatuh dalam kesalahan yang sama, yaitu mengkultuskan para ulama (Ahbar) atau para ahli ibadah (Ruhban) hingga batas yang menghalangi penerimaan kebenaran mutlak dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Ulama dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat mulia sebagai pewaris para Nabi, namun peran mereka adalah menjelaskan, menafsirkan, dan menerapkan syariat, bukan menciptakannya. Ketika seorang Muslim menganggap fatwa seorang ulama setara dengan wahyu—sehingga ia tetap menaati fatwa tersebut meskipun telah jelas-jelas bertentangan dengan dalil syar'i yang shahih—maka ia telah mendekati garis syirik yang diperingatkan dalam At-Taubah 31.
Pentingnya mencari dalil (bukti) dalam Islam ditekankan di sini. Seorang Muslim diminta untuk mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah, dan ulama adalah pemandu menuju sumber-sumber tersebut, bukan sumber itu sendiri. Kepatuhan yang tidak didasarkan pada dalil, melainkan pada kemurnian pribadi atau karisma sang pemimpin, adalah pintu masuk menuju pengkultusan.
Implikasi At-Taubah 31 meluas ke ranah politik dan sosial. Menjadikan ‘Arbab’ selain Allah juga bisa berarti:
Syirik dalam konteks legislasi ini adalah tantangan kontemporer terbesar. Siapa yang memiliki hak mutlak untuk mengatur hidup manusia? Jawabannya, berdasarkan At-Taubah 31, harus tetap tunggal: Allah SWT.
Ayat 31 ini ditutup dengan penegasan ulang Tauhid Uluhiyyah (keesaan dalam ibadah): "padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia." Penutup ini menggarisbawahi bahwa penyimpangan dalam legislasi adalah penyimpangan dalam ibadah itu sendiri.
Definisi ibadah dalam Islam sangat luas, mencakup setiap perbuatan, perkataan, dan keyakinan lahir maupun batin yang dicintai dan diridhai Allah. Ketaatan terhadap hukum Allah adalah puncak ibadah. Dengan demikian, ketika seseorang menaati hukum yang bertentangan dengan syariat, ia telah merusak inti ibadahnya.
Jika seseorang mengakui Allah sebagai pencipta (Rububiyyah) dan bahkan beribadah ritual (shalat, puasa), namun ia menerima undang-undang dari manusia yang menghalalkan perkara haram tanpa penolakan, ia telah menodai Tauhid Uluhiyyah-nya. Ia telah memberikan sebagian hak Allah (hak legislasi) kepada makhluk.
Para ulama tafsir menekankan bahwa syirik dalam ayat ini tidak berarti keyakinan hati bahwa pendeta itu adalah pencipta alam semesta. Itu berarti keyakinan praktik: menganggap bahwa manusia memiliki hak untuk membuat hukum yang wajib diikuti, bahkan jika hukum itu membatalkan hukum Allah. Ini adalah pengagungan yang setara dengan ibadah.
Ayat ini juga menyentuh isu pengkultusan melalui klaim syafaat atau kedudukan spiritual eksklusif. Di kalangan umat terdahulu, rahib dan pendeta dianggap memiliki akses istimewa kepada Tuhan, sehingga kata-kata mereka dianggap setara dengan firman. Ketika pengikut menganggap bahwa mereka harus menaati ulama agar ibadah mereka diterima, tanpa meninjau kesesuaian ajaran tersebut dengan wahyu, mereka telah jatuh dalam perangkap pengkultusan yang sama.
Ajaran Islam menuntut agar semua manusia, termasuk nabi dan rasul, tunduk pada hukum Allah. Rasulullah ﷺ sendiri tidak memiliki hak untuk mengharamkan atau menghalalkan tanpa izin dari Allah. Jika nabi saja terikat, apalagi manusia biasa, betapapun tingginya derajat keilmuannya.
Ancaman pengkultusan manusia adalah ancaman yang kekal. Setiap zaman memiliki ‘Ahbar’ dan ‘Ruhban’-nya sendiri yang berpotensi disembah melalui ketaatan yang melampaui batas. Dalam konteks modern, ini dapat berupa:
Mengagungkan pemimpin spiritual atau politis hingga menganggapnya tidak mungkin salah (infallible). Ketaatan pada pemimpin ini menjadi lebih prioritas daripada ketaatan pada teks suci. Kritik atau koreksi terhadap kesalahan pemimpin dianggap sebagai dosa besar.
Ketika sebuah lembaga keagamaan mengeluarkan fatwa yang jelas bertentangan dengan nash (teks) yang shahih, namun umat tetap wajib mengikutinya hanya karena otoritas institusional tersebut. Lembaga tersebut, dalam konteks At-Taubah 31, telah bertindak sebagai 'Rabb' bagi para pengikutnya.
Upaya menghalalkan secara total perkara yang haram (misalnya, homoseksualitas, aborsi, perjudian) atas nama kemanusiaan, perkembangan zaman, atau hak asasi manusia, dan kemudian mewajibkan kepatuhan terhadap hukum tersebut. Mereka yang menciptakan hukum ini dan mereka yang dengan sukarela menaatinya tanpa ada paksaan, telah memosisikan dirinya dalam bahaya syirik ketaatan.
Ayat ini mengajarkan prinsip imunisasi spiritual: jaga jarak antara penghargaan yang layak kepada ulama dan pengkultusan yang hanya layak bagi Allah. Menghargai ilmu dan kesalehan adalah wajib; mengangkat manusia ke derajat pembuat syariat adalah syirik.
Ulama yang sejati, berdasarkan prinsip Tauhid ini, adalah mereka yang berusaha keras mengarahkan umat kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka adalah penyampai pesan, penerjemah kode Ilahi, dan penunjuk jalan. Mereka tidak pernah mengklaim hak legislasi untuk diri mereka sendiri. Mereka adalah hamba Allah yang paling tunduk pada aturan-Nya, dan merekalah yang paling khawatir jika umat menaati mereka secara mutlak hingga melanggar batas-batas Allah.
Jika seorang ulama memerintahkan ketaatan pada hukum Allah, maka yang ditaati adalah hukum Allah, bukan pribadi ulama tersebut. Jika ulama memerintahkan kemaksiatan atau menetapkan hukum baru, ketaatan menjadi haram. Prinsip ini adalah esensi dari pemurnian Tauhid yang diajarkan oleh Surah At-Taubah.
Lebih jauh lagi, makna 'Arbab' dalam konteks sosial dan individu bisa diperluas ke segala sesuatu yang dijadikan standar kebenaran atau hukum tertinggi selain Allah. Ini termasuk:
Dalam semua kasus ini, hukum Allah telah diturunkan dari posisi tertingginya, dan digantikan oleh otoritas buatan manusia, yang merupakan inti dari penyimpangan yang dikutuk dalam At-Taubah 31.
Ketaatan penuh kepada Allah membebaskan manusia dari perbudakan kepada manusia. Ketika seseorang hanya takut kepada Allah dalam urusan hukum dan syariat, ia tidak akan pernah tunduk secara absolut kepada tekanan pendeta, raja, penguasa, atau bahkan mayoritas masyarakat. Ayat ini adalah seruan untuk kemerdekaan spiritual dan intelektual, menjamin bahwa manusia hanya bertanggung jawab kepada Rabb semesta alam dalam penetapan standar moral dan hukum.
Ayat 31 dari Surah At-Taubah merupakan salah satu ayat terkuat dalam menegaskan pentingnya Tauhid dalam seluruh aspek kehidupan, khususnya dalam ketaatan dan legislasi. Pesan yang diulangi di akhir ayat—"Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan"—adalah penolakan tegas terhadap segala upaya untuk menandingi hak-hak ilahiah.
Muslim harus selalu kritis, bukan terhadap sumber wahyu, melainkan terhadap penafsir wahyu. Ketaatan kepada ulama harus didasarkan pada kesesuaian mereka dengan wahyu, bukan pada status pribadi mereka. Selama ulama menyampaikan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, mereka harus ditaati; begitu mereka menyimpang, ketaatan harus ditarik.
Menjadikan pendeta, rahib, ulama, pemimpin, atau lembaga manapun sebagai 'Arbab' adalah melupakan hakikat penciptaan manusia: yaitu hanya untuk menyembah satu Tuhan, yang memiliki hak penuh dan mutlak atas penetapan hukum dan syariat. Ini adalah fondasi keadilan dan kemurnian iman.
Kedaulatan hukum (Hakimiyyah) adalah milik Allah semata. Mengalihkan kedaulatan ini, meskipun hanya dalam urusan halal dan haram, adalah bentuk syirik yang serius, sebagaimana dialami oleh umat-umat sebelum kita. Perlindungan terbaik adalah dengan menjadikan Kitabullah sebagai hakim terakhir, yang di atasnya tidak ada lagi otoritas mutlak yang diperkenankan.
Ayat ini mengajak kaum Muslimin untuk selalu menjaga ketegasan batas antara yang Ilahi dan yang insani. Kekaguman terhadap ilmu seorang ulama tidak boleh melahirkan pengkultusan yang menghilangkan Tauhid al-Hakimiyyah. Kebenaran harus diikuti, dari manapun datangnya, selama ia sesuai dengan wahyu; namun, kepatuhan mutlak hanya diberikan kepada Dzat Yang Maha Suci, Allah SWT.
***
Elaborasi Mendalam Mengenai Konsekuensi Syirik Ketaatan
Konsekuensi dari syirik ketaatan, sebagaimana diuraikan dari Surah At-Taubah 31, sangat luas dan merusak fondasi masyarakat yang dibangun di atas nilai-nilai Tauhid. Ketika ketaatan dialihkan dari Sang Pencipta kepada makhluk, hasil akhirnya adalah hilangnya standar moral yang objektif. Manusia menjadi budak bagi hukum yang berubah-ubah sesuai kepentingan para pembuatnya.
Syirik ketaatan menciptakan struktur kekuasaan yang zalim. Para 'Ahbar' dan 'Ruhban' yang mengambil peran 'Arbab' cenderung memanipulasi hukum demi keuntungan pribadi atau kelas. Di zaman dahulu, ini terwujud dalam penjualan surat pengampunan dosa, atau pembebasan pajak bagi kelompok tertentu. Di zaman modern, hal ini terwujud dalam penetapan undang-undang yang pro-kapitalis dan anti-kemanusiaan, yang dilegalisasi oleh otoritas sekuler, atau fatwa-fatwa keagamaan yang dipengaruhi oleh politik.
Oleh karena itu, penekanan pada Tauhid al-Hakimiyyah adalah jaminan keadilan sosial. Hanya hukum yang berasal dari Sumber yang Maha Adil dan Bebas dari kepentingan yang dapat menjamin keadilan bagi semua. Begitu hukum digantikan oleh kehendak manusia, hukum tersebut akan selalu berpihak kepada yang kuat dan menindas yang lemah.
Bagaimana umat Islam dapat memastikan bahwa mereka tidak mengulangi kesalahan Yahudi dan Nasrani? Jawabannya terletak pada pendidikan yang berkelanjutan mengenai sumber-sumber hukum:
Surah At-Taubah 31 adalah tembok pelindung terhadap penyimpangan internal dalam komunitas Muslim itu sendiri. Ia memastikan bahwa piramida otoritas dalam Islam hanya memiliki satu puncak: Allah SWT.
Penting untuk membedakan antara ketaatan yang dianjurkan (seperti ketaatan kepada orang tua, guru, atau pemimpin yang adil) dengan ketaatan syirik yang dikutuk. Ketaatan yang dianjurkan bersifat bersyarat dan terbatas. Ketaatan kepada ulama, misalnya, hanya wajib dalam lingkup yang sesuai dengan syariat. Jika ulama tersebut memerintahkan hal yang bertentangan dengan Al-Qur'an, ketaatan itu batal dan berubah menjadi dosa.
Sebaliknya, ketaatan syirik bersifat mutlak (absolute). Mereka yang menjadikan 'Ahbar' dan 'Ruhban' sebagai 'Arbab' tidak lagi memiliki batasan dalam ketaatan mereka. Bagi mereka, apa yang dikatakan otoritas agama mereka adalah hukum, tanpa perlu merujuk lagi kepada wahyu yang asli. Penghapusan batas ini adalah inti dari kemusyrikan ketaatan.
***
Pengaruh At-Taubah 31 terhadap Gerakan Pemurnian Islam
Sepanjang sejarah Islam, ayat ini selalu menjadi seruan bagi gerakan-gerakan pemurnian (Tajdid) yang berusaha mengembalikan umat kepada Tauhid yang murni. Para reformis selalu menggunakan ayat ini untuk melawan praktik-praktik yang mereka anggap sebagai pengkultusan terhadap orang suci, wali, atau pemimpin tarekat yang mengklaim hak legislasi atau pengampunan dosa.
Ayat ini berfungsi sebagai ‘pedoman akidah’ yang memastikan Islam tidak jatuh ke dalam bentuk sinkretisme atau pengkultusan berlebihan seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu. Ia menegaskan bahwa pintu ijtihad (usaha keras untuk memahami hukum) terbuka, tetapi pintu legislasi baru (pembuatan syariat baru) telah tertutup dengan wafatnya Rasulullah ﷺ.
Para Ahbar dan Ruhban umat terdahulu seringkali melampaui batas ijtihad menuju tasyri' (legislasi). Ijtihad adalah upaya menggunakan nalar dan metodologi syar'i untuk menarik kesimpulan hukum dari sumber-sumber yang sudah ada (Al-Qur'an dan Sunnah). Tasyri' adalah tindakan menciptakan hukum baru yang tidak memiliki landasan di dalam sumber-sumber tersebut, atau bahkan membatalkan hukum yang sudah jelas ditetapkan.
Ketika seorang ulama mengeluarkan fatwa, itu adalah hasil ijtihad, yang bersifat nisbi (relatif) dan bisa salah. Akan tetapi, ketika seorang pendeta mengubah hari Sabat menjadi hari Minggu atas dasar otoritasnya, itu adalah tasyri', sebuah tindakan yang merampas hak Allah. At-Taubah 31 membedakan kedua tindakan ini dan memperingatkan keras terhadap upaya tasyri' oleh manusia.
Dalam terminologi politik Islam, ini sering disebut sebagai 'Hakimiyyah Ilahiyyah' – Kedaulatan Ilahi. Kedaulatan ini menuntut bahwa dalam hal penetapan hukum dan otoritas, tidak ada pemusatan kekuasaan mutlak pada individu atau institusi manusia. Kekuasaan ulama adalah terdistribusi dan harus selalu tunduk pada verifikasi Wahyu.
Pemusatan kekuasaan hukum pada tangan rahib dan pendeta pada umat terdahulu memungkinkan mereka untuk menekan umat, mengumpulkan kekayaan, dan membenarkan kekuasaan politik yang korup. Islam, melalui ayat ini, membangun mekanisme untuk mencegah penyalahgunaan otoritas keagamaan tersebut, dengan selalu menempatkan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai otoritas tertinggi, yang bebas dari kepentingan duniawi.
Oleh karena itu, menjaga Tauhid yang diajarkan dalam At-Taubah 31 berarti menjaga akal, kebebasan, dan keadilan. Itu adalah kebebasan untuk mengatakan 'Tidak' kepada hukum manusia manapun yang bertentangan dengan kehendak Ilahi yang termaktub dalam wahyu yang tidak pernah berubah.
***
Penghujung Kajian: Kesucian Allah dari Syirik (Subhanahu wa Ta'ala)
Penutup ayat, "Subhanahu ‘amma yusyrikūn," (Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan), berfungsi sebagai deklarasi transcendental. Allah Maha Suci, tidak terpengaruh, dan tidak membutuhkan persekutuan dari manusia manapun, baik itu dalam hal penciptaan, ibadah, maupun legislasi. Kesalahan yang dilakukan manusia dalam mengangkat ‘Arbab’ selain-Nya tidak mengurangi kesucian atau keagungan Allah sedikit pun.
Deklarasi ini adalah pengingat bahwa tujuan utama agama adalah memurnikan manusia dari segala bentuk perbudakan, baik fisik maupun spiritual, dan hanya menghamba kepada Allah semata. Mengikuti Ahbar dan Ruhban dalam melanggar syariat adalah perbudakan; mengikuti Allah adalah pembebasan sejati.
Setiap Muslim diajak untuk merenungkan, siapa yang ia jadikan penentu halal dan haram dalam hidupnya? Apakah ia mengizinkan tradisi, tren, atau otoritas manusia untuk menggantikan hukum Allah? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan posisi seseorang dalam memahami dan mengamalkan Tauhid yang dituntut oleh Surah At-Taubah Ayat 31.
Ketaatan penuh hanya milik Allah. Inilah pelajaran abadi dari ayat ini.
***
Rangkuman Konsep Ketaatan Absolut dan Nisbi
Dalam menjalankan ajaran agama, ketaatan manusia terbagi menjadi dua kategori fundamental yang harus dipahami secara jelas untuk menghindari jebakan At-Taubah 31:
Ketaatan ini hanya ditujukan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya (sebagai penyampai syariat). Ketaatan ini tidak memiliki syarat dan tidak dapat dibatalkan oleh pendapat manusia manapun. Ini mencakup kepatuhan terhadap Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih. Dalam konteks legislasi, ini berarti menerima bahwa hanya Allah yang berhak menetapkan apa yang halal dan apa yang haram.
Ketaatan ini ditujukan kepada otoritas manusia (ulama, pemimpin, orang tua, suami, penguasa). Ketaatan ini bersifat bersyarat. Syarat utamanya adalah: ketaatan tersebut harus sejalan dengan Ketaatan Absolut. Jika ada konflik, Ketaatan Absolut selalu menang. Inilah yang diabaikan oleh Yahudi dan Nasrani: mereka menjadikan ketaatan nisbi kepada pemimpin agama mereka menjadi ketaatan absolut, bahkan ketika pemimpin tersebut melanggar hukum Ilahi.
Syirik Ketaatan terjadi pada titik persimpangan ini, ketika seorang Muslim mengizinkan Ketaatan Nisbi untuk mengalahkan Ketaatan Absolut. Ketika seorang ulama mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal dalam Al-Qur'an, dan seorang pengikut menaati ulama tersebut (karena takut dituduh tidak hormat atau sesat) alih-alih merujuk kepada Al-Qur'an, ia telah jatuh dalam praktik menjadikan ulama sebagai ‘Arbab’.
Prinsip ini sangat relevan dalam menjaga integritas masyarakat Muslim. Kekuatan Islam bukan terletak pada individualitas ulama, melainkan pada keutuhan dan konsistensi hukum Ilahi yang melampaui kepentingan dan bias personal.
***
Melestarikan Ajaran Tauhid di Tengah Perkembangan Dunia
Di era globalisasi dan kompleksitas hukum modern, godaan untuk mencari 'Arbab' baru semakin besar. Ketika umat Muslim merasa kesulitan dalam menghadapi tantangan kontemporer (seperti masalah ekonomi global, bioteknologi, atau etika digital), ada kecenderungan untuk menyerahkan otoritas hukum sepenuhnya kepada pakar sekuler atau figur keagamaan yang menjanjikan solusi mudah.
Ayat At-Taubah 31 mengajarkan bahwa solusi harus selalu diuji kembali dengan timbangan Wahyu. Ketika pakar ekonomi menetapkan bahwa Riba (bunga) adalah keharusan untuk stabilitas sistem, dan otoritas agama setuju demi kelangsungan hidup sistem tersebut, mereka berdua berpotensi menjadi 'Arbab' yang menggantikan Allah dalam penetapan hukum ekonomi. Padahal, tugas ulama adalah mencari jalan keluar yang sesuai dengan Syariah, bukan mengubah Syariah agar sesuai dengan sistem sekuler.
Mempertahankan ajaran Tauhid yang murni adalah upaya berkelanjutan untuk menolak segala bentuk kompromi dalam hukum fundamental Allah. Ini membutuhkan keberanian intelektual dan spiritual untuk menolak tekanan sosial, politik, dan bahkan keagamaan yang mencoba membatasi atau mengubah Batasan-Batasan Suci.
Kesimpulan yang diangkat dari tafsir mendalam ayat ini adalah bahwa pemurnian akidah adalah tugas seumur hidup. Ia memerlukan kewaspadaan konstan agar ketaatan yang seharusnya diarahkan kepada Allah tidak berbelok sedikit pun menuju makhluk yang lemah. Inilah makna terdalam dari kalimat tauhid: Laa ilaaha illallah – tidak ada ilah (yang berhak disembah dan ditaati secara mutlak) kecuali Allah.
***
Detail Historis: Peran Pendeta dalam Penyimpangan Hukum
Untuk memahami mengapa Allah mengaitkan ketaatan kepada Ahbar dan Ruhban sebagai syirik, kita perlu melihat sejarah praktik mereka. Para pendeta dan rahib Yahudi dan Nasrani seringkali menyalahgunakan otoritas keagamaan mereka untuk menciptakan sistem yang menguntungkan diri mereka sendiri dan menindas rakyat jelata.
Contoh klasik adalah modifikasi hukum tentang persembahan. Jika seseorang bernazar untuk memberikan sejumlah harta kepada Kuil (atau Gereja), pendeta dapat mengklaim bahwa nazar ini lebih penting daripada kewajiban seseorang untuk membantu orang tua atau keluarga. Dengan kata lain, mereka menggunakan otoritas mereka untuk membatalkan kewajiban etika dan sosial yang ditetapkan dalam kitab suci demi memperkaya institusi mereka.
Dalam kasus lain, para pemimpin agama menetapkan hukum-hukum ritual yang sangat memberatkan dan tidak memiliki dasar yang kuat dalam Taurat atau Injil, namun diwajibkan kepada pengikut. Siapapun yang melanggar hukum-hukum tambahan ini dianggap berdosa, seolah-olah mereka melanggar hukum Tuhan itu sendiri. Pengikut yang patuh tanpa mempertanyakan hukum tambahan ini telah memberikan status legislasi ilahi kepada para pemimpin tersebut.
Inilah yang Al-Qur'an kritik: sistem yang memungkinkan manusia menambal, mengurangi, atau mengganti hukum Tuhan, dan yang lebih parah, sistem yang mengharuskan umat untuk menaati perubahan tersebut. Islam menutup pintu ini rapat-rapat dengan menjadikan ketaatan absolut hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, sekaligus membebaskan umat dari perbudakan kepada fatwa-fatwa manusia yang tidak berlandaskan wahyu.
Dengan demikian, At-Taubah 31 adalah deklarasi kebebasan spiritual yang paling tegas dalam sejarah, memisahkan secara jelas antara otoritas Ilahi yang suci dan otoritas manusia yang penuh kesalahan.
***
Menjaga Keseimbangan: Menghormati Ulama Tanpa Mengkultuskan
Ayat ini tidak bermaksud merendahkan ulama atau menyerukan penolakan terhadap semua bentuk otoritas keagamaan. Islam sangat menganjurkan penghormatan yang tinggi terhadap orang-orang berilmu. Penghormatan ini diperlukan agar umat dapat mengambil manfaat dari ilmu mereka.
Namun, penghormatan ini harus berada dalam kerangka Tauhid. Kita menghormati ulama karena ilmu dan kesalehan mereka, yang merupakan karunia dari Allah. Kita menerima ajaran mereka karena ajaran itu didasarkan pada Kitab dan Sunnah. Ketika batas ini dilanggar—ketika ulama mulai dianggap sebagai sumber hukum independen—maka terjadi pengkultusan dan syirik ketaatan.
Seorang Muslim yang matang secara akidah mampu membedakan antara 'perintah Tuhan' dan 'pendapat ulama.' Ia melihat ulama sebagai penuntun (guide), bukan sebagai tujuan (destination). Perbedaan ini adalah kunci untuk menjaga kemurnian Tauhid di tengah hiruk-pikuk perbedaan pendapat dalam agama.
Memahami dan mengamalkan At-Taubah 31 adalah inti dari menjadi seorang muwahhid (orang yang mentauhidkan Allah) sejati. Ini adalah janji untuk tunduk pada hukum tertinggi dan menolak segala bentuk perbudakan kepada ciptaan, demi meraih kebebasan sejati di bawah naungan kedaulatan Allah SWT.