Keadilan Abadi dalam Perjanjian: Tafsir Mendalam Surah At-Taubah Ayat 4

Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah yang membahas ketegasan hukum, khususnya dalam konteks perjanjian dan pertahanan diri di masa awal Islam. Ia dibuka dengan deklarasi pemutusan perjanjian (*bara’ah*) yang ditujukan kepada kaum musyrikin yang telah melanggar janji mereka. Namun, di tengah ketegasan tersebut, Al-Qur'an secara tegas memberikan pengecualian yang menunjukkan universalitas prinsip keadilan dan kehormatan janji. Pengecualian fundamental ini terangkum dalam **Surah At-Taubah Ayat 4**.

Ayat ini berfungsi sebagai batas pemisah antara pemutusan total dengan kewajiban moral untuk menghormati mereka yang tetap setia pada kesepakatan. Ia mengajarkan bahwa prinsip keadilan harus ditegakkan, bahkan ketika berhadapan dengan lawan ideologis. Keagungan ajaran Islam terletak pada penegasan bahwa pemutusan hubungan hanya berlaku bagi pengkhianat, sementara kesetiaan harus dibalas dengan kesetiaan.

إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
"Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka, kemudian mereka tidak mengurangi janji kalian sedikit pun (tidak mengkhianati), dan tidak (pula) membantu seseorang pun (musuh) untuk menyerang kalian. Maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai habis waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (QS. At-Taubah [9]: 4)
Simbol Perjanjian dan Keadilan

(Visualisasi simbolis kesetiaan perjanjian dan keadilan)

I. Konteks Historis dan Latar Belakang Surah At-Taubah

Untuk memahami kedalaman Ayat 4, kita harus menempatkannya dalam konteks yang lebih luas dari Surah At-Taubah secara keseluruhan. Surah ini diturunkan setelah Fathu Makkah (Pembebasan Mekah) dan pada masa persiapan menjelang Perang Tabuk. Ini adalah periode ketika Negara Islam di Madinah telah mapan, namun masih dikelilingi oleh suku-suku Arab yang terikat kontrak damai yang bersifat sementara atau terancam oleh kekuatan eksternal.

1. Deklarasi Bara’ah (Pemutusan)

Ayat 1 hingga 3 Surah At-Taubah mengumumkan pemutusan perjanjian dengan kaum musyrikin. Pemutusan ini bukan tindakan sepihak yang zalim, melainkan respons terhadap serangkaian pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian besar suku musyrikin. Mereka sering kali melanggar kesepakatan, bersekutu dengan musuh Islam, atau secara terbuka menentang Muslim. Karenanya, Allah SWT memberikan tenggat waktu empat bulan bagi para pengkhianat untuk memutuskan sikap mereka.

Ketegasan Ayat 1-3 menciptakan suatu kondisi di mana semua perjanjian sebelumnya dianggap batal. Jika Ayat 4 tidak diturunkan, maka semua suku akan diperlakukan sama, terlepas dari loyalitas mereka. Ayat 4 hadir sebagai ‘klausa pengecualian’ yang menegaskan bahwa dalam hukum perang dan damai Islam, pengkhianatan harus dibedakan dari kesetiaan. Keadilan adalah kewajiban yang tidak bisa diabaikan, bahkan terhadap non-Muslim yang menghormati perjanjian.

2. Prinsip Hukum Islam (Fiqh Siyar)

Ayat 4 merupakan pilar utama dalam Fiqh Siyar (Hukum Perang dan Damai dalam Islam). Ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak mengenal konsep pembalasan dendam buta. Setiap tindakan militer atau diplomatik harus didasarkan pada keadilan, kejujuran, dan pemenuhan janji. Suku-suku yang disebutkan dalam ayat ini berhak atas perlindungan dan penghormatan penuh terhadap durasi kontrak mereka.

Para ulama tafsir kontemporer dan klasik, seperti Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan Ar-Razi, bersepakat bahwa pengecualian ini menargetkan suku-suku tertentu di sekitar Madinah yang, meskipun tetap dalam kekafiran, tidak pernah melanggar Perjanjian Hudaibiyah atau perjanjian lain yang mereka sepakati. Contoh yang paling sering disebut adalah Suku Kinanah dan Bani Damrah. Mereka memenuhi syarat untuk terus dihormati sampai batas waktu perjanjian mereka berakhir, seringkali disebutkan mencapai sembilan bulan atau bahkan lebih lama.

II. Analisis Linguistik dan Detail Ayat

Memahami makna kata per kata dalam Ayat 4 sangat penting karena detail linguistiknya mencerminkan batasan hukum yang ketat dan presisi ilahi. Ayat ini memuat tiga syarat utama yang harus dipenuhi oleh kaum musyrikin agar perjanjian mereka tetap sah.

1. Syarat Pertama: Tidak Mengurangi Sedikit Pun (*Lam Yanqushūkum Shai’an*)

Frasa 'ثُمَّ لَمْ يَنقُصُوكُمْ شَيْئًا' (kemudian mereka tidak mengurangi janji kalian sedikit pun) adalah inti dari kesetiaan. Dalam bahasa Arab, *naqṣ* (mengurangi) berarti tidak hanya mengurangi isi perjanjian secara formal, tetapi juga tidak melalaikan kewajiban sekecil apa pun yang telah disepakati.

Para mufassir menjelaskan bahwa ini mencakup:

Penekanan pada kata 'شَيْئًا' (sedikit pun) menunjukkan bahwa Islam menuntut standar kesetiaan yang absolut dalam masalah perjanjian. Dalam konteks internasional atau antar-kelompok, pelanggaran kecil sekalipun dapat membatalkan seluruh kesepakatan jika pelanggaran itu menunjukkan niat buruk.

2. Syarat Kedua: Tidak Membantu Musuh (*Walam Yuẓāhirū ‘Alaikum Aḥadan*)

Frasa 'وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا' (dan tidak (pula) membantu seseorang pun untuk menyerang kalian) adalah syarat kedua yang terkait dengan netralitas dan non-intervensi. Kata *yuẓāhirū* berasal dari akar kata *ẓahr*, yang berarti punggung atau dukungan. Ini merujuk pada pemberian bantuan atau dukungan kepada pihak lain (musuh Islam) yang sedang berperang atau merencanakan serangan terhadap Muslim.

Dukungan ini bisa berupa:

Ayat ini mengajarkan bahwa selama perjanjian damai berlaku, pihak yang berjanji harus tetap netral dan tidak boleh menjadi pendukung rahasia musuh. Jika mereka memberikan dukungan apa pun kepada pihak yang memerangi Muslim, maka perjanjian damai mereka secara otomatis gugur, dan mereka kehilangan perlindungan Ayat 4.

3. Perintah Penunaian: Selesaikan Sampai Batas Waktu (*Fa’atimmū Ilaihim ‘Ahdahum Ilā Muddatihim*)

Jika kedua syarat di atas terpenuhi, maka datanglah perintah tegas: 'فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ' (Maka terhadap mereka itu, penuhilah janjinya sampai habis waktunya). Ini adalah kewajiban yang dibebankan kepada umat Islam. Ini menegaskan bahwa bahkan ketika Nabi Muhammad SAW telah diperintahkan untuk memutus perjanjian dengan sebagian besar musyrikin, janji yang sah dan dihormati tetap harus dipenuhi hingga tuntas.

Perintah ini memiliki implikasi etika yang besar:

4. Penutup Ayat: Sesungguhnya Allah Menyukai Orang-Orang yang Bertakwa (*Inna Allāha Yuḥibbu Al-Muttaqīn*)

Penutup ayat ini menghubungkan penunaian janji dengan sifat takwa. Menepati perjanjian, meskipun kepada musuh ideologis, adalah manifestasi dari takwa (ketakutan dan ketaatan kepada Allah). Takwa di sini bukan hanya tentang ritual ibadah, tetapi juga tentang moralitas publik, keadilan dalam bertransaksi, dan kehormatan dalam berdiplomasi. Seseorang tidak bisa disebut bertakwa jika ia melanggar perjanjian damai yang sah dan dihormati oleh pihak lain.

III. Tafsir Klasik dan Penentuan Jangka Waktu

Para mufassir (penafsir Al-Qur'an) klasik memberikan penjelasan yang mendalam mengenai ayat ini, berfokus pada siapa yang dikecualikan dan bagaimana durasi perjanjian harus ditafsirkan dalam praktik hukum Islam.

1. Identifikasi Kelompok yang Dikecualikan

Menurut banyak riwayat tafsir, pengecualian dalam Ayat 4 merujuk pada kelompok yang perjanjiannya tidak memiliki batas waktu tertentu, atau perjanjian yang masih memiliki sisa waktu. Ketika perintah *bara’ah* diturunkan, umat Islam memiliki tiga kategori perjanjian dengan kaum musyrikin:

  1. Kelompok yang Mengkhianati: Perjanjian mereka langsung dibatalkan, dan diberikan masa tenggang empat bulan.
  2. Kelompok yang Tidak Terikat Perjanjian: Mereka diberikan masa tenggang empat bulan.
  3. Kelompok yang Setia (Ayat 4): Perjanjian mereka harus dipenuhi hingga habis masa berlakunya.

Imam Al-Qurtubi dan Ibnu Jarir At-Tabari menyebutkan bahwa suku-suku seperti Bani Kinanah (bagian dari Bani Khuza’ah) dan Bani Damrah, yang perjanjiannya dengan Nabi Muhammad SAW masih berlaku dan mereka tidak pernah menunjukkan permusuhan, adalah contoh utama dari pengecualian ini. Kesetiaan mereka dihargai lebih dari segala pertimbangan strategis lainnya.

2. Masalah Durasi Perjanjian (*Muddatihim*)

Jangka waktu perjanjian adalah elemen krusial. Jika perjanjian tersebut telah menetapkan durasi (misalnya, dua tahun, lima tahun, atau sepuluh tahun seperti Perjanjian Hudaibiyah), maka kewajiban Muslim adalah menaatinya hingga hari terakhir. Ayat ini tidak memberikan masa tenggang empat bulan kepada mereka, melainkan menuntut agar perjanjian dipenuhi sesuai durasi aslinya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin menjelaskan bahwa hukum pemenuhan janji ini adalah absolut dan wajib. Jika sisa durasi perjanjian tinggal sembilan bulan, maka sembilan bulan itu harus dihormati. Jika sisa durasi tinggal satu tahun, maka satu tahun itu harus dijaga. Ini menunjukkan bahwa hukum yang mengatur janji dalam Islam sangat serius dan tidak boleh diubah-ubah demi kepentingan sepihak.

Penghormatan terhadap *muddatihim* ini adalah bukti nyata dari prinsip: Islam tidak memulai permusuhan atau pengkhianatan. Tindakan tegas yang diperintahkan di awal Surah At-Taubah adalah respons terhadap pengkhianatan yang telah terjadi; sementara Ayat 4 adalah penghargaan terhadap kesetiaan yang tersisa.

3. Tafsir Terkait Pengkhianatan Masa Depan

Beberapa ulama, seperti Imam Asy-Syafi’i, membahas pertanyaan hipotesis: Bagaimana jika suku yang dikecualikan di Ayat 4 kemudian berkhianat sebelum masa perjanjiannya berakhir? Jawabannya jelas: jika mereka melanggar salah satu dari dua syarat (mengurangi janji atau membantu musuh), perlindungan Ayat 4 batal, dan status hukum mereka kembali menjadi musyrikin yang tidak terikat janji, seperti yang diatur dalam ayat-ayat sebelumnya.

Namun, penting untuk ditekankan bahwa tuduhan pengkhianatan harus dibuktikan dengan jelas. Islam menuntut bukti yang kuat sebelum membatalkan perjanjian. Keseriusan ini menjamin bahwa Negara Islam bertindak berdasarkan keadilan dan bukan sekadar kecurigaan politik.

IV. Implikasi Hukum dan Moral (Fiqh dan Akhlak)

Ayat 4 Surah At-Taubah memiliki resonansi yang mendalam dalam bidang etika Islam (*akhlak*) dan yurisprudensi (*fiqh*). Ayat ini bukan hanya relevan untuk konteks abad ke-7 Arab, tetapi juga memberikan pedoman universal mengenai integritas dan hubungan internasional.

1. Kedudukan Janji (Al-Ahd) dalam Syariat

Ayat ini menegaskan bahwa *Ahd* (perjanjian atau kontrak) memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Menepati janji, baik janji dengan Allah maupun janji dengan sesama manusia—termasuk non-Muslim—adalah suatu kewajiban agama. Pelanggaran janji adalah dosa besar dan merupakan ciri kemunafikan.

Kejujuran dalam bermuamalah dan berpolitik merupakan indikator takwa sejati. Ayat 4 membuktikan bahwa hubungan dengan pihak lain, bahkan jika mereka adalah musyrikin, harus didasarkan pada kebenaran. Jika musyrikin itu setia, maka Muslim wajib membalas kesetiaan itu. Prinsip ini memastikan bahwa Islam tidak pernah menjadi pihak yang memulai siklus pengkhianatan.

2. Pelajaran Diplomasi dan Keadilan Global

Ayat ini berfungsi sebagai piagam diplomatik yang mengajarkan pentingnya diferensiasi. Ketika menghadapi sekelompok musuh, negara Islam dilarang melakukan pemukulrataan. Muslim harus membedakan antara:

Pelajaran ini sangat relevan dalam konteks hukum internasional modern. Ayat 4 mewajibkan umat Islam untuk mematuhi prinsip *pacta sunt servanda* (janji harus dihormati). Negara Islam harus menjadi model keadilan dan keandalan, memastikan bahwa pihak yang berinteraksi dengannya tahu bahwa kesepakatan akan dihormati selama mereka sendiri menghormati kesepakatan tersebut.

Jika Muslim melanggar perjanjian yang sah dengan pihak yang tidak bersalah, hal itu akan menciptakan kekacauan, merusak reputasi, dan bertentangan dengan perintah Allah yang menekankan pentingnya takwa, seperti yang terangkum di akhir ayat.

3. Prinsip Saling Balas dan Keseimbangan

Dalam Syariat, keadilan sering kali didasarkan pada prinsip timbal balik. Jika pihak musyrik telah memenuhi kewajiban mereka secara penuh, maka kewajiban Muslim untuk memenuhinya adalah mutlak. Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah akhlak (moralitas). Islam mengajarkan untuk membalas kebaikan dengan kebaikan, dan kesetiaan dengan kesetiaan, bahkan jika penerima kebaikan tersebut berbeda agama atau keyakinan.

Kondisi *lam yanqushūkum shai’an* dan *walam yuẓāhirū ‘alaikum aḥadan* adalah parameter keseimbangan. Selama keseimbangan ini dijaga oleh pihak lain, Muslim dilarang mengganggu keseimbangan tersebut. Pelanggaran hanya dibenarkan jika ada pelanggaran yang jelas dan terbukti dari pihak lain.

Ayat ini berfungsi sebagai rem etika terhadap nafsu politik. Di tengah euforia kemenangan dan pengumuman pemutusan perjanjian, Allah mengingatkan umat-Nya untuk tetap menjaga moralitas tinggi dan tidak menyamaratakan semua lawan, sebuah prinsip yang memerlukan pengendalian diri yang luar biasa.

V. Elaborasi Mendalam Mengenai Konsep Kesetiaan dan Pengkhianatan

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif tentang At-Taubah Ayat 4, kita harus mengurai secara lebih jauh konsekuensi teologis dan praktis dari konsep *Wafa’ bil-‘Ahd* (Kesetiaan terhadap Perjanjian) dan *Naqdh al-‘Ahd* (Pelanggaran Perjanjian).

1. Wafa’ bil-‘Ahd: Pilar Ketakwaan

Kesetiaan terhadap janji (*Wafa’*) adalah salah satu tanda paling otentik dari seorang mukmin. Ayat 4 secara eksplisit menjadikan pemenuhan perjanjian sebagai jalan menuju takwa. Ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada Allah tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, tetapi meluas hingga etika sosial dan politik. Dalam Islam, janji adalah utang yang harus dibayar, dan kegagalan membayarnya merusak hubungan seseorang dengan Tuhannya.

Dalam konteks perjanjian damai, *Wafa’* berarti menyediakan rasa aman dan jaminan non-agresi kepada pihak lain selama jangka waktu yang ditentukan. Jaminan ini harus ditegakkan dengan ketat. Rasulullah SAW sendiri telah memberikan contoh sempurna dalam menunaikan janji. Beliau tidak pernah melanggar perjanjian yang sah, bahkan ketika itu terasa merugikan secara strategis, seperti pada kasus Perjanjian Hudaibiyah yang tampak merugikan Muslim pada awalnya, namun ia tetap bersikeras menunaikannya hingga terjadi pengkhianatan yang jelas dari pihak Quraisy.

2. Naqdh al-‘Ahd: Kriminalisasi Pengkhianatan

Sebaliknya, pengkhianatan (*Naqdh*) dianggap sebagai kejahatan serius, baik di mata hukum manusia maupun hukum Ilahi. Dalam Surah At-Taubah, mereka yang melakukan *Naqdh* lah yang menjadi subjek pemutusan perjanjian. Ayat 4 menyoroti dua bentuk utama *Naqdh*:

  1. Pelanggaran Substansial (Mengurangi Janji): Melakukan tindakan yang secara langsung mengurangi hak pihak lain atau mengubah ketentuan perjanjian tanpa persetujuan.
  2. Pelanggaran Dukungan (Membantu Musuh): Ini adalah bentuk pengkhianatan tersembunyi. Negara yang secara resmi damai namun memberikan fasilitas, dana, atau intelijen kepada musuh adalah pengkhianat. Ayat ini sangat tegas bahwa netralitas pasif tidak cukup; harus ada non-intervensi aktif melawan Muslim.

Apabila kedua syarat ini dilanggar, maka umat Islam memiliki hak hukum untuk membatalkan perjanjian dan mengambil tindakan yang diperlukan setelah memberikan peringatan yang adil. Ini adalah prinsip yang memastikan bahwa sanksi diberikan hanya kepada pihak yang benar-benar bersalah dan tidak menzalimi pihak yang setia.

3. Prinsip Kehati-hatian dalam Penetapan Hukum

At-Taubah Ayat 4 mengajarkan kepada para pemimpin Islam agar selalu mengedepankan kehati-hatian dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan dan hak asasi manusia. Pemutusan perjanjian dan mobilisasi militer adalah hal yang sangat berat. Oleh karena itu, pengecualian yang diatur dalam ayat ini harus dipahami sebagai perlindungan ganda: melindungi pihak musyrikin yang tidak bersalah, dan melindungi umat Islam sendiri dari dosa kezaliman dan pelanggaran janji.

Pentingnya menghormati jangka waktu (*muddat*) perjanjian juga mencerminkan prinsip stabilitas. Hubungan internasional harus prediktif. Pembatalan perjanjian secara tiba-tiba tanpa dasar yang kuat akan menyebabkan ketidakpercayaan dan kekacauan. Hukum Islam, melalui ayat ini, mendorong stabilitas diplomatik selama perjanjian tersebut tidak disalahgunakan.

Kajian mendalam para ulama menunjukkan bahwa penerapan Ayat 4 membutuhkan penelitian yang teliti tentang perilaku suku-suku tersebut. Apakah mereka secara terbuka atau diam-diam telah mendukung musuh-musuh Islam? Hanya setelah penyelidikan yang ketat, dan jika hasilnya menunjukkan kesetiaan penuh, barulah kewajiban untuk menunaikan janji hingga habis menjadi mutlak. Ini menegaskan bahwa hukum Islam beroperasi berdasarkan bukti dan keadilan yang transparan.

Sifat pengecualian dalam Ayat 4 adalah salah satu bukti terbesar kemurahan dan keadilan Syariat. Meskipun surah ini umumnya dianggap surah ketegasan dan perang, ia secara simultan mendemonstrasikan bahwa batas-batas moral dan etika harus dijunjung tinggi di atas semua pertimbangan politik dan militer. Mereka yang berpegang teguh pada janji, meskipun mereka berada di luar komunitas iman, layak mendapatkan penghormatan penuh. Ini adalah definisi hak asasi manusia yang diintegrasikan ke dalam hukum ilahi.

VI. Perbandingan dengan Ayat Lain dan Kesimpulan Etis

Untuk memahami sepenuhnya kedudukan Ayat 4, perlu dilakukan perbandingan dengan ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an yang membahas janji, takwa, dan hubungan antar-komunitas.

1. Konsistensi Al-Qur’an tentang Janji

Prinsip yang diusung dalam At-Taubah 9:4 selaras dengan banyak ayat lain yang memerintahkan Muslim untuk menepati janji. Misalnya, Surah Al-Ma’idah (5:1) yang memerintahkan, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji." Atau Surah An-Nahl (16:91) yang menyatakan, "Dan penuhilah janji Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah menegaskannya..."

Ayat 4 At-Taubah menjadi aplikasi konkret dari prinsip-prinsip umum ini dalam situasi politik dan militer yang paling genting. Ia membuktikan bahwa perintah untuk menepati janji tidak luntur meskipun objek perjanjian adalah komunitas yang berbeda keyakinan, asalkan komunitas tersebut menunjukkan integritas yang sama.

Kewajiban menepati janji dalam Islam tidak didasarkan pada siapa pihak lain, tetapi didasarkan pada sifat janji itu sendiri sebagai kewajiban yang mengikat dihadapan Allah. Pelanggaran janji adalah pelanggaran terhadap takwa, yang merupakan tujuan akhir dari ajaran agama.

2. Kontribusi Ayat 4 terhadap Citra Islam

Dalam narasi sejarah, Surah At-Taubah sering disalahpahami sebagai seruan tanpa kompromi. Namun, Ayat 4 adalah sanggahan terkuat terhadap pemahaman simplistik tersebut. Ayat ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan distributif; keadilan diberikan kepada setiap individu atau kelompok yang berhak menerimanya, terlepas dari label atau identitas mereka.

Dengan menghormati perjanjian musyrikin yang setia, Nabi Muhammad SAW menetapkan standar etika perang dan damai yang jauh melampaui norma-norma yang berlaku saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan militer dan supremasi politik tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk melanggar etika dasar. Menegakkan kebenaran dan keadilan adalah prioritas abadi.

Prinsip ini berlanjut dalam setiap aspek kehidupan Muslim: dalam bisnis, hubungan keluarga, dan hubungan negara. Kesetiaan terhadap kontrak dan janji adalah fondasi dari masyarakat yang adil dan stabil. Jika suatu komunitas terkenal karena kesetiaannya terhadap janji, maka ia akan mendapatkan kepercayaan global, dan itulah yang diajarkan oleh penutup ayat: **Allah menyukai orang-orang yang bertakwa**—mereka yang menunaikan janji-janji mereka dengan integritas penuh.

Surah At-Taubah Ayat 4 adalah pelajaran abadi tentang integritas moral dan keadilan diplomatik. Ia memastikan bahwa dalam setiap situasi, bahkan di tengah konflik terberat, tuntutan untuk menghormati komitmen yang sah tidak dapat dinegosiasikan. Ayat ini merupakan bukti bahwa prinsip keadilan Islam bersifat universal dan tidak terbatas pada batas-batas keimanan semata. Pemenuhan janji hingga akhir masa berlakunya adalah amal saleh, dan ini adalah salah satu cara tertinggi untuk mencapai derajat takwa yang dicintai oleh Allah SWT.

Pemahaman yang utuh terhadap ayat ini menuntut kita untuk selalu kritis dalam menilai pihak lain berdasarkan tindakan mereka yang nyata terhadap perjanjian, bukan hanya berdasarkan identitas mereka. Keberlanjutan sebuah janji bergantung pada dua faktor yang jelas dan terukur: non-pengurangan janji, dan non-dukungan terhadap musuh. Selama kedua pilar ini kokoh, kewajiban untuk menunaikan janji tetap menjadi perintah agama yang tidak bisa dibantah.

Ayat 4 memastikan bahwa pintu rekonsiliasi dan perdamaian tetap terbuka bagi mereka yang memilih jalan kesetiaan dan kejujuran, bahkan ketika mayoritas lainnya telah memilih jalan pengkhianatan. Inilah keindahan Syariat yang memisahkan keadilan dari sentimen dan emosi perang.

Keputusan untuk mematuhi sisa durasi perjanjian, meskipun secara politik mungkin lebih cepat untuk mengakhiri semua perjanjian dengan non-Muslim, adalah penekanan ilahi pada etika di atas strategi. Ini adalah model untuk semua umat Islam di setiap zaman, mengingatkan bahwa kewajiban etis mendahului keuntungan taktis.

Konsep *muddat* (batas waktu) menjadi titik fokus terakhir. Ayat ini tidak hanya memerintahkan penunaian janji, tetapi secara spesifik memerintahkan penunaian janji hingga batas waktunya. Ini menghilangkan setiap keraguan mengenai legitimasi pembatalan prematur. Kontrak dengan batas waktu harus dihormati hingga akhir. Ini adalah prinsip yang menjaga kehormatan Muslim dan memastikan bahwa tidak ada klaim pemutusan sepihak yang dapat dibenarkan tanpa adanya pelanggaran nyata dari pihak yang lain.

Secara keseluruhan, Surah At-Taubah Ayat 4 adalah mercusuar keadilan, menuntun umat Islam untuk memisahkan gandum dari sekam di medan perang diplomasi, dan membalas kesetiaan dengan kesetiaan yang mutlak, sebagai bentuk ketaatan tertinggi kepada Allah SWT.

🏠 Homepage