Surah At-Taubah, ayat ke-40, merupakan salah satu ayat paling monumental dalam sejarah Islam. Ayat ini bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan juga sebuah madrasah agung yang mengajarkan prinsip fundamental tauhid, tawakkul (berserah diri), dan pentingnya persahabatan sejati. Ayat ini secara spesifik mengabadikan momen kritis dalam peristiwa Hijrah Nabi Muhammad ﷺ dan sahabat setianya, Abu Bakar As-Siddiq, di mana pertolongan Ilahi turun dalam bentuk ketenangan yang luar biasa di tengah kepungan bahaya.
Teks Suci dan Terjemahan At-Taubah Ayat 40
"Jika kamu (wahai kaum mukminin) tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah), sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: "Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya (Sakīnah) kepadanya dan memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. Dan Kalimat Allah itulah yang paling tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Asbabun Nuzul: Konteks Sejarah Hijrah
Ayat ini diturunkan setelah peristiwa Tabuk, namun merujuk kembali kepada peristiwa paling krusial yang mendahului berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah: Al-Hijrah Al-Nabawiyah. Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus menyelami detail kronologi ketegangan di Makkah.
1. Puncak Intimidasi dan Keputusan Hijrah
Setelah 13 tahun berdakwah di Makkah, umat Islam berada di bawah tekanan yang tak tertahankan. Paman Nabi, Abu Thalib, dan istri tercintanya, Khadijah, telah wafat (disebut 'Am Al-Huzn' - Tahun Kesedihan), menghilangkan dua benteng pelindung terpenting beliau. Tekanan Quraisy memuncak. Mereka menyadari bahwa Madinah (Yatsrib) telah menerima Islam dan menjadi basis yang potensial.
2. Rapat Darun Nadwah (Konspirasi Pembunuhan)
Kaum Quraisy mengadakan rapat darurat di Darun Nadwah. Iblis, yang menyamar sebagai seorang Syaikh dari Najd, ikut hadir memberikan usul. Keputusan bulat mereka adalah membunuh Nabi Muhammad ﷺ secara serentak. Setiap kabilah mengirimkan seorang pemuda untuk menikam beliau, sehingga Bani Hasyim tidak dapat menuntut balas kepada satu kabilah tertentu, melainkan harus melawan seluruh Quraisy. Ini menunjukkan betapa gentingnya situasi saat itu; hidup Nabi Muhammad ﷺ berada di ujung tanduk.
3. Persiapan dan Keberangkatan
Allah ﷻ mewahyukan kepada Nabi tentang rencana pembunuhan tersebut dan memerintahkannya untuk Hijrah. Nabi ﷺ segera mendatangi rumah Abu Bakar As-Siddiq pada waktu yang tidak biasa (siang hari bolong) dan menyampaikan perintah Ilahi. Abu Bakar, yang telah lama menanti kesempatan ini, menangis bahagia karena mendapat kehormatan mendampingi Rasulullah ﷺ dalam perjalanan paling bersejarah ini. Mereka melakukan perencanaan yang matang, meskipun tawakkul mereka sempurna:
- Ali bin Abi Thalib: Ditugaskan tidur di ranjang Nabi untuk mengelabui para pengepung.
- Abdullah bin Abi Bakar: Ditugaskan mengumpulkan informasi dan intelijen di Makkah pada siang hari, kemudian menyampaikan laporannya kepada keduanya di gua pada malam hari.
- Asma binti Abi Bakar: Bertanggung jawab menyiapkan perbekalan makanan dan air.
- Amir bin Fuhayrah: Budak Abu Bakar, ditugaskan menggembalakan kambing di jalur yang dilalui Abdullah untuk menghapus jejak kaki mereka, sehingga Quraisy tidak dapat melacak.
4. Persembunyian di Gua Tsur (Al-Ghār)
Bukannya menuju utara ke Madinah, mereka justru bergerak ke arah selatan menuju Yaman dan bersembunyi di Gua Tsur (Ghār Thawr) selama tiga hari tiga malam. Gua Tsur terletak di puncak gunung yang curam, menambah kesulitan bagi para pengejar. Ayat 40 fokus pada momen krusial ketika para pencari jejak Quraisy berhasil tiba tepat di mulut gua.
Ilustrasi Gua Tsur dan Ketenangan Ilahi (Sakīnah) yang Melindungi Nabi ﷺ dan Abu Bakar RA.
Tafsir Lafzhi dan Makna Mendalam
Untuk mencapai pemahaman komprehensif, kita wajib membedah setiap frasa dalam ayat ini, sebagaimana dilakukan oleh para mufassir klasik seperti Imam At-Tabari, Ibnu Katsir, dan Al-Qurtubi.
1. Seruan Kepada Mukminin: (إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ ٱللَّهُ)
Ayat dibuka dengan teguran halus (atau ultimatum) kepada umat mukminin: "Jika kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya." Konteks seruan ini adalah dorongan untuk berperang di Tabuk. Allah mengingatkan bahwa pertolongan Nabi ﷺ tidak bergantung pada dukungan manusia. Jika umat Islam lambat atau enggan berjuang, ingatlah bahwa ada saat di mana Nabi hanya ditemani satu orang, namun pertolongan Allah tetap datang. Ini menekankan sifat Kemandirian Ilahi (Ghaniyy).
2. Sahabat Sejati: (ثَانِىَ ٱثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِى ٱلْغَارِ)
Frasa ini secara eksplisit mengukuhkan kedudukan mulia Abu Bakar As-Siddiq. "Salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua." Para ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah menggunakan ayat ini sebagai dalil utama keutamaan mutlak Abu Bakar atas seluruh sahabat setelah Nabi ﷺ. Nabi ﷺ dan Abu Bakar RA adalah pasangan sempurna yang disatukan oleh takdir Ilahi. Perhatikan penggunaan Ghār (gua); sebuah tempat terpencil, sempit, dan rawan, menggambarkan titik terendah secara fisik namun titik tertinggi secara spiritual.
3. Puncak Ketakutan dan Ketenangan: (إِذْ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحْزَنْ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَا)
Inilah inti emosional dari ayat tersebut. Ketika Abu Bakar melihat kaki-kaki para musyrikin tepat di atas lubang gua—ia khawatir bukan karena dirinya, melainkan keselamatan Rasulullah ﷺ. Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa kekhawatiran Abu Bakar sangat besar hingga beliau menangis. Nabi ﷺ menenangkannya dengan jaminan mutlak: "Lā taḥzan, innallāha ma’anā" (Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita). Kata 'bersama kita' (معنا) menunjukkan kehadiran, perlindungan, dan pertolongan Allah yang bersifat khusus (ma’iyyah khassah), yang hanya diberikan kepada para wali dan utusan-Nya.
4. Turunnya Sakīnah: (فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَيْهِ)
Sakīnah berarti ketenangan, kedamaian, atau ketenteraman jiwa. Menurut sebagian ulama tafsir (misalnya At-Tabari), kata ganti 'kepadanya' (عليه) merujuk kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang berarti Allah menguatkan ketenangan yang sudah ada pada Nabi. Namun, mayoritas ulama, termasuk Ibnu Katsir, memahami bahwa Sakīnah diturunkan kepada Abu Bakar. Mengapa? Karena Nabi ﷺ tidak pernah gentar. Ketenangan diturunkan untuk menenteramkan hati Abu Bakar yang sedang dilanda ketakutan demi keselamatan Nabinya.
Sakīnah bukanlah rasa tenang biasa, melainkan energi spiritual yang mengatasi logika dan rasa takut manusiawi. Ini adalah perlindungan emosional yang membuat Abu Bakar mampu berdiri tegak dan yakin meskipun musuh hanya sejarak pandang.
5. Bala Tentara Gaib: (وَأَيَّدَهُۥ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا)
Allah ﷻ memperkuat Nabi ﷺ dengan bala tentara yang tak terlihat. Umumnya, ini ditafsirkan sebagai malaikat. Dalam konteks Gua Tsur, para mufassir menyebutkan beberapa kemungkinan mukjizat yang terjadi:
- Jaring laba-laba yang menutupi pintu gua.
- Pohon yang tumbuh cepat menaungi pintu masuk.
- Burung merpati yang bersarang dan bertelur di sana.
Semua ini berfungsi sebagai penghalang psikologis. Ketika para pengejar melihat sarang laba-laba utuh dan sarang burung, mereka menyimpulkan, "Mustahil ada orang masuk ke sini," dan melanjutkan pencarian mereka, meskipun mereka berdiri tepat di atas kepala Nabi dan Abu Bakar.
6. Kemenangan Mutlak: (وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا)
Ayat ini menutup dengan pernyataan universal tentang dominasi kebenaran. Kalimat orang kafir (seruan/tujuan mereka), yaitu berusaha membunuh Nabi dan memadamkan Islam, dijadikan rendah (as-suflā). Sementara Kalimat Allah (agama-Nya, janji-Nya, dan hukum-Nya) dijadikan yang paling tinggi (al-'ulyā). Meskipun Nabi ﷺ lari dan bersembunyi, kemenangan sejati adalah milik Allah. Peristiwa Gua Tsur adalah titik balik di mana upaya jahat manusia dikalahkan oleh perencanaan Ilahi yang sempurna.
Keutamaan Abu Bakar As-Siddiq Berdasarkan Ayat Ini
Ayat 40 Surah At-Taubah menjadi landasan teologis yang sangat kuat mengenai kedudukan Abu Bakar RA. Gelar yang diberikan oleh Allah melalui lisan Nabi ﷺ, ‘Ṣāḥibihī’ (sahabatnya), bukan sekadar teman, melainkan mitra spiritual dan fisik dalam misi suci. Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah menegaskan bahwa ayat ini memberikan setidaknya tiga keutamaan eksklusif bagi Abu Bakar:
1. Kedudukan 'Tsānīyatsnaīn' (Yang Kedua dari Dua)
Allah memilih Abu Bakar untuk menjadi pendamping tunggal Nabi ﷺ dalam situasi bahaya terbesar. Ini adalah pengangkatan kedudukan, menunjukkan bahwa di antara semua manusia, hanya dia yang layak berbagi momen privasi spiritual dan ancaman fisik yang paling ekstrem dengan Rasulullah ﷺ.
2. Penyertaan Khusus Ilahi (Ma’iyyah Khassah)
Nabi ﷺ berkata, "Sesungguhnya Allah beserta kita." Penyertaan ini, yang mengisyaratkan perlindungan dan pertolongan, mencakup kedua individu yang berada di dalam gua. Hal ini menaikkan derajat Abu Bakar ke tingkat di mana ia berada di bawah payung perlindungan langsung Allah pada momen tersebut.
3. Penerima Langsung Sakīnah
Walaupun Nabi ﷺ adalah sumber ketenangan, penurunan Sakīnah kepada Abu Bakar menunjukkan bahwa hatinya disucikan dan dikuatkan secara supranatural untuk menanggung beban situasi. Kekuatan mental yang luar biasa ini adalah karunia Allah, membedakan Abu Bakar dari sahabat lainnya.
Pelajaran Abadi tentang Tawakkul dan Perencanaan
Seringkali, terdapat kesalahpahaman bahwa tawakkul (berserah diri) meniadakan perencanaan. Peristiwa Hijrah yang diabadikan dalam At-Taubah 40 mengajarkan keseimbangan sempurna antara usaha manusiawi (Asbāb) dan keyakinan mutlak (Tawakkul).
1. Kesempurnaan Perencanaan (Tadbir)
Nabi Muhammad ﷺ, meskipun seorang utusan Allah, tidak bertawakkul secara pasif. Beliau merencanakan rute yang tidak lazim (ke selatan), menggunakan tenaga intelijen (Abdullah), logistik (Asma), dan penghapusan jejak (Amir bin Fuhayrah). Ini adalah bukti bahwa usaha maksimal adalah bagian tak terpisahkan dari iman. Muslim harus menyiapkan segala daya upaya terbaik sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah.
2. Titik Puncak Tawakkul di Gua
Setelah seluruh perencanaan selesai dan musuh mencapai mulut gua, segala upaya manusiawi telah habis. Di momen inilah tawakkul murni mengambil alih. Nabi ﷺ tidak menggunakan pedang atau sihir; beliau menggunakan kalbunya. Perkataan “Innallāha ma’anā” adalah manifesto tawakkul, di mana rasa takut hilang digantikan oleh keyakinan teguh bahwa kekuatan Allah jauh melampaui kekuatan pengepung.
3. Sakīnah sebagai Buah Tawakkul
Ketenangan yang diturunkan Allah adalah hadiah bagi mereka yang bertawakkul setelah berusaha keras. Seseorang tidak akan menerima Sakīnah jika ia pasif dan tidak berbuat apa-apa. Sakīnah adalah penutup spiritual bagi upaya yang jujur. Ketika hati tenang, seseorang dapat menghadapi cobaan terberat tanpa goyah, karena ia yakin ada kekuatan yang tak terbatas di belakangnya.
Implikasi Teologis dan Aktualisasi Kontemporer
Ayat ini memiliki implikasi mendalam yang melampaui konteks sejarah abad ke-7. Ia berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam dalam menghadapi krisis, penindasan, dan upaya untuk memadamkan cahaya Islam.
1. Prinsip Kekekalan Kebenaran
Ayat ini menegaskan kembali janji Allah: “Dan Kalimat Allah itulah yang paling tinggi.” Dalam setiap konflik ideologis atau militer sepanjang sejarah, meskipun kebatilan terlihat dominan sesaat, pada akhirnya kebenaran Islam (Kalimat Allah) akan menang. Peristiwa Hijrah adalah kekalahan taktis bagi Nabi ﷺ (terpaksa meninggalkan rumah), namun kemenangan strategis yang membuka jalan bagi penyebaran Islam ke seluruh dunia.
2. Kekuatan Persahabatan dalam Perjuangan
Ayat ini mengajarkan pentingnya memilih sahabat seperjuangan yang benar-benar setia. Kesetiaan Abu Bakar bukan hanya dalam keadaan aman, tetapi dalam situasi yang mengancam nyawa. Ini menjadi model bagi umat Islam masa kini untuk mencari rekan yang Teguh di Jalan Allah (Ṣādiqūn), bukan yang meninggalkan ketika kesulitan datang.
3. Pelajaran dalam Menghadapi Penindasan
Bagi komunitas Muslim yang menghadapi diskriminasi, penganiayaan, atau ancaman, At-Taubah 40 adalah sumber inspirasi. Meskipun jumlah mereka sedikit ("salah seorang dari dua orang"), dan meskipun mereka merasa terpojok ("berada dalam gua"), janji Sakīnah dan bala tentara tak terlihat selalu ada bagi mereka yang teguh dalam tauhid dan tawakkul.
4. Etika Kepemimpinan dalam Krisis
Kepemimpinan Nabi ﷺ di dalam gua memberikan pelajaran penting. Beliau tidak menunjukkan kepanikan; sebaliknya, beliau menjadi sumber ketenangan bagi pengikutnya. Pemimpin sejati adalah orang yang, di saat bahaya besar, mampu menenangkan dan memberikan keyakinan, bukan menyebarkan keputusasaan.
Analisis Struktur Kalimat Ilahi (Kalimatullah Al-'Ulya)
Penutup ayat ini—pengagungan Kalimat Allah—memerlukan analisis lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan "Kalimat Allah yang Paling Tinggi". Para mufassir menyebutkan beberapa kemungkinan:
A. Kalimatullah sebagai Tauhid
Ini adalah makna paling mendasar: Kalimat Allah adalah seruan kepada Lā ilāha illallāh. Ini adalah inti ajaran Islam, yang selalu lebih tinggi daripada semua keyakinan syirik, ateisme, atau ideologi sekuler. Meskipun musuh-musuh berusaha menghalanginya, tauhid akan selalu berdiri tegak.
B. Kalimatullah sebagai Janji
Kalimat Allah adalah janji-Nya untuk menolong Rasul-Nya dan meninggikan agama-Nya. Janji ini terbukti saat Nabi ﷺ berhasil tiba di Madinah, mendirikan Daulah Islamiyah, dan akhirnya kembali menaklukkan Makkah tanpa pertumpahan darah. Janji Allah tidak pernah ingkar.
C. Kalimatullah sebagai Hukum dan Syariat
Hukum dan syariat yang diturunkan Allah selalu lebih unggul dan lebih adil daripada hukum buatan manusia. Ketika syariat ditegakkan, ia membawa keadilan, yang pada akhirnya memenangkan hati dan pikiran manusia, membuktikan keunggulannya di atas sistem buatan kafir (Kalimatul Ladzīnā Kafarū).
Perbandingan Pertolongan Ilahi
Ayat 40 ini, meskipun unik, harus dilihat dalam konteks pertolongan Allah lainnya dalam Al-Qur'an. Allah sering menolong hamba-Nya dengan cara yang tidak terduga, namun Gua Tsur memiliki ciri khas:
- Pertolongan dalam Keadaan Tidak Berdaya: Berbeda dengan Perang Badar di mana kaum Muslimin berjuang, di Gua Tsur, mereka berada dalam keadaan paling rentan dan tidak mampu melawan.
- Perlindungan Pasif (Defensif): Perlindungan yang diberikan (sarang laba-laba, Sakīnah) bersifat pasif, bukan serangan balasan. Ini mengajarkan bahwa dalam beberapa situasi, kesabaran dan perlindungan adalah strategi terbaik.
- Fokus pada Batin: Penurunan Sakīnah menyoroti bahwa pertolongan pertama Allah adalah menguatkan hati, karena kemenangan eksternal dimulai dari keteguhan internal.
Kajian mendalam terhadap At-Taubah 40 menunjukkan bahwa ayat ini adalah permata hikmah yang mengajarkan setiap Muslim—baik individu maupun jamaah—bahwa besarnya tantangan tidak menentukan hasil. Hasil ditentukan oleh tingkat tawakkul dan kesetiaan kepada Allah ﷻ. Dalam menghadapi kesempitan duniawi, ingatlah kisah dua orang di Gua Tsur: ketenangan yang satu dapat menjadi benteng pertahanan bagi yang lain, dan pertolongan Allah (melalui Sakīnah dan tentara tak terlihat) selalu lebih kuat daripada semua konspirasi manusia.
Semoga kita semua dapat meneladani keteguhan Nabi Muhammad ﷺ dan Abu Bakar As-Siddiq, mengambil pelajaran dari perencanaan mereka yang cermat, dan mencapai tingkat keyakinan (tawakkul) yang dengannya kita pantas mendapatkan Sakīnah, ketenangan yang dijanjikan Ilahi, dalam setiap 'gua' kesulitan hidup kita.