Tafsir Mendalam Surah At-Taubah Ayat 59: Ujian Keikhlasan dalam Pembagian Harta

Simbol Keadilan dan Pembagian Harta

Alt Text: Ilustrasi timbangan yang melambangkan keadilan dan distribusi harta dalam ajaran Islam.

I. Pendahuluan: Konteks Ayat At-Taubah 59

Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah yang paling tegas dalam Al-Qur'an, khususnya dalam mengungkap kedok dan ciri-ciri kaum munafik (hipokrit). Surah ini diturunkan pada masa-masa akhir kehidupan Nabi Muhammad ﷺ, ketika kekuatan Islam telah mengakar kuat, sehingga fitnah dari dalam, yaitu kemunafikan, menjadi ancaman utama.

Ayat 59 dari Surah At-Taubah secara spesifik membahas salah satu manifestasi paling nyata dari kemunafikan: ketidakpuasan terhadap pembagian harta kekayaan, khususnya sedekah atau zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Ayat ini memberikan potret yang jelas antara jiwa yang bersyukur dan menerima (qana'ah) dengan jiwa yang serakah, penuh syak wasangka, dan selalu mencari-cari kesalahan, meskipun yang membagikan adalah utusan Allah sendiri.

Kajian mendalam terhadap At-Taubah 59 bukan hanya sekadar studi historis tentang perselisihan di Madinah, tetapi merupakan pelajaran abadi tentang transparansi, integritas kepemimpinan, dan yang paling penting, kondisi batin seorang mukmin sejati. Permasalahan yang diangkat oleh ayat ini melampaui isu materi; ini adalah isu akhlak, akidah, dan keikhlasan.

II. Teks dan Makna Literal At-Taubah Ayat 59

Memahami konteks dan kandungan lafaz ayat adalah langkah awal yang krusial sebelum menyelami tafsir para ulama.

وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

Terjemah Harfiah (Kementerian Agama RI):

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah (zakat). Lalu jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati; dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, tiba-tiba mereka marah.”

Analisis Kata Kunci (Tahlil Lafzi)

III. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Para mufasir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurtubi, menyebutkan bahwa ayat ini secara khusus merujuk pada beberapa individu munafik yang merasa iri dan tidak puas dengan cara Rasulullah ﷺ membagikan harta rampasan perang (ghanimah) atau zakat. Salah satu riwayat terkenal menyebutkan nama **Dzulkhaweishirah at-Tamimi**.

Kisah Dzulkhaweishirah menjadi ilustrasi klasik tentang mentalitas munafik yang disebutkan dalam ayat 59. Ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang membagikan harta, Dzulkhaweishirah berdiri dan berkata dengan lancang, "Wahai Muhammad, berbuat adillah!"

Rasulullah ﷺ menjawab, "Celaka kamu! Siapa lagi yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Sungguh, kamu merugi jika aku tidak berbuat adil."

Tindakan mencela tersebut adalah puncak dari sikap yulmizuka (mencela) yang digambarkan dalam ayat 59. Mereka tidak hanya mempertanyakan integritas Nabi dalam masalah material, tetapi juga meragukan keadilannya sebagai pemimpin, padahal keadilan adalah salah satu pilar kenabian.

Penting untuk dicatat bahwa Dzulkhaweishirah ini, menurut riwayat yang kuat, merupakan cikal bakal dari kelompok Khawarij di kemudian hari. Ini menunjukkan bahwa benih ketidakpuasan yang lahir dari ketamakan materi dan kurangnya qana'ah dapat berkembang menjadi bid'ah (penyimpangan) akidah yang berbahaya, bahkan berani menentang otoritas syar'i yang sah.

Pelajaran dari Asbabun Nuzul:

Sebab turunnya ayat ini mengajarkan kita bahwa:

  1. Kritik yang didorong oleh kepentingan pribadi dan ketamakan tidak memiliki nilai kebenaran, bahkan jika disampaikan dengan alasan 'menegakkan keadilan'.
  2. Kepemimpinan yang berintegritas, seperti Rasulullah ﷺ, akan selalu diuji oleh individu yang hatinya sakit.
  3. Permintaan dan keridhaan yang bersyarat (hanya jika diberi) adalah ciri khas perilaku hipokrit.

IV. Tafsir Mendalam: Pergulatan Antara Qana'ah dan Sakhat (Kemarahan)

Inti filosofis dari At-Taubah 59 terletak pada dikotomi antara dua kondisi jiwa: Ar-Ridha (kerelaan/senang hati) dan As-Sakhat (kemarahan/murka). Perbedaan antara seorang mukmin sejati dan seorang munafik adalah pada sumber keridhaan mereka.

A. Konsep Ridha yang Bersyarat

Orang munafik yang dibahas dalam ayat ini memiliki ridha yang sepenuhnya terikat pada penerimaan materi. Mereka bersenang hati (رَضُوا - radiu) HANYA JIKA (فَإِنْ - fa in) mereka menerima bagian. Ridha mereka bukanlah manifestasi iman kepada kebijaksanaan Allah atau integritas Rasul-Nya, melainkan respons emosional terhadap keuntungan duniawi.

Dalam ilmu tasawuf dan akhlak, ridha jenis ini dianggap palsu dan rapuh. Ridha yang sejati adalah ridha terhadap ketetapan Allah, baik dalam keadaan diberi maupun dalam keadaan ditahan. Ridha bersyarat ini menjadi bukti bahwa fokus hati mereka adalah pada dunia, bukan pada akhirat atau ketaatan murni.

B. Manifestasi As-Sakhat (Kemarahan)

Sebaliknya, jika tidak diberi, mereka seketika (إِذَا هُمْ - idza hum) menjadi marah (يَسْخَطُونَ - yaskhatun). Penggunaan kata idza (tiba-tiba/seketika) menunjukkan sifat cepat berubah dan reaktif dari emosi mereka. Kemarahan ini bukan kemarahan karena melihat kezaliman yang sesungguhnya (karena Rasulullah mustahil zalim), melainkan kemarahan karena kehilangan kesempatan materi.

Kemarahan (sakhat) dalam konteks ini adalah kemarahan yang mengarah pada **penolakan takdir** dan **ketidakpercayaan terhadap integritas pemimpin**. Jika seorang mukmin sejati tidak menerima jatah zakat, ia akan mencari tahu alasannya, menerima keputusan tersebut dengan lapang dada (qana'ah), dan menyadari bahwa mungkin ia tidak termasuk delapan golongan penerima. Namun, orang munafik langsung bereaksi dengan rasa murka, yang secara tidak langsung menggugat Allah dan Rasul-Nya.

C. Kontras dengan Qana'ah (Kepuasan Diri)

Ayat 59 mengajarkan pentingnya sifat Qana'ah, yaitu merasa cukup atau puas dengan rezeki yang telah diberikan Allah, serta menerima keputusan pemimpin yang sah dalam masalah distribusi. Qana'ah adalah benteng spiritual yang melindungi seorang muslim dari sikap yaskhatun.

Kedudukan Qana'ah dalam Islam

Qana'ah bukanlah kemalasan, melainkan kemerdekaan batin dari ketergantungan terhadap materi. Seorang yang qana'ah menyadari bahwa pembagian rezeki diatur oleh Dzat Yang Maha Bijaksana. Jika ia tidak mendapatkan harta, ia tahu itu bukan akhir segalanya, dan ia tetap berprasangka baik (husnuzan) terhadap Allah dan pemimpinnya. Ayat 59 adalah peringatan bahwa hilangnya qana'ah adalah pintu gerbang menuju nifaq (kemunafikan) karena ia memprioritaskan perut di atas iman.

V. Implikasi Fikih dan Hukum Syariat Terkait Pembagian Sedekah

Meskipun ayat 59 secara tekstual berbicara tentang celaan kaum munafik, ia secara implisit menegaskan hak otoritas negara Islam (ulil amri/imam) dalam mengatur dan mendistribusikan harta zakat/sedekah.

A. Zakat Bukan Hak Mutlak Setiap Orang

Kritik dari kaum munafik dalam ayat 59 timbul karena mereka merasa berhak mendapatkan bagian, padahal Rasulullah ﷺ mendistribusikan zakat berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Allah dalam ayat berikutnya, yaitu At-Taubah ayat 60.

Ayat 60 ("Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir...") membatasi penerima zakat pada delapan golongan (Asnaf Ats-Tsamaniyah). Ini berarti, jika seseorang tidak termasuk dalam delapan golongan tersebut, ia tidak memiliki hak syar'i untuk marah atau mencela (yaskhatun) ketika ia tidak menerima bagian.

Peran Imam (Pemimpin Negara) dalam Distribusi

Ayat 59 membenarkan bahwa keputusan final ada di tangan pemimpin yang sah. Pemimpin memiliki kewenangan (ijtihad) untuk menentukan besaran dan prioritas pembagian di antara delapan golongan tersebut, sesuai dengan kebutuhan mendesak masyarakat. Kewenangan ini harus dilindungi dari kritik yang didorong oleh nafsu dan ketamakan, seperti yang dilakukan oleh kaum munafik.

B. Ketidakpuasan versus Keabsahan Kritik

Ayat 59 membedakan antara kritik yang sah dan kritik yang didasarkan pada ketamakan. Kritik yang sah adalah kritik yang bertujuan memperbaiki kezaliman nyata, berdasarkan bukti dan niat yang ikhlas. Namun, kritik kaum munafik (yulmizuka) dalam ayat ini berakar pada motif egois: "Jika aku diberi, barulah itu adil."

Ini menetapkan prinsip penting dalam fiqih siyasah (politik Islam): Ketidakpuasan individu terhadap jatah materi tidak boleh dijadikan alasan untuk merusak integritas sistem atau menggugat pemimpin yang adil. Keabsahan pembagian diukur oleh Syariat (Ayat 60), bukan oleh kepuasan emosional (Ayat 59).

Para fuqaha (ahli fikih) menekankan bahwa harta zakat adalah hak Allah, yang distribusinya diamanahkan kepada pemimpin. Orang yang bersikap seperti dalam At-Taubah 59 tidak hanya mengkritik Nabi secara personal, tetapi juga menentang hikmah di balik penetapan delapan asnaf. Mereka ingin memasukkan diri mereka ke dalam kategori penerima hanya karena mereka membutuhkan, tanpa memperhatikan batasan syar'i.

VI. Anatomik Nifaq (Kemunafikan) dalam Konteks Finansial

Surah At-Taubah, termasuk ayat 59, sangat fokus pada penguraian sifat-sifat kaum munafik. Kemunafikan, pada dasarnya, adalah perbedaan antara batin dan lahir, antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Ayat 59 menunjukkan bagaimana masalah materi menjadi cermin yang memantulkan kondisi batin ini.

A. Nifaq dalam Kecintaan kepada Harta

Kaum munafik seringkali bergabung dengan barisan Muslim karena mengharapkan keuntungan duniawi: keamanan, harta rampasan, atau status sosial. Ayat 59 membuktikan bahwa ketika harapan material ini tidak terpenuhi, topeng mereka terlepas, dan kemarahan (yaskhatun) pun meledak.

Kecintaan yang berlebihan pada harta (hubbu ad-dunya) adalah akar dari kemunafikan finansial. Mereka rela menunjukkan ketaatan di depan (misalnya, ikut shalat atau perang), tetapi niat sebenarnya hanyalah keuntungan cepat. Ini sangat kontras dengan mukmin sejati yang beriman bahwa rezeki sejati datang dari Allah, bukan dari pembagian harta di dunia.

B. Mencela Pemimpin: Gejala Kemunafikan

Tindakan yulmizuka (mencela) terhadap Rasulullah ﷺ mengenai pembagian sedekah adalah bentuk pelecehan terhadap otoritas yang berasal dari Allah. Mencela pemimpin yang adil di belakang mereka (ghibah) atau secara sinis di hadapan umum, hanya karena gagal memenuhi tuntutan pribadi, adalah salah satu ciri terburuk kaum munafik.

Para ulama tafsir menekankan bahwa celaan ini bertujuan untuk merusak kepercayaan umat terhadap kepemimpinan Nabi. Jika umat mulai meragukan integritas Nabi dalam hal harta (yang merupakan urusan duniawi yang paling mudah dikritik), maka mereka akan lebih mudah meragukan integritasnya dalam urusan agama (syariat).

C. Ancaman Bagi Pemerintahan

Ayat ini berfungsi sebagai pedoman bagi setiap pemerintahan Muslim sepanjang masa. Kritik yang datang dari pihak yang hanya mencari keuntungan pribadi dan menunjukkan ketidakpuasan hanya karena kepentingan mereka tidak terlayani harus diwaspadai sebagai bibit-bibit kekacauan dan fitnah. Pemerintah wajib mendistribusikan secara adil berdasarkan Syariat, bukan berdasarkan desakan kaum yang tamak.

VII. Pandangan Mufasir Klasik dan Kontemporer tentang At-Taubah 59

Para ulama tafsir memberikan penekanan yang beragam pada aspek-aspek ayat 59, namun semuanya sepakat bahwa ini adalah kritik tajam terhadap mentalitas serakah dan hipokrit.

A. Tafsir Ibn Katsir: Fokus pada Asbabun Nuzul

Imam Ibn Katsir sangat fokus pada konteks historis dan asbabun nuzul, merujuk pada kisah Dzulkhaweishirah dan orang-orang yang mempertanyakan pembagian ghanimah. Bagi Ibn Katsir, ayat ini adalah penegasan bahwa siapa pun yang mengkritik pemimpin dengan motif pribadi, meskipun pemimpin itu adalah Rasulullah, menunjukkan cacat iman yang serius. Ia menekankan bahwa celaan kaum munafik adalah sebuah kebodohan, karena Rasulullah adalah orang yang paling adil.

B. Tafsir Al-Qurtubi: Penekanan Hukum dan Fikih

Al-Qurtubi dalam tafsirnya, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, memberikan perhatian besar pada aspek hukum (fikih). Ia membahas secara rinci kewenangan imam dalam pembagian zakat dan ghanimah. Al-Qurtubi menggunakan ayat 59 untuk memperkuat prinsip bahwa distribusi harta publik harus sesuai dengan Syariat, dan bahwa ketidakpuasan individu yang tidak termasuk golongan penerima tidak boleh membatalkan keputusan yang syar'i. Ia juga membahas perbedaan antara lamz (celaah sinis) dan hamz (celaah terbuka).

C. Tafsir Sayyid Qutb: Analisis Psikologis dan Sosial

Dalam tafsir kontemporer, seperti Fi Zhilalil Qur'an, Sayyid Qutb melihat ayat 59 sebagai gambaran abadi tentang pertarungan nilai. Ia berpendapat bahwa kaum munafik yang disebutkan dalam ayat ini memiliki 'jiwa pedagang' dalam urusan agama. Mereka memasuki Islam dengan tujuan investasi materi. Jika investasi itu menghasilkan (diberi harta), mereka ‘senang hati’ seolah-olah transaksi berhasil. Jika tidak, mereka 'murka' karena investasi mereka gagal.

Qutb menyimpulkan bahwa ayat ini mengungkapkan bahwa fondasi iman sejati harus dibangun di atas tauhid dan ikhlas, bukan di atas perhitungan untung rugi duniawi. Kehidupan spiritual yang sehat harus bebas dari tuntutan materi bersyarat.

VIII. Relevansi At-Taubah 59 di Masa Kini

Meskipun ayat ini diturunkan ribuan tahun yang lalu dalam konteks pembagian sedekah di Madinah, pelajarannya tentang integritas, transparansi, dan qana'ah tetap sangat relevan untuk masyarakat modern, terutama dalam isu-isu pengelolaan dana publik dan kritik sosial.

A. Pengelolaan Keuangan Publik dan Transparansi

Ayat 59 memberikan landasan etika bagi para pengelola dana publik (pemerintah, lembaga amil zakat, NGO). Meskipun Rasulullah ﷺ tidak diragukan keadilannya, beliau tetap tunduk pada pengawasan ilahi dan menghadapi kritik manusiawi. Ini mengajarkan bahwa pemimpin harus selalu menjunjung tinggi transparansi. Namun, pada saat yang sama, kritik yang ditujukan kepada lembaga harus dibedakan antara kritik konstruktif dan kritik yang didorong oleh ketamakan pribadi.

Jika kritik dilancarkan hanya karena individu atau kelompok tersebut tidak menerima proyek, jabatan, atau bantuan finansial (mirip dengan 'jika mereka diberi, mereka senang hati'), maka kritik tersebut harus dipandang sebagai ekspresi nifaq maalī (kemunafikan finansial) yang diabadikan dalam ayat 59.

B. Ujian bagi Integritas Pribadi

Di era konsumerisme dan persaingan ekonomi, At-Taubah 59 menjadi pengingat spiritual yang keras: sejauh mana ridha kita terhadap takdir dan ketentuan Allah? Ujian ini muncul dalam berbagai bentuk:

Ayat 59 menuntut kita untuk melepaskan keridhaan kita dari variabel duniawi. Keridhaan seorang mukmin sejati adalah keridhaan terhadap Allah, yang tidak berubah oleh untung rugi materi.

C. Pentingnya Kembali kepada Nilai Qana'ah

Untuk menanggulangi sikap yaskhatun, umat Islam harus secara aktif menanamkan sifat qana'ah. Qana'ah adalah pengakuan bahwa harta bukanlah tujuan, melainkan sarana. Ketika seseorang mencapai qana'ah, ia tidak akan merasa marah atau murka hanya karena kehilangan jatah dunia. Ia memahami bahwa kekayaan yang sejati adalah kekayaan jiwa.

Sikap qana'ah memastikan bahwa niat beramal dan berjuang dalam agama tetap murni, tidak tercemari oleh harapan materi yang bersifat sementara. Ini adalah perlindungan utama dari jebakan kemunafikan yang diungkapkan oleh Surah At-Taubah 59.

IX. Kesimpulan: Ajaran Abadi At-Taubah 59

Surah At-Taubah ayat 59 adalah sebuah monumen Al-Qur'an yang mengajarkan prinsip-prinsip etika batin dan tata kelola publik. Ayat ini menegaskan kebenaran abadi tentang sifat manusia ketika dihadapkan pada distribusi harta: kemunafikan akan terkuak melalui ketidakpuasan material yang egois.

Dari ayat ini, kita mempelajari bahwa keridhaan yang bersyarat adalah keridhaan yang rapuh dan berbahaya. Seorang mukmin sejati harus mencapai tingkat keikhlasan di mana penerimaan atau penolakan materi tidak menggoyahkan keimanannya terhadap keadilan Allah dan kepemimpinan yang berpegang pada syariat.

Melalui kisah orang-orang yang mencela Rasulullah ﷺ karena pembagian sedekah, Allah SWT memberikan peringatan keras kepada umat-Nya sepanjang masa. Peringatan ini bukanlah sekadar larangan mengkritik, tetapi adalah perintah untuk memurnikan niat, memegang teguh qana'ah, dan menjadikan keridhaan Allah sebagai satu-satunya barometer kebahagiaan sejati, jauh di atas keuntungan duniawi yang fana.

Oleh karena itu, setiap muslim diundang untuk merenungkan: apakah ridha kita dalam ketaatan adalah ridha yang murni, ataukah ia bersifat kondisional, menunggu imbalan dunia yang jika tidak terpenuhi, membuat hati kita menjadi murka (yaskhatun)? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan kualitas iman kita, sebagaimana diuji oleh Allah melalui harta dan pembagiannya.

Pengajaran mendalam ini membentuk fondasi masyarakat yang kokoh, di mana kepemimpinan dapat berfungsi tanpa diganggu oleh tuntutan pribadi yang tamak, dan di mana setiap individu menemukan kekayaan sejati dalam kemerdekaan jiwa melalui sifat qana'ah dan keikhlasan yang total.

🏠 Homepage