Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Quran, dikenal sebagai surah yang tidak diawali dengan *Basmalah*—sebuah indikasi tegas akan sifatnya yang keras dan penuh peringatan, khususnya terhadap kaum musyrik dan munafik. Dalam surah ini, Allah SWT secara eksplisit memisahkan barisan kaum beriman sejati dari mereka yang hanya bersembunyi di balik jubah keislaman: kaum munafik.
Ayat ke-67 dari surah ini adalah sebuah deskripsi sosiologis dan spiritual yang paling tajam mengenai hakikat kemunafikan. Ia bukan sekadar menyebutkan ciri-ciri, tetapi merinci struktur organisasi, perilaku moral, dan takdir abadi mereka. Memahami ayat ini adalah kunci untuk memelihara kemurnian akidah dan menjaga keutuhan masyarakat Muslim dari ancaman internal yang paling berbahaya.
Ayat ini padat makna. Setiap frasa menggambarkan detail sifat dan konsekuensi spiritual kaum munafik. Untuk mencapai kedalaman pemahaman, kita harus membedah lima komponen utama yang disoroti oleh ayat ini.
Frasa ini menetapkan bahwa kemunafikan tidak mengenal jenis kelamin—melibatkan laki-laki dan perempuan—dan yang lebih penting, menunjukkan kesamaan fundamental di antara mereka. Ungkapan "sebagian mereka adalah dari sebagian yang lain" tidak hanya berarti mereka memiliki asal-usul yang sama dalam kemaksiatan, tetapi juga bahwa mereka saling mendukung, bersatu dalam tujuan mereka, dan memiliki kesamaan watak dan perilaku yang mendasar. Mereka membentuk sebuah komunitas, sebuah jaringan terstruktur yang bekerja secara kolektif.
Jaringan ini berlawanan total dengan persaudaraan *iman* yang sejati. Sementara kaum mukmin bersatu dalam *Taqwa*, kaum munafik bersatu dalam *Fisq* (kefasikan). Kesatuan mereka adalah kesatuan dalam keraguan dan kecenderungan untuk menghancurkan kebenaran. Dalam analisis tafsir, seperti yang dijelaskan oleh Imam Al-Qurtubi, kesamaan ini meliputi kepalsuan niat, kegelisahan hati, dan penolakan terselubung terhadap perintah Allah.
Kedalaman dari frasa ini menekankan bahwa kemunafikan adalah sebuah sifat intrinsik yang mengakar, melintasi batas sosial, dan membentuk koalisi yang kokoh. Koalisi ini memandang kebenaran sebagai ancaman dan kebatilan sebagai landasan yang harus dipertahankan.
Poin kedua dan ketiga adalah inti dari aktivitas kaum munafik di tengah masyarakat, yaitu polarisasi moral yang mereka ciptakan:
Berbeda dengan kaum beriman yang diperintahkan untuk melakukan *Amar Ma’ruf Nahi Munkar* (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran), kaum munafik secara aktif melakukan hal yang sebaliknya. Mereka adalah agen penyebaran kejahatan dan penyimpangan. Konsep *Munkar* di sini sangat luas, meliputi segala sesuatu yang ditolak oleh syariat Islam dan akal sehat yang lurus, termasuk: keraguan, kebohongan, fitnah, kecurangan, dan yang paling utama, menentang hukum Allah.
Aktivitas menyeru kemungkaran ini sering kali dilakukan secara halus dan terselubung. Mereka menggunakan retorika yang tampak rasional atau moderat untuk membenarkan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Mereka menyebarkan ideologi yang merusak, mempromosikan gaya hidup yang melalaikan akhirat, dan secara sistematis melemahkan fondasi moral komunitas beriman. Kekuatan mereka terletak pada kemampuan mereka untuk memutarbalikkan fakta dan mengemas kebatilan sebagai kebenaran.
Ekspansi dari *Munkar* yang mereka serukan mencakup segala bentuk pengkhianatan spiritual dan moral. Dalam konteks politik, ini berarti menyarankan kebijakan yang merugikan umat Islam atau beraliansi dengan musuh-musuh Islam. Dalam konteks sosial, ini berarti menyebarkan perpecahan, mengabaikan hak-hak sesama, dan mempromosikan kefasikan terbuka yang merusak tatanan masyarakat yang berbasis tauhid.
Sebaliknya, mereka mencegah *Ma’ruf* (kebaikan). *Ma’ruf* adalah segala sesuatu yang diakui baik oleh syariat dan dianjurkan oleh Allah, termasuk: Tauhid, shalat, zakat, jihad, keadilan, kejujuran, dan solidaritas. Kaum munafik merasa terancam oleh *Ma’ruf* karena *Ma’ruf* akan mengungkap kepalsuan mereka.
Pencegahan ini dapat berupa ejekan terhadap ritual ibadah, keraguan yang ditanamkan terhadap perintah agama, atau penghalangan fisik dan finansial terhadap proyek-proyek kebaikan. Jika ada seruan untuk berjihad, mereka mencari alasan untuk mundur. Jika ada seruan untuk berinfak, mereka menahan tangan. Upaya mereka ini merupakan usaha terus-menerus untuk melemahkan kekuatan spiritual dan material kaum beriman.
Dalam tafsir kontemporer, penolakan terhadap *Ma'ruf* seringkali termanifestasi dalam penentangan terhadap penegakan nilai-nilai agama dalam kehidupan publik. Mereka mungkin menyerukan 'sekularisme murni' atau 'kebebasan mutlak' sebagai dalih untuk menyingkirkan ajaran Islam dari ranah sosial dan politik, padahal niat sesungguhnya adalah memelihara kekuasaan atau kepentingan pribadi mereka.
Makna literal dari "mereka menggenggamkan tangan mereka" adalah kekikiran atau kikir. Secara spesifik, frasa ini merujuk pada keengganan mereka untuk berinfak dan memberikan kontribusi finansial demi perjuangan agama. Berinfak adalah bukti nyata dari keimanan dan keyakinan akan balasan di akhirat; oleh karena itu, kaum munafik, yang meragukan janji akhirat, secara alami bersifat kikir.
Namun, dalam tafsir yang lebih dalam, frasa ini juga melambangkan kekikiran spiritual. Tangan yang menggenggam bukan hanya menahan harta, tetapi juga menahan diri dari melakukan amal kebaikan, menahan diri dari berpartisipasi dalam jihad spiritual atau fisik, dan menahan diri dari menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Mereka "menggenggamkan tangan" mereka dari segala bentuk investasi yang hasilnya hanya terlihat di akhirat.
Sifat kikir ini adalah manifestasi langsung dari cinta dunia yang berlebihan (*hubbud dunya*). Mereka takut miskin, dan mereka tidak percaya bahwa sedekah akan diganti oleh Allah. Kekikiran ini merupakan salah satu ciri psikologis paling menonjol yang membedakan mereka dari kaum mukmin sejati yang rela mengorbankan harta dan jiwa.
Ini adalah jantung teologis dan peringatan paling menakutkan dari ayat ini. Frasa "Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka" menjelaskan hubungan sebab-akibat yang menghancurkan.
Lupa dalam konteks ini tidak berarti kehilangan ingatan secara harfiah, melainkan melalaikan kewajiban, mengabaikan perintah-perintah-Nya, dan berperilaku seolah-olah keberadaan atau pengawasan Allah tidak relevan. Lupa kepada Allah berarti:
Konsekuensi dari melupakan Sang Pencipta adalah Sang Pencipta "melupakan" mereka. Tentu saja, Allah Maha Tahu dan tidak pernah lupa. Makna *Dilupakan* di sini adalah:
Ayat ditutup dengan label yang tegas dan final: "Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik." *Al-Fisq* berarti keluar dari ketaatan kepada Allah. Ini menegaskan bahwa kemunafikan bukanlah sekadar kesalahan kecil atau kekurangan karakter, tetapi merupakan pemberontakan total yang menyimpang dari jalan lurus agama.
Gelar *fasik* ini menandakan bahwa meskipun mereka mengucapkan syahadat, mereka secara substansial berada di luar lingkaran ketaatan yang sesungguhnya. Mereka keluar dari rel syariat dan etika Islam. Penetapan ini memperkuat legitimasi hukuman yang akan menimpa mereka—hukuman bagi mereka yang memilih jalan penyimpangan secara sadar dan aktif.
Keindahan Al-Quran sering kali terletak pada perbandingan yang kontras. Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Ayat 67, kita wajib membandingkannya dengan Ayat 71 dari surah yang sama, yang menggambarkan kaum Mukmin sejati:
Perbandingan kedua ayat ini mengungkap sebuah struktur cermin, di mana setiap sifat buruk munafik berhadapan langsung dengan sifat mulia mukmin:
| Dimensi | Munafik (Ayat 67) | Mukmin (Ayat 71) |
|---|---|---|
| Hubungan Struktural | Saling terkait dalam kefasikan (بعْضُهُمْ مِّنْ بَعْضٍ) | Saling menjadi penolong (أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ) |
| Aktivitas Moral | Menyuruh Mungkar, Mencegah Ma’ruf | Menyuruh Ma’ruf, Mencegah Mungkar |
| Ekonomi/Infak | Menggenggamkan tangan (kikir) | Menunaikan Zakat (berinfak aktif) |
| Hubungan dengan Tuhan | Melupakan Allah | Mendirikan Salat dan Taat kepada Allah dan Rasul |
| Konsekuensi | Dilupakan (ditinggalkan) oleh Allah, status Fasik | Diberi Rahmat oleh Allah |
Perbandingan ini menunjukkan bahwa identitas spiritual seseorang terwujud dalam kontribusi sosialnya. Munafik adalah kekuatan destruktif, sementara mukmin adalah kekuatan konstruktif. Kehidupan munafik adalah lingkaran setan penolakan dan penarikan diri, yang berpuncak pada pemutusan hubungan dengan Ilahi.
Meskipun Ayat 67 ditutup dengan label *fasik*, ayat-ayat selanjutnya (At-Taubah 68) secara langsung menjelaskan hukuman yang menanti kaum munafik. Ini penting karena hukuman tersebut secara teologis dianggap lebih berat daripada hukuman bagi kaum musyrik yang terang-terangan.
Allah SWT berfirman (QS. At-Taubah, 9:68):
Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan Neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah Neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknat mereka; dan bagi mereka azab yang kekal.
Ayat ini menegaskan status abadi mereka di Neraka. Mengapa hukuman bagi munafik begitu berat? Karena kemunafikan adalah kekafiran yang disamarkan, pengkhianatan dari dalam, yang paling merusak struktur masyarakat beriman. Mereka menimbulkan keraguan (*syak*), perpecahan (*furqah*), dan kelemahan internal yang tidak dapat diatasi hanya dengan menghadapi musuh eksternal.
Banyak ulama, termasuk Ibn Kathir, menekankan bahwa kaum munafik akan berada di tingkat neraka yang paling bawah (*Ad-Darkul Asfal minan Nar*), sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa (4:145). Kedalaman azab ini sebanding dengan kedalaman kebohongan yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Azab ini bukan hanya penderitaan fisik, tetapi juga penderitaan psikologis dan spiritual karena mereka mengetahui kebenaran, tetapi memilih untuk menolaknya.
Kembali pada frasa *Nasau Allaha Fanasihum*, para mufasir menjelaskan bahwa pelupaan ini adalah hukuman yang paling menyiksa. Ketika Allah melupakan seseorang, itu berarti Dia membiarkan orang tersebut:
Ayat 67 memberikan peta jalan untuk mengidentifikasi perilaku yang berakar dari penyakit hati, yang jauh melampaui sekadar masalah moral individu. Kemunafikan adalah epidemi sosial.
Munafik hidup dalam kondisi dinding ganda. Mereka menampilkan ketaatan di luar, tetapi menyimpan keraguan dan kebencian di dalam. Hal ini menciptakan stres dan kelelahan mental yang konstan. Mereka harus terus-menerus berakting, menyembunyikan motif sejati, dan menjaga penampilan. Inilah mengapa dalam Al-Quran, hati munafik digambarkan sebagai sakit dan goyah (QS. Al-Baqarah, 2:10).
Ciri 'menggenggamkan tangan' (kikir) adalah manifestasi dari ketidakpercayaan total terhadap janji Allah. Mereka tidak bisa melepaskan harta karena mereka hanya percaya pada apa yang bisa mereka lihat dan sentuh di dunia ini. Kekikiran adalah benteng terakhir pertahanan mereka terhadap pengorbanan yang diminta oleh iman sejati.
Dampak sosial munafik sangat parah. Karena mereka beroperasi dari dalam, mereka menghancurkan struktur komunitas Muslim melalui:
Ayat 67 mengajarkan bahwa kemunafikan adalah sebuah ideologi, bukan sekadar kelemahan individu. Itu adalah ideologi yang mewajibkan kebatilan (*ya’muruna bil munkar*) dan melarang kebenaran (*yanhawna ‘anil ma’ruf*). Mereka adalah aktivis anti-iman.
Ayat 67 Surah At-Taubah tidak terbatas pada masyarakat Madinah di masa Nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat munafik yang diuraikan adalah arketipe yang berulang di setiap zaman. Memahami ayat ini sangat relevan untuk menjaga keimanan dan komunitas Muslim modern.
Saat ini, *Ya’muruna bil Munkar* tidak hanya berupa ajakan minum khamr atau berzina secara langsung. Ia juga terwujud dalam struktur yang lebih canggih dan sistemik:
Kaum munafik kontemporer mungkin adalah mereka yang berada di posisi berpengaruh, berbicara manis tentang persatuan, tetapi secara diam-diam mendukung kebijakan atau praktik yang merusak moralitas dan ekonomi umat. Mereka adalah orang-orang yang paling keras menentang pendidikan agama yang murni atau penegakan hukum syariat, sambil mengklaim diri sebagai pembela "Islam moderat" atau "Islam progresif" yang mengabaikan dasar-dasar syariat.
Kekikiran, *Yaqbidhuna Aidiyahum*, hari ini juga termanifestasi dalam penolakan terhadap solidaritas global dan lokal. Ini termasuk penolakan untuk berpartisipasi dalam program-program wakaf, zakat, atau infak yang dapat memberdayakan umat. Munafik modern sangat perhitungan dan hanya mau berinvestasi jika ada jaminan keuntungan duniawi yang instan, menunjukkan ketidakpercayaan mendasar terhadap janji *barakah* dan pahala dari Allah.
Mereka mungkin menyumbang untuk tujuan filantropi umum, tetapi secara konsisten menghindari dukungan finansial untuk institusi yang mempromosikan inti ajaran Islam, seperti pesantren, majelis ilmu, atau dana jihad fi sabilillah, karena takut afiliasi tersebut akan merugikan posisi sosial atau bisnis mereka.
Kajian mendalam tentang Ayat 67 harus mendorong setiap mukmin untuk melakukan introspeksi mendalam. Karena kemunafikan adalah penyakit hati yang tersembunyi, seorang Muslim sejati harus senantiasa takut terjerumus ke dalamnya. Bahkan para sahabat Nabi, seperti Umar bin Khattab dan Hudzaifah bin Yaman, sangat mencemaskan diri mereka tersentuh oleh penyakit ini.
Untuk menghindari takdir *Fanasihum*, umat Islam harus secara aktif menerapkan kebalikan dari sifat munafik:
Kunci utama untuk menghindari pelupaan Ilahi adalah dengan selalu mengingat Allah (zikrullah). Zikir bukan hanya tasbih, tetapi mengingat Allah dalam setiap keputusan, tindakan, dan transaksi. Ini berarti menjaga shalat dengan kualitas terbaik (*yuqimuna sh-shalat*), menunaikan zakat, dan menaati Allah dan Rasul secara total (*yuti’una Allaha wa Rasulahu*).
Seorang mukmin harus berada di barisan terdepan dalam *Amar Ma’ruf Nahi Munkar*. Ini memerlukan keberanian untuk berbicara kebenaran di hadapan ketidakadilan dan kemungkaran, baik dalam skala kecil maupun besar. Jika kaum munafik adalah pasukan anti-kebaikan, maka kaum mukmin adalah pasukan pro-kebenaran yang aktif dan militan dalam arti spiritual dan moral.
Melawan sifat kikir (*qabada yadahum*) dengan kemurahan hati yang tulus. Berinfak tidak hanya dengan harta yang berlebih, tetapi dengan apa yang dicintai. Ini adalah uji coba keimanan terhadap Hari Akhir. Kedermawanan adalah penawar racun kemunafikan, karena ia memaksa hati untuk percaya sepenuhnya pada janji rezeki dan penggantian dari Allah SWT.
Surah At-Taubah Ayat 67 adalah fondasi teologis yang membedakan dua kelompok manusia yang hidup berdampingan di tengah komunitas yang sama. Ayat ini tidak memberikan ruang abu-abu. Kita adalah bagian dari *Ba’duhum min Ba’d* (Munafik) atau *Auliya'u Ba'd* (Mukmin).
Peringatan keras mengenai status *Al-Fasiqun* dan hukuman abadi *Fanasihum* berfungsi sebagai cermin untuk menguji keaslian iman kita. Jika hati kita cenderung menyuruh kemungkaran, jika lisan kita ringan mencela kebaikan, dan jika tangan kita berat untuk berinfak, maka kita berada di jalur yang sangat berbahaya yang digariskan oleh Ayat 67.
Semoga Allah SWT menjauhkan kita dari segala sifat kemunafikan, menguatkan kita dalam barisan orang-orang beriman sejati yang saling menolong dalam kebaikan, dan melimpahkan kepada kita rahmat-Nya, sehingga kita tidak termasuk golongan yang dilupakan di hari yang sangat membutuhkan ingatan dan pertolongan Ilahi. Amin.
***
Penutup ayat, *Innal Munafiqina humul Fasiqun*, adalah sebuah pernyataan definitif. Kefasikan adalah kondisi spiritual di mana seseorang secara sadar melanggar batas-batas yang ditetapkan Allah. Dalam terminologi syariat, kefasikan memiliki gradasi, tetapi ketika label ini dilekatkan pada kaum munafik, ia mencapai tingkat kefasikan yang tertinggi, setara dengan kekafiran total.
Seorang munafik adalah *fasik* karena tiga alasan utama:
Kekikiran di sini adalah sifat turunan dari ketidakpercayaan. Para ulama tafsir menekankan bahwa kekikiran kaum munafik sangat strategis. Mereka menghindari infak yang wajib (zakat) dan sunah (sedekah) dengan berbagai dalih. Dalam konteks sejarah, saat Nabi SAW menyerukan pengorbanan harta untuk bekal perang (Jihad), kaum munafik selalu memberikan alasan palsu atau memberikan jumlah yang sangat sedikit disertai cibiran.
Al-Qurtubi menjelaskan bahwa genggaman tangan munafik ini meliputi:
Jika kita memperluas makna *Nasau Allaha Fanasihum*, kita menemukan bahwa pelupaan ini menciptakan kerusakan moral yang mendalam. Ketika seseorang melupakan Allah, ia kehilangan kompas moralnya. Kehilangan kompas ini kemudian menghasilkan dua konsekuensi langsung yang disebutkan sebelumnya dalam ayat:
1. Mengabaikan Ma’ruf: Orang yang lupa pada Allah tidak lagi melihat nilai intrinsik dalam kebaikan. Kebaikan (*Ma’ruf*) dilihat sebagai beban, kerugian, atau bahkan kebodohan. Oleh karena itu, mereka menghalangi orang lain melakukannya.
2. Mendukung Munkar: Orang yang dilupakan oleh Allah cenderung melihat *Munkar* sebagai solusi, kemajuan, atau kenikmatan. Allah membiarkan syaitan menjadi penuntun mereka, dan syaitan tidak akan pernah menyeru kecuali kepada kejahatan dan kefasikan. Ini adalah puncak dari pelupaan: mereka menganggap kejahatan sebagai kebaikan.
Azab *Fanasihum* adalah pembiaran. Dalam studi teologi Islam, sering dijelaskan bahwa salah satu bentuk azab Allah di dunia adalah membiarkan hamba-Nya menikmati dosa-dosa mereka hingga mereka mencapai titik tidak ada lagi keinginan untuk bertaubat. Allah membiarkan mereka "sukses" dalam kemunafikan mereka, sehingga pada Hari Pembalasan, hukuman mereka menjadi jauh lebih berat karena mereka telah menyempurnakan kejahatan mereka tanpa gangguan dari *Taufik* Ilahi.
Pentingnya frasa *ba’duhum min ba’d* (sebagian mereka adalah dari sebagian yang lain) menekankan bahwa kaum munafik adalah koalisi ideologis. Ini bukan sekadar kumpulan individu, tetapi sebuah entitas yang memiliki kesamaan tujuan, meskipun metode mereka berbeda-beda. Koalisi ini beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
Kehadiran kaum munafik laki-laki dan perempuan dalam ayat ini juga menyiratkan bahwa pengaruh kemunafikan meresap ke dalam setiap lapisan sosial, dari ruang rapat hingga rumah tangga. Tidak ada sektor masyarakat yang imun dari penetrasi ideologi *fisq* ini. Oleh karena itu, Ayat 67 adalah seruan untuk kewaspadaan sosiologis dan spiritual yang berkelanjutan.
Ayat 67 ini selaras dengan banyak hadis Nabi Muhammad SAW yang juga memberikan peringatan keras mengenai sifat-sifat munafik. Hadis yang masyhur menyebutkan tiga ciri: berbohong ketika berbicara, mengingkari janji, dan khianat ketika dipercaya. Ciri-ciri ini adalah manifestasi operasional dari kerangka teologis yang ditetapkan dalam Ayat 67.
Kaitannya dengan *Ya’muruna bil Munkar*: Berbohong dan khianat adalah bentuk kemungkaran sosial yang paling merusak. Seorang munafik berbohong untuk memutarbalikkan fakta dan menyerukan kebatilan. Ia berkhianat terhadap amanah keimanan dan amanah sosial.
Kaitannya dengan *Yanhawna ‘anil Ma’ruf*: Mengingkari janji adalah mencegah ma’ruf. Janji adalah komitmen terhadap kebaikan. Ketika janji diingkari (terutama janji yang berkaitan dengan dukungan Islam), itu sama dengan menghalangi berjalannya kebaikan dan keadilan.
Dengan demikian, Ayat 67 memberikan deskripsi karakter (Melupakan Allah, Kekikiran) dan manifestasi perilaku (Menyeru Munkar, Mencegah Ma'ruf), yang keduanya menegaskan status akhir mereka sebagai *Fasiqun*. Ketiga elemen—hati, lisan, dan perbuatan—semuanya menyatu dalam definisi Al-Quran tentang kemunafikan.
Marilah kita terus merenungkan makna Surah At-Taubah Ayat 67 sebagai pengingat abadi bahwa perjuangan terbesar seorang mukmin bukanlah melawan musuh yang terlihat di luar, tetapi melawan musuh yang tersembunyi di dalam hati dan yang beroperasi di tengah-tengah barisan kita.