Pendahuluan: Kontrak Hidup dan Ujian Kekayaan
Surah At-Taubah (Pengampunan) adalah salah satu surah Madaniyyah yang dikenal keras dalam menegaskan batas-batas keimanan dan memisahkan secara tegas antara golongan mukmin sejati dengan golongan munafik. Surah ini sering disebut sebagai 'Fadhihah' (Pembongkar aib), karena ia membuka tabir kemunafikan yang disembunyikan dalam hati sebagian individu di sekitar Rasulullah ﷺ.
Di antara ayat-ayat penting yang menjelaskan transisi spiritual negatif akibat ujian materi adalah ayat 75. Ayat ini memberikan gambaran yang tajam mengenai psikologi manusiawi yang rapuh di hadapan janji kekayaan, serta konsekuensi rohaniah yang timbul akibat melanggar sumpah yang dibuat di hadapan Tuhan. Kisah yang melatarinya bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan pelajaran abadi tentang urgensi ketulusan (ikhlas) dan bahaya keserakahan yang tidak terkontrol.
Ayat 75 dari Surah At-Taubah menjadi peringatan keras bahwa permohonan yang diiringi janji tulus kepada Allah haruslah dijaga teguh. Kekayaan, yang awalnya diminta sebagai alat ibadah dan kemaslahatan, sering kali menjadi hijab tebal yang memisahkan hamba dari Tuhannya. Ketika nikmat datang, janji dilupakan, dan sikap bakhil (kikir) menggantikan kedermawanan yang pernah diikrarkan. Inilah tragedi spiritual yang diabadikan dalam ayat ini, mengingatkan setiap Muslim bahwa integritas janji adalah inti dari keimanan.
"Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah: 'Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.'" (QS. At-Taubah: 75)
Asbabun Nuzul: Kisah Tsa'labah bin Hathib
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus merujuk pada latar belakang pewahyuannya, yang secara luas dikaitkan dengan kisah seorang sahabat yang dikenal sebagai Tsa'labah bin Hathib (walaupun ada beberapa variasi dalam riwayat, kisah Tsa'labah adalah yang paling masyhur dan paling relevan dengan konteks ayat ini).
Permohonan yang Penuh Harap
Tsa'labah, pada awalnya, adalah seorang fakir yang sangat taat. Ia sering melaksanakan salat berjamaah dan menunjukkan tanda-tanda keimanan yang kuat. Karena kemiskinannya, ia merasa sulit untuk berkontribusi bagi perjuangan Islam atau beribadah dengan tenang. Dengan penuh kerendahan hati, ia datang kepada Rasulullah ﷺ, memohon agar beliau berdoa kepada Allah supaya Tsa'labah diberikan harta. Dalam permohonannya, Tsa'labah bersumpah dengan sungguh-sungguh:
Rasulullah ﷺ awalnya menanggapi dengan kehati-hatian, mengingatkan Tsa'labah bahwa sedikit harta yang disyukuri dan ditunaikan haknya lebih baik daripada banyak harta yang melalaikan. Namun, Tsa'labah terus mendesak dengan janji-janji kesalehan dan kedermawanan. Akhirnya, Nabi ﷺ mendoakannya.
Ujian Kekayaan yang Tak Terduga
Tidak lama kemudian, Allah mengabulkan doa tersebut. Tsa'labah mulai beternak kambing. Kambing-kambingnya berkembang biak dengan sangat pesat, seperti ulat yang menggeliat (sebagaimana digambarkan dalam riwayat). Padang rumput di Madinah terasa sempit untuk menampung jumlah ternaknya yang terus bertambah. Demi mencari padang gembalaan yang lebih luas, Tsa'labah terpaksa pindah menjauhi Madinah.
Perpindahan ini adalah titik balik yang fatal. Awalnya, ia hanya ketinggalan beberapa kali salat berjamaah. Kemudian, ia mulai jarang datang ke majelis Nabi ﷺ. Akhirnya, ia benar-benar terputus dari komunitas Muslim Madinah dan hanya fokus pada pengelolaan hartanya yang melimpah.
Pengkhianatan Janji (Kikir Zakat)
Ketika tiba kewajiban zakat, Rasulullah ﷺ mengutus petugas pengumpul zakat untuk mengambil hak Allah dari harta kaum Muslimin, termasuk dari Tsa'labah. Petugas itu mendatangi Tsa'labah dan menyampaikan tujuan kedatangan mereka, merujuk pada ketetapan zakat yang diwajibkan bagi ternaknya.
Reaksi Tsa'labah sungguh mengejutkan dan kontras dengan janji yang pernah ia ikrarkan. Ia memandang zakat itu sebagai beban berat dan pajak (jizyah) yang memberatkan. Ia berkata:
Setelah petugas itu kembali, Tsa'labah menolak untuk membayar zakat. Ketika Rasulullah ﷺ mendengar penolakan ini, beliau bersabda, “Celakalah Tsa'labah!” Pada saat itulah ayat 75 dan ayat-ayat berikutnya (termasuk At-Taubah: 76-78) turun, menguak pengkhianatan janji yang dilakukan Tsa'labah.
Pergeseran Prioritas: Dari ibadah berjamaah menuju kekayaan yang melalaikan.
Tafsir Mendalam Ayat Per Kata dan Konteks
1. Pengikrar Janji: وَمِنْهُم مَّنْ عَاهَدَ ٱللَّهَ (Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah)
Frasa ini secara jelas merujuk pada golongan munafik atau mereka yang berpotensi jatuh ke dalam kemunafikan. Penggunaan kata مَّنْ عَاهَدَ (orang yang berjanji/berikrar) menunjukkan bahwa ikatan yang dibuat bukan hanya permohonan biasa, melainkan sebuah kontrak moral dan spiritual yang disaksikan oleh Allah.
Janji ini dilakukan dalam kondisi lemah dan membutuhkan, di mana keikhlasan (setidaknya pada level permukaan) masih mendominasi. Seseorang yang membuat janji di tengah kesulitan biasanya cenderung lebih tulus, namun kelemahan karakter terungkap ketika ujian itu berubah dari kemiskinan menjadi kemewahan. Mereka mengikatkan diri kepada Allah dengan perjanjian yang spesifik: jika Engkau memberikan, kami akan memberi kembali.
2. Sumber Kekayaan: لَئِنْ ءَاتَىٰنَا مِن فَضْلِهِۦ (Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami)
Penggunaan kata مِن فَضْلِهِۦ (dari karunia-Nya) sangat penting. Ini menunjukkan bahwa Tsa'labah (dan orang-orang sepertinya) mengakui bahwa semua kekayaan berasal dari anugerah murni Allah (Fadl). Mereka tahu betul bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan kekayaan itu tanpa izin Ilahi. Pengakuan ini seharusnya memunculkan rasa syukur yang mendalam dan mendorong pelaksanaan janji. Namun, ironisnya, ketika karunia itu datang, sumbernya dilupakan, dan kekayaan mulai dianggap sebagai hasil semata-mata dari usaha dan kecerdasan pribadi.
3. Poin Utama Janji: لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ (Pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh)
Janji ini memiliki dua pilar utama:
- Komitmen Material (Sedekah): لَنَصَّدَّقَنَّ (kami pasti akan bersedekah). Huruf lam taukid (penegasan) dan nun taukid tsaqilah (penekanan yang berat) menunjukkan janji yang sangat ditekankan. Ini bukan janji biasa, melainkan sumpah bahwa kedermawanan akan menjadi karakteristik utama mereka ketika mereka kaya. Dalam konteks ini, sedekah mencakup zakat wajib maupun infak sunah.
- Komitmen Spiritual (Kesalehan): وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ (kami pasti akan termasuk orang-orang yang saleh). Kesalehan (ash-shalihin) merangkum semua perbuatan baik, menjaga hak-hak Allah, menjaga hak-hak sesama manusia, dan konsisten dalam ibadah. Janji ini adalah janji untuk menggunakan kekayaan sebagai sarana mencapai derajat takwa tertinggi.
Tragedi yang disorot oleh ayat ini adalah kegagalan total dalam memenuhi kedua pilar janji tersebut. Kekikiran (menolak sedekah/zakat) secara otomatis membatalkan status kesalehan (shalihin). Mereka menjadi lawan dari apa yang mereka ikrarkan.
4. Ayat Lanjutan (At-Taubah: 76-77): Konsekuensi Pengingkaran
Ayat 75 harus dibaca beriringan dengan ayat 76 dan 77 yang menjelaskan hasil dari pengkhianatan ini:
Ayat 76: "Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)."
Ayat 77: "Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka janjikan kepada-Nya, dan karena mereka selalu berdusta."
Konsekuensi terberat dari mengingkari janji Ilahi, khususnya dalam konteks materi, adalah bahwa Allah menanamkan benih kemunafikan yang mengakar kuat di hati mereka. Kemunafikan ini menjadi sifat permanen (sampai hari kiamat), menghapus kesempatan tobat yang tulus, karena hati mereka telah keras dan berpaling sepenuhnya dari kebenaran.
Kemunafikan (An-Nifaq) sebagai Hukuman Spiritual
Pelajaran dan Hikmah Abadi dari Ayat 75
1. Bahaya Kondisionalitas dalam Ibadah (الشرطية في العبادة)
Ayat ini mengajarkan bahwa ibadah dan ketaatan tidak boleh bersifat kondisional, atau didasarkan pada kesepakatan timbal balik yang bersifat material. Pernyataan Tsa'labah, "Jika Engkau beri aku harta, maka aku akan bersedekah," menunjukkan adanya ketergantungan ketaatan pada keuntungan duniawi. Ibadah sejati (termasuk sedekah dan zakat) harus lahir dari pengakuan bahwa Allah adalah Tuan kita, tanpa perlu imbalan segera yang spesifik.
Ketika seseorang beribadah hanya karena mengejar keuntungan duniawi, saat keuntungan itu didapat, ia akan merasa bahwa ibadahnya adalah jasa, bukan kewajiban. Perasaan ini menghasilkan arogansi dan kecenderungan untuk menahan hak Allah, sebab ia merasa telah 'berinvestasi' cukup.
2. Kekuatan Ujian Kekayaan (فتنة المال)
Kisah Tsa'labah membuktikan sabda Nabi ﷺ bahwa kekayaan adalah ujian yang sangat berat. Kemiskinan menguji kesabaran (sabr), tetapi kekayaan menguji syukur (syukur), integritas, dan kedermawanan. Dalam banyak kasus, ujian kekayaan jauh lebih sulit dilalui daripada ujian kemiskinan.
Kekayaan memiliki kekuatan melalaikan yang luar biasa. Ia menarik seseorang menjauh dari masjid, dari majelis ilmu, dan dari tanggung jawab sosial. Kasus Tsa'labah menunjukkan bahwa prioritasnya bergeser dari komunitas dan ibadah kolektif menjadi pengelolaan harta pribadinya. Ia membiarkan harta menjadi 'Tuhannya' yang baru, yang menuntut waktu dan perhatian penuh, mengikis perlahan-lahan fondasi keimanannya.
3. Kerusakan Akibat Mengingkari Janji (نقض العهد)
Ayat ini adalah peringatan tentang beratnya pelanggaran janji, terutama janji yang diarahkan kepada Allah. Mengingkari janji kepada Allah adalah salah satu ciri fundamental kemunafikan. Janji di sini mencakup: Janji yang diucapkan secara lisan (seperti sumpah Tsa'labah) dan Janji Fitrah (perjanjian primordial kita untuk taat kepada-Nya).
Hukuman atas pengingkaran ini adalah ‘penyemaian’ sifat munafik di dalam hati. Ini bukanlah hukuman fisik, melainkan hukuman spiritual yang permanen. Kemunafikan yang mengakar membuat hati tidak lagi peka terhadap kebenaran dan tobat. Mereka hidup di dunia seolah-olah beriman, tetapi hati mereka telah disegel dari dalam, dan mereka mati dalam kondisi pengkhianatan spiritual.
Para ulama tafsir menekankan bahwa hukuman spiritual ini lebih menakutkan daripada hukuman duniawi. Kehilangan kesempatan untuk tobat yang tulus, kehilangan sensitivitas terhadap petunjuk Allah, dan kegagalan total dalam mencapai kesalehan adalah kerugian terbesar yang abadi.
4. Zakat sebagai Ujian Keikhlasan dan Kedermawanan
Penolakan Tsa'labah untuk membayar zakat adalah manifestasi fisik dari pengingkaran janji rohaniahnya. Zakat adalah pilar Islam yang berfungsi sebagai pembersih harta dan jiwa. Ketika Tsa'labah menyebut zakat sebagai 'upeti' atau 'jizyah', ia merendahkan hukum Allah dan menunjukkan hilangnya pemahaman tentang hakikat kepemilikan. Dalam pandangannya, harta itu 100% miliknya, sementara Islam mengajarkan bahwa sebagian kecil dari harta itu adalah hak fakir miskin yang dititipkan melalui kewajiban zakat.
Analisis Komprehensif tentang Kejatuhan Tsa'labah: Proses Transformasi Negatif
Kejatuhan Tsa'labah tidak terjadi dalam semalam. Ayat 75 memberikan model psikologis tentang bagaimana seorang yang taat dapat berubah menjadi munafik karena materi. Prosesnya dapat diurai melalui beberapa tahapan yang mendalam:
Tahap I: Harapan dan Idealism
Pada tahap ini, Tsa'labah masih miskin tetapi memiliki semangat keimanan yang tinggi. Ia melihat kekayaan sebagai alat untuk mencapai kesalehan yang lebih tinggi (beramal, berinfak). Janjinya tulus pada saat diucapkan.
Tahap II: Datangnya Karunia dan Pergeseran Fisik
Kekayaan datang (kambing bertambah). Ia terpaksa pindah menjauh dari pusat komunitas Madinah. Jarak fisik dari masjid dan majelis ilmu mulai menciptakan jarak spiritual. Lingkungan yang baru (sibuk mengurus ternak di padang rumput) menggantikan lingkungan lama (salat berjamaah dan persahabatan dengan Nabi ﷺ).
Tahap III: Munculnya Kecintaan Dunia (Hubbud Dunya)
Waktunya habis untuk menghitung dan mengurus harta. Kekayaan yang awalnya diharapkan menjadi sarana, kini berubah menjadi tujuan. Ketakutan akan berkurangnya harta mulai menggeser rasa tawakal dan syukur. Setiap keping keuntungan dilihat sebagai hasil kerja kerasnya, bukan Fadl (karunia) dari Allah.
Tahap IV: Pengingkaran Janji dan Pembenaran Diri
Ketika zakat datang, ia melihatnya sebagai ancaman. Ia mencari alasan untuk menolak, merasionalisasi bahwa itu adalah "pajak" atau "upeti." Tahap ini adalah puncak kemunafikan: ketika ia melanggar janji secara terbuka dan mencari pembenaran atas kekikiran dan pelanggaran hukum Allah.
Tahap V: Hukuman Spiritual Permanen
Akibat dari penolakan yang disengaja dan didasarkan pada keangkuhan, Allah mencatat kemunafikan dalam hatinya. Penolakan zakat ini menjadi simbolisasi penolakan total terhadap perjanjian Ilahi. Ia mencoba bertaubat setelah ayat-ayat ini turun, bahkan membawa zakatnya kepada Nabi, namun Nabi menolak, berkata, “Allah telah melarang aku menerima zakatmu.” Setelah wafatnya Nabi, ia mencoba membayarnya kepada Abu Bakar, Umar, dan Utsman, tetapi semua menolak, berdasarkan keputusan Ilahi yang turun dalam ayat ini. Ini menunjukkan betapa seriusnya hukuman bagi pengkhianatan janji ini.
5. Peran Lingkungan dan Komunitas
Kisah Tsa'labah juga menyoroti peran penting komunitas dan lingkungan. Selama ia berada di Madinah, di bawah bimbingan langsung Nabi ﷺ, keimanannya relatif stabil. Ketika ia menjauh karena kekayaan, ia kehilangan pengawasan spiritual, kehilangan pengingat (majelis ilmu), dan kehilangan dukungan sosial yang menjaga imannya. Keimanan yang terisolasi rentan terhadap serangan hawa nafsu dan bisikan setan yang didorong oleh keserakahan.
Relevansi Ayat 75 di Era Modern
Meskipun kisah Tsa'labah terjadi di abad ke-7, pelajaran yang terkandung dalam At-Taubah 75 sangat relevan bagi Muslim kontemporer, terutama di tengah arus kapitalisme dan materialisme yang deras.
1. Integritas Bisnis dan Keberkahan
Banyak Muslim hari ini yang memulai usaha atau karier dengan janji spiritual serupa: "Jika saya sukses, saya akan menggunakan kekayaan ini untuk dakwah, untuk menolong orang tua, atau untuk membangun pesantren." Namun, ketika kesuksesan finansial datang (karunia Allah), mereka terjebak dalam lingkaran tuntutan gaya hidup mewah, investasi berlebihan, dan ketakutan kehilangan harta.
Peristiwa ini sering terjadi dalam bentuk penggelapan pajak atau penundaan kewajiban zakat, dengan alasan bisnis sedang "sulit" atau "perlu ekspansi modal." Ini adalah versi modern dari Tsa'labah yang melihat kewajiban agama sebagai beban (jizyah) alih-alih sebagai pembersih dan penambah keberkahan. Ayat 75 mengingatkan bahwa keberkahan (barakah) dalam harta hanya akan didapatkan jika janji kepada Sang Pemberi Karunia ditepati.
2. Ujian Jabatan dan Kekuasaan
Janji tidak hanya terkait dengan uang, tetapi juga dengan kekuasaan. Seseorang mungkin berjanji saat mencalonkan diri, "Jika saya mendapat jabatan ini, saya akan adil, melayani rakyat, dan memerangi korupsi." Namun, setelah kekuasaan diperoleh, janji-janji itu seringkali dikhianati demi kepentingan pribadi, memperkaya diri sendiri dan kelompok. Fenomena korupsi masif di berbagai negara Muslim adalah cerminan kolektif dari kemunafikan yang dijelaskan dalam At-Taubah 75—di mana amanah publik (karunia) digunakan untuk memperkaya diri dan melanggar sumpah.
3. Prioritas Waktu dan Jarak dari Ibadah
Di era modern, kambing Tsa'labah mungkin berupa pekerjaan start-up yang menyita semua waktu, proyek multinasional, atau ambisi karier yang tak berujung. Semakin sukses seseorang, semakin sedikit waktu yang tersisa untuk ibadah, keluarga, dan komunitas. Jarak fisik Tsa'labah dari Madinah kini digantikan oleh jarak spiritual dan emosional dari masjid dan Al-Qur'an.
Ayat ini mengajarkan bahwa kesalehan (shalihin) tidak dapat dipisahkan dari konsistensi ibadah dan ikatan dengan komunitas beriman. Kekayaan yang membuat Anda meninggalkan salat, menunda zakat, atau memutuskan hubungan silaturahmi, adalah kekayaan yang membawa laknat, bukan karunia.
4. Analisis Psikologi Kemunafikan Modern
Ayat 77 menjelaskan bahwa pengingkaran janji menimbulkan kemunafikan di hati. Kemunafikan modern seringkali tampak halus. Ia adalah:
- Gaya Hidup Ganda: Menampilkan kedermawanan di media sosial (pencitraan) tetapi kikir dalam urusan zakat dan infak wajib.
- Rasionalisasi Dosa: Menggunakan retorika agama untuk membenarkan ketidakadilan ekonomi atau pelanggaran etika bisnis.
- Kekakuan Hati: Tidak tergerak oleh penderitaan orang lain karena terlalu fokus pada akumulasi kekayaan pribadi.
Hukuman spiritual yang kekal adalah akibat dari keputusan yang berulang kali diambil untuk memprioritaskan diri dan harta di atas janji suci kepada Allah. Ini adalah pilihan sadar untuk berpaling (seperti yang disebutkan dalam ayat 76) yang kemudian berujung pada penutupan pintu hati (segel kemunafikan).
Urgensi Penguatan Aqidah dalam Mengelola Harta
Pencegahan agar tidak jatuh seperti Tsa’labah adalah dengan memperkuat aqidah (keyakinan) bahwa harta adalah ujian, bukan tujuan. Seorang mukmin yang sejati memahami bahwa kekayaan hanyalah alat pinjaman. Pemahaman ini harus termanifestasi dalam tiga hal:
- Kesadaran Zakat/Infak: Zakat adalah investasi ukhrawi yang wajib, bukan sumbangan sukarela. Penunaiannya harus didahulukan sebelum pengeluaran pribadi lainnya.
- Penjagaan Lingkungan Spiritual: Sukses duniawi tidak boleh menjadi alasan untuk mengisolasi diri dari majelis ilmu, komunitas, dan kewajiban berjamaah.
- Transparansi Janji: Setiap janji yang diucapkan, baik kepada Allah (melalui nazar atau sumpah) maupun kepada manusia, harus dijaga dengan integritas tertinggi, karena janji adalah hutang moral yang disaksikan oleh Malaikat Raqib dan Atid.
Dalam konteks modern, di mana kekayaan seringkali diukur dari kemampuan konsumsi dan kepemilikan material yang serba mewah, kisah Tsa'labah adalah cermin yang menyakitkan. Ia mengajarkan bahwa kuantitas harta tidak menjamin kualitas iman. Seseorang dapat menjadi kaya raya secara duniawi, namun miskin dan muflis secara spiritual karena pengkhianatan janji yang termotivasi oleh kekikiran.
Kontemplasi Mendalam tentang Kepemilikan dan Keikhlasan
Ayat ini memaksa kita untuk merenungkan hakikat kepemilikan. Dalam pandangan Islam, kepemilikan manusia adalah relatif (milkiyah majazi), sementara kepemilikan mutlak adalah milik Allah (milkiyah haqiqi). Tsa'labah gagal dalam kontemplasi ini. Ketika ia miskin, ia sadar betul bahwa ia bergantung pada Fadl (karunia) Allah. Namun, ketika ia kaya, ia mulai mengklaim kepemilikan mutlak atas ternaknya, sehingga ia merasa berhak menahan hak Allah.
Filosofi Kikir (Bakhil)
Kekikiran bukan hanya keengganan mengeluarkan uang, tetapi merupakan penyakit hati yang lebih dalam. Kikir adalah manifestasi dari ketidakpercayaan kepada Allah (kurangnya tawakal) dan kecintaan yang berlebihan pada dunia. Orang kikir takut bahwa pemberian akan mengurangi hartanya, padahal Allah berjanji akan mengganti dan melipatgandakan sedekah.
Dalam kasus Tsa'labah, kekikiran bukan hanya kegagalan dalam berinfak, tetapi juga kegagalan dalam menjaga hubungan persahabatan dengan Rasulullah dan komunitas Muslim. Kekikiran membawanya ke pengasingan spiritual dan geografis, yang pada akhirnya membiarkan benih kemunafikan tumbuh subur tanpa ada koreksi dari lingkungan.
Ketidakmampuan Bertobat
Bagian paling tragis dari kisah ini adalah penolakan tobat Tsa'labah setelah ayat-ayat tersebut turun. Hal ini tidak berarti Allah menutup pintu tobat secara sepihak untuk semua orang. Sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemunafikan yang diakibatkan oleh pengkhianatan janji (yang diikuti dengan rasionalisasi dan penolakan syariat) begitu parah, sehingga hati individu tersebut menjadi benar-benar kaku dan tidak lagi mampu menghasilkan penyesalan yang tulus.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa tobat yang diterima haruslah meliputi penyesalan mendalam dan pengembalian hak (zakat/harta) yang ditahan. Penolakan Tsa'labah terhadap zakat pada mulanya (ketika Rasulullah masih hidup) adalah indikasi bahwa ia belum sepenuhnya melepaskan kecintaan pada hartanya, dan itulah yang menjadi penghalang tobat sejati.
Ketika ia akhirnya datang untuk membayar, itu mungkin lebih didorong oleh ketakutan akan hukuman sosial atau kematian, bukan penyesalan atas pelanggaran janji Ilahi yang mendasar. Ketegasan penolakan Nabi, dan kemudian para Khalifah, berfungsi sebagai pengajaran historis tentang konsekuensi pengkhianatan janji yang telah mengikis habis keikhlasan di dalam hati seseorang.
Refleksi Mendalam tentang Konsep 'Shalihin' (Orang Saleh)
Tsa'labah berjanji untuk menjadi bagian dari 'orang-orang yang saleh' (مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ). Konsep kesalehan dalam Islam adalah menyeluruh, mencakup ibadah ritual (vertikal) dan tanggung jawab sosial-ekonomi (horizontal). Kesalehan tidak dapat dipisahkan dari kedermawanan.
Jika seseorang rajin salat (seperti Tsa'labah di awal), tetapi kikir ketika diuji kekayaan, ia telah gagal dalam dimensi horizontal kesalehan. Al-Qur'an sering menggandengkan salat dengan zakat/infak, menunjukkan bahwa keduanya adalah syarat minimum untuk mencapai kesalehan. Dengan menolak kewajiban zakat, Tsa'labah secara efektif menghancurkan klaimnya sendiri untuk menjadi bagian dari golongan ash-shalihin. Kesalehan sejati memerlukan keseimbangan antara spiritualitas pribadi dan kontribusi nyata kepada masyarakat.
Kesalehan di Mata Dunia dan Mata Allah
Banyak orang kaya modern yang membangun citra kesalehan melalui ibadah yang terlihat (haji, umrah, salat di depan umum) namun sangat ketat dalam menunaikan zakat atau hak-hak karyawan. Kisah Tsa'labah menjadi filter bagi kita: kesalehan sejati diukur bukan dari apa yang diucapkan di saat membutuhkan, melainkan dari konsistensi dan integritas saat berada di puncak karunia (kekayaan atau kekuasaan).
Pengkhianatan yang dibahas dalam Ayat 75 bukan sekadar kegagalan membayar uang, tetapi kegagalan dalam menjaga kontrak hidup dan mati (perjanjian tauhid) yang telah disepakati antara hamba dengan Sang Pencipta. Kekayaan hanya menjadi katalisator yang mempercepat terungkapnya potensi kemunafikan yang tersembunyi di dalam hati. Ayat ini adalah seruan abadi untuk introspeksi: apakah janji-janji kita kepada Allah masih kita pegang teguh, terutama saat kita sedang menikmati karunia-Nya yang melimpah?
Integritas Janji: Menimbang Harta dengan Keikhlasan
Penegasan Kesalehan melalui Keseimbangan Ukhrawi dan Duniawi
Seorang Muslim tidak dilarang untuk menjadi kaya. Justru, sejarah Islam penuh dengan figur-figur kaya raya yang memanfaatkan kekayaan mereka sebagai mesin kedermawanan dan penyokong dakwah (seperti Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf). Perbedaan antara Tsa'labah dan para sahabat kaya ini terletak pada hati mereka. Para sahabat kaya memandang kekayaan sebagai amanah (tanggung jawab) yang harus segera dibelanjakan di jalan Allah, sementara Tsa'labah memandangnya sebagai hak mutlak untuk dinikmati dan ditimbun.
Kisah ini mengajarkan bahwa menjadi shalihin (orang saleh) adalah proses aktif yang memerlukan pengorbanan dan penempatan prioritas yang benar. Kesalehan bukan hanya tentang melaksanakan rukun Islam, tetapi juga tentang cara kita berinteraksi dengan karunia Allah, terutama kekayaan. Kegagalan dalam mengelola kekayaan dengan benar dapat meruntuhkan seluruh bangunan spiritual seseorang, mengubahnya dari mukmin yang tulus menjadi munafik yang merugi.
Oleh karena itu, setiap janji yang kita buat di hadapan Allah, baik yang tersurat maupun tersirat (termasuk janji untuk taat dan menjauhi kemaksiatan), harus dijaga dengan pengawasan diri yang ketat. Kekayaan, kemudahan, dan jabatan adalah ujian yang menentukan apakah kita benar-benar setia pada kontrak spiritual kita, ataukah kita akan berpaling seperti Tsa'labah bin Hathib.
Ayat 75 berfungsi sebagai alarm keras, mengingatkan umat Islam di setiap zaman bahwa jarak antara kesalehan dan kemunafikan sangatlah tipis, dan ujian kekayaan seringkali menjadi garis pemisah yang menentukan nasib spiritual seseorang.
Implikasi Teologis dan Fiqh
Ayat ini memiliki implikasi besar dalam fikih zakat dan nazar. Meskipun kisah Tsa’labah secara spesifik terkait dengan penolakan kewajiban zakat, ia juga berfungsi sebagai dasar tentang pentingnya menunaikan nazar (janji khusus kepada Allah). Jika janji yang dibuat dengan penekanan (seperti janji Tsa’labah) dilanggar, konsekuensinya bukan hanya denda fiqh, melainkan kerusakan hati yang parah.
Selain itu, ayat ini memperkuat posisi zakat sebagai hak fakir miskin yang wajib diambil, bukan hanya sumbangan sukarela. Ketika harta yang seharusnya dikeluarkan ditahan, maka harta itu menjadi kotor dan tidak berkah. Penolakan Tsa'labah adalah penolakan terhadap hak Allah, yang menyebabkan penghapusan status kesalehannya.
Ketegasan hukuman yang berupa kemunafikan permanen juga memberikan pelajaran mendalam tentang bobot sumpah dan ikrar di hadapan Allah. Hati manusia adalah medan perang, dan ketika janji suci dilanggar, benteng spiritual runtuh, membuka jalan bagi sifat-sifat buruk yang paling merusak, yakni kemunafikan.
Penutup dan Peringatan
Surah At-Taubah 75-77 mengajarkan bahwa pengingkaran janji terkait harta adalah salah satu pintu masuk terbesar menuju kehancuran spiritual. Jika seseorang tulus dalam permintaannya kepada Allah, ia harus lebih tulus lagi dalam memenuhi janji yang ia ikrarkan. Keikhlasan sejati tidak diukur saat kita tidak punya apa-apa, melainkan saat kita telah memiliki segalanya. Kekayaan seharusnya menjadi jembatan menuju kesalehan, bukan jurang pemisah yang menyeret kita ke dalam lumpur kemunafikan.