Ilustrasi kekayaan yang melimpah dan janji yang diingkari, sebuah peringatan keras dalam Surah At-Taubah.
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan unik. Ia dikenal sebagai Surah Al-Fadhihah (Pembuka Aib) karena mengungkap secara rinci tabiat dan tipu daya kaum munafik. Surah ini diturunkan di Madinah, terutama setelah Perang Tabuk, dan memberikan pedoman yang tegas mengenai hubungan antara iman, komitmen sosial (terutama Zakat), dan konsekuensi spiritual dari pengkhianatan.
Di tengah rangkaian ayat-ayat yang membahas sifat-sifat buruk orang munafik dan mereka yang melalaikan kewajiban, muncullah ayat 76. Ayat ini menyajikan sebuah kisah moral yang abadi mengenai bahaya hasrat duniawi, pengingkaran janji, dan bagaimana kekayaan yang seharusnya menjadi sarana ketaatan, justru berubah menjadi ujian yang menjerumuskan. Kisah ini adalah peringatan tentang bagaimana keberlimpahan materi dapat menipu jiwa, mengubah kesetiaan seseorang dari Sang Pemberi rezeki kepada rezeki itu sendiri.
Ayat yang menjadi poros pembahasan ini adalah Surah At-Taubah ayat 76. Allah SWT berfirman:
Terjemahan Kementerian Agama RI:
"Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dengan karunia itu, dan mereka berpaling, sedang mereka memang orang-orang yang enggan (mengingkari janji)."
Melalui diksi yang tajam ini, Allah menggambarkan sebuah kontras dramatis: janji yang tulus di saat kekurangan, diikuti oleh kekikiran yang mematikan iman di saat keberlimpahan. Ayat ini tidak hanya mencela perbuatan (kikir) tetapi juga mengungkap akar permasalahan: kemunafikan yang tersembunyi (*mu’ridhun*).
Meskipun kaidah tafsir menyatakan bahwa 'Ibrah (pelajaran) diambil dari keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab, para mufassir sepakat bahwa ayat 75-77 (dan kadang diperluas hingga 79) memiliki keterkaitan erat dengan kisah spesifik yang menjadi sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul). Tokoh sentral dalam narasi ini adalah Tha'labah bin Hathib Al-Anshari.
Riwayat yang paling masyhur, yang dicatat oleh para ulama seperti Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir, mengisahkan bahwa Tha'labah adalah seorang Anshar yang miskin namun rajin beribadah. Ia sering shalat di belakang Rasulullah SAW.
Suatu hari, Tha'labah mendatangi Nabi SAW dan memohon dengan sungguh-sungguh: "Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar Dia memberiku harta."
Nabi SAW awalnya menasihati: "Wahai Tha'labah, sedikit harta yang engkau syukuri itu lebih baik daripada banyak harta yang tidak mampu engkau syukuri."
Namun, Tha'labah mendesak lagi, bersumpah demi Dzat yang mengutus Nabi dengan kebenaran, bahwa jika ia diberi harta, ia akan menunaikan semua haknya dan bersedekah kepada setiap yang berhak.
Melihat keteguhan (atau mungkin keputusasaan) Tha'labah, Rasulullah SAW akhirnya berdoa: "Ya Allah, berikanlah harta kepada Tha'labah."
Doa Nabi SAW dikabulkan. Harta Tha'labah berkembang pesat. Awalnya, ia memiliki seekor domba yang kemudian beranak-pinak dengan cepat. Kekayaan ini mengharuskannya pindah dari Madinah ke pinggiran kota untuk mencari lahan penggembalaan yang lebih luas. Lambat laun, dombanya menjadi seperti gerombolan semut yang tak terhitung jumlahnya. Tha'labah pun harus pindah ke lembah yang jauh dari Madinah.
Perubahan ini membawa konsekuensi fatal:
Ketika tiba kewajiban Zakat, Rasulullah SAW mengutus dua orang petugas untuk mengambil Zakat dari kaum Muslimin, termasuk Tha'labah. Petugas itu mendatangi Tha'labah dan membacakan surat Rasulullah SAW yang berisi perintah Zakat.
Reaksi Tha'labah sangat mengejutkan dan melanggar janji sucinya. Ia melihat harta itu sebagai "Jizyah" (pajak non-muslim) atau semacam upeti yang memberatkan, dan berkata: "Ini hanyalah pajak (jizyah) atau saudari dari jizyah! Aku tidak tahu apa ini. Kembalilah kalian dan biarkan aku memikirkannya."
Petugas itu kembali tanpa hasil. Ketika laporan ini disampaikan kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda dengan nada sedih: "Celakalah Tha'labah!"
Setelah pengingkaran ini, turunlah Surah At-Taubah ayat 75 dan 76. Ayat 75 menyebutkan janji mereka, dan ayat 76 menyebutkan pengingkaran dan kekikiran mereka setelah janji itu. Ketika Tha'labah mengetahui ayat ini turun, ia panik. Ia bergegas membawa Zakatnya ke Madinah.
Namun, Rasulullah SAW menolak hartanya seraya berkata: "Sesungguhnya Allah telah melarangku menerima Zakatmu."
Harta itu terus ditolak oleh Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan (secara berurutan dalam kekhalifahan mereka). Tha'labah akhirnya meninggal sebagai orang yang ditolak Zakatnya, menjadi pelajaran abadi tentang bahaya kecintaan berlebihan pada harta benda dan konsekuensi pengingkaran janji kepada Allah.
Kisah ini menegaskan bahwa ayat 76 bukan hanya teguran, melainkan vonis spiritual bagi mereka yang menjadikan janji kepada Allah sebagai alat untuk meraih dunia, lalu melupakan janji tersebut ketika tujuan duniawi telah tercapai. Mereka terperangkap dalam lingkaran setan kekikiran dan kemunafikan.
Ayat 76 adalah jembatan yang menghubungkan kekikiran materi (bukhl) dengan kekikiran spiritual (nifaq). Kedua hal ini saling menguatkan dan menjadi inti dari penyakit hati yang digambarkan dalam surah ini.
Kekikiran di sini bukan hanya menolak memberi, tetapi menolak menunaikan hak wajib yang telah Allah tetapkan. Zakat adalah pilar Islam; menolaknya setelah berkomitmen adalah tindakan kufur nikmat. Ibnu Kathir menjelaskan bahwa bukhl adalah penolakan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari harta yang merupakan kewajiban agama, padahal seluruh harta tersebut adalah anugerah (fadhlihi) dari Allah.
Kekikiran Tha'labah berawal dari pandangan yang salah terhadap hartanya:
Frasa "وَتَوَلَّوا وَّهُم مُّعْرِضُونَ" (dan mereka berpaling, sedang mereka memang orang-orang yang enggan) memiliki dampak psikologis yang mendalam. Ini menunjukkan bahwa kikir itu adalah manifestasi lahiriah dari kemunafikan batin:
Tawallaw (Berpaling): Merujuk pada tindakan fisik menjauh dari Rasulullah dan Majelis agama. Dalam konteks Tha'labah, ia berpindah jauh dari Madinah. Secara simbolis, ini berarti menjauhkan diri dari syariat dan hukum Allah.
Mu’ridhun (Enggan/Menolak): Merujuk pada kondisi hati dan jiwa. Orang yang mu’ridh adalah orang yang secara fundamental tidak ingin menunaikan kewajiban, meskipun mulutnya pernah berjanji. Hati mereka telah mengeras, sehingga kekayaan menjadi penghalang, bukan sarana mendekatkan diri.
Para mufassir kontemporer menekankan bahwa mu’ridhun adalah puncak dari sifat munafik. Mereka yang berjanji di hadapan Allah (Ayat 75) namun kemudian mengingkari (Ayat 76) menunjukkan bahwa keimanan mereka bersifat transaksional dan temporer, hanya berlaku saat mereka belum mendapatkan keuntungan. Begitu mendapatkan karunia, motivasi iman mereka menghilang.
Ayat 77 (yang merupakan lanjutan langsung dari 76) menjelaskan konsekuensi abadi dari tindakan pengingkaran janji ini:
Terjemahan: "Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai hari mereka menemui-Nya, karena mereka telah melanggar janji yang telah mereka ikrarkan kepada Allah dan (juga) karena mereka selalu berdusta."
Ayat 76 dan 77 bersama-sama memberikan pelajaran yang amat menakutkan tentang hukuman yang sifatnya non-materi: hukuman spiritual yang mengikat hingga Hari Kiamat. Hukuman ini disebut Istidraj (penarikkan secara berangsur-angsur) atau penguncian hati (Taba'a).
Ini adalah akibat terberat dari mengingkari janji setelah diberi karunia. Allah tidak hanya menghukum dengan kemiskinan atau bencana, tetapi dengan mengunci hati mereka dalam kemunafikan.
Para ulama tafsir menekankan bahwa ketika seseorang mengambil karunia Allah dan menggunakannya untuk menentang perintah-Nya (seperti menahan Zakat), ia telah melakukan pengkhianatan yang mendalam, dan balasan yang setimpal adalah pengkhianatan iman dalam hatinya sendiri.
Jika Tha'labah berpaling secara fisik karena padang gembalaannya jauh, bagaimana aplikasi makna 'berpaling' (tawallaw dan mu'ridhun) di era modern?
Berpaling di era kontemporer dapat berbentuk:
Ayat 76 mengajarkan bahwa janji kepada Allah mencakup seluruh aspek kehidupan, dan ujian terbesar bagi keimanan adalah saat karunia telah datang. Ketika seseorang miskin, ia mudah meminta dan berjanji; ketika ia kaya, barulah sifat aslinya teruji.
Kisah ini mendidik umat Muslim mengenai konsep harta dalam Islam: harta adalah amanah dan ujian, bukan hak mutlak.
Ayat 76 adalah penegasan terhadap ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa harta dan anak-anak adalah ujian (fitnah). Ujian kekayaan seringkali lebih sulit dilewati daripada ujian kemiskinan.
Orang yang miskin biasanya hanya menghadapi godaan untuk berputus asa atau iri. Namun, orang yang kaya menghadapi godaan kesombongan, kezaliman, keserakahan, dan kekikiran. Kekayaan menuntut pengelolaan, tanggung jawab, dan kesadaran spiritual yang jauh lebih besar. Tha'labah gagal karena menganggap keberlimpahan sebagai kebebasan untuk menahan diri dari kewajiban, padahal itu seharusnya meningkatkan komitmennya.
Dalam konteks modern, ujian ini terlihat jelas dalam praktik korupsi dan penipuan. Seseorang yang menjabat atau memimpin proyek besar seringkali berjanji akan berlaku adil dan jujur. Namun, ketika karunia (kekuasaan dan uang) datang, mereka menahan hak rakyat (kikir dengan amanah) dan berpaling dari sumpah mereka, yang merupakan bentuk kontemporer dari bukhl dan tawallaw.
Ayat ini juga memberikan pelajaran tentang validitas janji. Tha'labah berjanji kepada Rasulullah SAW (yang berarti janji kepada Allah) dengan sumpah, namun hatinya mungkin tidak sepenuhnya siap untuk konsekuensinya.
Janji yang dibuat di saat terdesak atau miskin, harus ditepati di saat lapang. Jika seseorang berjanji, dan kemudian mengingkari, itu menunjukkan adanya dusta dalam janji tersebut (seperti yang dijelaskan dalam ayat 77: bimaa kaanuu yakdzibuun – karena mereka selalu berdusta). Dusta ini merusak fondasi iman seseorang, karena iman adalah tentang keselarasan antara perkataan, niat, dan perbuatan.
Kisah Tha'labah, meskipun mengandung hukuman spiritual, juga menghasilkan beberapa implikasi hukum dan etika yang relevan:
Mengapa Rasulullah SAW menolak harta Tha'labah setelah ia sadar dan membawanya? Para ulama menafsirkan bahwa penolakan Zakat ini bukan karena Zakatnya tidak sah secara materi, melainkan karena:
Hukuman Ilahi (Taqdir): Penolakan itu adalah manifestasi dari hukuman Allah yang disebutkan dalam ayat 77—penanaman kemunafikan. Maksudnya, hartanya telah terkontaminasi oleh niat yang busuk dan kekafiran nikmat sehingga tidak layak diterima sebagai sedekah suci. Ini berfungsi sebagai pelajaran dramatis bagi umat.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa ini adalah kasus khusus (khususiah) yang diturunkan untuk Tha'labah sebagai peringatan. Umumnya, jika seseorang menolak Zakat lalu bertaubat, Zakatnya diterima, tetapi taubat Tha'labah datang setelah Allah mengumumkan vonis spiritualnya melalui wahyu.
Ayat 76 membedakan antara bakhil yang sekadar menahan harta (dosa besar) dan ingkar janji yang diikuti penolakan kewajiban Zakat (kemunafikan/kekafiran nikmat). Kekikiran Tha'labah mencapai tingkat ingkar yang menyebabkan Allah menetapkan status kemunafikan abadi di hatinya. Ini memperingatkan bahwa kekikiran yang berakar dari keraguan terhadap hukum Allah dapat menjerumuskan pada kekafiran, bukan hanya dosa biasa.
Pelajaran dari At-Taubah 76 tidak terbatas pada kewajiban Zakat tradisional, tetapi meluas ke etika bisnis, janji profesional, dan filantropi modern.
Di dunia kerja, banyak janji diucapkan: janji kualitas, janji pelayanan, janji integritas (sumpah jabatan). Ayat ini mengingatkan bahwa janji profesional, apalagi yang membawa sumpah, adalah janji kepada Allah. Ketika seorang pebisnis berjanji memberikan layanan terbaik (misalnya dalam kontrak besar) dan setelah mendapatkan keuntungan (karunia), ia mulai memangkas kualitas, melakukan kecurangan, atau menahan hak-hak mitra/karyawan (bakhil), ia sedang mengulangi kesalahan Tha'labah.
Pengingkaran janji dalam bisnis yang didorong oleh keserakahan (kekikiran) akan menanamkan kemunafikan dalam etos kerja dan integritas moralnya, yang pada akhirnya merusak barakah dari karunia tersebut.
Banyak individu kaya di masa kini yang berkomitmen untuk filantropi (janji akan menyumbangkan sekian persen kekayaan). Ayat 76 memberikan peringatan keras: Jika komitmen filantropi tersebut diucapkan untuk mendapatkan pujian, status sosial, atau keuntungan pajak, dan kemudian mereka menahan atau mengurangi janji tersebut setelah mendapatkan reputasi (karunia), maka mereka terancam dengan vonis yang sama.
Kekayaan harus digunakan sebagai penguat iman. Semakin besar karunia yang diterima (min fadhlihi), semakin besar pula kewajiban dan komitmen spiritual untuk membaginya.
Surah At-Taubah ayat 76 adalah salah satu ayat yang paling kuat dalam Al-Qur'an mengenai bahaya pengingkaran janji, khususnya setelah menerima karunia. Ayat ini mengajarkan bahwa ujian terbesar bagi jiwa adalah kemakmuran, bukan kesulitan.
Jiwa manusia yang lemah cenderung lupa pada Sang Pemberi ketika ia tenggelam dalam pemberian. Kekayaan dan kenikmatan dunia seringkali menjadi hijab yang menjauhkan manusia dari kebenaran. Cerita Tha'labah menjadi cermin bahwa kedermawanan dan komitmen saat miskin tidak menjamin kesetiaan saat kaya.
Umat Islam diperintahkan untuk senantiasa mewaspadai kekikiran (bukhl), karena ia adalah pintu gerbang menuju kemunafikan. Setiap janji yang diucapkan, baik kepada Allah, Rasul, maupun sesama manusia, haruslah ditepati dengan niat yang tulus dan kesiapan untuk menanggung konsekuensinya. Sebab, mengingkari janji demi harta dunia, sama dengan menukar keabadian akhirat dengan kenikmatan fana, dan hasilnya adalah penanaman kemunafikan di dalam hati yang akan kekal hingga hari pertemuan dengan Allah SWT.
Oleh karena itu, setiap Muslim wajib introspeksi: Apakah kita telah memenuhi semua janji dan komitmen sosial-keagamaan kita setelah Allah melimpahkan rezeki-Nya? Atau apakah kita termasuk golongan yang "berpaling, sedang mereka memang orang-orang yang enggan?" Pilihan ini menentukan nasib spiritual kita di dunia dan di akhirat.
Peringatan ini adalah pengingat bahwa jalan menuju surga membutuhkan konsistensi (istiqamah) dan kedermawanan, terutama saat dunia menawarkan jebakan kekayaan yang melimpah.
Ayat 76 menggunakan gaya retorika yang kuat untuk mengecam tindakan mereka. Susunan kalimatnya tidak hanya menyatakan fakta tetapi juga mengungkapkan kekecewaan Ilahi terhadap pengkhianatan tersebut. Kata kerja yang digunakan memiliki nuansa yang mendalam.
Pemilihan kata 'fadhlihi' (karunia-Nya) sangat signifikan. Fadhl berarti kebaikan yang melebihi hak atau kewajiban. Ketika Allah menyebut bahwa Dia memberi harta min fadhlihi, itu menekankan bahwa mereka tidak berhak sepenuhnya atas karunia itu, melainkan itu adalah kemurahan hati murni dari Allah. Dengan demikian, ketika mereka menjadi kikir (bakhiluu bihi) terhadap karunia itu, tingkat pengingkarannya menjadi berlipat ganda. Mereka kikir terhadap kebaikan yang diberikan tanpa diminta, sekaligus menahan bagian yang memang sudah ditetapkan Allah bagi orang lain.
Konsekuensi dari kekikiran ini bukan hanya merugikan fakir miskin, tetapi merugikan diri sendiri karena menolak sumber barakah dari karunia itu sendiri. Jika kekayaan adalah fadhl, maka cara menjaganya adalah dengan mengeluarkan hak-hak Allah dari harta tersebut. Kegagalan melakukan hal ini menunjukkan buta spiritual terhadap sumber rezeki.
Ayat 77 menyebutkan dua alasan hukuman abadi: melanggar janji dan 'karena mereka selalu berdusta' (bimaa kaanuu yakdzibuun). Dusta ini merujuk pada:
Dalam ajaran Islam, kekikiran sering kali merupakan bentuk dusta kepada diri sendiri dan kepada Allah. Seseorang berdusta bahwa ia akan kehilangan kekayaannya jika memberi, padahal ia dijanjikan balasan yang berlipat ganda. Dusta ini mengakar kuat dalam hati yang sudah ditutupi oleh keserakahan dunia.
Ayat ini menawarkan peta jalan tentang bagaimana seorang mukmin bisa terjerumus ke dalam kemunafikan hanya karena hubungannya dengan harta. Prosesnya tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi bertahap:
Tahap pertama adalah ketika keinginan terhadap dunia (kekayaan) menjadi fokus utama. Meskipun meminta rezeki tidak dilarang, permintaan Tha'labah mengabaikan nasihat Rasulullah SAW, menunjukkan bahwa hasrat duniawinya melebihi kekhawatiran spiritualnya terhadap kemampuan bersyukur.
Setelah karunia (fadhl) datang, manusia lupa akan kondisi awalnya. Kekayaan membawa ilusi kekuatan dan kontrol diri. Tha'labah merasa mampu mengelola kekayaan yang sangat besar, namun realitasnya, kekayaan itu yang mengelola dan mengendalikan dirinya, membuatnya jauh dari shalat dan majelis ilmu.
Ini adalah titik balik moral. Kekikiran muncul bukan hanya karena sifat bawaan, tetapi karena persepsi harta telah berubah dari amanah menjadi hak mutlak. Ketika kewajiban datang (Zakat), hati menolaknya karena menganggapnya sebagai perampasan hak milik.
Setelah menolak kewajiban materi, langkah selanjutnya adalah menolak kewajiban spiritual. Penolakan Zakat (hukum praktis) diikuti oleh penolakan ajaran secara keseluruhan, yang diwakili oleh tindakan menjauh dari Madinah dan majelis Nabi.
Puncak dari rantai ini adalah hukuman spiritual di mana hati dikunci dalam kemunafikan. Kekikiran materi berujung pada kekikiran iman. Orang tersebut menjadi mu'ridhun (orang yang enggan) secara permanen. Ia tidak lagi memiliki kemampuan untuk menerima hidayah atau taubat yang tulus.
Struktur ayat ini mengajarkan umat bahwa menjaga keimanan saat kaya adalah sebuah jihad yang sangat berat, dan bahwa janji yang terucap di awal harus dipertahankan hingga akhir hayat.
Fenomena yang dialami Tha'labah sering dihubungkan dengan konsep Istidraj. Istidraj adalah pemberian kenikmatan duniawi oleh Allah kepada seseorang yang membangkang, secara bertahap, sehingga orang tersebut merasa bahwa ia berada di jalan yang benar, padahal ia sedang diseret menuju kehancuran.
Dalam konteks Ayat 76, Istidraj terlihat jelas:
Istidraj adalah ujian tersembunyi. Seseorang yang mengingkari janji dan kikir, namun hartanya terus bertambah, seharusnya merasa takut, bukan aman. Kenaikan harta setelah pelanggaran komitmen, seperti yang dialami Tha'labah, adalah tanda bahwa Allah mungkin telah menyerahkan urusannya kepada harta tersebut, mencabut barakah spiritualnya, dan membiarkannya tenggelam dalam kesibukan duniawi yang menjauhkan dari agama.
Oleh karena itu, keberhasilan materi harus selalu diimbangi dengan peningkatan ketaatan. Jika kekayaan menyebabkan jarak dengan shalat, Zakat, dan majelis ilmu, maka karunia itu telah berubah menjadi azab, sesuai dengan pelajaran yang disajikan oleh Surah At-Taubah ayat 76.
Pesan utama ayat ini adalah konsistensi dalam komitmen spiritual. Komitmen adalah hal yang menyelamatkan jiwa. Keberanian berjanji harus diiringi kesiapan menunaikannya, terlepas dari seberapa besar kekayaan yang telah Allah berikan. Kekayaan bukanlah akhir dari perjalanan iman, melainkan gerbang menuju ujian yang lebih besar. Bagi mereka yang kikir dan ingkar janji di gerbang tersebut, ancamannya adalah kekalahan spiritual abadi, yaitu penanaman kemunafikan di dalam hati.
Kisah Tha'labah bin Hathib, meskipun tragis, tetap menjadi mercusuar yang menerangi bahaya materialisme dan pengkhianatan janji, memastikan bahwa generasi demi generasi umat Islam memahami harga dari kesetiaan kepada Rabb semesta alam.
Akhir dari tafsir ini adalah seruan untuk merenungkan status janji kita kepada Allah: janji untuk mengabdi, janji untuk bersedekah, dan janji untuk menjadikan harta sebagai sarana menuju keridhaan-Nya. Janji yang dipenuhi akan menghasilkan kedamaian; janji yang diingkari, apalagi setelah karunia datang, akan menanamkan kemunafikan yang pahit dan abadi di dalam jiwa.