Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah yang mengungkap tabiat munafik dan menyerukan kejujuran serta pengorbanan sejati. Di antara sekian banyak ayat yang menggambarkan kontras antara mukmin sejati dan mereka yang bersembunyi di balik kata-kata, Ayat 81 berdiri tegak sebagai sebuah peringatan keras, sebuah teguran yang menusuk relung hati, dan perbandingan tajam antara penderitaan temporal di dunia dan azab abadi di akhirat.
Ayat ini diturunkan setelah selesainya Ekspedisi Tabuk, sebuah perjalanan militer yang penuh tantangan, yang menguji iman para sahabat Nabi Muhammad ﷺ di tengah musim panas yang membakar. Ayat ini mengupas tuntas psikologi mereka yang menolak berpartisipasi, bukan karena kelemahan fisik, melainkan karena kemalasan spiritual dan cinta yang berlebihan terhadap kenyamanan duniawi.
Terjemah harfiahnya: "Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) merasa gembira dengan kedudukan mereka tinggal di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: 'Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.' Katakanlah: 'Api neraka Jahanam itu lebih dahsyat panasnya,' sekiranya mereka mengetahui (memahami)."
Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita harus mengurai setiap frasa dan kata kunci yang dipilih oleh Allah SWT dengan ketelitian luar biasa. Pilihan kata dalam bahasa Arab di sini membawa beban makna psikologis dan teologis yang mendalam.
Kata فَرِحَ (Farịḥa) berarti bergembira atau bersukacita. Ini adalah kegembiraan yang tercela di konteks ini. Mereka tidak sekadar merasa lega, tetapi bergembira karena terhindar dari kesulitan. Ini menunjukkan kerusakan internal, di mana absennya dari kewajiban suci justru menjadi sumber kebahagiaan.
Kata الْمُخَلَّفُونَ (Al-Mukhallafūna) merujuk pada "mereka yang ditinggalkan" atau "mereka yang tertinggal." Dalam konteks ini, ada dua tafsiran: (a) mereka yang memang diizinkan tinggal karena alasan syar'i (tetapi ayat ini lebih merujuk pada yang munafik), atau (b) mereka yang sengaja mencari alasan untuk ditinggalkan. Di sini, maknanya adalah orang-orang munafik yang memilih bersembunyi di Madinah saat kaum Mukminin bergerak menuju Tabuk.
مَقْعَد (Maq'ad) berarti tempat duduk atau posisi diam. Mereka merasa puas dengan posisi pasif, posisi aman di balik tembok Madinah.
Frasa خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ (Khilāfa Rasūlillāhi) sangat penting. Khilāfa tidak hanya berarti 'di belakang', tetapi juga 'bertentangan dengan' atau 'berlawanan dengan' kehendak Rasulullah. Kegembiraan mereka adalah kegembiraan yang bertentangan langsung dengan semangat dan tuntutan kepemimpinan Nabi. Ini adalah pengkhianatan emosional dan spiritual.
كَرِهُوا (Karihū), membenci atau tidak suka. Ini bukan sekadar rasa malas, tetapi penolakan mendasar terhadap konsep perjuangan dan pengorbanan. Jihad adalah puncak pengabdian, namun bagi mereka, jihad adalah beban yang harus dihindari.
Mereka membenci berjihad dengan harta dan jiwa (bi-amwālihim wa anfusihim). Ini menunjukkan bahwa penghindaran mereka total, baik pengorbanan finansial maupun pengorbanan nyawa. Bagi mereka, harta dan diri lebih berharga daripada ridha Allah.
Ini adalah seruan provokatif. تَنْفِرُوا (Tanfirū) berarti berangkat dengan cepat dan semangat (mobilisasi). Mereka mencoba meredam semangat orang lain dengan alasan yang sangat duniawi: الْحَرِّ (Al-Ḥarr), panas yang mencekik.
Mereka menggunakan kondisi alam yang ekstrem (musim panas yang sangat terik dan jarak yang jauh menuju Tabuk) sebagai senjata untuk menanamkan keraguan dan ketakutan di hati kaum mukminin.
Ini adalah titik balik retoris dalam ayat. Allah memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memberikan jawaban tandingan yang mutlak. Perbandingan ini menegaskan bahwa setiap kesulitan dunia, betapapun parahnya (seperti panas terik padang pasir), adalah tidak berarti dibandingkan dengan azab abadi.
Panas yang mereka takuti (panas fisik Tabuk) hanya sementara dan terbatas, sedangkan panas yang mereka lupakan (panas Jahannam) bersifat abadi dan intensitasnya jauh melampaui imajinasi manusia.
Ayat ditutup dengan penyesalan ilahi. Mereka memiliki telinga dan mata, tetapi mereka tidak يَفْقَهُونَ (Yafqahūna), yang berarti pemahaman mendalam yang mencapai esensi masalah. Kerusakan mereka bukan hanya pada tindakan fisik (meninggalkan perang), tetapi pada kerusakan kognitif dan spiritual. Mereka gagal memahami skala prioritas antara fana dan baqa (dunia dan akhirat).
Gambar 1: Simbolisasi Kontras antara Panas Dunia (Matahari) dan Intensitas Panas Akhirat (Api Neraka).
Ayat 81 At-Taubah tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa meninjau Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), yaitu persiapan dan pelaksanaan Ghazwah Tabuk pada tahun ke-9 Hijriah.
Ekspedisi Tabuk dikenal sebagai "Jaysh al-'Usrah" (Pasukan Kesulitan) karena beberapa faktor yang mempersulit mobilisasi dan perjalanan:
Kondisi ini menjadi filter yang sempurna, memisahkan mukmin sejati yang siap berkorban dalam keadaan paling sulit, dengan mereka yang hanya mengaku beriman saat keadaan mudah.
Ayat 81 ini secara spesifik mengecam golongan kedua dan ketiga:
Inti dari celaan dalam At-Taubah 81 adalah psikologi kemalasan yang berubah menjadi kegembiraan atas ketidaktaatan. Peristiwa Tabuk memperlihatkan tiga ciri fundamental dari jiwa munafik:
Orang munafik tidak menimbang risiko dan pahala, melainkan menimbang kesulitan dan kenyamanan. Panas terik Tabuk (kesulitan fana) menjadi penghalang yang lebih besar daripada ancaman murka Allah (azab abadi).
Mereka membenci untuk berjihad. Rasa benci ini adalah titik kritis. Iman sejati menumbuhkan cinta terhadap pengorbanan di jalan Allah. Ketika seseorang membenci jalan yang mengarah kepada keridaan-Nya, itu adalah indikasi penyakit hati yang kronis. Mereka menganggap harta dan jiwa mereka terlalu berharga untuk dihabiskan bagi sesuatu yang tidak memberikan keuntungan materi instan.
Tidak cukup bagi mereka untuk tinggal di rumah; mereka juga menyebarkan racun keraguan: “Janganlah kamu berangkat dalam panas terik ini.” Mereka berperan sebagai agen pelemahan moral (murjifun) di masyarakat. Ini adalah ciri khas munafik: mereka tidak hanya gagal dalam ketaatan, tetapi juga berusaha menggagalkan ketaatan orang lain. Mereka ingin semua orang berada di level kemalasan yang sama untuk membenarkan tindakan mereka sendiri.
Jantung dari Ayat 81 terletak pada perbandingan yang diungkapkan oleh Allah SWT: “Api neraka Jahanam itu lebih dahsyat panasnya.” Ini adalah perbandingan yang bertujuan memutus semua alasan duniawi.
Ketika para munafik menggunakan alasan logis ("panas terik"), Allah membalas dengan logika yang lebih tinggi dan tak terbantahkan. Ketakutan mereka terhadap panas adalah sah secara fisik, tetapi tidak sah secara spiritual.
Tafsir klasik menyebutkan bahwa panas dunia, sekuat apa pun, hanyalah sebagian kecil dari panas api neraka. Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa api dunia ini telah didinginkan puluhan kali lipat sebelum sampai ke manusia, dan meskipun demikian, ia masih mampu menghancurkan.
Perbandingan ini mengajarkan prinsip dasar Fiqh al-Awlawiyyat (fikih prioritas): menghindari kesulitan kecil (panas Tabuk) yang berpotensi mendatangkan pahala besar, demi menghadapi kesulitan yang tak terhingga dan azab abadi, adalah kebodohan paling hakiki.
Ayat ini berfungsi sebagai deskripsi puitis dan teologis tentang neraka. Panas neraka bukan hanya masalah suhu, tetapi masalah azab yang mencakup segala bentuk penderitaan, yang tidak ada jedanya, dan menembus ke inti jiwa.
Dengan mengatakan neraka lebih panas, Allah mengingatkan bahwa penderitaan yang timbul akibat ketaatan (misalnya, berjuang dalam kondisi sulit) adalah harga kecil untuk menyelamatkan diri dari azab yang tidak tertahankan.
Penutup ayat, لَوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ (sekiranya mereka mengetahui/memahami), adalah tuduhan paling berat. Mereka tidak hanya berdosa, tetapi juga bodoh secara spiritual. Mereka gagal memahami konsekuensi tindakan mereka.
Pemahaman (fiqh) di sini melampaui pengetahuan (ilmu). Fiqh adalah kemampuan untuk menarik kesimpulan, membandingkan risiko, dan menginternalisasi kebenaran. Orang munafik memiliki ilmu (mereka tahu Nabi berangkat, mereka tahu ada panas), tetapi mereka tidak memiliki fiqh (pemahaman yang menggerakkan jiwa untuk bertindak).
Walaupun ayat ini ditujukan pada peristiwa Tabuk, pelajarannya bersifat universal dan abadi. Ayat 81 memberikan parameter untuk mengukur keimanan dalam kehidupan sehari-hari, jauh melampaui konteks peperangan fisik.
Jihad dalam konteks modern dapat berupa perjuangan menahan diri dari godaan maksiat, berkorban waktu dan harta untuk dakwah, atau menanggung kesulitan dalam mencari rezeki yang halal.
Ayat 81 mengajukan pertanyaan kepada umat Islam hari ini: Apa "panas terik" yang kita hindari?
Setiap kali seseorang memilih kenyamanan sesaat di atas ketaatan yang membutuhkan usaha, ia menunjukkan sikap yang menyerupai 'Mukhallafun' di Tabuk. Mereka lebih memilih kursi yang dingin di rumah daripada menanggung panasnya perjuangan.
Sikap munafik tidak hanya terletak pada kemalasan diri sendiri, tetapi juga pada upaya menghalangi orang lain. Dalam konteks dakwah dan kebaikan, orang munafik kontemporer adalah mereka yang menyebarkan keraguan, mencibir perjuangan orang lain, atau berbisik, "Mengapa harus sesulit itu? Santai saja."
Ayat ini mengajarkan kewajiban untuk melawan narasi negatif yang berusaha meremehkan amal saleh dan melebih-lebihkan kesulitan di jalan kebenaran.
Allah menggunakan ketakutan akan neraka sebagai motivasi kuat. Meskipun Islam menganjurkan ibadah karena cinta (mahabbah), dalam menghadapi kemalasan yang kronis, ancaman (tarhib) menjadi alat efektif untuk menyadarkan jiwa yang terlena. Ayat ini mengingatkan kita bahwa keselamatan diri dari api abadi adalah prioritas tertinggi yang harus mengalahkan setiap kenyamanan fisik.
Kajian mendalam terhadap Ayat 81 membuka wawasan tentang pentingnya loyalitas dan konsekuensi dari pengabaian perintah ilahi.
Frasa خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ (Khilāfa Rasūlillāhi) menyoroti bahwa tindakan mereka bukan hanya melawan perintah, tetapi juga melawan posisi dan martabat Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin yang diutus. Mengabaikan perintah pemimpin yang sah dalam jihad (atau dalam urusan agama) adalah pelanggaran serius terhadap hierarki ketaatan yang ditetapkan oleh syariat (Allah, Rasul, Ulil Amri).
Ayat ini secara eksplisit menyebut jihad dengan harta (amwāl) dan jiwa (anfus). Ini menekankan bahwa jihad adalah totalitas pengorbanan. Orang munafik gagal di kedua aspek; mereka pelit dengan uang mereka, dan mereka pelit dengan nyawa dan tenaga mereka.
Kecintaan berlebihan terhadap harta dan jiwa menjadi tirai yang menghalangi mereka melihat kebenaran abadi, dan ayat ini mengutuk sifat kikir spiritual ini secara menyeluruh.
Mengapa Allah sangat mencela kegembiraan mereka? Karena kegembiraan itu menunjukkan kepuasan mereka pada keadaan dosa. Jika mereka merasa menyesal atau malu, ada harapan untuk taubat. Namun, kegembiraan ini adalah bukti bahwa mereka menganggap ketaatan sebagai kesusahan dan dosa sebagai keberhasilan. Ini adalah indikasi pembekuan hati (qaswatul qalb).
Pengulangan dan penegasan terhadap inti pesan Ayat 81 sangat penting bagi pembentukan karakter seorang mukmin. Kita perlu terus-menerus merenungkan perbandingan antara panas dunia dan panas akhirat untuk menumbuhkan ketahanan spiritual.
Orang munafik memiliki semacam fobia terhadap jihad dan pengorbanan. Mereka melihat kesulitan sebagai hukuman, bukan sebagai sarana pensucian dan peningkatan derajat. Mukmin sejati, sebaliknya, menyambut kesulitan dalam ketaatan sebagai kesempatan emas untuk meraih kedekatan dengan Allah.
Ketika kita dihadapkan pada pilihan sulit—misalnya, meninggalkan lingkungan yang nyaman namun fasik demi lingkungan yang sulit namun Islami—perenungan ayat ini harus menjadi pemandu. Panasnya penyesuaian sosial atau kesulitan finansial yang sementara jauh lebih ringan daripada panas api yang abadi.
Kelemahan terbesar mereka yang dicela dalam ayat ini adalah kegagalan يَفْقَهُونَ (memahami). Bagaimana cara kita menguatkan fiqh ini?
Pemahaman yang benar tentang neraka tidak membuat kita putus asa, melainkan memberikan perspektif yang sehat tentang urgensi tindakan di dunia. Jika kita tahu betapa mengerikannya panas neraka, maka setiap detik di dunia ini akan digunakan untuk meraih bekal yang paling optimal.
At-Taubah 81 adalah mercusuar yang memandu umat dari kegelapan kemalasan menuju cahaya pengorbanan. Ia bukan hanya kisah sejarah tentang Tabuk, tetapi sebuah cetak biru universal yang menggambarkan pertarungan abadi antara jiwa yang ingin meraih surga dan hawa nafsu yang ingin berdiam diri di bumi.
Ketika seruan ketaatan datang, seringkali ia datang bersama "panas terik": panasnya celaan sosial, panasnya kelelahan fisik, atau panasnya kehilangan harta. Orang munafik memilih mundur sambil bergembira atas "keselamatan" mereka dari kesulitan tersebut. Mereka lupa bahwa kenyamanan yang mereka beli dengan pengabaian perintah ilahi adalah tiket menuju penderitaan yang tak bertepi.
Seorang mukmin sejati merangkul kesulitan dalam ketaatan. Ia menyadari bahwa panasnya padang pasir Tabuk, atau panasnya perjuangan dalam hidup, adalah suhu yang sementara. Ia mengerti bahwa jika ia mampu menanggung panas yang fana ini demi ridha Allah, ia akan diselamatkan dari Panas yang tak terlukiskan, Panas yang abadi. لو كانوا يفقهون—Sekiranya mereka memiliki pemahaman yang murni.
Inilah yang membedakan iman sejati. Iman adalah kesediaan untuk membayar harga terberat di dunia demi menghindari harga yang paling mahal di akhirat. Ayat 81 At-Taubah akan terus bergema sepanjang masa, menantang setiap hati untuk memilih antara kenyamanan sesaat dan keselamatan abadi. Pilihan ada di tangan kita, dan konsekuensinya, seperti yang ditegaskan Allah, jauh lebih panas dari yang dapat kita bayangkan.
Pesan sentral dari ayat ini harus diulang dan direnungkan berkali-kali: ketaatan sering kali melibatkan ketidaknyamanan, tetapi ketidaknyamanan tersebut adalah investasi terbaik. Keengganan untuk berjuang, baik dengan harta maupun jiwa, adalah ciri pengkhianatan spiritual. Ketika godaan untuk mencari dalih muncul, mukmin harus segera mengingat perbandingan yang tegas dari Rabbul 'Alamin: “Api neraka Jahanam itu lebih dahsyat panasnya.”
Kegagalan memahami esensi ini adalah kegagalan fiqh yang mendasar. Kita dituntut untuk tidak hanya mengetahui hukum, tetapi untuk menghayati hierarki nilai, menempatkan kepatuhan kepada Rasulullah ﷺ di atas segala kesenangan pribadi. Setiap penolakan untuk berpartisipasi dalam kebaikan yang sulit, setiap upaya untuk menarik orang lain ke dalam kemalasan, adalah warisan perilaku yang dicela dalam At-Taubah 81.
Kegembiraan para mukhallafūn bukanlah kegembiraan yang wajar karena menghindari bahaya, melainkan kegembiraan patologis. Ini menunjukkan bahwa hati mereka telah condong sepenuhnya kepada dunia. Para ulama tafsir menekankan bahwa kegembiraan ini setara dengan menganggap sunnah Nabi ﷺ sebagai beban. Jika mereka merasa terbebani oleh sunnah, maka hati mereka berada dalam bahaya kemunafikan yang akut. Sebaliknya, seorang mukmin sejati harus merasa sedih dan menyesal apabila melewatkan peluang untuk beramal saleh, terutama di saat-saat kritis yang menuntut pengorbanan besar.
Ayat ini adalah cermin yang memantulkan kondisi spiritual kita. Apakah kita bergembira ketika kita berhasil menghindari kewajiban (karena kemalasan), ataukah kita merasa gelisah dan merindukan kesempatan untuk berkorban dan bersusah payah demi meninggikan Kalimatullah? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan posisi kita di hadapan ancaman nāru Jahannama.
Kekuatan ayat ini adalah dalam simplisitas dan ketegasannya. Tidak ada ruang abu-abu. Baik kita memilih menahan panasnya jihad di dunia, atau menanggung panasnya Jahannam di akhirat. Panas terik Tabuk hanyalah metafora untuk setiap perjuangan yang menuntut kita meninggalkan zona nyaman. Dan bagi orang-orang yang berakal, pilihan itu sudah jelas, sejelas perbedaan antara pasir gurun yang sementara dan api abadi yang menanti mereka yang enggan memahami konsekuensi dari pilihan mereka.
Maka, kita memohon kepada Allah agar menganugerahkan kita pemahaman (fiqh) yang mendalam, kesanggupan untuk mencintai pengorbanan, dan keteguhan hati agar tidak pernah termasuk di antara al-mukhallafūn yang bergembira atas kemalasan mereka, dan yang meremehkan panasnya perjuangan demi menghindari panas yang jauh lebih dahsyat dan abadi.
Penghayatan mendalam terhadap Surah At-Taubah Ayat 81 merupakan investasi spiritual yang tak ternilai. Ayat ini mewajibkan introspeksi terus-menerus: Apakah kita sedang mengutamakan kenyamanan fisik daripada keselamatan spiritual? Apakah kita termasuk yang membenci jihad dan pengorbanan? Dan yang terpenting, apakah kita telah memiliki fiqh yang cukup untuk memahami bahwa harga ketaatan di dunia adalah sangat murah dibandingkan harga kemaksiatan di akhirat?
Semua kesulitan yang kita hadapi dalam menjalankan syariat — puasa di hari yang panjang, shalat malam saat mata mengantuk, infak saat harta terbatas, atau bertahan dalam kebenaran saat dikucilkan — adalah bentuk-bentuk "panas terik" yang menguji kejujuran iman. Mereka yang lulus ujian ini akan menemukan bahwa ketaatan yang berat di dunia adalah sumber kesejukan abadi di Surga, sementara mereka yang gagal akan dihadapkan pada realitas azab yang dijanjikan.
Perlu ditekankan lagi bahwa kerelaan untuk berkorban adalah indikator kesalehan tertinggi. Ayat ini memberikan deskripsi yang jelas tentang betapa berbahayanya cinta dunia yang melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecintaan berlebihan terhadap diri, harta, dan kenyamanan adalah akar dari kemunafikan. Hati yang sehat adalah hati yang tergetar dan bersedih apabila melewatkan kesempatan berkorban di jalan Allah, bukan hati yang bersukacita karena berhasil menghindarinya.
Ayat 81 adalah filter ilahi, yang memisahkan biji gandum dari sekam. Umat Islam diperintahkan untuk menjadi pribadi yang proaktif, yang menyambut seruan jihad (perjuangan) dengan penuh semangat, bahkan ketika kondisi tampak paling tidak menguntungkan. Keberangkatan menuju Tabuk di tengah panas, haus, dan musim panen adalah simbol ketidakberatan hati mukmin sejati untuk meninggalkan segala kesenangan fana demi keabadian.
Semoga Allah melindungi kita dari jiwa yang puas dalam kemalasan dan menganugerahkan kita keberanian untuk menghadapi "panas terik" dunia demi mencapai rida-Nya.