Pengantar ke Surah At-Taubah dan Konteks Ujian
Surah At-Taubah, atau dikenal juga sebagai Bara'ah, memegang posisi yang unik dalam Al-Qur'an. Ia merupakan surah terakhir yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ secara keseluruhan, kecuali beberapa ayat terakhir, dan menjadi surah yang sangat fokus pada pembersihan barisan umat Islam dari elemen-elemen yang merusak, khususnya kaum Munafik.
Salah satu ujian terbesar yang dihadapi komunitas Muslim di masa awal adalah Perang Tabuk (Ghazwah Tabuk), yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriah. Perang ini bukan sekadar konflik militer biasa; ia adalah ujian lakmus yang memisahkan antara mukmin sejati yang memiliki integritas dan kesungguhan hati, dengan mereka yang hanya berpura-pura beriman, yakni kaum Munafik. Ujian ini datang pada masa yang sangat sulit: musim panas yang menyengat, jarak perjalanan yang jauh menuju perbatasan Romawi, dan kebutuhan finansial yang mendesak. Kondisi-kondisi inilah yang menjadi latar belakang utama turunnya banyak ayat dalam Surah At-Taubah, termasuk ayat yang menjadi fokus kajian kita, yaitu Ayat 90.
Ayat ini secara eksplisit membahas kelompok-kelompok yang datang kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta izin agar dikecualikan dari kewajiban berangkat ke medan jihad. Perintah berjihad dalam kondisi sulit ini menuntut pengorbanan yang maksimal, baik harta maupun jiwa. Bagi mereka yang tulus, kesulitan hanyalah rintangan yang harus dilalui demi ketaatan. Namun, bagi kaum yang hatinya diliputi keraguan dan kepalsuan—kaum Munafik—kesulitan ini menjadi alasan sempurna untuk menampakkan kemunafikan mereka.
Teks Ayat 90 Surah At-Taubah
Ayat 90 Surah At-Taubah mengungkapkan reaksi dari kaum yang mengajukan berbagai dalih untuk menghindari kewajiban. Ayat ini membagi mereka menjadi dua kategori besar berdasarkan motif di balik permintaan pengecualian tersebut.
(Wa jā'al-mu'adhdhirūna minal-a'rābi liyu'dhana lahum wa qa'ada-lladhīna kadhabu-llāha wa rasūlahū sayuṣību-lladhīna kafarū minhum 'adhābun alīm)
“Dan datanglah orang-orang yang mengemukakan uzurnya di antara orang-orang Arab Badui agar diberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi ke medan perang), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya duduk (tinggal di rumah). Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 90)
Ilustrasi simbolis niat dan keikhlasan dalam menghadapi ujian.
Konteks Historis: Ujian Berat Ghazwah Tabuk
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Ayat 90, kita harus menengok kembali kondisi spesifik Perang Tabuk. Ini bukan sekadar penyerangan; ini adalah ekspedisi defensif yang sangat dipersiapkan untuk menghadapi ancaman terbesar saat itu, Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium). Tantangan yang dihadapi umat Islam saat itu bersifat multidimensi:
1. Geografis dan Iklim
Perjalanan dari Madinah ke Tabuk adalah perjalanan yang sangat jauh, diperkirakan memakan waktu berbulan-bulan bolak-balik. Waktunya bertepatan dengan musim panas yang ekstrem. Panas terik membuat perjalanan sangat melelahkan, air langka, dan hasil panen kurma—sumber utama makanan dan pendapatan masyarakat Madinah—baru saja siap dipanen. Ini menimbulkan godaan besar bagi mereka yang lemah iman untuk memilih kenyamanan duniawi daripada kewajiban spiritual.
Para ahli sejarah Islam, seperti Ibnu Ishaq, mencatat bahwa kondisi saat itu adalah puncak dari kesulitan. Panasnya udara membakar kulit, persediaan makanan sangat minim, dan unta yang digunakan untuk perjalanan pun tidak dalam kondisi terbaik. Setiap langkah menuju Tabuk adalah demonstrasi fisik dari iman yang mendalam. Mereka yang memilih tinggal, seringkali beralasan bahwa mereka tidak tahan panasnya cuaca, sebuah alasan yang kemudian diabadikan dan dibantah keras oleh Allah dalam ayat lain (At-Taubah: 81): "mereka berkata: 'Janganlah kamu berangkat dalam panas terik ini.' Katakanlah: 'Api neraka lebih panas apinya.'"
2. Ekonomi dan Kebutuhan
Jihad Tabuk dikenal sebagai 'Jihad Kesulitan' (Jaisyul Usrah) karena kebutuhan akan sumber daya sangat besar. Tidak semua Muslim memiliki bekal yang cukup. Ayat-ayat sebelumnya mencatat bagaimana kaum mukmin yang tulus berkorban sekuat tenaga, sementara kaum Munafik enggan mengeluarkan harta mereka. Ayat 90 datang setelah fase pengumpulan donasi dan persiapan, di mana terlihat jelas siapa yang berkorban dan siapa yang menahan diri.
Kaum Munafik melihat pengorbanan harta dan waktu ini sebagai kerugian murni. Mereka berdalih bahwa jika mereka pergi, mereka akan meninggalkan keluarga tanpa bekal, atau mereka akan kehilangan hasil panen yang sudah dinanti-nantikan. Mereka memprioritaskan kekayaan sesaat daripada pahala abadi. Dalam pandangan mereka yang sempit, risiko melawan Romawi terlalu besar, sementara manfaatnya (kemenangan yang dijanjikan) terasa abstrak.
Analisis Tafsir Mendalam Ayat 90
Ayat 90 secara lugas membagi para pembangkang Tabuk menjadi dua kelompok utama, yang membedakan niat dan perlakuan Rasulullah ﷺ terhadap mereka:
Kelompok Pertama: Al-Mu'adhdhirūn (Orang-orang yang Mengemukakan Uzur)
Ayat dimulai dengan: "Wa jā'al-mu'adhdhirūna minal-a'rābi liyu'dhana lahum..." (Dan datanglah orang-orang yang mengemukakan uzurnya di antara orang-orang Arab Badui agar diberi izin kepada mereka...).
Identitas Al-A'rāb dan Uzur Mereka
Istilah Al-A'rāb merujuk pada Arab Badui yang tinggal di sekitar Madinah. Dalam konteks Al-Qur'an, seringkali kelompok ini digambarkan sebagai kelompok yang imannya masih rapuh, seringkali lebih keras hati, dan lambat dalam memahami hukum-hukum agama dibandingkan dengan penduduk kota (Al-Hadhari). Kekuatan iman mereka fluktuatif, dipengaruhi langsung oleh kondisi materi.
Tafsir mengenai Al-Mu'adhdhirūn (yang mengemukakan uzur) memiliki dua penafsiran utama yang harus dicermati untuk mencapai pemahaman 5000 kata yang mendalam:
Penafsiran 1: Uzur yang Sah (Uzur yang Diterima)
Menurut sebagian mufassir, seperti yang dijelaskan dalam Tafsir Al-Qurtubi dan At-Tabari, kelompok ini mencakup mereka yang mengajukan uzur yang *sebenarnya* dan diterima oleh Rasulullah ﷺ. Ini adalah pengecualian yang diizinkan syariat, seperti sakit, tidak punya bekal, atau kesulitan lain yang benar-benar menghalangi mereka untuk berpartisipasi. Kelompok ini disebut ‘uzur yang benar’ (mu'adhdhirūn bi al-haqq). Mereka datang untuk meminta izin dengan harapan bahwa ketidakhadiran mereka dapat dimaafkan karena keadaan darurat yang tidak bisa dihindari.
Dalam konteks ini, Rasulullah ﷺ memberikan izin kepada mereka yang uzurnya benar berdasarkan prinsip kemanusiaan dan syariat. Misalnya, orang tua yang sangat lemah, atau mereka yang tidak memiliki kendaraan sama sekali. Ini menunjukkan keadilan Islam: kewajiban hanya berlaku sejauh kemampuan hamba.
Penafsiran 2: Uzur yang Palsu (Munafik yang Masih Berdalih)
Sebagian besar mufassir, termasuk Ibnu Katsir, cenderung menafsirkan *Al-Mu'adhdhirūn* sebagai kelompok Munafik dari Badui yang datang dengan alasan palsu, tetapi mereka masih berusaha menyembunyikan niat buruk mereka di balik dalih yang dibuat-buat. Mereka datang dengan wajah memohon izin, berbeda dengan kelompok kedua yang bahkan tidak repot-repot meminta izin.
Kelompok ini menunjukkan tingkatan kemunafikan yang sedikit lebih 'hati-hati'. Mereka takut menghadapi konsekuensi langsung dari penolakan terang-terangan, sehingga mereka mencoba mengelabui Rasulullah ﷺ dengan alasan seperti kebutuhan mendesak untuk menjaga ternak, atau ketakutan akan fitnah (godaan) wanita Romawi yang akan mereka temui jika pergi ke utara (seperti yang dilakukan oleh Jad bin Qais dalam riwayat lain). Meskipun alasan mereka palsu, mereka masih berusaha menaati formalitas meminta izin. Rasulullah ﷺ, sebagai manifestasi rahmat Allah, terkadang memberikan izin kepada mereka, menyerahkan urusan niat mereka kepada Allah.
Kelompok Kedua: Al-Ladhīna Kadhabu (Orang-orang yang Mendustakan Allah dan Rasul-Nya)
Ayat berlanjut dengan: "...wa qa'ada-lladhīna kadhabu-llāha wa rasūlahū..." (sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya duduk [tinggal di rumah]).
Pembedaan yang Tegas
Kelompok ini adalah inti dari kemunafikan yang disingkap oleh Surah At-Taubah. Mereka tidak datang untuk meminta izin. Mereka berdiam diri di rumah, menunjukkan penolakan dan pembangkangan total. Mereka adalah kaum Munafik sejati di Madinah dan sekitarnya yang merasa cukup kuat untuk mengabaikan perintah jihad secara terang-terangan.
Frasa "kadhabu-llāha wa rasūlahū" (yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya) menegaskan bahwa tindakan mereka bukanlah sekadar kelalaian, melainkan penolakan fundamental terhadap kebenaran wahyu dan kenabian. Meskipun secara lisan mereka mengaku Muslim (syahadat), tindakan mereka saat menghadapi ujian menunjukkan bahwa keyakinan mereka adalah dusta belaka.
Perbedaan utama antara Kelompok Pertama (versi Uzur Palsu) dan Kelompok Kedua terletak pada tindakan. Kelompok pertama masih menjaga penampilan dengan datang meminta izin; Kelompok kedua menunjukkan kesombongan dan pembangkangan tanpa malu. Mereka bahkan menyebarkan keraguan dan melemahkan moral di antara para Sahabat yang tulus.
Penutup Ayat: Peringatan Azab yang Pedih
Ayat ditutup dengan ancaman yang keras: "sayuṣību-lladhīna kafarū minhum 'adhābun alīm" (Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih).
Ancaman ini ditujukan kepada "alladhīna kafarū minhum" (orang-orang yang kafir di antara mereka). Kata 'di antara mereka' menggarisbawahi bahwa meskipun mereka berada di tengah komunitas Muslim, status internal mereka adalah kafir, karena kemunafikan hakiki (nifaq i'tiqadi) adalah kekafiran yang tersembunyi. Azab yang pedih ('adhābun alīm) tidak hanya merujuk pada hukuman akhirat, tetapi juga dapat mencakup aib, kerugian, dan hukuman duniawi yang menimpa mereka akibat pengkhianatan ini, meskipun hukuman terbesar pasti menanti di hari Kiamat.
Implikasi Teologis dan Hukum (Fiqih)
1. Pentingnya Niat (Niyat) dalam Hukum Islam
Ayat 90 berfungsi sebagai fondasi teologis yang menegaskan bahwa Allah menghakimi berdasarkan niat, bukan hanya penampilan lahiriah. Rasulullah ﷺ, meskipun mengetahui beberapa alasan yang diajukan adalah palsu (karena wahyu memberitahunya), seringkali menerima uzur tersebut secara lahiriah, sesuai dengan prinsip bahwa kita diperintahkan untuk menghakimi manusia berdasarkan apa yang tampak dari mereka, sementara Allah yang menghakimi apa yang tersembunyi di dalam hati.
Namun, dalam kasus ini, Al-Qur'an datang untuk mengungkapkan niat sejati mereka kepada seluruh umat. Ini menunjukkan bahwa meskipun manusia mungkin menerima uzur, Allah Maha Mengetahui tipu daya di balik dalih-dalih tersebut. Ayat ini membedakan antara tiga jenis orang dalam menghadapi kewajiban agama:
- Mukmin Sejati: Berangkat tanpa dalih, berkorban.
- Orang Sakit/Lemah: Mengajukan uzur yang sah (dimaafkan).
- Munafik: Mengajukan uzur palsu atau menolak total (dihukum).
Pembedaan ini menjadi landasan fiqih (hukum Islam) dalam masalah keringanan (rukhsah). Keringanan hanya sah jika didasarkan pada kesulitan nyata yang diakui syariat, bukan pada kemalasan atau ketakutan akan pengorbanan.
2. Tipologi Kemunafikan (Nifaq I'tiqadi)
Ayat ini adalah salah satu bukti paling kuat mengenai eksistensi Nifaq I'tiqadi (kemunafikan dalam keyakinan), yaitu seseorang yang menampakkan keislaman namun menyembunyikan kekafiran di dalam hatinya. Tindakan mereka menolak perintah Allah yang jelas dan mendustakan Rasul-Nya adalah manifestasi dari kekafiran internal tersebut.
Dalam situasi yang menuntut pengorbanan besar, seperti Tabuk, kedok Munafik akan selalu terbuka. Kesulitan menjadi saringan alami. Ketika umat memerlukan dukungan paling besar (harta dan tenaga), justru saat itulah Munafik menarik diri, menunjukkan bahwa janji Allah dan Rasul-Nya tidak memiliki nilai nyata bagi mereka.
Jika kita memperluas cakupan pembahasan ini, kita menemukan bahwa ayat 90 tidak hanya berbicara tentang perang fisik, tetapi juga perang spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Berapa banyak Muslim hari ini yang memberikan "uzur" yang remeh untuk menghindari shalat berjamaah, zakat, atau menegakkan kebenaran? Setiap uzur yang diajukan untuk menghindari ketaatan harus dipertimbangkan di bawah cahaya ayat ini: apakah itu uzur yang sah, ataukah itu dalih untuk menyembunyikan kurangnya kesungguhan iman?
3. Konsep 'Uzur' dalam Syariat Islam
Dalam ilmu Fiqih, konsep uzur sangat penting. Ayat 90 mengajarkan kita bahwa uzur sejati adalah yang membebaskan seseorang dari hukuman dunia dan akhirat. Contoh uzur sejati meliputi:
- Sakit parah yang menghalangi pergerakan.
- Keterbatasan finansial ekstrem (tidak memiliki bekal atau transportasi).
- Ketakutan yang dapat dibenarkan atas nyawa atau keselamatan yang ekstrem.
Namun, uzur yang diajukan oleh kaum Munafik di Tabuk adalah uzur yang didasarkan pada kecintaan duniawi: takut panas, takut kehilangan panen, takut pada musuh. Uzur semacam ini ditolak secara spiritual, meskipun Rasulullah ﷺ mungkin menerimanya secara lahiriah demi menjaga keharmonisan internal masyarakat (kecuali jika wahyu memerintahkan sebaliknya).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menekankan bahwa orang yang ikhlas akan mencari cara untuk mengatasi uzurnya, sementara orang yang munafik akan mencari-cari uzur untuk menghindari tugas. Ayat 90 menjadi peringatan abadi bagi umat Islam untuk senantiasa mengoreksi niat mereka sebelum mengajukan dalih apa pun kepada Tuhan atau kepada sesama Muslim.
Pelajaran Abadi dari Ayat 90 dan Pembeda Keikhlasan
Meskipun konteks spesifik Ayat 90 adalah Ghazwah Tabuk, prinsip yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman. Umat Islam dihadapkan pada "Tabuk" mereka sendiri dalam berbagai bentuk: ujian dalam menjaga ketaatan di tengah godaan modern, perjuangan menegakkan kebenaran di tengah fitnah, dan pengorbanan harta untuk kepentingan umat.
Pentingnya Pengujian (Imtihan)
Ayat 90 menekankan bahwa Allah secara berkala akan mendatangkan ujian (imtihan) yang berfungsi sebagai saringan. Ujian ini dirancang untuk memisahkan barisan, sehingga kaum mukmin sejati dapat dikenal dan kaum munafik dapat disingkap tanpa keraguan. Allah tidak membiarkan kebeniran bercampur aduk dengan kepalsuan selamanya.
Proses pembersihan ini sangat vital bagi kesehatan spiritual umat. Ketika Munafik berhasil bersembunyi di tengah barisan, mereka menjadi parasit yang melemahkan semangat dan menyebarkan keraguan. Tabuk, melalui ayat-ayat seperti At-Taubah 90, memaksa Munafik untuk mengambil sikap yang akhirnya membuka kedok mereka. Dengan demikian, ayat ini adalah anugerah, karena ia membersihkan barisan Muslim dari elemen-elemen yang berpotensi menghancurkan dari dalam.
Perbandingan Sikap Mukmin dan Munafik
Perbedaan antara Mukmin dan Munafik dalam menghadapi kewajiban terletak pada reaksi mereka terhadap kesulitan. Mari kita elaborasi lebih lanjut mengenai perbedaan sikap yang terungkap dalam ayat ini:
Sikap Munafik (Dusta):
- Mencari Alasan Duniawi: Dalih mereka selalu terikat pada kenyamanan fisik atau kerugian materi (panas, panen, jarak). Mereka tidak pernah menggunakan alasan spiritual.
- Mengabaikan Formalitas: Kelompok kedua bahkan tidak menghormati formalitas meminta izin, menunjukkan kesombongan dan penolakan terang-terangan terhadap otoritas Nabi ﷺ.
- Ketakutan Ekstrem: Mereka terperangkap oleh ketakutan yang berlebihan terhadap musuh, melupakan bahwa pertolongan datang dari Allah.
Sikap Mukmin Sejati (Sadiq):
- Mengutamakan Ketaatan: Mereka menganggap kesulitan sebagai bagian dari jalan menuju surga dan menganggap pengorbanan duniawi sebagai investasi akhirat.
- Berusaha Keras: Mereka yang memiliki uzur (seperti kaum dhu'afa yang tidak memiliki kendaraan) menangis karena tidak bisa ikut, menunjukkan kesedihan mendalam karena terhalang dari pahala, bukan karena senang terhindar dari kesulitan.
- Kepatuhan kepada Pemimpin: Mereka yang terpaksa tinggal di rumah akan tetap mendukung misi dengan harta atau doa, dan menerima otoritas Rasulullah ﷺ dengan sepenuh hati.
Azab yang Menanti
Ancaman azab yang pedih (‘adhābun alīm) menjadi penekanan puncak dalam ayat ini. Ini bukan sekadar teguran, melainkan vonis teologis. Mengapa azab mereka pedih? Karena kemunafikan adalah dosa ganda. Ia adalah kekafiran yang disertai dengan pengkhianatan dan penipuan terhadap komunitas. Allah menegaskan bahwa mereka yang menipu Allah dan Rasul-Nya berada dalam tingkatan kekafiran yang paling rendah dan azab mereka akan disesuaikan dengan beratnya pengkhianatan tersebut.
Tafsir mengenai azab ini meliputi: aib di dunia (terbongkarnya identitas mereka di depan umum), kerugian spiritual, dan tempat terendah di neraka (Asfal As-Safilin). Ayat 90 menutup pintu harapan bagi mereka yang dengan sengaja memilih dusta dan penolakan di tengah panggilan kebenaran.
Mengaplikasikan Prinsip Ayat 90 dalam Kehidupan Modern
Bagaimana ayat ini berdialog dengan kehidupan kita saat ini? Konteks perang fisik mungkin jarang, tetapi perang ideologi, moralitas, dan perang melawan hawa nafsu adalah perang yang berkelanjutan.
1. Jihad Al-Nafs (Jihad Melawan Diri Sendiri)
Kewajiban paling dasar yang sering kita hindari adalah memerangi kemalasan diri. Setiap kali azan berkumandang, setiap kali kita menghadapi godaan untuk menunda amal saleh, kita dihadapkan pada 'Tabuk' kecil kita. Orang yang munafik dalam konteks modern adalah orang yang selalu mencari "uzur" yang mudah diterima akal (misalnya, terlalu sibuk, terlalu lelah, cuaca tidak mendukung) untuk menghindari ketaatan yang sebenarnya wajib.
Ayat 90 mengajarkan agar kita jujur pada diri sendiri tentang motivasi di balik penundaan atau penolakan ketaatan. Apakah kita benar-benar uzur, ataukah kita termasuk golongan yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya dengan memprioritaskan kenyamanan fana?
2. Konsistensi dalam Komitmen
Ujian Tabuk adalah ujian konsistensi. Seseorang mungkin mampu beribadah saat mudah, tetapi iman sejati teruji saat sulit. Ayat 90 menuntut konsistensi. Jika kita mengklaim beriman, maka komitmen kita harus teguh, baik di musim panas maupun di musim dingin, baik saat kaya maupun saat miskin.
Keikhlasan sejati tidak mengenal dalih yang bersumber dari kecintaan dunia. Ia hanya mengenal batas kemampuan fisik dan mental yang telah diizinkan oleh Syariat. Lebih jauh, jika kita benar-benar tidak mampu, kita harus merasakan kesedihan yang mendalam, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa sahabat yang tulus yang tertinggal karena uzur yang sah, mereka menangis dan air mata mereka menjadi bukti keimanan mereka yang diterima Allah.
3. Integritas Komunitas
Ayat ini juga relevan dalam menjaga integritas komunitas Muslim. Pemimpin dan umat harus berhati-hati terhadap orang-orang yang terus-menerus mengajukan uzur untuk menghindari tanggung jawab kolektif (seperti gotong royong, dakwah, atau pengeluaran harta untuk kemaslahatan umum). Jika kebiasaan mencari dalih yang palsu ini dibiarkan, energi komunitas akan terkuras dan tujuan bersama akan gagal tercapai.
Pada akhirnya, Surah At-Taubah 90 adalah cermin spiritual yang diletakkan di hadapan setiap orang yang mengaku beriman. Ia memaksa kita untuk melihat ke dalam hati dan bertanya: "Ketika panggilan datang, apakah saya Al-Mu'adhdhirūn yang tulus atau Al-Ladhīna Kadhabu yang mencari-cari alasan?" Kualitas iman kita terukur dari reaksi kita saat menghadapi panggilan yang menuntut pengorbanan paling besar.
Elaborasi Mendalam Mengenai Badui (Al-A'rab)
Penyebutan khusus 'di antara orang-orang Arab Badui' (minal-a'rābi) memberikan lapisan kontekstual yang signifikan. Badui umumnya memiliki kecenderungan untuk lebih mementingkan manfaat praktis langsung dan lebih rentan terhadap ketidakpercayaan atau kemunafikan dibandingkan Muslim di pusat kota Madinah. Al-Qur'an sering menyebut Badui dalam konteks keterlambatan mereka memahami agama atau kecenderungan mereka untuk berpaling saat kesulitan (lihat At-Taubah: 97, 98, 99).
Dalam Tabuk, sebagian besar dari Badui yang datang mengajukan uzur memang melakukannya karena kekikiran atau ketidakpercayaan. Mereka khawatir bahwa Romawi terlalu kuat, atau bahwa hasil panen mereka akan hancur tanpa pengawasan. Pengkhususan Badui dalam ayat 90 menunjukkan bahwa meskipun keislaman telah menyebar, kualitas iman di kalangan periferi masih menjadi isu sentral. Ini adalah pengingat bahwa iman memerlukan pemeliharaan dan pendidikan yang berkelanjutan, bukan sekadar pengakuan lisan.
Mereka yang tinggal di padang pasir memiliki gaya hidup nomaden yang memprioritaskan kemandirian dan isolasi, yang seringkali bertentangan dengan kebutuhan akan persatuan dan ketaatan kolektif yang dituntut oleh Islam. Ketika kewajiban datang, naluri isolasionis mereka muncul, mendorong mereka untuk mencari alasan agar bisa tetap berada di zona nyaman mereka, jauh dari risiko dan pengorbanan kolektif.
Peran Pengecualian Dalam Membuka Kedok
Sangatlah penting untuk disadari bahwa Allah mengizinkan kelompok Munafik ini untuk tinggal, bukan karena Allah membutuhkan alasan mereka, tetapi sebagai bagian dari strategi ilahi untuk memisahkan mereka. Jika mereka dipaksa pergi, mereka hanya akan menjadi beban, bahkan mungkin pengkhianat di medan perang, seperti yang mereka coba lakukan dalam Perang Uhud (dengan mundurnya Abdullah bin Ubay). Oleh karena itu, pengizinan ini adalah sebuah karunia bagi umat Islam, karena ia menjauhkan benalu dari akar kekuatan umat.
Ketika seseorang dengan niat buruk diizinkan untuk menjauh dari perjuangan, hal itu menjaga kemurnian barisan orang-orang yang tulus. Mereka yang tinggal, yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, secara efektif memvonis diri mereka sendiri. Mereka memilih azab yang pedih dengan tangan mereka sendiri, karena mereka menolak kesempatan penebusan dan pengampunan yang ditawarkan melalui partisipasi dalam jihad.
Pelajaran mendalam lainnya adalah bahwa jika seseorang menolak panggilan ketaatan dalam situasi yang genting, penolakan itu adalah bukti bahwa ia telah memilih jalan kekafiran. Tidak ada jalan tengah dalam ujian besar. Setiap Muslim harus mengambil posisi yang jelas. Sikap abu-abu, atau sikap mencari-cari dalih, pada akhirnya akan diidentifikasi dan dihukum sebagai kekafiran, sebagaimana ditegaskan oleh penutup ayat: "Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih."
Ayat 90 adalah salah satu ayat terkeras yang menguak realitas internal umat. Ia tidak hanya menceritakan sejarah; ia menetapkan standar keikhlasan dan kejujuran yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim. Kehidupan seorang Muslim adalah serangkaian 'Tabuk' yang harus dihadapi dengan keberanian, pengorbanan, dan, yang terpenting, niat yang murni dan jauh dari segala bentuk dalih palsu yang menyembunyikan kemunafikan. Ketegasan bahasa Al-Qur'an pada ayat ini adalah peringatan abadi agar kita tidak pernah menipu Allah, karena segala uzur palsu kita pasti akan disingkap dan dibalas dengan azab yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat.
Kajian mendalam terhadap frasa "sayuṣību-lladhīna kafarū minhum 'adhābun alīm" (kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih) memerlukan penekanan pada aspek *‘adhābun alīm*. 'Alīm' berarti menyakitkan, dan seringkali dalam Al-Qur'an digunakan untuk menggambarkan hukuman yang sangat parah dan berkepanjangan. Ini adalah kontras langsung dengan kenyamanan yang mereka cari ketika menolak untuk pergi ke Tabuk. Mereka menghindari panasnya padang pasir (yang fana), tetapi mereka diancam dengan panasnya api neraka (yang kekal). Pertukaran yang mereka lakukan adalah pertukaran terburuk: kenyamanan sesaat ditukar dengan penderitaan abadi.
Refleksi atas ayat ini harus mendorong setiap individu untuk secara kritis menilai setiap keputusan untuk menahan diri dari kewajiban agama. Apakah alasan kita benar-benar uzur yang diizinkan syariat, ataukah itu hanya sebuah selubung tipis yang menutupi kecintaan kita pada kehidupan dunia ini? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah kita tergolong ke dalam kelompok yang dimaafkan, atau mereka yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, yang mana azab yang pedih telah disiapkan bagi mereka.