Ilustrasi simbolis keleluasaan, perlindungan, dan pentingnya niat dalam hukum Ilahi.
Surah At-Taubah, atau dikenal pula sebagai Surah Bara’ah, adalah surah yang banyak membahas tentang perjanjian, jihad, dan pemisahan antara kaum Mukminin sejati dengan kaum munafik. Di tengah ketegasan perintah dan kritik terhadap mereka yang menghindar, Ayat 91 tampil sebagai mercusuar kasih sayang dan keadilan Ilahi.
Terjemahan Makna:
"Tiada dosa (atau keberatan) atas orang-orang yang lemah, dan atas orang-orang yang sakit, dan atas orang-orang yang tidak menemukan apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berbuat ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tiada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. At-Taubah [9]: 91)
Ayat ini menetapkan sebuah prinsip fundamental dalam syariat Islam: kemampuan (al-Qudrah) adalah syarat mutlak bagi pelaksanaan kewajiban (al-Taklif). Allah SWT, yang Mahatahu akan keterbatasan hamba-Nya, memberikan dispensasi yang jelas dan terperinci, membedakan antara mereka yang beruzur syar’i (alasan yang dibenarkan agama) dengan mereka yang sekadar mencari-cari alasan (kaum munafik yang dibahas pada ayat-ayat sebelumnya).
Untuk memahami sepenuhnya kedalaman Ayat 91, kita harus menempatkannya dalam konteks sejarah turunnya, yaitu saat persiapan menghadapi Ekspedisi Tabuk (disebut juga Ghazwatul ‘Usrah atau Perang Kesulitan). Ini adalah ekspedisi yang paling sulit dan menguji iman kaum Muslimin, melibatkan perjalanan panjang di musim panas yang ekstrem, kelangkaan air, dan tantangan logistik yang parah.
Di tengah panggilan jihad, muncul beberapa kelompok yang tidak mampu ikut serta. Mereka datang kepada Rasulullah SAW dengan hati yang hancur, bukan karena ingin lari dari kewajiban, melainkan karena keterbatasan fisik atau finansial. Keikhlasan mereka sangat kontras dengan sikap riang gembira kaum munafik yang menemukan seribu satu alasan untuk tinggal di Madinah.
Ekspedisi Tabuk menjadi penentu sejati. Bagi orang-orang yang beriman, keinginan untuk berpartisipasi adalah naluri, namun kenyataan fisik seringkali menghalangi. Ayat ini diturunkan untuk menenangkan hati mereka yang tulus, menegaskan bahwa niat yang murni sudah dihitung sebagai amal saleh meskipun mereka terhalang oleh uzur yang sah.
Kisah ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang kaku dan menuntut di luar batas kemampuan manusia. Justru, ia membangun sistem hukum di atas fondasi kemudahan (*Al-Yusr*) dan menghilangkan kesulitan (*Raf'u al-Haraj*). Mereka yang beruzur namun hatinya bersedih karena tidak bisa berpartisipasi—seperti kelompok Al-Baka’un (orang-orang yang menangis) yang dikisahkan dalam riwayat—justru mendapatkan pujian Ilahi.
Ayat 91 secara spesifik menyebutkan tiga kategori manusia yang dibebaskan dari sanksi atau dosa karena tidak melaksanakan tugas yang memerlukan pengorbanan fisik dan materi yang tinggi, seperti jihad di medan perang. Pengecualian ini didasarkan pada ketidakmampuan fisik, kesehatan, dan ekonomi.
Golongan ini mencakup mereka yang secara fisik tidak mampu melakukan perjalanan jauh, membawa senjata, atau bertarung. Ini bisa jadi adalah orang-orang lanjut usia, anak-anak, atau mereka yang secara inheren memiliki kelemahan fisik bawaan yang menghalangi mereka dari aktivitas berat. Kelemahan ini haruslah kelemahan yang nyata dan permanen, bukan sekadar malas atau enggan.
Pengecualian ini berlaku bagi mereka yang sedang menderita penyakit, baik penyakit kronis maupun akut, yang menghambat mereka untuk ikut serta. Dalam konteks peperangan, penyakit yang mengharuskan istirahat total atau yang dapat menular, atau penyakit yang diperparah oleh perjalanan jauh dan kesulitan, termasuk dalam kategori ini.
Ini adalah keringanan bagi mereka yang memiliki kemauan fisik dan kesehatan, namun terkendala oleh kefakiran. Dalam konteks Tabuk, jihad memerlukan bekal perjalanan, kendaraan, dan perbekalan. Mereka yang miskin tidak memiliki sarana untuk membiayai diri mereka sendiri untuk ekspedisi yang sangat panjang dan sulit tersebut.
Pengecualian bagi tiga golongan di atas tidak bersifat mutlak. Ayat 91 menambahkan syarat krusial yang membedakan mereka dari kaum munafik: "apabila mereka berbuat ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya." (Idza nashahu lillah wa rasulih).
Kata Nushuh di sini memiliki makna yang luas, sering diterjemahkan sebagai 'ketulusan' atau 'nasihat'. Dalam konteks ini, maknanya adalah:
Inilah yang membedakan mukmin yang beruzur dengan munafik yang mencari-cari alasan. Mukmin yang beruzur, meskipun tidak hadir secara fisik, hadir secara spiritual. Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai orang-orang yang terpaksa tinggal: "Sesungguhnya, ada sekelompok orang di Madinah yang tidak menyertai kalian (ke Tabuk), namun mereka mendapatkan pahala yang sama dengan kalian, karena mereka terhalang oleh uzur yang sah."
Ayat ini mengajarkan bahwa niat yang tulus (al-Niyyah al-Shadiqah) memiliki bobot spiritual yang setara dengan tindakan fisik (al-'Amal) jika tindakan tersebut dihalangi oleh ketidakmampuan. Sistem pahala dalam Islam tidak hanya mengukur output fisik, tetapi juga input spiritual dan ketulusan hati. Ini adalah manifestasi dari keadilan Ilahi yang tidak pernah menyia-nyiakan niat baik.
Konsep ini diperluas dalam fiqh ibadah: orang yang sakit dan tidak mampu berdiri dalam salat, boleh salat sambil duduk atau berbaring. Orang yang miskin dibebaskan dari zakat dan haji. Semua keringanan ini berakar pada prinsip Ayat 91: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Jika seseorang dari tiga golongan ini—yang lemah, sakit, atau miskin—memenuhi syarat keikhlasan, maka mereka dinaikkan derajatnya. Keterbatasan fisik mereka tidak menjadi cela, melainkan ujian yang telah mereka hadapi dengan hati yang bersih.
Ayat 91 diakhiri dengan dua kalimat penutup yang sangat menghibur dan meneguhkan:
"Tiada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik (Al-Muhsinin)."
Frasa ini merupakan penegasan hukum dari Allah SWT. Setelah menetapkan tiga kategori uzur, Allah menutupnya dengan janji bahwa mereka yang jujur (Al-Muhsinin) dalam uzur mereka, tidak boleh dicela, dihukum, atau disalahkan oleh siapa pun—baik oleh pemimpin, masyarakat, atau bahkan diri mereka sendiri.
Penyebutan kata Al-Muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan/sempurna) sangat penting. Ini menunjukkan bahwa kriteria uzur yang dibolehkan (lemah, sakit, miskin) berpadu dengan kriteria spiritual (ikhlas) menghasilkan status ihsan. Mereka yang beruzur, tetapi tetap menjaga niat tulus dan kesetiaan, adalah orang-orang yang telah menyempurnakan kebaikan mereka dalam konteks keterbatasan yang ada.
Hal ini mencegah timbulnya kecurigaan sosial dan fitnah di tengah masyarakat. Umat diperintahkan untuk menerima uzur yang sah dan menghormati keputusan Allah untuk memberikan keringanan, tanpa meragukan integritas mereka yang beruzur. Mereka yang telah mencapai derajat ihsan melalui niat tulus, tidak dapat disalahkan (la sabil).
Ayat ini ditutup dengan: "Wallahu Ghafurun Rahimun" (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang).
Penyebutan dua nama ini pada penutup memiliki fungsi ganda:
Prinsip yang terkandung dalam At-Taubah 91 menjadi landasan utama bagi konsep Rukhshah (keringanan) dalam fiqh Islam. Konsep ini memastikan bahwa syariat bersifat elastis dan manusiawi, menyesuaikan dengan kondisi nyata individu. Hukum Islam bertujuan untuk mempermudah, bukan mempersulit.
Para ulama ushul fiqh mengambil beberapa kaedah universal dari ayat ini dan ayat-ayat sejenis:
Penerapan kaedah ini tidak terbatas pada jihad fisik, tetapi meluas ke seluruh aspek ibadah dan muamalah:
Intinya adalah bahwa syarat mutlak sebuah taklif (beban hukum) adalah adanya qudrah (kemampuan). Keringanan yang diberikan kepada yang lemah, sakit, dan miskin dalam Ayat 91 adalah contoh paripurna bagaimana syariat menyesuaikan diri dengan realitas fisik dan ekonomi hamba-Nya, selama niat tulus (ikhlas) tetap terjaga.
Kedudukan Ayat 91 sangat penting karena ia berdiri sebagai pemisah jelas antara uzur yang tulus dan pengabaian yang disengaja. Ayat-ayat sebelumnya (seperti 86 hingga 90) mengecam keras kaum munafik yang memiliki kekayaan, kesehatan, dan kemampuan, tetapi sengaja mencari-cari alasan untuk tidak ikut serta.
Kaum munafik dicirikan oleh dua hal yang tidak dimiliki oleh tiga golongan penerima keringanan:
Ayat 92 dan seterusnya, yang mengisahkan orang-orang yang datang meminta kendaraan tetapi tidak ada yang bisa diberikan kepada mereka, dan mereka pulang dengan air mata, semakin memperkuat kontras ini. Perbedaan fundamentalnya bukan terletak pada tindakan yang dilakukan (keduanya tidak ikut ke Tabuk), tetapi pada kondisi batin (niat dan kesedihan) yang dirasakan.
Beban Kaum Munafik: Allah berfirman mengenai kaum munafik yang meminta izin tinggal: "Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu kaya." (QS. At-Taubah: 90). Mereka layak disalahkan karena mereka mampu namun tidak ikhlas. Sebaliknya, orang-orang yang lemah, sakit, dan miskin dibebaskan dari celaan karena mereka tidak mampu, tetapi ikhlas.
Ayat 91 memberikan pelajaran spiritual yang mendalam, mengajarkan bahwa ketaatan dan pengorbanan diukur berdasarkan apa yang ada di hati, bukan semata-mata kuantitas amal fisik.
Bagi mereka yang terhalang oleh uzur, Ayat 91 mengubah medan perjuangan dari medan perang fisik menjadi medan perang hati. Mereka diuji untuk mempertahankan niat yang bersih, tidak iri hati pada mereka yang ikut berperang, dan tidak merasa kecewa terhadap takdir yang menimpa mereka. Ketaatan mereka adalah ketaatan batin, yaitu menerima takdir Allah dengan rida dan tetap menjaga ketulusan kepada-Nya dan Rasul-Nya.
Inilah puncak ketaatan spiritual: menyelaraskan keinginan pribadi (untuk beramal) dengan kemampuan fisik yang dibatasi oleh takdir (sakit/lemah/miskin). Ketaatan semacam ini, yang dibingkai oleh keikhlasan, adalah bentuk ibadah al-dharurah (ibadah dalam kondisi darurat) yang sangat dihargai di sisi Allah.
Orang yang memahami Ayat 91 akan mencapai derajat rida (ridha terhadap ketetapan Tuhan). Mereka menyadari bahwa batasan yang diberikan (penyakit atau kemiskinan) adalah bagian dari ujian dan takdir yang harus diterima dengan lapang dada. Penerimaan ini, ditambah dengan niat tulus, membebaskan mereka dari rasa bersalah atau kekurangan iman. Mereka yakin bahwa Allah melihat hati mereka, bukan hanya langkah kaki mereka.
Ayat 9:91 merupakan salah satu dalil terkuat yang menegaskan bahwa Islam adalah Din Al-Yusr (Agama Kemudahan). Syariat tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi rantai yang membelenggu, melainkan panduan yang membebaskan.
Prinsip keringanan ini juga berfungsi sebagai penangkal terhadap dua ekstrem: (1) Paham yang menuntut ketaatan buta di luar kemampuan manusia (rigorisme), dan (2) Paham yang mencari-cari alasan palsu (eskapisme munafik). Ayat 91 menempatkan batas yang jelas: uzur adalah sah jika didukung oleh realitas fisik/ekonomi dan keikhlasan niat.
Pengulangan dan penekanan Allah pada kasih sayang-Nya melalui hukum keringanan ini menunjukkan bahwa tujuan syariat adalah untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Syariat memastikan bahwa tidak ada yang merasa terbebani secara tidak adil atau terpinggirkan hanya karena kekurangan yang tidak bisa mereka kontrol (seperti sakit atau miskin).
Para mufassir abad-abad berikutnya, ketika menafsirkan ayat ini, selalu menekankan bahwa keindahan Islam terletak pada penyesuaian hukumnya dengan berbagai kondisi kehidupan manusia yang majemuk. Hukum yang berlaku di masa damai berbeda dengan hukum di masa perang. Hukum bagi yang sehat berbeda dengan yang sakit. Dan hukum bagi yang mampu berbeda dengan yang miskin.
Ayat 91 adalah perpaduan sempurna antara Keadilan (menuntut sesuai kemampuan) dan Rahmat (memberi pengampunan bagi yang tulus). Allah Adil karena tidak menghukum yang lemah. Allah Maha Penyayang karena memberikan pahala penuh kepada niat tulus mereka, seolah-olah mereka telah melaksanakan kewajiban tersebut secara sempurna. Keseimbangan ini merupakan ciri khas hukum Ilahi yang melampaui standar hukum buatan manusia.
Bagi setiap muslim yang membaca ayat ini, ia menjadi pengingat bahwa saat kita menghadapi keterbatasan dalam beramal, fokus utama kita haruslah pada perbaikan dan pemurnian niat. Jika niat kita telah jernih dan tulus, maka batasan fisik kita tidak akan menghalangi kita dari rahmat dan ampunan Allah SWT.
Dalam setiap masa dan kondisi, baik dalam menghadapi tugas besar seperti jihad, atau tugas sehari-hari seperti mencari nafkah atau beribadah, prinsip dari Ayat 91 tetap berlaku: Lakukan semaksimal yang kita mampu, dengan hati yang tulus, dan sisanya serahkan kepada Rahmat-Nya. Kelemahan kita di mata manusia tidak akan menjadi kelemahan di hadapan Allah selama hati kita kokoh dalam ketulusan.
Pemahaman mendalam terhadap ayat ini mengajarkan umat Islam untuk selalu bersikap empati dan tidak mudah menghakimi sesama. Ketika melihat seseorang tidak mampu melaksanakan suatu kewajiban, umat harus ingat bahwa mungkin orang tersebut tergolong dalam salah satu dari tiga kategori yang diizinkan Allah untuk beruzur. Dengan demikian, ayat ini juga berfungsi sebagai penguat kohesi sosial dan menghindari fitnah serta kecurigaan di tengah masyarakat beriman.
Pilar-pilar ini—Kelemahan, Penyakit, dan Ketiadaan Harta—yang menjadi sebab keringanan, adalah cerminan langsung dari pemahaman Allah terhadap sifat manusia yang terbatas. Manusia adalah makhluk yang rapuh, mudah sakit, dan seringkali dililit oleh keterbatasan ekonomi. Syariat datang untuk mengakomodasi kerapuhan ini, bukan untuk menghukumnya.
Ayat ini juga memberikan inspirasi bagi para pemimpin dan pembuat kebijakan. Dalam menetapkan peraturan, mereka harus selalu mempertimbangkan faktor kemampuan rakyat, memastikan bahwa beban yang diletakkan tidak melampaui batas kemampuan fisik, kesehatan, dan ekonomi mayoritas masyarakat. Kebijakan yang adil adalah kebijakan yang mencerminkan prinsip La yukallifullahu nafsan illa wus’aha.
Lebih jauh lagi, bagi para dai dan pendidik, ayat ini menjadi pedoman dalam menyampaikan dakwah. Pesan agama harus selalu disampaikan dengan menekankan aspek kemudahan dan rahmat, menghindari penekanan berlebihan pada kesulitan yang dapat membuat audiens merasa putus asa atau terbebani. Keringanan adalah salah satu wajah utama Islam.
Surah At-Taubah Ayat 91 adalah sebuah deklarasi agung mengenai rahmat dan keadilan Allah SWT. Ia mengajarkan bahwa iman sejati tidak diukur dari performa fisik semata, melainkan dari ketulusan niat (ikhlas) dan kejujuran dalam mengakui keterbatasan diri.
Bagi orang-orang yang lemah, sakit, dan miskin, ayat ini adalah pengangkat beban dan pemberi harapan. Mereka dijamin, asalkan hati mereka jujur dan niat mereka tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak berdosa, dan bahkan tergolong sebagai orang-orang yang berbuat kebaikan (Al-Muhsinin) yang tidak boleh dicela. Inilah jaminan dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Keagungan syariat terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan kondisi manusia, memberikan keringanan yang dibutuhkan tanpa mengorbankan standar moral dan spiritual. Niat yang murni akan selalu menjadi mata uang paling berharga di sisi Ilahi, melampaui segala kekurangan materi atau fisik.
Semua hukum, semua perintah, dan semua keringanan dalam Islam berujung pada satu tujuan: mencapai keridaan Allah dengan cara yang paling ringan dan paling sesuai dengan fitrah manusia yang terbatas. Keikhlasan adalah kunci yang membuka pintu rahmat Ilahi saat pintu kemampuan fisik tertutup.