Analisis Ayat 128 dan 129: Puncak Kepemimpinan Profetik dan Keagungan Ilahi
Surah At-Taubah, surah ke-sembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kedudukan unik. Ia merupakan surah terakhir yang diturunkan secara keseluruhan, dan satu-satunya yang tidak diawali dengan lafaz *Basmalah*. Kandungan utamanya meliputi ketegasan hukum, perjanjian, dan deklarasi perang terhadap kemusyrikan. Namun, pada penghujung surah yang penuh ketegasan ini, Allah SWT menyematkan dua ayat penutup yang menenangkan, yang berfungsi sebagai rangkuman sempurna dari misi kenabian dan landasan keimanan yang kokoh. Dua ayat ini, At-Taubah 128 dan 129, bukan sekadar penutup teks, melainkan inti sari dari seluruh ajaran Islam: Kasih Sayang Nabi dan Prinsip Tawakal (berserah diri) yang mutlak kepada Sang Pencipta. Kedalaman makna dan implikasi teologis dari kedua ayat ini menuntut kajian yang mendalam dan menyeluruh.
Ayat-ayat penutup ini seringkali dikenal sebagai penegasan akhir yang paling indah dalam Al-Qur'an, menawarkan harapan, janji perlindungan, dan pengajaran etika tertinggi yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
(128) Sungguh, telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, sangat kasih dan penyayang terhadap orang-orang mukmin.
فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِىَ ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ ٱلْعَرْشِ ٱلْعَظِيمِ
(129) Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung."
Ayat 128 adalah mahakarya retorika (balaghah) yang secara ringkas memuat lima sifat utama Nabi Muhammad ﷺ. Pemilihan kata-kata dalam ayat ini tidak hanya indah, tetapi juga memuat makna yang berlapis-lapis mengenai hubungan antara Rasulullah dan umatnya.
Penggunaan partikel penegasan *Lāqad* (لَقَدْ) pada awal ayat memberikan kekuatan yang luar biasa. Ini adalah sumpah yang tersembunyi, menekankan bahwa kedatangan Rasulullah ﷺ bukanlah peristiwa biasa, melainkan sebuah kepastian dan anugerah terbesar yang harus disadari oleh umat manusia, khususnya kaumnya. Penegasan ini membuka pintu bagi pengenalan sifat-sifat kenabian yang akan dijelaskan selanjutnya.
Frasa ini mengandung makna yang sangat mendalam. 'Dari kaummu sendiri' menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ bukan sosok asing atau utusan dari ras yang berbeda, melainkan seseorang yang berbagi darah, budaya, dan pengalaman hidup yang sama dengan mereka. Ini berfungsi untuk menghilangkan hambatan psikologis, memungkinkan umat untuk lebih mudah menerima ajarannya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ini memastikan bahwa mereka mengenal kejujuran dan amanah beliau sejak sebelum kenabian, menjadikan beliau *uswah hasanah* (teladan terbaik) yang dapat dicontoh secara praktis.
Kata kunci di sini adalah *'Anittum* (عَنِتُّمْ), yang berarti penderitaan, kesulitan, atau beban yang tidak tertahankan. Sementara *Azīz* (عَزِيزٌ) dalam konteks ini berarti 'berat' atau 'sulit untuk ditanggung'. Ini menggambarkan tingkat empati Nabi ﷺ yang tidak hanya bersimpati, tetapi benar-benar merasakan dan terbebani oleh setiap kesulitan yang dialami umatnya, baik itu kesulitan di dunia maupun risiko azab di akhirat. Kepedihan beliau terhadap umatnya adalah bukti cinta yang melebihi batas kasih sayang biasa.
Kata *Harīsun* (حَرِيصٌ) umumnya memiliki konotasi 'sangat bersemangat', 'serakah', atau 'sangat ingin'. Namun, dalam konteks kenabian, sifat ini adalah pujian tertinggi. Kecintaan ini adalah keinginan yang membara agar umatnya meraih keimanan (hidayah) dan terhindar dari kesesatan atau hukuman Allah. Kegigihan Nabi ﷺ dalam berdakwah, meskipun menghadapi penolakan dan penganiayaan, adalah manifestasi nyata dari *harīsun 'alaikum*. Beliau tidak pernah lelah mencari jalan agar satu orang pun tidak tersesat.
Ayat ini ditutup dengan dua nama sifat (asma) Allah yang disematkan kepada Rasul-Nya, Ra'ūf (رَءُوفٌ) dan Raḥīm (رَّحِيمٌ), namun dengan kualifikasi 'terhadap orang-orang mukmin'.
Kombinasi kedua sifat ini menunjukkan spektrum penuh dari kasih sayang Rasulullah ﷺ: beliau menjaga umat sebelum mereka jatuh ke dalam kesulitan (*Ra'ūf*) dan memberikan pengampunan serta dukungan setelah mereka mengalami kesulitan (*Raḥīm*). Ini menegaskan bahwa walau Surah At-Taubah penuh dengan hukum ketat, inti dari kepemimpinan Nabi adalah rahmat.
Para mufassir (ahli tafsir) memberikan penekanan berbeda pada makna-makna utama yang terkandung dalam Ayat 128, namun semuanya bersepakat bahwa ayat ini adalah penegasan status spiritual tertinggi Rasulullah ﷺ.
Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menekankan bahwa frasa *'min anfusikum'* (dari kaummu sendiri) memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar kesamaan ras. Ia merujuk pada kesucian nasab dan garis keturunan Rasulullah ﷺ. Beliau adalah yang terbaik di antara mereka, secara moral maupun keturunan. Al-Baghawi menambahkan bahwa ayat ini diturunkan sebagai penghormatan kepada Nabi ﷺ dan sebagai pengingat bagi kaum Quraisy dan bangsa Arab secara keseluruhan mengenai anugerah yang mereka miliki.
Ar-Razi membedah Ayat 128 dari sudut pandang logika dan psikologi. Beliau berpendapat bahwa sifat *'Azīzun 'Alaihi Mā 'Anittum* adalah fondasi kepemimpinan yang efektif. Seorang pemimpin yang tidak merasakan penderitaan rakyatnya tidak akan dicintai. Rasulullah ﷺ, karena merasakan beban kesulitan umatnya, secara otomatis menghasilkan kepatuhan dan kecintaan yang tulus dari para pengikutnya. Ar-Razi menghubungkan sifat *Harīsun* (bersemangat) dengan keinginan Nabi ﷺ agar semua orang, bahkan yang menolaknya, mendapatkan hidayah dan kebahagiaan abadi.
Sayyid Qutb melihat ayat ini sebagai penekanan pada sifat manusiawi yang sempurna dari Nabi ﷺ. Ini bukan hanya tentang karisma, tetapi tentang sebuah hati yang berkorban. Dalam pandangan Qutb, ayat ini memberikan gambaran final tentang sosok Nabi di akhir periode dakwah—seorang pemimpin yang menderita, berjuang, dan mencintai dengan intensitas yang tak tertandingi. Ini adalah ciri khas pemimpin spiritual yang sesungguhnya.
Quraish Shihab menekankan bahwa urutan penyebutan sifat dalam Ayat 128—dimulai dari Azīz (berat terasa), kemudian Harīs (sangat menginginkan), dan diakhiri dengan Ra'ūf dan Raḥīm—menunjukkan gradasi kasih sayang. Sifat pertama adalah kepedihan yang dirasakan, sifat kedua adalah usaha yang dilakukan, dan dua sifat terakhir adalah hasil dari usaha tersebut, yaitu rahmat dan kasih yang melimpah. Ini adalah sebuah deskripsi yang sangat lengkap tentang misi kenabian sebagai misi penyelamatan umat dari kesulitan dunia dan akhirat.
Analisis yang komprehensif ini menegaskan bahwa Ayat 128 bukan sekadar pujian, melainkan fondasi teologis yang menunjukkan bahwa misi Islam—meski penuh dengan tantangan dan tuntutan ketaatan—berakar pada belas kasih yang luar biasa dari Rasulullah ﷺ yang dikaruniakan oleh Allah SWT.
Setelah menggambarkan sosok Rasulullah ﷺ yang penuh kasih sayang, Ayat 129 beralih fokus sepenuhnya kepada Allah SWT, menegaskan bahwa jika ada penolakan atau kegagalan dalam dakwah, sumber kekuatan dan sandaran akhir tetaplah Tuhan Semesta Alam. Ayat ini adalah perumusan tertinggi dari doktrin tawakal.
Ayat 129 dimulai dengan asumsi realistis: tidak semua orang akan menerima kebenaran, meskipun dihadirkan oleh Rasul yang paling penyayang. Kata *tawallaw* (berpaling) mencakup penolakan yang keras kepala, pengabaian, atau permusuhan. Perintah berikutnya adalah instruksi ilahi kepada Nabi Muhammad ﷺ (dan kepada setiap juru dakwah setelahnya) tentang bagaimana merespons kegagalan atau penolakan tersebut—bukan dengan keputusasaan, melainkan dengan tawakal yang kokoh.
Ini adalah inti dari Ayat 129 dan salah satu deklarasi tauhid yang paling kuat dalam Al-Qur'an. Frasa *Hasbiyallāh* (حَسْبِىَ ٱللَّهُ) berarti 'Allah adalah Penjamin saya yang mencukupi,' atau 'Allah adalah Pelindung saya yang memadai.' Ini adalah pengakuan bahwa, di hadapan penolakan dunia, konspirasi musuh, atau kesulitan yang tak tertanggungkan, hanya Allah sajalah tempat berlindung dan sumber kekuatan yang tak terbatas.
Pengucapan frasa ini adalah sikap totalitas berserah diri. Ketika segala upaya manusia telah dikerahkan (seperti yang dilakukan Nabi ﷺ dengan kasih sayang yang maksimal dalam Ayat 128), hasil akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada Kehendak Ilahi. Ini mengajarkan bahwa tugas seorang hamba adalah berusaha, sementara hasil mutlak berada di tangan Allah.
Pernyataan ini adalah penegasan ulang dari Syahadat, yang diletakkan di tengah-tengah deklarasi tawakal. Ini berfungsi sebagai pondasi. Mengapa Allah cukup (Hasbiyallāh)? Karena Dialah satu-satunya Tuhan yang layak disembah dan yang memiliki kekuasaan mutlak. Tawakal tidak sah kecuali jika didasarkan pada Tauhid yang murni. Jika seseorang meyakini ada tuhan lain yang berhak ditaati atau ditakuti, maka tawakal kepada Allah tidak akan sempurna.
Kata kerja *Tawakkaltu* (تَوَكَّلْتُ) adalah bentuk lampau, menunjukkan komitmen yang sudah final dan permanen. Penempatan frasa 'Hanya Kepada-Nya' di awal kalimat (sebelum kata kerja) dalam struktur Bahasa Arab (dengan menggunakan *'alaihi*) memberikan makna eksklusivitas. Artinya, tawakal itu hanya dan semata-mata ditujukan kepada Allah, tidak kepada kekuatan lain, kekayaan, atau koneksi manusia.
Tawakal bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan upaya maksimal yang didahului dan diikuti oleh keyakinan teguh akan kuasa Allah. Ini adalah penyeimbang spiritual dari upaya maksimal Nabi ﷺ yang dijelaskan dalam Ayat 128.
Ayat ini ditutup dengan penegasan kekuasaan Allah yang tiada tara. 'Arsy (عرش) dalam kosmologi Islam adalah singgasana yang melingkupi seluruh alam semesta, makhluk terbesar yang diciptakan Allah. Menyebut Allah sebagai *Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm* (Tuhan 'Arsy yang Agung) adalah penegasan bahwa kekuasaan-Nya tidak terbatas. Jika Dia adalah Pemilik Arsy yang Maha Agung, maka segala urusan yang lebih kecil dari itu—termasuk nasib dakwah, perlindungan dari musuh, dan kesulitan pribadi—jelas berada dalam kendali mutlak-Nya.
Penutup ini memberikan kedamaian psikologis yang tak tergoyahkan bagi orang mukmin. Keyakinan kepada Tuhan yang menguasai makhluk terbesar di alam semesta menghilangkan rasa takut terhadap kekuatan duniawi manapun.
Penyandingan kedua ayat ini (128 dan 129) adalah sebuah pelajaran teologis yang luar biasa. Ayat 128 berfokus pada sifat-sifat Rasulullah ﷺ sebagai rahmat (kasih sayang) yang disalurkan Allah kepada manusia, sedangkan Ayat 129 menegaskan kemutlakan Allah sebagai sumber rahmat dan kekuasaan tertinggi.
Sifat *Ra'ūf* dan *Raḥīm* yang disematkan kepada Nabi ﷺ dalam Ayat 128 adalah refleksi dari sifat Allah. Allah mengutus Rasul-Nya sebagai wujud konkret dari kasih sayang-Nya di muka bumi, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Anbiya [21]: 107, *Wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil-'ālamīn* (Dan tidaklah Kami mengutus engkau, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam).
Ayat 128 menjelaskan bagaimana rahmat itu diwujudkan: melalui empati mendalam terhadap penderitaan umat (*Azīzun 'Alaihi Mā 'Anittum*) dan usaha gigih untuk membimbing mereka (*Harīsun 'Alaikum*). Ini adalah fondasi etika Islam: dakwah harus dilakukan dengan cinta dan kepedulian yang tulus, bukan dengan paksaan atau kebencian.
Jika Ayat 128 menunjukkan peran Nabi sebagai perantara kasih, Ayat 129 menuntut agar hati umat manusia tidak bergantung pada perantara, melainkan langsung kepada Sumber segala kekuatan. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri, meskipun merupakan puncak keindahan akhlak dan kasih sayang, diperintahkan untuk berserah diri secara total kepada Allah ketika menghadapi penolakan.
Ini mencegah kultus individu. Sebesar apa pun cinta umat terhadap Nabi, mereka tidak boleh menjadikannya sebagai sandaran akhir, melainkan harus menjadikan Allah sebagai sandaran mutlak. Tawakal memastikan Tauhid tetap murni, bahkan dalam kondisi spiritual yang paling tinggi.
Mengenai konteks turunnya (Asbabun Nuzul) Ayat 128 dan 129, terdapat perbedaan pendapat yang signifikan, yang justru menambah makna teologis ayat ini.
Secara umum, Surah At-Taubah adalah surah yang diturunkan di akhir masa kenabian di Madinah. Namun, beberapa riwayat yang kuat menyebutkan bahwa Ayat 128 dan 129 adalah ayat-ayat Al-Qur'an terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ secara kronologis. Riwayat ini disampaikan oleh sahabat seperti Ubay bin Ka'b dan dicatat oleh Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak*.
Jika ini adalah ayat terakhir, penempatan ayat ini setelah serangkaian hukum keras (yang mendominasi At-Taubah) memiliki makna yang sangat mendalam: wahyu Ilahi diakhiri dengan penegasan rahmat Nabi yang tak terbatas dan keagungan Allah yang mutlak. Ini adalah penutup yang menenangkan hati, memberikan penekanan bahwa, meskipun ada perang dan hukum yang ketat, inti agama adalah kasih sayang dan sandaran kepada Allah.
Dalam sejarah pengumpulan Al-Qur'an pada masa Khalifah Utsman bin Affan (dan sebelumnya oleh Abu Bakar), dua ayat ini ditemukan hanya pada satu orang sahabat, yaitu Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari. Zaid bin Tsabit, koordinator utama pengumpulan, awalnya merasa kesulitan menerima ayat yang hanya memiliki satu saksi, meskipun secara umum Al-Qur'an harus disaksikan oleh banyak penghafal.
Namun, Zaid bin Tsabit dan para sahabat akhirnya menerima kesaksian Khuzaimah karena: (a) mereka semua hafal kedua ayat ini dan tahu bahwa ini adalah bagian dari Al-Qur'an, dan (b) Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda bahwa kesaksian Khuzaimah setara dengan kesaksian dua orang. Dengan demikian, kedua ayat ini dimasukkan ke dalam penutup Surah At-Taubah, mengakhiri Al-Qur'an (secara penempatan surah) dengan inti dari kasih sayang dan tauhid.
Fakta sejarah ini menekankan betapa pentingnya kedudukan kedua ayat ini; ia secara harfiah melengkapi teks suci yang kita miliki sekarang.
Ayat 128 dan 129 bukan hanya pembahasan teologis; keduanya menawarkan panduan praktis tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya hidup, berinteraksi, dan menghadapi kesulitan.
Ayat 128 menetapkan standar kepemimpinan yang ideal dalam Islam. Para pemimpin, ulama, pendidik, dan kepala keluarga harus meneladani sifat-sifat Rasulullah ﷺ:
Ayat 129 adalah obat mujarab (syifa) bagi kegelisahan. Dalam situasi di mana seorang Muslim merasa dikepung oleh masalah, dihadapkan pada ketidakadilan, atau menghadapi ancaman, frasa *Hasbiyallāh Lā Ilāha Illā Huwa 'Alaihi Tawakkaltu* adalah benteng pertahanan spiritual.
Riwayat menyebutkan bahwa pembacaan ayat ini dengan keyakinan yang tulus akan menghapus kekhawatiran dan melindungi dari segala marabahaya, karena ia merupakan deklarasi penyerahan diri yang paling lengkap kepada Pemilik Arsy yang Agung. Ini adalah pelatih spiritual yang mengajarkan umat untuk membedakan antara upaya yang diwajibkan oleh manusia dan hasil akhir yang dikendalikan oleh Allah.
Kedua ayat penutup Surah At-Taubah ini mendapatkan kedudukan istimewa dalam tradisi Islam, bukan hanya karena muatan teologisnya, tetapi juga karena anjuran untuk membacanya dalam berbagai kondisi.
Banyak ulama salaf menganjurkan pembacaan Ayat 129 sebanyak tujuh kali setelah shalat Shubuh dan shalat Maghrib (atau pada waktu pagi dan petang). Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai derajat hadits yang secara spesifik menyebutkan bilangan tujuh, mayoritas ulama menganjurkan hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Darda' yang menunjukkan keutamaan besar bagi yang mengamalkannya.
Diriwayatkan bahwa barangsiapa membaca *Hasbiyallāh Lā Ilāha Illā Huwa 'Alaihi Tawakkaltu Wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm* sebanyak tujuh kali di pagi hari dan tujuh kali di petang hari, niscaya Allah akan mencukupinya dari segala hal yang merisaukannya, baik urusan dunia maupun urusan akhirat.
Keutamaan terbesar dari Ayat 129 adalah janji 'kecukupan' (*Hasbi*). Dalam tafsir, 'mencukupi' tidak hanya berarti mencukupi kebutuhan material, tetapi juga perlindungan dari musuh, dari godaan syaitan, dari bencana alam, dan dari kegelisahan hati. Ini adalah perisai spiritual yang dibangun di atas keyakinan bahwa kekuatan absolut berada di tangan Allah.
Jika kita menerima pandangan bahwa ini adalah ayat terakhir yang diturunkan, maka posisi kedua ayat ini secara kronologis sangat penting. Itu adalah 'pesan perpisahan' dari langit yang mengingatkan umat tentang dua hal yang paling mendasar: (1) teladan sempurna kasih sayang yang harus dipertahankan (Ayat 128), dan (2) keharusan bersandar mutlak kepada Allah di tengah segala cobaan (Ayat 129). Ini adalah landasan spiritual untuk menghadapi tantangan masa depan setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.
Penutup Ayat 129, *Wa Huwa Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm*, membawa kita pada kontemplasi mengenai keagungan Ilahi. Mengapa Allah memilih sifat 'Pemilik Arsy yang Agung' sebagai penutup ayat yang membahas tawakal?
Alam semesta sangat luas; manusia merasa kecil di dalamnya. Arsy, yang didefinisikan sebagai makhluk terbesar yang diciptakan Allah, melambangkan batas tertinggi kekuasaan dan keagungan yang dapat dibayangkan oleh makhluk. Dengan menyatakan bahwa Allah adalah Pemilik dan Pengendali Arsy yang agung ini, ayat tersebut secara efektif menghilangkan semua rasa takut terhadap hal-hal yang 'kecil' di dunia.
Jika manusia takut akan kesulitan ekonomi, ancaman musuh, atau penyakit, Ayat 129 mengingatkan bahwa semua itu berada di bawah kendali Rabb yang menguasai sesuatu yang jauh lebih besar dan tak terbandingkan. Tawakal menjadi logis dan rasional karena ditujukan kepada Pemilik Kekuasaan Mutlak.
Penyebutan Arsy juga menegaskan hubungan antara Pencipta (Khaliq) dan ciptaan (makhluk). Meskipun Allah berada di atas Arsy sesuai dengan keagungan-Nya, Dia tetap dekat dengan hamba-Nya melalui ilmu, pendengaran, dan pengawasan-Nya. Tawakal adalah jembatan spiritual yang menghubungkan kehinaan manusia dengan keagungan Ilahi, memungkinkan hamba untuk mendapatkan perlindungan dari Pemilik Arsy.
Dengan demikian, Ayat 129 bukan hanya dzikir perlindungan, melainkan juga pelajaran mendalam mengenai kosmologi tauhid. Ia mengajarkan bahwa betapapun mengerikan atau besar masalah yang dihadapi, selalu ada tempat berlindung yang lebih besar dan lebih kuat dari segalanya: Pemilik Arsy yang Agung.
Kesempurnaan kedua ayat terakhir Surah At-Taubah terletak pada bagaimana mereka menggabungkan dua pilar utama agama: *Akhlak* (etika dan kasih sayang) dan *Tauhid* (ketaatan dan penyerahan diri).
Ayat 128 memaparkan akhlak batiniah Rasulullah ﷺ—empati, hasrat mendalam akan keselamatan umat, dan kasih sayang. Ini adalah model internal yang harus ditiru oleh setiap Muslim. Agama yang dipimpin oleh seseorang yang demikian penyayang pasti adalah agama yang penuh rahmat.
Ayat 129 memberikan penyeimbang. Kasih sayang (Ayat 128) tidak boleh mengarah pada kekecewaan atau ketergantungan pada makhluk. Ketaatan harus kembali kepada Allah (Tauhid), terutama ketika upaya kasih sayang dan dakwah (Ayat 128) menemui jalan buntu. Dengan kata lain, berbuatlah dengan penuh kasih sayang dan energi maksimal, tetapi sandarkanlah harapan hanya kepada Pencipta.
Sintesis ini sangat penting. Seorang Muslim harus berdakwah dan berinteraksi dengan sesama dengan sifat *Ra'ūf* dan *Raḥīm* seperti Nabi ﷺ, tetapi harus mempertahankan independensi spiritual dan kekuatan batin dengan bersandar total kepada *Rabbul 'Arsyil 'Aẓīm*.
Kedua ayat penutup Surah At-Taubah ini adalah permata Al-Qur'an. Ayat 128 menjadi penutup yang mengharukan dari rangkaian wahyu, yang secara pribadi memuji karakter kenabian yang paling mulia, menjadikan beliau teladan abadi bagi seluruh manusia. Ia meyakinkan umat bahwa penderitaan mereka tidak pernah luput dari perhatian, baik perhatian Rasulullah ﷺ maupun perhatian Allah SWT.
Sementara itu, Ayat 129 adalah deklarasi kemandirian spiritual, sebuah prinsip yang memungkinkan seorang mukmin untuk berdiri teguh di tengah badai, melepaskan ketergantungan pada dunia fana, dan menegaskan bahwa di ujung segala upaya manusia, kekuatan tertinggi dan kecukupan hakiki hanya dimiliki oleh Tuhan Yang Maha Agung. Dengan menggenggam erat sifat kasih sayang Nabi dan prinsip tawakal mutlak kepada Allah, seorang Muslim telah memegang tali keimanan yang paling kokoh, yang tak akan pernah putus.
Demikianlah, Al-Qur'an ditutup (dalam konteks penempatan surah) dengan penegasan bahwa Islam adalah jalan rahmat dan penyerahan diri. Ini adalah warisan abadi bagi mereka yang mencari kedamaian dan kekuatan sejati.