Hakikat Janji dan Kezaliman: Tafsir Mendalam Surah At-Taubah Ayat 10

Membongkar makna Illan, Dzimmah, dan status kaum yang melampaui batas.

1. Pembukaan dan Konteks Surah At-Taubah

Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, memiliki kekhususan yang signifikan. Ia dikenal sebagai satu-satunya surah yang tidak diawali dengan basmalah, mencerminkan sifatnya yang tegas, keras, dan penuh peringatan terhadap pengkhianatan dan kezaliman. Surah ini diturunkan pada periode akhir kenabian di Madinah, setelah peristiwa pembebasan Mekkah, dan secara fundamental menetapkan garis demarkasi yang jelas antara kaum Mukminin sejati dengan mereka yang munafik atau yang berulang kali melanggar perjanjian damai.

Ayat-ayat awal surah ini berfokus pada pernyataan pemutusan hubungan (Bara’ah) dengan kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian-perjanjian yang sebelumnya mereka ikrarkan. Konteks historisnya adalah periode ketika stabilitas komunitas Muslim terancam oleh pengkhianatan internal dan eksternal. Dalam suasana yang penuh ketegangan ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan pedoman yang sangat tegas mengenai standar etika perjanjian, kewajiban spiritual, dan hakikat dari sebuah janji yang diikat atas nama Ilahi.

Ayat yang akan kita kaji secara mendalam, yaitu Surah At-Taubah ayat 10, merupakan salah satu puncak pernyataan mengenai sifat dasar manusia yang dikuasai oleh kepentingan duniawi dan konsekuensi fatal dari pengkhianatan tersebut. Ayat ini menyoroti perbandingan tajam antara dua jenis manusia di hadapan Allah: mereka yang memelihara hak dan janji, serta mereka yang secara terang-terangan melanggar etika dan batas-batas kemanusiaan yang telah ditetapkan. Pemahaman terhadap ayat ini memerlukan penyelaman ke dalam terminologi Arab yang kaya makna dan konteks sejarah yang sangat spesifik.

2. Teks Arab dan Terjemahan At-Taubah Ayat 10

Untuk memahami kedalaman pesan Ilahi, adalah esensial untuk merenungkan lafaz aslinya, karena setiap huruf membawa bobot makna yang tidak selalu dapat dipindahkan sepenuhnya melalui terjemahan. Ayat ini adalah cerminan dari kemarahan Ilahi terhadap mereka yang tidak menghormati hak orang lain dan melanggar kesucian janji.

لَا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُعْتَدُونَ
"Mereka tidak memelihara (hubungan kekeluargaan) terhadap seorang mukmin pun (dinamakan) il atau dzimmah. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (QS. At-Taubah: 10)

Ayat ini berfungsi sebagai deskripsi definitif mengenai karakter kelompok yang dicela oleh Allah. Fokus utamanya terletak pada dua istilah kunci yang saling terkait namun berbeda cakupannya: *Illan* dan *Dzimmah*, yang keduanya merupakan indikator utama dari keimanan dan etika sosial yang sejati. Kelemahan atau ketiadaan pemeliharaan terhadap kedua konsep ini menandakan kegagalan moral dan spiritual yang total, yang pada akhirnya membawa label sebagai *Al-Mu’tadun*, orang-orang yang melampaui batas.

3. Analisis Mendalam Lafaz Kunci: Illan, Dzimmah, dan Mu’tadun

Kekuatan ayat 10 terletak pada terminologi Arabnya yang padat. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus membedah makna di balik kata-kata yang dipilih secara presisi oleh wahyu:

3.1. Makna dan Cakupan Konsep “Illan” (إِلًّا)

Lafaz *Illan* dalam konteks linguistik Al-Qur’an dan tradisi tafsir memiliki beberapa interpretasi yang semuanya mengarah pada pemeliharaan hubungan yang mendalam:

  • Perjanjian dan Ikatan: Makna yang paling umum adalah perjanjian atau sumpah (Ahd). Ini merujuk pada segala bentuk ikatan formal maupun informal, baik itu janji damai, perjanjian dagang, atau perjanjian yang bersifat politis antar komunitas.
  • Hubungan Kekeluargaan (Qarabah): Beberapa mufasir, seperti Ibnu Abbas dan Al-Hasan Al-Basri, menafsirkan *Illan* sebagai hubungan kekerabatan atau ikatan darah (rahim). Ini menunjukkan bahwa kaum yang dicela itu tidak menghormati bahkan ikatan darah mereka sendiri jika yang dihadapinya adalah seorang Mukmin.
  • Hak Allah (Rububiyyah): Makna yang lebih dalam adalah ketaatan dan kepatuhan yang harus diberikan kepada Allah, yang merupakan ikatan tertinggi. Jika mereka tidak memelihara *Illan* terhadap sesama Mukmin, maka mustahil mereka memelihara hak-hak Allah atas diri mereka.

Intinya, ketika Allah menyatakan bahwa mereka tidak memelihara *Illan*, ini mencakup penolakan untuk mengakui hak-hak dasar spiritual, moral, dan kekeluargaan yang seharusnya otomatis diberikan kepada sesama manusia, khususnya kaum Mukminin. Sikap ini menunjukkan kedangkalan moral yang akut dan ketidakmampuan untuk berempati atau berkomitmen pada nilai-nilai yang melampaui kepentingan diri sendiri.

3.2. Makna dan Cakupan Konsep “Dzimmah” (ذِمَّةً)

Konsep *Dzimmah* seringkali dibahas berdampingan dengan *Illan*, namun memiliki fokus yang sedikit lebih spesifik dan seringkali terkait dengan jaminan keamanan dan perlindungan:

  • Jaminan dan Kepercayaan: *Dzimmah* secara harfiah berarti tanggung jawab, perlindungan, atau jaminan. Ini merujuk pada komitmen moral dan hukum yang mengikat untuk memberikan keamanan dan penghormatan kepada pihak lain, terutama setelah perjanjian atau kesepakatan dibuat.
  • Sumpah dan Ikrar: Dalam konteks muamalah (interaksi sosial), *Dzimmah* adalah sumpah atau janji yang diletakkan di bawah perlindungan Ilahi. Melanggar *Dzimmah* bukan sekadar melanggar kontrak, tetapi melanggar kehormatan dan jaminan yang telah diberikan.

Perbedaan antara *Illan* dan *Dzimmah* memberikan penekanan ganda: *Illan* mungkin lebih berfokus pada hubungan yang bersifat alamiah atau spiritual (seperti hubungan kekerabatan atau ikatan agama), sementara *Dzimmah* lebih menekankan pada janji, sumpah, dan komitmen yang dibuat secara eksplisit. Ayat ini mengecam mereka yang gagal di kedua level: mereka tidak memiliki ikatan moral yang alamiah, dan mereka juga tidak menghormati janji formal yang telah diikrarkan.

3.3. Gelar Kezaliman: “Al-Mu’tadun” (الْمُعْتَدُونَ)

Ayat ini menutup dengan menyatakan bahwa mereka yang gagal memelihara *Illan* dan *Dzimmah* adalah *Al-Mu’tadun*—orang-orang yang melampaui batas. Kezaliman ini bukanlah kezaliman biasa, melainkan pelanggaran batas yang total dan sistematis:

  • Melanggar Batas Hukum (Huddud): Mereka melanggar batas-batas syariat dan etika yang telah ditetapkan Allah.
  • Agresor: Secara harfiah, *Al-Mu’tadun* berarti agresor atau penyerang. Tindakan mereka melanggar janji bukan sekadar kelalaian, tetapi merupakan serangan yang disengaja terhadap keamanan dan hak-hak kaum Mukminin.
  • Sifat Abadi: Penggunaan struktur kata benda aktif menunjukkan bahwa melampaui batas (I'tidal) telah menjadi sifat atau karakter permanen mereka, bukan hanya tindakan sesaat.

Status sebagai *Al-Mu’tadun* memberikan label teologis bahwa segala perilaku mereka didasarkan pada ketidakadilan dan agresi, yang menempatkan mereka pada posisi yang sangat berbahaya di hadapan Pengadilan Ilahi.

Simbol Illan dan Dzimmah (Perjanjian) AHAD (Covenant)

Gambar 1: Representasi Simbolik Ikatan Janji (Illan dan Dzimmah).

4. Hakikat Pengkhianatan Spiritual dan Moral

Ayat 10 dari Surah At-Taubah bukan hanya berbicara tentang pelanggaran perjanjian politik atau militer. Inti dari ayat ini adalah pengkhianatan spiritual. Kegagalan memelihara *Illan* dan *Dzimmah* menunjukkan hilangnya integritas batin dan komitmen terhadap nilai-nilai ketuhanan yang seharusnya menjadi pilar kehidupan seorang individu. Pengkhianatan ini memiliki dampak multi-dimensi yang sangat serius.

4.1. Kerusakan Hubungan Horizontal (Manusia ke Manusia)

Ketika seseorang mengabaikan hak *Illan* dan *Dzimmah* terhadap Mukmin, ia secara fundamental menghancurkan kepercayaan sosial. Kepercayaan adalah mata uang tertinggi dalam masyarakat yang berlandaskan wahyu. Tanpa kepercayaan, tidak ada kerja sama, tidak ada keamanan, dan tidak ada stabilitas. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa ketika pengkhianat diberi ruang, mereka akan selalu memprioritaskan keuntungan sesaat mereka, bahkan dengan mengorbankan ikatan kekerabatan atau jaminan yang paling suci. Mereka adalah parasit sosial yang merusak struktur keimanan dari dalam.

Dalam konteks Madinah saat itu, kelompok yang dimaksud telah berulang kali menunjukkan bahwa janji lisan mereka tidak bernilai di hadapan harta benda atau kekuasaan. Ini memunculkan sebuah dilema etika yang mendalam: bagaimana komunitas Mukmin bisa berinteraksi dengan pihak yang secara ontologis tidak memiliki komitmen terhadap kebenaran atau etika timbal balik? Jawaban Al-Qur'an tegas: kelompok tersebut harus diisolasi dan diperlakukan berdasarkan sifat agresif mereka, karena mereka telah memilih jalan kezaliman sebagai cara hidup mereka.

4.2. Kerusakan Hubungan Vertikal (Manusia ke Tuhan)

Pelanggaran janji terhadap manusia adalah indikasi langsung dari pelanggaran janji terhadap Allah. Setiap janji yang diikrarkan seorang Mukmin seharusnya berada di bawah payung *Ahdullah* (Perjanjian Allah). Jika seseorang tidak takut melanggar janji di hadapan sesama Mukmin, maka rasa takutnya kepada Allah pun telah hilang atau sangat lemah. Kezaliman terhadap Mukmin lain, terutama dalam konteks hak dan jaminan, adalah refleksi dari kezaliman terhadap diri sendiri dan pengabaian terhadap perintah Ilahi.

Ayat ini secara implisit mengajarkan bahwa keimanan sejati tercermin dalam praktik etika sosial. Teori spiritual tanpa praktik etika yang konsisten adalah hipokrisi. Orang-orang yang disebut *Al-Mu’tadun* adalah mereka yang hatinya telah mengeras sehingga standar etika mereka sepenuhnya terdegradasi. Mereka melihat kesempatan untuk mengambil keuntungan sebagai pembenaran untuk melanggar segala ikatan, baik yang sifatnya tradisional (Illan) maupun yang sifatnya formal (Dzimmah). Inilah puncak dari pengkhianatan spiritual: menjadikan diri sendiri sebagai otoritas moral di atas hukum Ilahi.

4.3. Konsistensi Kezaliman

Kezaliman yang digambarkan dalam ayat 10 bersifat konsisten. Ini bukan satu kali kesalahan, melainkan pola perilaku yang ditegakkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebut mereka "kadang-kadang melanggar batas," melainkan "mereka itulah *Al-Mu’tadun*"—kata benda yang menunjukkan identitas. Status *Al-Mu’tadun* menjadi cap permanen yang menandakan bahwa sifat melampaui batas telah menyatu dengan esensi karakter mereka. Ini adalah bentuk penolakan terhadap tawaran ampunan yang ada pada awal surah (At-Taubah), karena hati mereka telah terkunci dalam preferensi terhadap kekufuran dan pengkhianatan.

Penyimpangan Akidah sebagai Akar Kezaliman

Fenomena pengkhianatan janji (melanggar Illan dan Dzimmah) berakar pada penyimpangan akidah. Individu yang tidak memiliki keyakinan kokoh pada Hari Pembalasan cenderung melihat dunia sebagai arena tanpa konsekuensi abadi. Jika keuntungan duniawi dapat diperoleh melalui kebohongan, penipuan, atau pengabaian janji, mereka akan melakukannya tanpa ragu. Ayat ini mengajarkan bahwa akidah yang benar menghasilkan integritas, dan integritas yang runtuh adalah bukti dari akidah yang sakit. Sikap ‘La Yarqūbūn’ (Mereka tidak memelihara) menunjukkan ketiadaan rasa takut atau tanggung jawab moral, suatu kondisi yang hanya dapat terjadi ketika akhirat terasa jauh atau tidak nyata dalam hati pelakunya. Oleh karena itu, *Al-Mu’tadun* adalah orang-orang yang, melalui pilihan bebas mereka, telah mengalienasi diri mereka dari fitrah kebenahan dan keadilan.

5. Implikasi Teologis, Hukum, dan Peringatan Keras

Ayat 10 memiliki konsekuensi teologis dan praktis yang serius. Ia berfungsi sebagai landasan bagi hukum Islam mengenai perlakuan terhadap mereka yang secara sistematis mengkhianati perjanjian, membedakan secara tegas antara Mukmin sejati dan mereka yang hanya mengaku beriman namun tindakannya menunjukkan sebaliknya.

5.1. Pemisahan Golongan: Muttaqin vs. Mu'tadun

Ayat ini menegaskan pemisahan tegas antara dua golongan manusia di mata Allah: Mukmin sejati, yang memegang teguh *Illan* dan *Dzimmah*, dan *Al-Mu’tadun*, yang meremehkan keduanya. Pemisahan ini bukan hanya masalah sosial, tetapi masalah takdir di akhirat. Kaum Mukminin yang memelihara janji berada di bawah naungan rahmat dan keamanan, sedangkan *Al-Mu’tadun* telah menempatkan diri mereka di luar batas perlindungan Ilahi, dan oleh karena itu, menghadapi konsekuensi yang berat.

Penting untuk dipahami bahwa kezaliman yang disebut di sini bukan hanya ketidakadilan finansial. Ini adalah ketidakadilan fundamental terhadap keimanan itu sendiri. Dengan tidak memelihara hak seorang Mukmin, mereka pada dasarnya menentang kehormatan yang Allah berikan kepada Mukminin. Mereka menolak prinsip solidaritas (Wala') dan justru memilih untuk berafiliasi dengan musuh-musuh kebenaran, secara efektif membatalkan status mereka sebagai bagian dari komunitas yang adil.

5.2. Peringatan tentang Kontrak dan Janji dalam Kehidupan Modern

Meskipun ayat ini diturunkan dalam konteks peperangan dan perjanjian antar suku, prinsip-prinsip yang dikandungnya bersifat universal dan abadi. Di era modern, konsep *Dzimmah* dapat diperluas untuk mencakup segala bentuk komitmen legal, etika bisnis, dan perjanjian kontrak. Seseorang yang secara sengaja melanggar kontrak kerja, menipu dalam transaksi keuangan, atau merusak reputasi berdasarkan janji palsu, menunjukkan karakteristik *Al-Mu’tadun* dalam spektrum modern.

Kezaliman (I'tidal) hari ini seringkali berupa pelanggaran etika korporat, korupsi terstruktur, dan pengabaian hak-hak pekerja. Semua ini, pada intinya, adalah kegagalan memelihara *Dzimmah* (tanggung jawab dan jaminan) yang harus diberikan kepada sesama manusia yang berinteraksi dengan kita. Ayat 10 mengajarkan bahwa seorang Mukmin sejati harus memiliki integritas yang sedemikian rupa sehingga janji lisan atau tertulisnya adalah aset yang paling berharga, mencerminkan kepatuhan mutlak kepada Allah, Sang Pemberi Janji Utama.

Simbol Kezaliman (Al-Mu'tadun)

Gambar 2: Simbol Kezaliman (*I'tidal*) – Timbangan yang Miring.

6. Elaborasi Mendalam tentang Sifat Kezaliman (Zulm)

Istilah *Al-Mu’tadun* secara langsung berhubungan dengan konsep *Zulm* (kezaliman atau ketidakadilan). Dalam terminologi Islam, *Zulm* adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam konteks ayat 10, *Zulm* terjadi ketika mereka menempatkan hak seorang Mukmin (yang harus dihormati berdasarkan *Illan* dan *Dzimmah*) pada posisi yang tidak berharga, mengabaikannya demi kepentingan mereka sendiri. Kezaliman ini adalah dosa besar yang memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda.

6.1. Kezaliman terhadap Hak-Hak Dasar

Ketika seseorang menolak memelihara *Dzimmah*, mereka merampas hak-hak dasar yang harus dijamin dalam sebuah perjanjian, seperti hak atas keamanan, hak atas properti, dan hak atas kehormatan. Kaum *Al-Mu’tadun* melihat kaum Mukminin sebagai sasaran empuk untuk dieksploitasi, karena mereka berasumsi bahwa tidak ada kekuatan yang akan membalas perbuatan mereka. Sikap ini merupakan cerminan dari arogansi (Istikbar) di mana pelaku kezaliman merasa diri mereka di atas hukum moral dan Ilahi. Mereka mengukur nilai orang lain berdasarkan keuntungan yang bisa mereka raih, bukan berdasarkan martabat kemanusiaan yang diberikan oleh Allah.

Pelanggaran terhadap hak-hak dasar ini berulang kali ditekankan dalam Al-Qur’an sebagai salah satu kejahatan terberat. Kezaliman ini menghancurkan pondasi masyarakat dan merupakan ancaman nyata bagi ketertiban. Ayat 10 menegaskan bahwa orang yang memiliki kecenderungan melanggar janji secara kronis tidak dapat dipercaya dalam urusan apa pun, dan interaksi dengan mereka harus didasarkan pada kehati-hatian maksimal, sebab mereka tidak mengenal batasan etika. Pemahaman ini sangat penting bagi tata kelola negara dan masyarakat yang berusaha menegakkan keadilan.

6.2. Kezaliman terhadap Waktu dan Prioritas

Selain kezaliman terhadap orang lain, kezaliman *Al-Mu’tadun* juga merupakan kezaliman terhadap waktu dan prioritas spiritual mereka. Dengan berulang kali memilih pengkhianatan dan keuntungan material, mereka secara efektif menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan untuk mencapai Ridha Allah. Mereka menempatkan dunia (Dunya) di atas Akhirat, sebuah pilihan yang merupakan kezaliman terbesar terhadap potensi spiritual diri mereka sendiri. Mereka menjadi budak hawa nafsu dan keserakahan, menukar nilai-nilai abadi dengan kekayaan yang bersifat fana.

Kezaliman ini mencakup penolakan terhadap kebenaran yang jelas, suatu bentuk pembangkangan intelektual yang menutup pintu hati terhadap hidayah. Apabila hati telah tertutup, maka keadilan dan janji suci tidak lagi memiliki bobot apa pun. Inilah mengapa ayat tersebut menempatkan label *Al-Mu’tadun* pada mereka, karena mereka telah melampaui batas yang memisahkan keimanan dari kekufuran, keadilan dari ketidakadilan.

6.3. Sanksi Kezaliman (Keterangan Hukum Ilahi)

Dalam konteks Surah At-Taubah, sanksi bagi kaum *Al-Mu’tadun* yang melanggar janji adalah pemutusan hubungan dan pertimbangan untuk dikenakan hukuman fisik atau pengusiran, bergantung pada tingkat kejahatan mereka. Namun, di luar sanksi duniawi, sanksi teologisnya lebih parah. Allah tidak mencintai orang-orang yang zalim. Ini berarti mereka terputus dari dukungan dan rahmat Ilahi, yang merupakan kerugian terbesar. Keterputusan ini mengakibatkan kegelisahan abadi, ketidakpuasan, dan penderitaan di Hari Perhitungan. Ayat ini secara langsung mengaitkan pengkhianatan dengan kehilangan kedekatan dengan Tuhan.

Pemeliharaan *Illan* dan *Dzimmah* oleh kaum Mukminin sebaliknya menjamin keamanan dan ketenangan jiwa, serta janji surga. Oleh karena itu, ayat 10 adalah ultimatum moral dan spiritual, yang menuntut setiap individu untuk memilih pihak mana mereka berdiri: pihak keadilan dan janji, atau pihak kezaliman dan pengkhianatan.

7. Kontras dengan Ciri Mukmin Sejati: Pelestari Ahd

Untuk memahami sepenuhnya kecaman terhadap *Al-Mu’tadun*, kita perlu membandingkannya dengan sifat-sifat Mukmin sejati, yang dihormati dan dipuji dalam ayat-ayat lain. Mukmin sejati adalah mereka yang memelihara janji (Ahd) mereka, sebuah sifat yang disebut sebagai inti dari kesalehan. Jika *Al-Mu’tadun* adalah orang-orang yang tidak memelihara *Illan* dan *Dzimmah*, maka Mukmin sejati adalah lawan total dari sifat-sifat tersebut.

7.1. Ciri Utama: Menepati Janji (Wafa’ bil Ahd)

Al-Qur’an berulang kali memuji orang-orang yang *Wafa' bil Ahd* (menepati janji). Menepati janji bukan hanya tindakan sosial, melainkan ibadah yang menunjukkan pengakuan terhadap kekuasaan Allah yang menjadi saksi atas setiap ikrar. Mukmin memahami bahwa melanggar janji, sekecil apapun, adalah merusak kepercayaan yang telah dibangun di atas fondasi keimanan bersama.

Ayat ini mengajarkan kita bahwa ujian keimanan yang sesungguhnya terletak pada integritas ketika berinteraksi dengan pihak lain, terutama ketika ada kesempatan untuk mengambil keuntungan melalui pengkhianatan. Ketika Mukmin dihadapkan pada pilihan antara keuntungan duniawi sesaat dan pemeliharaan janji suci, mereka harus memilih yang kedua, karena itulah esensi dari ketakwaan.

7.2. Memelihara Ikatan Kemanusiaan (Ukhuwah)

Jika *Al-Mu’tadun* tidak memelihara *Illan* (ikatan kekerabatan), Mukmin sejati memelihara Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Persaudaraan ini melampaui ikatan darah. Ini adalah ikatan spiritual yang menuntut perlindungan, penghormatan, dan jaminan keamanan timbal balik. Membela hak seorang Mukmin lain, bahkan yang lemah, adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar. Kegagalan *Al-Mu’tadun* untuk menghormati ikatan ini menunjukkan betapa dangkalnya klaim keimanan mereka, yang hanya di mulut tetapi tidak meresap ke dalam perilaku sosial mereka.

Solidaritas ini adalah benteng pertahanan komunitas Mukmin. Ketika janji dan jaminan (Dzimmah) ditegakkan, komunitas menjadi kuat dan stabil. Ketika janji dikhianati, komunitas menjadi rapuh dan rentan terhadap infiltrasi dan kehancuran moral, yang merupakan tujuan utama dari perilaku *Al-Mu’tadun*.

8. Strategi Menanggapi Pengkhianatan dan Kezaliman

Ayat 10 tidak hanya berfungsi sebagai deskripsi, tetapi juga sebagai panduan praktis bagi kaum Mukminin mengenai bagaimana mereka harus bersikap terhadap pihak yang dikaruniai sifat *Al-Mu’tadun*. Ayat-ayat yang mendahului dan mengikutinya memberikan kerangka kerja yang jelas untuk strategi ini.

8.1. Waspada dan Tidak Memberi Kepercayaan Penuh

Jika seseorang telah dikenal tidak memelihara *Illan* maupun *Dzimmah*, kaum Mukminin diperintahkan untuk waspada dan tidak memberikan kepercayaan penuh kepada mereka. Ini adalah prinsip pertahanan diri yang logis. Kepercayaan hanya diberikan kepada mereka yang telah terbukti memiliki integritas. Interaksi dengan *Al-Mu’tadun* harus dibatasi pada batasan-batasan yang jelas dan formal, di mana setiap komitmen harus terikat secara hukum yang kuat, bukan hanya pada janji lisan yang mudah diingkari.

Kehati-hatian ini bukan karena kebencian, melainkan karena keadilan. Adalah tindakan zalim jika seorang Mukmin menempatkan dirinya dan komunitasnya dalam risiko dengan mempercayai pihak yang rekam jejaknya penuh dengan pengkhianatan. Ayat ini memberikan pembenaran teologis untuk mengambil sikap tegas dalam memelihara keamanan komunitas dari ancaman internal dan eksternal yang bersifat agresif.

8.2. Memelihara Batasan (Huddud)

Karena *Al-Mu’tadun* adalah orang-orang yang melampaui batas, respons yang benar adalah memperkuat batasan. Kaum Mukminin harus memastikan bahwa mereka sendiri tidak melanggar batasan etika dalam menghadapi pengkhianat. Keadilan harus ditegakkan tanpa melampaui batas yang telah ditetapkan Allah, bahkan ketika berhadapan dengan musuh yang paling agresif. Prinsip keadilan ini adalah ciri pembeda utama dari umat Islam.

Tindakan yang didorong oleh kemarahan atau balas dendam buta dapat membuat Mukmin juga jatuh ke dalam kategori *I'tidal* (melampaui batas). Oleh karena itu, prinsip dalam menghadapi *Al-Mu’tadun* adalah bertindak tegas, sesuai hukum, dan dengan tujuan menegakkan keadilan, bukan semata-mata memuaskan emosi. Ini memerlukan kebijaksanaan dan ketenangan spiritual yang mendalam, meskipun menghadapi provokasi yang berulang-ulang.

8.3. Prinsip Takhalli dan Tahalli

Dalam konteks sufistik dan tarbiyah (pendidikan spiritual), ayat ini mengajarkan prinsip *Takhalli* (membersihkan diri dari sifat buruk) dan *Tahalli* (menghiasi diri dengan sifat baik). Bagi seorang Mukmin, melihat sifat *Al-Mu’tadun* harus menjadi cermin untuk memeriksa dirinya sendiri: apakah aku sendiri memelihara *Illan* dan *Dzimmah*? Apakah aku secara tidak sadar melampaui batas dalam ucapan, tindakan, atau hak orang lain?

Pelajaran terpenting dari ayat 10 adalah kebutuhan untuk introspeksi diri secara konstan. Jika kita ingin komunitas kita bersih dari kezaliman, setiap individu harus memastikan bahwa ia adalah pelestari janji, bukan pelanggar. Ketidakadilan dimulai dari hati yang meremehkan janji kecil, yang kemudian berkembang menjadi pengkhianatan yang lebih besar. Ayat ini mendorong pencapaian integritas total, yang merupakan prasyarat mutlak untuk mendapatkan kepercayaan Ilahi.

9. Kontinuitas Pesan Kenabian tentang Janji

Kewajiban memelihara janji bukanlah ajaran yang baru diperkenalkan oleh Surah At-Taubah. Ayat 10 ini merupakan penegasan ulang dari prinsip-prinsip etika yang diajarkan oleh seluruh nabi, dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap risalah kenabian selalu menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan pemenuhan janji (Ahd).

9.1. Janji dalam Sunnah Nabi

Dalam hadits-hadits, pengkhianatan janji disebut sebagai salah satu tanda kemunafikan. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ciri-ciri munafik ada tiga, salah satunya adalah jika berjanji dia mengingkarinya. Ayat 10 berfungsi sebagai konfirmasi Ilahi terhadap pernyataan kenabian ini, menempatkan pengkhianatan janji (pengabaian *Illan* dan *Dzimmah*) sebagai inti dari karakter yang dicela. Orang yang berulang kali melanggar janji telah kehilangan haknya untuk disebut sebagai Mukmin yang jujur, karena integritasnya telah runtuh.

Etika janji ini sangat ditekankan karena ia membangun jembatan antara dunia dan akhirat. Janji yang ditepati di dunia adalah investasi untuk keamanan di akhirat. Sebaliknya, pengkhianatan adalah beban yang akan memberatkan timbangan amal di Hari Perhitungan. Bagi umat Islam, perjanjian, baik yang disaksikan manusia maupun tidak, selalu disaksikan oleh Allah. Kesadaran akan kehadiran Allah (Muraqabah) adalah benteng yang mencegah seseorang jatuh ke dalam sifat *Al-Mu’tadun*.

9.2. Pelajaran dari Kisah Umat Terdahulu

Al-Qur’an penuh dengan kisah umat terdahulu yang dihancurkan karena mereka melanggar perjanjian suci mereka dengan Allah dan rasul-Nya. Kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud—semuanya menunjukkan pola yang sama: kezaliman (Zulm), arogansi, dan pelanggaran janji (Ahd). Ayat 10 memperingatkan kaum Mukminin agar tidak mengikuti jejak mereka. Sejarah diulang ketika prinsip-prinsip dasar moral diabaikan demi keuntungan sesaat.

Pengkhianatan yang dijelaskan dalam ayat 10 adalah wujud dari penyakit yang telah menghancurkan peradaban sebelumnya: penyakit hati yang meremehkan hak-hak orang lain. Keserakahan dan egoisme membutakan mata hati mereka sehingga mereka tidak lagi melihat nilai spiritual dari perjanjian dan ikatan. Mereka hanya melihat peluang untuk dominasi dan eksploitasi, sebuah pola pikir yang Allah labeli sebagai *I'tidal* atau melampaui batas.

10. Penutup: Relevansi Abadi Ayat 10 At-Taubah

Surah At-Taubah ayat 10 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam etika muamalah (interaksi sosial) dan keimanan. Ia menyimpulkan dengan ringkas nasib spiritual mereka yang memilih jalan pengkhianatan dan kezaliman. Pesan abadi ayat ini adalah bahwa tidak ada pembenaran di hadapan Allah bagi mereka yang secara konsisten dan sistematis mengabaikan hak-hak dan jaminan (Illan dan Dzimmah) yang seharusnya mereka berikan kepada sesama Mukmin.

Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa integritas adalah mata uang keimanan. Apabila seseorang telah kehilangan kemampuan untuk menepati janji, maka ia telah kehilangan integritasnya. Label *Al-Mu’tadun* adalah stempel yang menakutkan, menandakan bahwa individu tersebut telah memilih untuk berpihak pada kezaliman, dan konsekuensinya adalah pemutusan hubungan dari masyarakat Mukmin yang adil dan, yang lebih penting, dari rahmat Allah.

Sebagai penutup refleksi panjang ini, mari kita tegaskan kembali empat poin kunci yang terkandung dalam At-Taubah ayat 10:

  1. Kewajiban Universal: Pemeliharaan janji (Dzimmah) dan ikatan moral (Illan) adalah kewajiban etika yang melampaui batas waktu dan tempat. Ini berlaku dalam setiap aspek kehidupan: keluarga, bisnis, politik, dan hubungan antarnegara.
  2. Definisi Kezaliman: Kezaliman (I’tidal) didefinisikan sebagai pengabaian hak dan janji secara sengaja dan berulang. Ia bukan sekadar kesalahan, melainkan karakter yang tercela.
  3. Ujian Keimanan: Perlakuan kita terhadap sesama Mukmin (dan secara umum, sesama manusia) dalam hal janji dan hak adalah barometer sejati dari kedalaman akidah kita.
  4. Konsekuensi Ilahi: Allah dengan jelas membedakan antara yang adil dan yang zalim, dan janji bagi *Al-Mu’tadun* adalah pembalasan yang setimpal atas pelanggaran batas mereka.

Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa memelihara *Illan* dan *Dzimmah*, sehingga kita terhindar dari gelar yang menakutkan, yaitu *Al-Mu’tadun*, dan meraih keselamatan dunia dan akhirat.

Akhir dari Kajian Mendalam At-Taubah Ayat 10.

🏠 Homepage