Alt Text: Simbol Ganjaran Ilahi atas Pengorbanan
I. Pendahuluan: Menggali Esensi Pengorbanan Sejati
Surah At-Taubah, surah kesembilan dalam Al-Qur'an, dikenal sebagai surah yang banyak memuat hukum-hukum terkait jihad, perjanjian, dan pemisahan antara kaum mukminin dan orang-orang munafik. Di antara rangkaian ayat yang penuh ketegasan tersebut, terdapat sebuah mutiara hikmah yang menggambarkan secara rinci betapa berharganya setiap bentuk pengorbanan yang dilakukan seorang mukmin di jalan Allah SWT. Ayat 120 dari surah ini bukanlah sekadar dorongan moral untuk berperang, melainkan sebuah pernyataan teologis dan spiritual yang mendalam mengenai sistem pencatatan amal (Ihsanul Jaza’) yang sempurna di sisi Ilahi.
Ayat ini diturunkan dalam konteks spesifik, yaitu Ekspedisi Tabuk—sebuah perjalanan militer yang sangat sulit, penuh tantangan geografis, dan kondisi iklim yang ekstrem. Namun, makna yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan melampaui medan pertempuran fisik semata. Ia mengajarkan kita bahwa penderitaan, kelelahan, rasa lapar, haus, dan setiap langkah yang diambil demi menegakkan kebenaran tidak akan pernah sia-sia, bahkan dicatat secara terperinci sebagai amal saleh yang bernilai tinggi.
Kita akan membedah setiap frasa dalam ayat ini untuk memahami janji agung Allah: bahwa setiap kesulitan yang dihadapi dalam ketaatan—baik itu jihad besar (perang) maupun jihad internal (perjuangan melawan hawa nafsu dan kesukaran hidup)—diperhitungkan dan diganjar dengan pahala, melebihi sekadar hasil akhir dari perjuangan tersebut. Ini adalah fondasi keikhlasan, di mana niat murni dan proses yang sulit justru menjadi inti ibadah.
II. Teks Mulia dan Terjemah Surah At-Taubah Ayat 120
“Tidaklah patut bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka mencintai diri mereka sendiri melebihi kecintaan kepada diri Rasul. Yang demikian itu, karena mereka tidak ditimpa kehausan, tidak pula kepayahan, dan tidak pula kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dicatatlah bagi mereka dengan yang demikian itu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik (muhsinin).”
Ayat ini memuat dua penekanan utama. Pertama, kewajiban taat dan pengorbanan diri bagi Rasulullah SAW, serta celaan bagi mereka yang bermalas-malasan. Kedua, janji rinci mengenai pencatatan amal saleh atas setiap bentuk kesulitan dan upaya yang dilakukan di jalan Allah.
III. Asbabun Nuzul: Ekspedisi Tabuk sebagai Puncak Ujian
Para ulama tafsir sepakat bahwa ayat 120, bersama dengan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya (dari ayat 117 hingga 121), secara spesifik merujuk pada peristiwa Ghazwah Tabuk. Ekspedisi ini merupakan momen krusial yang menguji keimanan sejati dan memisahkan barisan mukmin dari kaum munafik yang mencari alasan untuk mundur.
3.1. Keadaan yang Melatarbelakangi Tabuk
Perjalanan ke Tabuk adalah salah satu ekspedisi militer terberat yang pernah dilakukan kaum Muslimin. Terdapat tiga kesulitan besar:
- Jarak yang Jauh: Tabuk terletak di perbatasan antara Jazirah Arab dan Syam (Suriah modern), perjalanan yang sangat panjang melintasi padang pasir.
- Waktu yang Tepat: Perjalanan dilakukan pada musim panas yang ekstrem. Panas terik membuat sumber air langka, dan kondisi kehausan (ẓamā’) menjadi ancaman nyata.
- Musim Panen: Saat itu adalah musim memetik kurma, yang biasanya menjadi sumber penghasilan utama. Meninggalkan Madinah berarti meninggalkan kenyamanan dan hasil panen yang dinanti-nantikan.
Dalam kondisi yang begitu memberatkan inilah, Allah menurunkan ayat ini untuk menenangkan hati para mujahid yang menderita dan mengingatkan mereka bahwa setiap tetes keringat, setiap rasa lapar yang menusuk, dan setiap langkah kaki yang terasa berat memiliki nilai abadi di sisi-Nya. Ini adalah jaminan bahwa kesulitan fisik adalah mata uang yang dapat ditukarkan dengan pahala yang tak terhingga.
3.2. Celaan bagi yang Enggan Berangkat
Paruh pertama ayat ini menegaskan bahwa tidak seharusnya penduduk Madinah (termasuk Badui di sekitarnya) enggan menyertai Rasulullah. Keengganan ini dilihat sebagai bentuk mencintai diri sendiri melebihi kecintaan pada Rasul dan risalahnya. Kecintaan yang sejati menuntut pengorbanan kenyamanan pribadi demi kepentingan yang lebih besar, yaitu agama dan pemimpin spiritual umat.
Ayat ini secara efektif mengubah pandangan umat Islam terhadap penderitaan. Penderitaan bukanlah hukuman, melainkan kesempatan untuk meningkatkan derajat keimanan dan pahala, asalkan dilakukan di ‘Sabilillah’ (Jalan Allah) dan dengan niat yang murni.
IV. Tahlil Lafzi: Mendalami Makna Setiap Pengorbanan yang Dicatat
Inti dari Ayat 120 terletak pada enam jenis penderitaan dan tindakan yang secara eksplisit dijamin dicatat sebagai amal saleh. Pemahaman mendalam terhadap lafaz-lafaz ini sangat penting untuk memahami cakupan universal ayat tersebut.
4.1. Tiga Bentuk Penderitaan Fisik
Ayat ini menyebutkan secara berurutan tiga jenis penderitaan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang ekstrem:
a. الظَّمَأُ (Az-Zhamā’ – Kehausan)
Ini adalah penderitaan pertama yang disebut, mengingat perjalanan Tabuk yang melewati gurun di musim panas. Kehausan bukan sekadar rasa kering di tenggorokan, melainkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup. Allah menjanjikan bahwa penderitaan ini, yang diterima dengan sabar di jalan-Nya, akan dihitung sebagai amal saleh. Ini mengajarkan bahwa kebutuhan dasar fisiologis yang tertahan demi ketaatan memiliki nilai spiritual yang tinggi.
b. النَّصَبُ (An-Naṣab – Kepayahan/Kelelahan)
Lafaz ini mencakup segala bentuk kelelahan fisik yang disebabkan oleh perjalanan, pemindahan perbekalan, atau pekerjaan berat. Ini bukan hanya kelelahan biasa, tetapi kepayahan yang mendalam (it’ab). Dalam konteks modern, Naṣab dapat diartikan sebagai kelelahan yang dialami para penuntut ilmu yang begadang demi belajar, atau aktivis sosial yang bekerja keras tanpa pamrih. Semua kepayahan ini, selama motivasinya adalah Sabilillah, akan dicatat.
c. الْمَخْمَصَةُ (Al-Makhmaṣah – Kelaparan)
Makhmaṣah merujuk pada kelaparan yang menyebabkan perut menjadi kosong atau kempis. Ini menunjukkan kurangnya perbekalan, lagi-lagi sangat relevan dalam perjalanan jauh seperti Tabuk. Janji pahala atas kelaparan ini menekankan pentingnya pengorbanan harta dan kenyamanan pangan demi tujuan yang lebih suci.
Pentingnya Urutan: Urutan ini (Haus, Lelah, Lapar) sering dianalisis oleh mufasir menunjukkan tingkat prioritas penderitaan dalam kondisi padang pasir. Kehilangan air lebih cepat mengancam jiwa dibandingkan kelaparan, dan oleh karena itu disebutkan pertama.
4.2. Dua Bentuk Tindakan Strategis dan Hasilnya
Selain penderitaan pasif, ayat ini juga mencatat ganjaran atas tindakan aktif yang bertujuan merendahkan musuh:
d. وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ (Menginjak Tempat yang Membuat Kafir Marah)
Ini adalah poin yang sangat simbolis. Mawṭi’an berarti tempat yang diinjak, bisa berupa daerah musuh, benteng yang dihancurkan, atau bahkan keberadaan fisik kaum Muslimin di lokasi strategis. Intinya, setiap langkah yang mereka ambil, yang menyebabkan kemarahan dan frustrasi di hati musuh Allah, dicatat sebagai amal saleh. Ganjaran di sini diberikan bukan hanya atas hasil fisik (kemenangan), tetapi atas dampak psikologis dan moral yang ditimbulkan pada musuh. Ini mengajarkan bahwa mempertahankan marwah dan izzah (kemuliaan) Islam adalah ibadah.
e. وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلًا (Menimpakan Suatu Bencana/Kerugian kepada Musuh)
Nailan adalah hasil, baik berupa rampasan, pembunuhan, penawanan, atau kerugian material lainnya yang diderita musuh. Menariknya, Allah menjamin pencatatan amal saleh atas setiap hasil yang dicapai, sekecil apa pun itu. Ini memastikan bahwa upaya yang dilakukan tidak akan pernah sia-sia, bahkan jika hasilnya di dunia tampak kecil.
4.3. Pencatatan yang Sempurna: إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
Frasa ini adalah janji pusat dari ayat ini. Kata ‘kutiba’ (dicatat) menunjukkan kepastian dan ketepatan mutlak dalam sistem hisab Ilahi. Allah tidak hanya mencatat niat, tetapi juga setiap detail penderitaan yang dilalui. Keunikan janji ini adalah bahwa penderitaan itu sendiri, yang biasanya dianggap sebagai hal negatif, diubah statusnya menjadi ‘amal ṣāliḥ’ (amal saleh) karena ia dilakukan di jalan Allah.
Ini adalah manifestasi dari sifat Al-‘Adl (Maha Adil) dan Al-Karim (Maha Mulia) Allah, yang menghargai proses, kesulitan, dan niat, bahkan sebelum hasil akhir tercapai. Ganjaran ini diberikan atas setiap unsur kesulitan, sehingga pahalanya berlipat ganda sesuai dengan jumlah penderitaan yang diderita.
V. Dimensi Spiritual: Keikhlasan, Ihsan, dan Janji Muhsinin
Ayat 120 ditutup dengan penegasan fundamental: إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ (Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik).
5.1. Makna Sejati ‘Sabilillah’
Semua janji ganjaran di atas dikaitkan dengan satu syarat utama: dilakukan ‘Fī Sabīlillāh’ (di jalan Allah). Tanpa niat yang murni di jalan Allah, penderitaan fisik hanya akan menjadi kesengsaraan belaka tanpa nilai spiritual. Sabilillah mencakup setiap usaha yang bertujuan meninggikan kalimat Allah, termasuk:
- Jihad Aṣghar (Perang Pertahanan).
- Jihad Akbar (Perjuangan melawan hawa nafsu dan syahwat).
- Menuntut ilmu yang bermanfaat (dengan kesulitan).
- Berjuang mencari nafkah halal di tengah kesulitan.
- Dakwah dan amar ma'ruf nahi mungkar.
Syarat Sabilillah memisahkan pengorbanan yang mulia dari pengorbanan yang sia-sia, seperti penderitaan dalam mencari ketenaran duniawi atau kekuasaan pribadi.
5.2. Puncak Ibadah: Status Al-Muhsinīn
Ayat ini ditujukan kepada Al-Muhsinīn—orang-orang yang mencapai derajat Ihsan. Ihsan, sebagaimana didefinisikan dalam hadis Jibril, adalah beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika engkau tidak mampu, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu. Ketika seorang mujahid menahan haus dan lapar, ia melakukannya karena kesadaran penuh bahwa Allah melihat dan mencatat setiap detil tersebut.
Orang yang berbuat Ihsan memiliki kualitas utama: keikhlasan total. Mereka tidak mencari pujian manusia, tidak mengharapkan hasil duniawi, tetapi hanya mencari keridhaan Allah. Karena Allah melihat niat yang tulus dan pengorbanan yang dipersembahkan dengan Ihsan, Dia menjamin bahwa ganjaran mereka (ajr) tidak akan pernah hilang atau berkurang sedikit pun.
5.3. Filsafat Pencatatan Ilahi
Ayat ini mengungkapkan rahasia pencatatan amal yang melampaui logika manusia. Kita seringkali hanya menghargai hasil, tetapi Allah menghargai usaha yang diwarnai penderitaan. Dalam sistem pahala dunia, jika seseorang gagal mencapai tujuan, usahanya dianggap nol. Dalam Islam, ayat ini menjamin bahwa bahkan jika ekspedisi militer tidak menghasilkan kemenangan besar, atau jika usaha dakwah menemui kegagalan di mata manusia, penderitaan yang dilalui demi tujuan itu sendiri telah dicatat sebagai kemenangan spiritual abadi.
Ini membebaskan mukmin dari kekecewaan hasil, mengalihkan fokus dari performa ke konsistensi dan ketulusan dalam perjuangan. Kesabaran menghadapi Naṣab (kepayahan) menjadi ibadah yang unik.
VI. Perluasan Makna Kontemporer dan Jihad Al-Nafs
Meskipun konteks spesifiknya adalah perang fisik, para ulama modern dan klasik telah sepakat bahwa prinsip yang digariskan dalam At-Taubah 120 berlaku untuk semua bentuk kesulitan yang dihadapi dalam ketaatan kepada Allah.
6.1. Jihad dalam Pendidikan dan Ilmu
Seorang penuntut ilmu (thalibul ‘ilm) yang berjuang melawan kantuk, dingin, atau kesulitan finansial, yang meninggalkan kenyamanan rumahnya demi mencari ilmu agama, dapat menarik inspirasi langsung dari ayat ini. Rasa lelah yang mendera saat menelaah kitab, atau pengorbanan waktu istirahat (Naṣab) yang dilakukan demi menguasai pemahaman, dijamin dicatat sebagai amal saleh.
Kesulitan dalam belajar seringkali lebih berat daripada kesulitan fisik biasa, karena menuntut konsentrasi mental dan disiplin diri yang tinggi. Ayat ini adalah penguatan bahwa Allah menghargai setiap tetes energi yang dikeluarkan untuk menjaga obor ilmu tetap menyala.
6.2. Jihad dalam Mencari Nafkah Halal
Ayat ini juga memberikan penghiburan dan motivasi bagi pekerja keras yang berjuang mencari rezeki halal. Seorang petani yang bekerja di bawah terik matahari, menanggung haus (Ẓamā’) dan lelah (Naṣab), atau seorang ibu yang berkorban waktu tidurnya demi mengurus keluarga dan mendidik anak-anak (yang merupakan bentuk jihad sosial), jika dilakukan dengan niat ibadah, semua penderitaan ini dihitung sebagai amal ṣāliḥ.
Ini menempatkan pekerjaan sehari-hari yang sulit dalam kerangka ibadah, mengubah ruang kerja menjadi medan jihad spiritual, selama tujuan utamanya adalah menunaikan kewajiban dan menjauhi yang haram.
6.3. Konsep Mawṭi’an (Langkah yang Membuat Musuh Marah) dalam Konteks Modern
Dalam konteks modern, ‘Mawṭi’an yaghīẓu al-kuffāra’ tidak harus berupa tapak kaki di medan perang. Ini bisa berarti:
- Keunggulan Intelektual: Keberhasilan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat pihak-pihak yang tidak menyukai Islam merasa terancam.
- Ketahanan Moral: Teguh pendirian dalam menjaga nilai-nilai moral dan etika Islam di tengah tekanan sekularisasi global, yang tentu saja membuat musuh Islam frustrasi.
- Soliditas Ekonomi: Membangun lembaga ekonomi yang adil dan kuat berdasarkan syariah, yang menimbulkan kecemburuan dan kemarahan sistem riba.
Setiap langkah menuju kemajuan dan ketegasan identitas Islam yang membuat musuh risalah merasa gentar dan marah adalah amal yang dicatat Allah, sesuai dengan semangat ayat 120.
VII. Implikasi Teologis: Kekuatan Tauhid dalam Penderitaan
Surah At-Taubah ayat 120 merupakan salah satu penekanan paling kuat dalam Al-Qur’an mengenai hubungan antara ujian hidup dan ganjaran tauhid (keesaan Allah). Ayat ini mengajarkan beberapa pelajaran teologis vital.
7.1. Korelasi Penderitaan dan Kenaikan Derajat
Ayat ini secara eksplisit mengajarkan bahwa penderitaan (mashaqqah) di jalan Allah bukanlah halangan atau tanda ketidakridhaan-Nya, melainkan jalur cepat menuju peningkatan derajat (darajat). Semakin berat ujian yang dihadapi seorang mukmin, semakin besar potensi pahala yang ia raih, asalkan ia tetap dalam bingkai kesabaran dan keikhlasan.
Ini membalikkan paradigma hedonistik dunia yang menganggap penderitaan sebagai sesuatu yang harus dihindari sepenuhnya. Islam mengajarkan bahwa penderitaan yang disengaja dalam ketaatan adalah investasi akhirat. Contoh klasik adalah kewajiban haji dan umrah, yang secara inheren penuh dengan Naṣab (kepayahan), dan justru kepayahan itu yang disukai Allah.
7.2. Kesempurnaan Ilmu Allah (Al-’Alim)
Janji “dicatatlah bagi mereka dengan yang demikian itu amal saleh” adalah penegasan terhadap kesempurnaan ilmu Allah. Allah tidak hanya mengetahui tindakan besar, tetapi juga detail terkecil dari pengalaman subjektif manusia—rasa haus, kelelahan otot, dan sengatan lapar. Tidak ada satu pun momen pengorbanan yang luput dari pandangan-Nya.
Keyakinan ini (tauhid dalam Ilmu Allah) adalah pondasi spiritual yang mencegah seorang mukmin merasa putus asa atau tidak dihargai, meskipun pengorbanannya tidak dilihat atau diakui oleh manusia lain. Motivasi mereka menjadi murni Ilahi, terlepas dari validasi eksternal.
7.3. Konsep 'La Yuḍī’u' (Tidak Menyia-nyiakan)
Penutupan ayat dengan janji bahwa Allah “lā yuḍī’u ajra al-muḥsinīn” (tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik) merupakan penguatan teologis terkuat. Kata 'yuḍī’u' (menyia-nyiakan) menunjukkan bahwa pahala tersebut dijamin keberadaannya, dijaga nilainya, dan akan diberikan secara utuh. Ini adalah jaminan mutlak bagi mereka yang berjuang dengan Ihsan.
Jaminan ini sangat penting bagi jiwa yang letih, karena ia meyakinkan bahwa setiap langkah, setiap napas, setiap pengeluaran harta, meskipun tampaknya kecil dan tidak signifikan, telah diarsipkan dengan sempurna di sisi Tuhan Yang Maha Agung.
VIII. Analisis Mendalam: Keterkaitan antara Mashaqqah (Kesulitan) dan Keikhlasan
Untuk memahami kedalaman 5000 kata dari Ayat 120, kita harus memahami bagaimana Islam mengintegrasikan kesulitan fisik (Mashaqqah) ke dalam kerangka ibadah. Ayat ini adalah manifesto bahwa kesulitan bukanlah penghalang ibadah, melainkan esensi dari ibadah yang bernilai tinggi.
8.1. Mashaqqah sebagai Pemurni Niat
Ketika suatu tindakan menjadi mudah, risiko untuk melakukannya dengan riya (pamer) atau mencari pujian sangat tinggi. Sebaliknya, ketika sebuah ketaatan menuntut pengorbanan besar, seperti menahan haus di gurun, peluang riya mengecil secara drastis. Siapa yang akan melihat kelelahan seseorang di tengah sunyi gurun? Hanya Allah.
Oleh karena itu, Mashaqqah berfungsi sebagai filter alami yang memurnikan niat, memastikan bahwa tindakan tersebut benar-benar dilakukan Fī Sabīlillāh. Semakin besar kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan perintah, semakin murni pula niat untuk mencari wajah Allah semata.
8.2. Empat Jenis Infak (Pengeluaran) yang Dihargai
Meskipun ayat 120 fokus pada penderitaan, konteks At-Taubah secara umum juga membahas pengeluaran harta (infak). Ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya menekankan bahwa pengorbanan fisik harus didampingi pengorbanan finansial. Setiap pengeluaran yang dilakukan mujahid—untuk membeli air, perbekalan, atau menutupi kebutuhan rekan seperjuangan—juga dicatat sebagai amal saleh.
Para mufasir membagi infak menjadi empat kategori yang saling terkait dengan Mashaqqah:
- Infak Harta: Pengeluaran materi yang disertai rasa berat hati karena besarnya jumlah yang dikeluarkan.
- Infak Tenaga: Pengeluaran energi fisik yang disertai rasa lelah (Naṣab).
- Infak Waktu: Pengorbanan waktu istirahat atau keluarga demi tugas agama.
- Infak Jiwa: Pengorbanan nyawa di medan perang (puncak dari semua penderitaan).
Ayat 120 memastikan bahwa bahkan jika infak harta tidak tersedia, infak tenaga dan penderitaan fisik sudah cukup untuk menjamin ganjaran, selama motivasinya benar.
8.3. Detail Ketepatan Catatan (Iṭlāq al-Ajar)
Penekanan pada kata ‘dicatatlah’ (kutiba) menunjukkan sistem penilaian yang sangat terperinci dan adil. Bayangkan seorang prajurit yang berjalan kaki dalam kondisi panas terik. Setiap: (1) Langkah yang diayunkan, (2) Detak jantung yang meningkat karena kelelahan, (3) Tetes keringat yang jatuh, (4) Rasa haus yang diderita, semuanya dicatat terpisah. Ini berarti ganjaran pahala (ajr) mereka berlipat ganda, bukan hanya ganjaran umum atas keberangkatan ke Tabuk, tetapi ganjaran spesifik atas setiap kesulitan. Prinsip ini dapat diterapkan pada ibadah lain, seperti Shalat Tahajjud di malam yang dingin atau Puasa di hari yang panjang.
Inilah yang membedakan pahala Allah dari perhitungan manusia. Manusia mengukur kuantitas; Allah mengukur intensitas pengorbanan yang terwujud dalam kualitas penderitaan fisik dan mental.
IX. Kontemplasi Mendalam dan Aplikasi Praktis Ayat 120
Ayat ini adalah panggilan universal bagi umat Islam di setiap zaman. Ia mengajarkan tentang prioritas nilai dan bagaimana seharusnya kita memandang kesenangan duniawi versus kesenangan abadi.
9.1. Mengapa Mencintai Diri Sendiri Melebihi Rasul Dilarang?
Ayat 120 memarahi mereka yang memilih mencintai diri mereka sendiri (kenyamanan, keamanan, kekayaan) melebihi kecintaan kepada Rasulullah. Dalam konteks Tabuk, ini berarti memilih tinggal di Madinah yang sejuk dan menikmati panen kurma, daripada menemani Rasulullah dalam kesulitan yang teramat sangat.
Secara spiritual, ini adalah celaan terhadap egoisme. Mencintai Rasulullah berarti mencintai risalah yang beliau bawa. Jika kita memprioritaskan kenyamanan pribadi di atas kebutuhan risalah (dakwah, keadilan sosial, pendidikan), kita telah gagal dalam ujian kecintaan ini. Ayat ini memaksa mukmin untuk selalu meletakkan misi Ilahi di atas insting bertahan hidup dan mencari kesenangan.
9.2. Penggunaan Nafas dan Energi
Semua penderitaan yang disebutkan dalam ayat 120—haus, lelah, lapar—adalah hasil dari penggunaan nafas dan energi manusia. Ayat ini memberikan nilai suci pada hal-hal yang paling mendasar dari eksistensi fisik kita. Jika energi dihabiskan untuk kesia-siaan, ia hilang. Jika ia dihabiskan dalam ketaatan, meskipun menimbulkan kepayahan, ia diubah menjadi pahala yang kekal.
Ini adalah prinsip manajemen energi spiritual: Mukmin diarahkan untuk berinvestasi dalam kelelahan yang menghasilkan pahala, dan menghindari istirahat yang membawa kerugian (seperti istirahat yang menyebabkan meninggalkan kewajiban).
9.3. Menghadapi Ujian Sosial dan Tekanan
Di luar medan perang fisik, mukmin hari ini menghadapi 'perang' sosial dan moral. Seringkali, berpegang teguh pada prinsip Islam menyebabkan tekanan sosial, ejekan, atau bahkan diskriminasi. Tekanan mental dan emosional ini adalah bentuk Naṣab (kepayahan) modern. Mampu bertahan dari tekanan ini demi menjaga keimanan adalah bentuk ketaatan yang sangat berharga.
Bahkan rasa marah dan frustrasi yang timbul di hati ketika melihat kemungkaran, yang kemudian memotivasi mukmin untuk berjuang melakukan perubahan, juga dapat dikategorikan dalam semangat ‘Mawṭi’an yaghīẓu al-kuffāra’—sebuah keberadaan yang teguh dan menantang status quo yang menyimpang.
9.4. Kesabaran dan Istiqamah dalam Jangka Panjang
Ayat 120 menekankan nilai penderitaan yang berkelanjutan. Jihad bukan hanya peristiwa sesaat, melainkan perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan harian. Janji pahala atas setiap detil kesulitan ini menjadi sumber motivasi bagi istiqamah (keteguhan). Mukmin tidak boleh berhenti karena lelah, karena setiap kelelahan yang dialami dalam perjalanan panjang ketaatan justru mendekatkannya pada status muḥsinīn, yang pahalanya dijamin sempurna oleh Allah SWT.
Ayat ini mengajarkan bahwa konsistensi dalam menanggung beban kecil setiap hari, yang diakumulasi dari waktu ke waktu, memiliki bobot yang jauh lebih besar di sisi Allah dibandingkan tindakan spektakuler yang dilakukan tanpa ketulusan. Ini adalah cetak biru untuk kehidupan yang dijalani sepenuhnya dalam rangka ibadah.
X. Penutup: Ganjaran yang Tak Terbatas
Surah At-Taubah ayat 120 berdiri sebagai monumen keadilan dan kemurahan Allah (Al-’Adl wal Karīm). Ayat ini meyakinkan setiap individu yang berjuang di jalan ketaatan bahwa tidak ada satu pun pengorbanan—sekecil apa pun rasa haus, kelelahan, atau kelaparan—yang akan terlewatkan dari catatan agung Ilahi.
Ayat ini merubah pemahaman kita tentang penderitaan; ia mengubahnya dari musibah menjadi mata uang pahala yang paling berharga. Dengan pemahaman ini, seorang mukmin akan menghadapi setiap kesulitan dalam hidup, baik itu dalam menunaikan shalat di waktu subuh yang dingin, mencari nafkah di bawah terik matahari, atau berjuang mempertahankan nilai-nilai kebenaran, dengan semangat yang baru. Semangat bahwa dia sedang mengumpulkan investasi abadi yang dijanjikan secara eksplisit oleh Sang Pencipta.
Pada akhirnya, At-Taubah 120 adalah undangan untuk mencapai derajat Al-Muhsinin—mereka yang melakukan segala sesuatu dengan kualitas terbaik dan niat paling murni. Karena mereka yang mencapai derajat Ihsan, Allah menjamin bahwa “lā yuḍī’u ajra al-muḥsinīn”. Sebuah janji yang kekal dan pasti bagi setiap jiwa yang memilih jalan pengorbanan demi keridhaan-Nya.