Keteladanan Agung Surah At-Taubah Ayat 128: Manifestasi Kasih Sayang Nabi Muhammad SAW

Pendahuluan: Ayat Penutup Kekuatan dan Kasih Sayang

Surah At-Taubah merupakan surah Madaniyyah yang secara spesifik diturunkan pada periode akhir kenabian, berfokus pada hukum perang, perjanjian, dan penetapan batas-batas keimanan. Namun, di tengah ketegasan dan perintah yang mengatur urusan umat, surah ini ditutup dengan dua ayat yang lembut dan monumental, yang secara ringkas menggambarkan esensi kepribadian dan karakter utusan terakhir Allah SWT, Nabi Muhammad bin Abdullah. Ayat tersebut, khususnya Ayat 128, berfungsi sebagai penyejuk hati dan pengingat abadi akan sifat kemanusiaan dan spiritualitas Rasulullah yang luar biasa. Ayat ini, yang menjadi topik pembahasan mendalam ini, adalah fondasi utama untuk memahami kasih sayang, kepedulian, dan pengorbanan yang tiada tara yang telah beliau curahkan kepada seluruh umat manusia, khususnya kepada orang-orang yang beriman.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Terjemahan maknanya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) untukmu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128).

Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif dan mendalam sebagaimana yang dikehendaki oleh keagungan ayat ini, kita perlu merenungi setiap diksi yang dipilih Allah SWT. Ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah pengakuan Ilahi yang menempatkan Rasulullah SAW sebagai model kepemimpinan spiritual dan sosial yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Setiap kata dalam ayat ini membuka gerbang menuju samudera hikmah Sirah Nabawiyah, memperlihatkan bagaimana kepedulian beliau menjangkau setiap aspek kehidupan kaum mukmin, dari yang paling pribadi hingga urusan kenegaraan yang paling kompleks. Analisis mendalam terhadap struktur linguistik, konteks historis (Asbabun Nuzul), dan implikasi teologisnya adalah langkah esensial untuk menginternalisasi karakter yang digambarkan dalam ayat mulia ini.

Ilustrasi Cahaya Rahmat dan Kasih Sayang RAHMAH

Simbol Kasih Sayang dan Kepedulian Nabi (At-Taubah 128)

Analisis Tafsir Mendalam Ayat 128

Untuk menggali makna 5000 kata dari satu ayat, kita harus membedah setiap frasa, memahami makna leksikalnya, dan mengaitkannya dengan keseluruhan misi kenabian.

1. لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ (Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri)

Frasa ini menekankan bahwa Rasulullah SAW bukanlah sosok asing atau entitas supra-alamiah yang tidak dapat dijangkau. Beliau adalah 'min anfusikum'—dari diri kalian sendiri. Menurut Ibnu Abbas dan mufassir lainnya, ini berarti beliau adalah manusia sejati, lahir dan besar di lingkungan mereka, memiliki garis keturunan yang mulia dan dikenal kejujurannya sejak muda (Al-Amin). Keutamaan ini penting secara pedagogis: keteladanan beliau realistis dan dapat diikuti. Karena beliau berasal dari kalangan manusia, segala ujian dan perjuangan yang beliau alami menjadi bukti bahwa kesempurnaan akhlak dan ketaatan tertinggi adalah capaian yang mungkin dilakukan oleh manusia biasa, namun dibimbing wahyu Ilahi. Mufassir Al-Qurtubi menekankan bahwa aspek 'dari kaummu sendiri' memastikan tidak ada alasan bagi Bani Israil atau kaum Quraisy untuk menolak beliau atas dasar perbedaan ras atau bangsa, karena secara umum, beliau adalah manusia yang dapat mereka pahami dan dekati.

2. عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ (Berat terasa olehnya penderitaanmu)

Kata kunci di sini adalah 'Aziz' dan 'Anittum'. 'Aziz' berarti berat, sulit, atau menyakitkan. 'Anittum' merujuk pada kesusahan, penderitaan, kesulitan, dan siksaan, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi, ayat ini menggambarkan tingkat empati Rasulullah SAW. Penderitaan sekecil apa pun yang dialami umatnya—kefakiran, sakit, keraguan, atau kesulitan dalam melaksanakan syariat—turut membebani hati beliau. Beliau tidak hanya peduli, tetapi secara emosional terbebani oleh kesulitan mereka. Tafsir Al-Thabari menjelaskan bahwa penderitaan di sini mencakup dua hal: kesulitan duniawi yang dihadapi umat (seperti serangan musuh atau kekurangan rezeki), dan kesulitan rohani (seperti kekhawatiran umat akan dosa-dosa mereka dan azab yang menanti). Sikap ini menunjukkan bahwa beliau senantiasa mencari cara agar syariat Islam tidak memberatkan umatnya, selaras dengan kaidah 'yusrun wa laa 'usrun' (mudahkan dan jangan persulit).

3. حَرِيصٌ عَلَيْكُم (Sangat menginginkan untukmu)

Kata 'Haris' (dari akar kata *hirsh*) memiliki konotasi kuat tentang keinginan yang mendalam, antusiasme, dan bahkan ketamakan yang positif. Dalam konteks ini, ‘harisun alaikum’ berarti Rasulullah SAW sangat antusias dan bersemangat—seolah-olah beliau 'tamak' untuk melihat kebaikan dan keselamatan bagi umatnya. Kebaikan yang beliau inginkan secara primer adalah keimanan (hidayah) dan keselamatan dari api neraka (keberuntungan akhirat). Ibnu Katsir menafsirkan bahwa semangat ini adalah dorongan tak tertahankan untuk memastikan umatnya mendapatkan manfaat terbaik dari Islam dan menjauhi segala hal yang merugikan mereka. Beliau bersusah payah mendakwahi setiap orang, bahkan rela menanggung celaan, asalkan satu jiwa lagi terselamatkan. Ini adalah manifestasi dari kepemimpinan yang proaktif, bukan pasif; beliau mencari peluang untuk memberi manfaat, bukan menunggu diminta.

4. بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ (Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin)

Puncak dari deskripsi ini adalah kombinasi dua asma'ul husna (nama-nama indah Allah SWT) yang disematkan kepada Rasulullah SAW: *Ra’uf* dan *Rahim*. Meskipun Allah SWT adalah Ar-Ra'uf dan Ar-Rahim yang Mutlak, penggunaan kedua sifat ini untuk Rasulullah menunjukkan tingkat kasih sayang yang luar biasa tingginya, khususnya kepada kaum mukminin.

Penggabungan kedua kata ini (Ra’ufun Rahim) memberikan penekanan luar biasa. Ini adalah penguatan makna, yang menegaskan bahwa kasih sayang beliau tidak hanya dalam bentuk empati pasif (Ra'uf) tetapi juga dalam bentuk tindakan nyata yang membawa manfaat dan keberkahan (Rahim). Kasih sayang ini adalah ciri khas yang membedakan Rasulullah dari pemimpin duniawi manapun.

Manifestasi Karakter dalam Sirah Nabawiyah

Ayat 128 Surah At-Taubah tidak sekadar teori; ia adalah cerminan dari seluruh kehidupan Rasulullah SAW. Mempelajari Sirah Nabawiyah adalah cara terbaik untuk melihat bagaimana ketiga sifat utama—beratnya penderitaan umat, semangat kebaikan, dan kasih sayang—diaplikasikan dalam praktik sehari-hari, membuktikan kebenaran kalam Ilahi.

I. Rasulullah SAW dan Penderitaan Umat (Azizun 'Alaihi Ma 'Anittum)

Pernyataan bahwa penderitaan umat terasa berat bagi beliau terbukti dalam banyak peristiwa di mana beliau memilih jalan yang paling ringan bagi pengikutnya, bahkan ketika hal yang lebih berat itu diperbolehkan. Ini menunjukkan bahwa beliau menempatkan kemudahan umat di atas kesempurnaan ibadah yang mungkin memberatkan. Sebagai contoh, Aisyah RA pernah menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah diberi dua pilihan kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama pilihan itu tidak mengandung dosa. Keringanan ini adalah rahmat yang muncul dari kekhawatiran beliau terhadap beban yang harus dipikul umat.

A. Contoh Keringanan Hukum (Takhfif)

II. Semangat dan Keinginan Mendalam untuk Keselamatan (Harisun 'Alaikum)

Semangat beliau untuk keselamatan umat (Harisun 'Alaikum) adalah yang mendorong beliau untuk tidak pernah menyerah dalam berdakwah. Bahkan ketika dilempari batu di Thaif, atau ketika menghadapi fitnah yang menyakitkan di Madinah, fokus beliau tetap pada hidayah dan kebaikan yang akan diperoleh orang lain.

B. Keterlibatan Pribadi dalam Hidayah

Kisah-kisah yang mencerminkan semangat beliau meliputi:

  1. Kisah Orang Tua Yahudi: Suatu hari, seorang anak muda Yahudi yang menjadi pelayan beliau jatuh sakit. Rasulullah SAW mendatanginya, duduk di sampingnya, dan mengajaknya masuk Islam. Anak itu melihat kepada ayahnya, yang kemudian mengangguk. Anak itu mengucapkan syahadat, dan Rasulullah keluar sambil berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dariku dari neraka." Kegembiraan beliau atas hidayah satu orang ini jauh melebihi kegembiraan atas kemenangan materi.
  2. Penyesalan Atas Keimanan Abu Thalib: Meskipun Abu Thalib melindunginya selama bertahun-tahun, beliau sangat sedih ketika pamannya meninggal dalam keadaan belum bersyahadat. Kekhawatiran ini, meskipun tidak berhasil diatasi, menunjukkan betapa 'Haris' beliau untuk menyelamatkan orang yang dicintai, bahkan dari kerabat terdekat.
  3. Perumpamaan Pemberi Peringatan: Beliau pernah bersabda bahwa perumpamaan beliau dengan umatnya adalah seperti seorang pria yang menyalakan api dan serangga mulai berjatuhan ke dalamnya. Pria itu berusaha keras menarik serangga itu menjauhi api. "Demikianlah aku," kata beliau, "Aku memegang pinggang kalian untuk menarik kalian menjauhi api (neraka)." Ini adalah gambaran visual tentang 'Hirsh' (keinginan kuat) beliau.

III. Rahmat dan Kasih Sayang Tertinggi (Ra’ufun Rahim)

Sifat Ra'ufun Rahim adalah puncak dari akhlak kenabian. Ini mencakup kemurahan hati, pengampunan, dan keadilan yang melampaui batas yang wajar menurut standar manusia biasa. Rahmat beliau meliputi semua makhluk, meskipun fokus Ayat 128 adalah terhadap kaum mukminin.

C. Kasih Sayang dalam Pengampunan dan Keadilan

Implikasi Teologis dan Hukum (Fiqh) Ayat 128

Ayat 128 At-Taubah memiliki resonansi yang dalam dalam studi Fiqh, Ushul Fiqh (Prinsip Hukum Islam), dan Aqidah. Ini berfungsi sebagai kaidah dasar yang memandu penetapan hukum, menunjukkan bahwa tujuan utama syariat adalah untuk menghindari kesusahan dan mendatangkan kemaslahatan, sejalan dengan karakteristik Rasulullah SAW.

I. Kaidah Fiqh yang Berasal dari Ayat Ini

Prinsip utama yang diekstrak dari 'Azizun 'Alaihi Ma 'Anittum' adalah 'Takhfif' (pengurangan beban) dan 'Raf'ul Haraj' (penghapusan kesulitan). Para fuqaha (ahli fikih) secara konsisten menggunakan prinsip ini ketika membahas masalah-masalah kontemporer dan keringanan dalam ibadah. Ayat ini menegaskan bahwa syariat Islam tidak dimaksudkan untuk menyiksa atau mempersulit hidup manusia. Ini adalah antitesis terhadap praktik-praktik agama yang melampaui batas dan menjerumuskan pada kesusahan yang tidak perlu.

D. Prinsip Yusrun (Kemudahan)

Kemudahan yang dibawa oleh Rasulullah SAW mencakup seluruh aspek kehidupan, menjadikannya agama yang adaptif dan universal. Prinsip Yusrun ini diimplementasikan melalui:

  1. Sebab Keringanan (Asbabul Takhfif): Para ulama menetapkan tujuh alasan utama yang memungkinkan keringanan dalam hukum Islam, yang semuanya berakar pada kekhawatiran Rasulullah terhadap umatnya: safar (perjalanan), sakit, paksaan, lupa, ketidaktahuan, kekurangan (seperti haid dan nifas), dan kesulitan umum (umum balwa).
  2. Fleksibilitas Mazhab: Keragaman pandangan (ikhtilaf) dalam mazhab-mazhab fikih juga merupakan manifestasi rahmat. Setiap mazhab seringkali menyediakan jalan keluar yang lebih mudah (rukhsah) untuk kondisi tertentu, yang secara kolektif memastikan bahwa umat dapat memilih pendapat yang paling sesuai dengan kondisi mereka tanpa melanggar batas syariat. Ini adalah perwujudan kasih sayang yang 'Haris' (bersemangat) untuk kemudahan umat.

II. Kedudukan Rasulullah dalam Aqidah (Iman)

Menghayati Ayat 128 adalah bagian integral dari iman yang benar. Mengimani Rasulullah SAW tidak hanya berarti mengakui kenabiannya, tetapi juga menerima dan mencintai sifat-sifat yang Allah sebutkan. Mencintai beliau harus didasarkan pada pemahaman bahwa beliau adalah pribadi yang paling peduli dan penyayang terhadap kita, bahkan lebih dari diri kita sendiri. Imam Al-Ghazali, dalam karyanya, menekankan bahwa pengenalan terhadap Ra'ufun Rahim-nya Rasulullah adalah sumber motivasi terbesar bagi seorang mukmin untuk meneladani dan mengikuti sunnah beliau dengan penuh kegembiraan, bukan keterpaksaan.

E. Syafa'at Al-Uzhma (Syafaat Agung)

Manifestasi terbesar dari sifat 'Harisun 'Alaikum' dan 'Ra'ufun Rahim' adalah peran beliau sebagai pemberi Syafa'at Agung pada Hari Kiamat. Ketika seluruh manusia, termasuk para nabi lainnya, menolak untuk memberikan syafa'at karena kekhawatiran akan murka Allah, Rasulullah SAW berdiri di hadapan Allah dan memohon agar perhitungan (hisab) segera dimulai dan umatnya diselamatkan. Keberanian dan kasih sayang beliau pada momen yang paling mengerikan adalah bukti nyata bahwa penderitaan kita (walaupun di akhirat) adalah ‘Azizun ‘Alaihi’ (berat terasa olehnya).

Konsep Syafa'at Al-Uzhma menunjukkan bahwa perhatian Rasulullah melampaui batas kehidupan duniawi; perhatiannya adalah perhatian abadi yang mengarah pada kesuksesan spiritual tertinggi. Ini adalah puncak dari sifat Ra'uf dan Rahim yang diberikan Allah kepada beliau, menjadikannya 'Rahmatan Lil 'Alamin' (Rahmat bagi seluruh alam semesta), meskipun Ayat 128 secara khusus menyoroti kasih sayang beliau kepada 'al-Mu'minin' (orang-orang yang beriman).

Meneladani At-Taubah 128 di Masa Kontemporer

Jika karakter Rasulullah SAW dalam Ayat 128 adalah sempurna, maka umat Islam memiliki kewajiban untuk meneladani dan mengaplikasikan sifat-sifat ini dalam interaksi sosial, dakwah, dan kepemimpinan. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang juga dibangun atas dasar Ra'fah dan Rahmah.

I. Pengaplikasian 'Azizun 'Alaihi Ma 'Anittum' dalam Kepemimpinan

Seorang pemimpin, baik di tingkat rumah tangga, komunitas, maupun negara, harus merasakan beratnya penderitaan orang yang dipimpinnya. Meneladani sifat ini berarti:

II. Perwujudan 'Harisun 'Alaikum' dalam Dakwah

Semangat untuk kebaikan harus diterjemahkan menjadi dakwah yang berbasis hikmah dan kasih sayang. 'Haris' berarti gigih, tetapi gigih tanpa kekerasan. Jika kita sangat menginginkan keselamatan orang lain, metode yang digunakan haruslah menarik, bukan menjauhkan. Imam Malik pernah menekankan bahwa dakwah yang paling efektif adalah yang mencontoh kesabaran dan kelembutan Nabi saat berhadapan dengan orang-orang yang paling keras kepala, seperti kaum Badui. Keinginan yang kuat ini harus diterjemahkan menjadi kesabaran tak terbatas.

F. Prinsip Kesabaran dan Hikmah

Dakwah yang meneladani Harisun 'Alaikum menuntut kita untuk:

  1. Tidak Putus Asa: Terus menerus mengajak kepada kebaikan meskipun hasilnya tidak terlihat cepat.
  2. Menghindari Penghakiman: Fokus pada penyampaian kebenaran dengan cara yang lembut, tanpa menghakimi status dosa seseorang, karena keselamatan (hidayah) adalah milik Allah.
  3. Memprioritaskan Hati: Seperti Rasulullah yang hatinya sakit ketika ada yang tidak mendapat hidayah, kita harus mendahulukan upaya perbaikan hati daripada sekadar perubahan penampilan luar.

III. Implementasi 'Ra’ufun Rahim' dalam Hubungan Antar Sesama Mukmin

Ayat ini secara eksplisit mengarahkan kasih sayang ganda (*Ra'ufun Rahim*) kepada sesama mukmin. Ini berarti umat Islam harus menjadi cerminan dari Nabi Muhammad SAW dalam interaksi mereka:

G. Persatuan dan Belas Kasihan Internal

Kasih sayang ini harus mengatasi perpecahan minoritas. Dalam konteks perbedaan mazhab atau kelompok, seorang mukmin harus selalu mengedepankan Ra’fah dan Rahmah. Perbedaan pendapat tidak boleh menjadi alasan untuk permusuhan, karena Rasulullah SAW bersifat *Ra'ufun Rahim* terhadap semua orang yang bersyahadat. Para ulama salaf sering mengingatkan bahwa menjaga persatuan umat (ukhuwwah) lebih penting daripada memenangkan perdebatan fikih yang sepele. Ini adalah penerapan langsung dari sifat Ra’ufun Rahim.

Lebih jauh, ini melibatkan tanggung jawab kolektif terhadap nasib sesama mukmin yang menderita di belahan dunia manapun. Jika Rasulullah SAW merasa 'Azizun' (berat) atas penderitaan umatnya di Madinah, maka umat Islam masa kini harus merasakan beban penderitaan saudara-saudara mereka di seluruh dunia. Kepedulian global dan aksi kemanusiaan adalah perwujudan kontemporer dari sifat kenabian ini. Setiap donasi, setiap doa, dan setiap advokasi untuk keadilan adalah upaya untuk meniru semangat 'Harisun 'Alaikum'.

IV. Keberlanjutan Tafsir dan Renungan

Kajian mendalam terhadap At-Taubah 128 tidak boleh berakhir pada tingkat pemahaman literatur. Ayat ini harus menjadi kompas moral dan etika. Ribuan kata yang dapat diurai dari ayat ini pada dasarnya berputar pada satu inti: Cinta yang Aktif dan Peduli. Cinta beliau tidak pasif; ia mewujud dalam tindakan nyata, pengorbanan, dan keputusan yang menguntungkan umat. Ini menuntut setiap muslim untuk terus menerus merenungkan: Seberapa besarkah saya telah meringankan beban orang lain hari ini? Seberapa gigihkah saya dalam menginginkan kebaikan bagi mereka yang tidak sependapat dengan saya? Dan seberapa lembutkah hati saya dalam menghadapi kesalahan sesama mukmin?

Keteladanan ini menuntut komitmen seumur hidup untuk belajar, mengamalkan, dan menyebarkan rahmat. Jika setiap muslim mampu menginternalisasi hanya sebagian kecil dari 'Ra'ufun Rahim' yang dimiliki oleh Rasulullah, maka tatanan masyarakat akan berubah dari konflik menjadi harmoni. Ayat ini adalah panggilan abadi menuju kasih sayang, kepedulian, dan pengorbanan yang tak lekang oleh waktu, memastikan bahwa ajaran Islam selalu relevan dan manusiawi.

Penutup: Warisan Rahmat Sang Nabi

Surah At-Taubah Ayat 128 adalah salah satu warisan terpenting dalam Al-Qur'an, yang secara definitif mendefinisikan hubungan antara Utusan Allah dan umatnya. Ini bukan hanya deskripsi, melainkan janji bahwa kita dipimpin oleh seseorang yang memiliki tingkat empati dan kepedulian yang melampaui batas-batas kemanusiaan biasa. Sifat beliau yang 'Azizun 'Alaihi Ma 'Anittum' (berat baginya penderitaan kita), 'Harisun 'Alaikum' (sangat menginginkan kebaikan kita), dan 'Ra'ufun Rahim' (amat belas kasihan lagi penyayang) membentuk triumvirat akhlak yang harus dicontoh oleh setiap generasi muslim.

Dalam dunia yang seringkali kering dari empati, merenungkan ayat ini adalah sebuah keharusan. Ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada ketegasan atau kekuasaan, melainkan pada kapasitas untuk menyayangi dan berkorban demi kebahagiaan orang lain. Dengan mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW, kita tidak hanya menaati perintah Allah, tetapi juga memastikan bahwa Rahmatan Lil 'Alamin (Rahmat bagi seluruh alam) terus memancar melalui setiap amal dan interaksi kita. Ayat 128 At-Taubah adalah janji kasih sayang yang tak terbatas dari utusan termulia, dan merupakan sumber motivasi abadi bagi umatnya untuk mencapai standar akhlak tertinggi.

Ekspansi dan Perspektif Ulama Klasik Mengenai Ra’ufun Rahim

Para ulama tafsir sepanjang masa telah mencurahkan perhatian besar pada Ayat 128. Kedalaman pemahaman mereka memastikan bahwa umat Islam tidak pernah kehilangan pandangan tentang intensitas kasih sayang Rasulullah SAW. Tafsir klasik tidak hanya menerjemahkan kata-kata, tetapi juga menempatkannya dalam konteks Sirah yang luas, memberikan fondasi kuat untuk interpretasi hukum dan etika.

1. Pandangan Imam At-Thabari (Wafat 310 H)

Imam At-Thabari, dalam Jami' al-Bayan, menekankan bahwa frasa ‘Azizun ‘Alaihi Ma ‘Anittum’ mencakup penolakan Rasulullah terhadap penyembahan berhala dan kesesatan yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Penderitaan yang paling berat bagi beliau adalah melihat umatnya menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam azab neraka. At-Thabari berpendapat bahwa sifat 'Harisun 'Alaikum' adalah manifestasi dari kepastian beliau dalam menyampaikan risalah, tidak gentar menghadapi ancaman, karena dorongan utamanya adalah menyelamatkan setiap jiwa. Ini adalah kepedulian yang melampaui batas kenyamanan pribadi, murni didorong oleh ketaatan kepada perintah Ilahi dan kasih sayang yang tulus terhadap umat. Beliau melihat kepedulian ini sebagai akar dari seluruh perjuangan Nabi di Mekah dan Madinah, dari Badar hingga Tabuk, semua bertujuan untuk menegakkan keadilan yang membawa keselamatan.

2. Penekanan Imam Al-Qurtubi (Wafat 671 H)

Imam Al-Qurtubi fokus pada aspek linguistik dari ‘Ra’ufun’ dan ‘Rahimun’. Ia menjelaskan bahwa penggabungan kedua sifat ini adalah bentuk superlatif dari kasih sayang (mubalaghah). Ra’fah (belas kasihan) adalah tingkat kasih sayang yang lebih tinggi dan lebih mendesak daripada Rahmah (kasih sayang biasa). Menurut Al-Qurtubi, Rasulullah SAW pertama-tama mencegah umat dari bahaya (Ra'uf), baru kemudian memberikan manfaat dan keberkahan (Rahim). Keduanya adalah sisi mata uang yang sama: perlindungan dan pemberian. Al-Qurtubi juga mencatat adanya riwayat yang menyatakan bahwa dua ayat terakhir Surah At-Taubah ini adalah yang paling ditakuti oleh orang-orang munafik, karena ayat ini menyatukan deskripsi sempurna Nabi dengan peringatan keras bagi mereka yang menolak kepedulian beliau.

3. Tafsir Ibnu Katsir (Wafat 774 H)

Ibnu Katsir menghubungkan Ayat 128 secara langsung dengan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang jihad dan peperangan. Ini ironis, karena Surah At-Taubah mengandung perintah yang sangat tegas, namun ditutup dengan deskripsi yang sangat lembut. Ibnu Katsir menyimpulkan bahwa kelembutan dan kasih sayang ini adalah alasan mengapa Rasulullah SAW layak diikuti. Kasih sayang beliau adalah pendorong di balik semua perintah, bahkan yang keras sekalipun, karena tujuan akhirnya adalah keselamatan umat. Ia menyoroti kisah-kisah di mana beliau menangis karena memikirkan umatnya, memohon kepada Allah SWT agar memberikan kemudahan bagi mereka. Bagi Ibnu Katsir, kepedulian 'Harisun 'Alaikum' adalah sifat dasar kenabian yang menjadikan beliau utusan yang sempurna.

4. Perspektif Etika (Akhlak)

Dalam studi Akhlak, Ayat 128 berfungsi sebagai piagam etika tertinggi bagi seorang muslim. Sifat Ra'ufun Rahim harus diterapkan tidak hanya kepada sesama muslim, tetapi juga dalam interaksi dengan non-muslim. Meskipun ayat tersebut spesifik menyebut 'Bil Mu'minina' (terhadap orang-orang mukmin), sifat universal beliau sebagai 'Rahmatan Lil 'Alamin' (Rahmat bagi semesta alam) memastikan bahwa etika belas kasihan beliau meluas kepada semua makhluk, termasuk hewan dan lingkungan. Meneladani akhlak Nabi dalam konteks kontemporer berarti berjuang melawan ketidakadilan dengan kelembutan, dan memperbaiki kerusakan dengan kebijaksanaan, persis seperti yang dideskripsikan oleh sifat 'Harisun 'Alaikum'—gigih dalam mencari kebaikan.

Kesimpulan dari tinjauan ulama ini adalah bahwa Ayat 128 bukan sekadar pujian pasif, melainkan sebuah pernyataan fungsional. Ini menjelaskan mengapa Rasulullah SAW melakukan apa yang beliau lakukan. Setiap pengorbanan, setiap keringanan hukum, setiap air mata yang jatuh dari mata beliau, adalah bukti nyata dari kebenaran firman Allah SWT: 'Azizun 'Alaihi Ma 'Anittum Harisun 'Alaikum Bil Mu'minina Ra'ufun Rahim'.

Menggali Lebih Jauh Kedalaman Kasih Sayang (Ra’ufun Rahim)

Kasih sayang Rasulullah SAW, yang diringkas dalam Ra’ufun Rahim, adalah subjek yang tak pernah habis dibahas. Kedalamannya meliputi dimensi spiritual, emosional, dan praktis. Membedah setiap aspek ini diperlukan untuk memahami mengapa Allah SWT memilih diksi yang begitu kuat untuk mendeskripsikan utusan-Nya.

I. Dimensi Spiritual Ra’ufun Rahim

Secara spiritual, kasih sayang beliau termanifestasi dalam ajaran-ajaran yang memastikan hubungan manusia dengan Tuhannya tetap kokoh namun mudah. Misalnya, konsep Taubat (pertobatan) yang selalu terbuka lebar. Beliau mengajarkan bahwa Allah SWT menerima taubat hamba-Nya selama nyawa belum mencapai tenggorokan. Penekanan beliau pada pengampunan ini menunjukkan 'Ra'fah' (belas kasihan) yang mencegah keputusasaan umat. Tanpa ajaran tentang taubat yang mudah diakses, banyak mukmin akan terjerumus dalam keputusasaan setelah melakukan dosa besar. Beliau, dengan sifat 'Harisun 'Alaikum', memastikan setiap pintu menuju rahmat Ilahi tetap terbuka, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam terhadap nasib spiritual umat.

Lebih lanjut, beliau mengajarkan tentang keutamaan amal-amal kecil (seperti tersenyum atau menyingkirkan duri dari jalan) yang dapat mendatangkan pahala besar. Ini adalah wujud 'Rahim' (penyayang), memastikan bahwa setiap orang, dari yang kaya hingga yang termiskin, dari yang kuat hingga yang lemah, memiliki sarana untuk meraih rahmat Allah SWT. Ini adalah inklusivitas spiritual yang hanya bisa lahir dari hati yang 'Ra'ufun Rahim'.

II. Dimensi Emosional dan Personal

Kasih sayang beliau tidak abstrak, melainkan sangat personal. Kisah-kisah kehidupan beliau menunjukkan bagaimana beliau berinteraksi dengan individu secara unik, sesuai dengan kebutuhan emosional mereka.

III. Dampak Kolektif 'Harisun 'Alaikum'

'Harisun 'Alaikum' (sangat menginginkan kebaikanmu) secara kolektif berujung pada pembentukan komunitas (ummah) yang ideal. Semangat beliau untuk kebaikan umat adalah alasan mengapa beliau membangun Madinah berdasarkan Ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam), menempatkan hak-hak kaum Muhajirin dan Anshar setara. Beliau memastikan bahwa persatuan adalah fondasi keselamatan dunia dan akhirat. Tanpa semangat ini, komunitas Islam akan hancur oleh perpecahan internal.

Sifat ini juga mendorong beliau untuk menegakkan keadilan sosial yang ketat. Keadilan (al-'adl) adalah bentuk 'Rahim' yang dilembagakan. Beliau bersumpah bahwa jika putrinya sendiri, Fatimah, mencuri, beliau akan memotong tangannya. Keadilan yang keras ini, ironisnya, adalah manifestasi dari kasih sayang tertinggi, karena menegakkan hukum adalah cara untuk menjaga ketertiban, mencegah kekacauan, dan memastikan keselamatan kolektif umat dari kejahatan dan hukuman yang lebih besar di akhirat. Keras dalam hukum, lembut dalam hati; itulah keseimbangan sempurna yang diajarkan oleh Ayat 128.

IV. Peringatan Terhadap Ekstremisme

Ayat 128 juga berfungsi sebagai penawar terhadap ekstremisme dan kekakuan beragama. Setiap upaya dalam beragama yang menghasilkan 'Anittum' (kesulitan berlebihan) yang tidak perlu bagi umat harus dipertanyakan, karena hal itu bertentangan langsung dengan sifat kepemimpinan Rasulullah SAW. Beliau senantiasa mengingatkan umatnya agar tidak berlebihan dalam beribadah hingga mengabaikan hak diri sendiri, hak keluarga, dan hak masyarakat. Dengan demikian, Ayat 128 menjadi kaidah utama bagi moderasi (wasathiyah) dalam Islam. Moderasi adalah warisan kasih sayang Nabi, dan penyimpangan darinya adalah pengabaian terhadap 'Azizun 'Alaihi Ma 'Anittum'.

Dalam kesimpulannya yang mendalam, kita melihat bahwa At-Taubah 128 bukan hanya tentang Rasulullah SAW, tetapi juga tentang kita. Ayat ini adalah cermin yang seharusnya memantulkan kembali kelemahan kita dalam hal empati dan kasih sayang. Tugas kita adalah meniru cinta yang aktif, empati yang mendalam, dan semangat yang gigih dalam membawa kebaikan kepada dunia, sebagaimana yang diamanatkan oleh Rasul Agung yang 'Amat Belas Kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.'

🏠 Homepage