Ilustrasi simbolis Cahaya Kenabian yang penuh Kasih Sayang (Ra'ufur Rahim).
Pengantar: Ayat Penutup Sebuah Epik
Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang sarat makna dan memberikan penegasan mendalam tentang hakikat risalah kenabian, Surah At-Tawbah ayat 128 memegang posisi yang unik dan krusial. Ayat ini sering kali disebut sebagai penutup dari wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ—bahkan menurut beberapa riwayat, ayat ini termasuk yang paling akhir turun, meskipun berada di tengah Surah At-Tawbah.
Ayat ini bukan sekadar pemberitahuan; ia adalah pengakuan Ilahi atas sifat-sifat luar biasa dari Nabi Muhammad ﷺ, menyoroti empat pilar utama karakternya yang mendefinisikan hubungan beliau dengan umatnya: otentisitas, empati, kerinduan, dan rahmat. Ia berfungsi sebagai jembatan spiritual yang menghubungkan keagungan Allah dengan kebutuhan spiritual dan emosional manusia.
Pembahasan ini akan membedah setiap frasa dalam ayat monumental ini, menggali makna linguistik, konteks tafsir, dan implikasi teologisnya yang luas. Ayat ini menegaskan bahwa bimbingan yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ adalah bimbingan yang diwarnai oleh kepedulian yang intens dan kasih sayang yang mendalam, membuktikan bahwa kenabian bukanlah tugas yang terpisah dari realitas manusiawi, melainkan sebuah manifestasi sempurna dari kepedulian Sang Pencipta melalui utusan yang berasal dari kalangan mereka sendiri.
Teks Suci dan Terjemahan Utama
Ayat ini, dengan keindahan komposisi bahasanya, memperkenalkan Rasulullah ﷺ dengan empat sifat utama yang membentuk fondasi hubungan antara beliau dan umatnya. Mari kita telaah setiap komponen kata dan frasa tersebut untuk memahami kedalaman pesan yang ingin disampaikan oleh Allah SWT.
I. Otentisitas Risalah: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ
1. Laqad Jaakum (لَقَدْ جَاءَكُمْ)
Frasa pembuka ini menggunakan partikel penegas (لَـ) yang disambung dengan kata sumpah (قَدْ). Dalam bahasa Arab, kombinasi ini memberikan penekanan yang sangat kuat, setara dengan "Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu." Ini bukan sekadar pengumuman, melainkan sebuah deklarasi yang dijamin kebenarannya, menghilangkan keraguan apa pun mengenai kedatangan dan otentisitas utusan tersebut.
2. Rasulun Min Anfusikum (رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ)
Ini adalah inti dari penegasan otentisitas. Kata "Rasulun" (utusan) menunjukkan fungsi kenabian, yaitu membawa pesan Ilahi. Namun, penambahan frasa "min anfusikum" (dari diri/kalanganmu sendiri) adalah kunci yang membuka pemahaman akan inklusivitas dan kemanusiaan sang utusan.
- Makna Linguistik: Secara harfiah, "min anfusikum" berarti "dari jiwa-jiwa kalian" atau "dari jenis kalian." Ini berarti Rasulullah ﷺ adalah manusia, bukan malaikat atau entitas gaib lainnya.
- Implikasi Teologis: Kenyataan bahwa beliau berasal dari kalangan manusia memungkinkan umat untuk meneladani beliau. Jika Rasul adalah malaikat, alasan seperti "Saya tidak bisa melakukan seperti itu karena dia bukan manusia" akan muncul. Dengan berasal dari kalangan mereka, beliau membuktikan bahwa kesempurnaan etika dan ketaatan dapat dicapai oleh manusia biasa.
- Konteks Kualitas: Beberapa ahli tafsir, seperti Imam Al-Qurtubi, juga menafsirkan "anfusikum" sebagai yang terbaik di antara mereka, yang paling mulia silsilahnya, dan yang paling unggul akhlaknya. Beliau bukan hanya 'salah satu dari mereka', tetapi 'yang terbaik dari mereka'. Ini menggabungkan aspek kemanusiaan dengan aspek keistimewaan.
II. Empati dan Beban Kenabian: عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ
1. Azizun Alaihi (عَزِيزٌ عَلَيْهِ)
Kata "Aziz" memiliki beberapa akar makna, termasuk yang mulia, yang kuat, dan yang sulit dijangkau. Dalam konteks ini, "Azizun Alaihi" diartikan sebagai "berat terasa baginya" atau "sangat berharga (penting) baginya." Ini menunjukkan betapa Rasulullah ﷺ tidak acuh tak acuh terhadap kondisi umatnya. Segala sesuatu yang menyulitkan umatnya, memberatkan hati beliau.
2. Ma Anittum (مَا عَنِتُّمْ)
Kata kunci di sini adalah "al-'anatu," yang berarti kesulitan, penderitaan, kesukaran, atau dosa yang menyebabkan kehancuran. Frasa ini mencakup spektrum yang luas:
- Penderitaan Duniawi: Kesulitan hidup, kemiskinan, atau penyakit yang dialami umat.
- Penderitaan Akhirat: Dosa dan kesesatan yang akan menyebabkan siksa. Ini adalah beban terbesar bagi beliau.
- Makna Tafsir: Para mufasir menekankan bahwa kesulitan terbesar yang dirasakan Rasulullah ﷺ adalah melihat umatnya menyimpang dari jalan yang benar dan membahayakan keselamatan abadi mereka. Penderitaan fisik umat adalah beban, namun penderitaan spiritual dan potensi hukuman di hari akhir jauh lebih memberatkan bagi jiwa beliau yang suci.
Empati Rasulullah ﷺ tidak pasif; ia adalah empati aktif yang menyebabkan beliau terus-menerus berdoa, berusaha, dan berjuang agar umatnya selamat. Rasa berat ini adalah bukti kasih sayang yang transenden, jauh melampaui ikatan kekeluargaan atau suku.
III. Hasrat dan Kepedulian yang Intens: حَرِيصٌ عَلَيْكُم
1. Harisun Alaikum (حَرِيصٌ عَلَيْكُم)
Kata "Haris" (حَرِيصٌ) berasal dari kata "hirsh," yang berarti hasrat yang kuat, ambisi yang intens, atau keinginan yang membara. Ini bukanlah hasrat yang egois, melainkan hasrat penuh kasih sayang untuk kebaikan orang lain.
- Fokus Keinginan: Hasrat beliau terfokus pada dua hal utama: pertama, agar seluruh umat manusia mencapai keimanan (keislaman), dan kedua, agar mereka mencapai keselamatan dari azab neraka.
- Aktivitas Tanpa Henti: "Harisun alaikum" menunjukkan bahwa beliau senantiasa bersemangat dalam berdakwah, tidak pernah lelah mencari cara untuk menyampaikan pesan tauhid, bahkan ketika beliau menghadapi penolakan dan penganiayaan yang pahit.
- Konteks Surah At-Tawbah: Surah ini banyak membahas tentang peperangan dan kemunafikan. Dalam konteks yang keras ini, penegasan sifat *haris* ini sangat penting, menegaskan bahwa bahkan saat menghadapi pengkhianat dan musuh, inti dari risalah beliau tetaplah keinginan yang mendalam agar mereka kembali kepada kebenaran.
Kombinasi antara Azizun Alaihi ma Anittum (berat merasakan kesulitan) dan Harisun Alaikum (sangat bersemangat untuk kebaikanmu) melukiskan profil psikologis kenabian yang unik. Beliau menderita karena kesesatan umatnya, dan penderitaan itu mendorong beliau untuk berusaha keras menyelamatkan mereka.
IV. Puncak Kasih Sayang: بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
1. Bil Mu'minin (بِالْمُؤْمِنِينَ)
Bagian ini memberikan batasan khusus: kasih sayang dan belas kasihan yang akan dijelaskan selanjutnya ditujukan secara spesifik kepada "orang-orang mukmin" (Bil Mu'minin). Meskipun sifat kasih sayang beliau mencakup seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin), tingkat kelembutan dan perhatian khusus yang disebut dalam ayat ini dicadangkan untuk mereka yang telah beriman dan mengikuti jalan beliau.
2. Ra'ufun (رَءُوفٌ)
Kata "Ra'uf" (belas kasih yang lembut) adalah salah satu asmaul husna Allah SWT, yang juga disematkan kepada Rasulullah ﷺ. *Ar-Ra'uf* menunjukkan tingkat kasih sayang yang paling tinggi dan paling lembut. Ini adalah belas kasih yang muncul sebelum kesulitan terjadi, belas kasih yang berusaha mencegah datangnya bencana atau kesulitan. Ia adalah perhatian proaktif.
3. Rahimun (رَّحِيمٌ)
Kata "Rahim" (penyayang) juga merupakan salah satu Asmaul Husna. *Ar-Rahim* adalah kasih sayang yang diberikan sebagai konsekuensi dari perbuatan baik, atau rahmat yang diberikan setelah musibah. Jika *Ra'uf* adalah pencegahan, *Rahim* adalah pemberian dan penerimaan. Secara umum, *Rahim* dikaitkan dengan kasih sayang yang berkelanjutan dan akan diberikan di akhirat.
4. Perbedaan dan Sinergi Ra’uf dan Rahim
Para ulama tafsir telah lama membahas mengapa Allah menggunakan kedua sifat ini secara bersamaan untuk Rasulullah ﷺ, padahal maknanya terlihat mirip. Penggabungan ini menghasilkan makna yang holistik dan sempurna:
- Ra’uf: Kelembutan hati yang ekstrem, perhatian mendalam yang mencegah kerugian, terutama dalam urusan agama. Ini mewakili perlindungan dari kesalahan.
- Rahim: Rahmat yang memberikan manfaat, pahala, dan pengampunan. Ini mewakili anugerah dan karunia setelah perlindungan.
Dengan demikian, Rasulullah ﷺ adalah pribadi yang secara inheren (Ra'uf) berusaha menjauhkan umat dari bahaya, dan secara aktif (Rahim) memberikan kebaikan kepada mereka yang mengikuti petunjuknya.
V. Posisi Ayat dalam Surah At-Tawbah
Surah At-Tawbah (Pengampunan) adalah surah yang diturunkan pada akhir periode Madinah dan sering dikenal karena nada tegasnya, khususnya terhadap kaum musyrikin dan munafikin. Surah ini membahas isu-isu krusial seperti deklarasi pemutusan perjanjian, kewajiban jihad, dan pengungkapan sifat-sifat tersembunyi kaum munafik.
Di tengah nuansa yang keras dan penuh perintah militer serta sosial yang ketat ini, penempatan ayat 128 dan 129 terasa seperti "oase ketenangan." Setelah membicarakan hukuman bagi musuh-musuh Islam dan kegagalan kaum munafik, ayat ini datang sebagai penenang bagi hati orang-orang mukmin, mengingatkan mereka bahwa meskipun perjuangan itu berat, pemimpin mereka memiliki hati yang lembut dan penuh kasih sayang.
Ayat ini berfungsi sebagai kesimpulan yang menghibur: Islam mungkin menuntut disiplin dan pengorbanan, tetapi semua itu demi kebaikan umat. Surah ini dimulai dengan ancaman dan berakhir dengan jaminan kepedulian yang tak terhingga dari Rasulullah ﷺ, yang pada gilirannya mencerminkan kasih sayang Allah SWT.
Implikasi Sejarah Turunnya Ayat
Sebagian besar riwayat, termasuk dari Ubay bin Ka'ab dan riwayat yang dicatat oleh Imam Muslim, menyatakan bahwa dua ayat terakhir dari Surah At-Tawbah (ayat 128 dan 129) adalah ayat-ayat yang terakhir kali turun secara keseluruhan dari Al-Qur'an. Jika ini benar, ini berarti bahwa pesan terakhir yang ditinggalkan kepada umat adalah sebuah pengingat abadi tentang sifat Rahmat dan Kepedulian Nabi Muhammad ﷺ, menegaskan bahwa fondasi iman harus selalu berakar pada kasih sayang.
VI. Telaah Mendalam Sifat ‘Azizun Alaihi Ma Anittum
Untuk memahami kedalaman karakter kenabian, kita harus terus menggali makna "berat terasa olehnya penderitaanmu." Penderitaan yang dimaksud (al-‘anatu) tidak hanya terbatas pada siksaan fisik atau kerugian material, tetapi merangkum seluruh spektrum kesulitan eksistensial manusia.
A. Penderitaan Akibat Ketidakpercayaan
Penderitaan terbesar bagi Rasulullah ﷺ adalah melihat kaumnya sendiri menolak kebenaran. Al-Qur'an dalam beberapa tempat menyebutkan bagaimana kesedihan beliau atas ketidakimanan itu begitu dalam, hingga Allah berfirman (yang artinya): "Boleh jadi kamu akan membinasakan dirimu karena kesedihan terhadap mereka, jika mereka tidak beriman kepada keterangan ini." (Q.S. Al-Kahfi [18]: 6). Ayat 9:128 ini adalah konfirmasi bahwa kesedihan ini bukanlah kelemahan, melainkan manifestasi dari *Azizun Alaihi ma Anittum*—penderitaan mereka menjadi beban beliau.
B. Penderitaan Kesusahan Syariat
Rasulullah ﷺ juga merasakan beratnya beban syariat yang harus diemban umatnya. Ini tercermin dalam banyak hadis, di mana beliau berusaha meringankan hukum atau memilih opsi yang lebih mudah bagi umat. Beliau adalah pemimpin yang selalu mencari kemudahan, bukan kesulitan. Jika suatu hukum terasa memberatkan, beliau memastikan itu adalah mutlak dari Allah, dan jika ada ruang untuk keringanan (rukhsah), beliau akan memberikannya tanpa ragu. Ini adalah interpretasi praktis dari sifat 'Azizun Alaihi ma Anittum’ dalam legislasi (tasyri').
Rasa berat ini adalah mekanisme proteksi. Karena beliau merasakan beban kesulitan umat, maka syariat yang beliau bawa terjamin memiliki sifat kemudahan, sebagaimana firman Allah, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 185). Sifat Rasulullah ﷺ ini selaras sempurna dengan tujuan syariat (Maqasid Syari’ah) yaitu menghilangkan kesulitan dan mendatangkan kemaslahatan.
Kajian mendalam para ahli bahasa Arab menunjukkan bahwa kata *‘anata* juga bisa merujuk pada situasi di mana seseorang jatuh ke dalam dosa yang sangat besar hingga sulit untuk kembali. Rasulullah ﷺ, dengan sifat 'Azizun Alaihi'nya, selalu menyediakan pintu taubat dan pengampunan, memastikan bahwa tidak ada kesulitan spiritual yang terlalu besar untuk diatasi, kecuali jika seseorang menutup hatinya sendiri.
C. Perluasan Konsep Empati Kenabian
Jika kita tinjau dari sudut pandang sosiologis kenabian, Rasulullah ﷺ, sebagai utusan yang berasal dari "anfusikum," mampu memahami dinamika internal dan kelemahan moral manusia. Beliau mengetahui godaan, kecenderungan untuk alpa, dan potensi jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, penderitaan yang beliau rasakan bukan hanya observasi dari luar, melainkan pemahaman empatik dari dalam. Beliau merasakan kesulitan kita sebagai bagian dari kesulitan beliau sendiri dalam menjalankan risalah.
VII. Kedalaman Makna Harisun Alaikum
Jika 'Azizun Alaihi' adalah manifestasi kesedihan dan empati, maka 'Harisun Alaikum' adalah manifestasi dari tindakan proaktif yang didorong oleh kesedihan tersebut. Ini adalah hasrat yang mendominasi setiap aspek kehidupan beliau, hasrat untuk melihat umatnya berhasil.
A. Hasrat terhadap Hidayah
Hasrat ini melampaui kepentingan pribadi. Ketika Rasulullah ﷺ berdakwah, beliau tidak mengharapkan imbalan duniawi. Hasrat beliau adalah agar setiap individu memperoleh hidayah dan diselamatkan. Keinginan ini begitu kuat sehingga terkadang beliau dicela oleh Allah secara halus karena terlalu memaksakan diri dalam kesedihan atas penolakan kaumnya, sebagaimana yang disinggung di beberapa ayat. Ini menunjukkan intensitas hasrat beliau yang meluap-luap.
B. Harisun dalam Pendidikan dan Sosial
Sifat *haris* juga termanifestasi dalam metodologi pendidikan dan interaksi sosial beliau. Beliau sangat antusias dalam mengajarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Kehausan beliau untuk menyampaikan ilmu tercermin dalam kesabaran beliau menghadapi pertanyaan yang berulang atau kurang bijak dari para sahabat. Beliau ingin setiap orang memahami, bukan hanya sekadar mendengar.
- Dalam Ilmu: Beliau sangat *haris* untuk menjelaskan rukun Islam dan rukun Iman dengan cara yang paling jelas dan mudah dipahami.
- Dalam Keadilan: Beliau sangat *haris* untuk menegakkan keadilan di antara mereka, bahkan jika itu harus mengorbankan perasaan pribadi.
- Dalam Kesehatan: Beliau sangat *haris* untuk menjaga kebersihan dan kesehatan umatnya, karena beliau tahu bahwa kemaslahatan duniawi dan ukhrawi saling terkait.
C. Perbandingan dengan Pemimpin Lain
Seorang pemimpin duniawi mungkin memiliki hasrat untuk kekuasaan, kekayaan, atau popularitas. Namun, hasrat kenabian, *harisun alaikum*, adalah hasrat yang murni altruistik. Ini adalah keinginan untuk menyelamatkan orang lain dari konsekuensi terburuk dari pilihan mereka sendiri. Ini adalah kualitas yang menjadikan beliau pemimpin yang unik, di mana kegembiraan terbesar beliau terletak pada keberhasilan spiritual dan keselamatan pengikutnya.
VIII. Ra’ufur Rahim: Kasih Sayang Tertinggi
Puncak dari deskripsi karakter kenabian dalam ayat ini adalah penyematan dua nama Ilahi: Ra'uf (Belas Kasih yang Lembut) dan Rahim (Penyayang). Ini adalah penghormatan tertinggi dari Allah SWT kepada hamba-Nya yang paling mulia.
A. Konteks Penggunaan Ra’uf dan Rahim
Dalam Al-Qur'an, sifat *Ra'uf* dan *Rahim* biasanya hanya disematkan kepada Allah SWT. Penggunaannya untuk Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa beliau adalah saluran sempurna dari rahmat Ilahi di bumi. Kasih sayang beliau adalah bayangan dari Kasih Sayang Allah yang maha luas.
B. Ra’uf: Kasih Sayang yang Mencegah
Tingkat *Ra'uf* menuntut kepekaan yang luar biasa. Ia adalah belas kasih yang sangat mendalam dan lembut. Dalam praktiknya, *Ra'uf* mencegah Rasulullah ﷺ dari tindakan yang tergesa-gesa atau keras terhadap orang mukmin yang mungkin melakukan kesalahan. Beliau senantiasa mendahulukan ampunan, nasihat lembut, dan pemberian kesempatan kedua.
Contoh manifestasi *Ra'uf* adalah ketika seorang sahabat melakukan kesalahan besar, Rasulullah ﷺ akan mencari alasan pembenar bagi mereka, atau memberikan hukuman yang paling ringan, semata-mata karena kelembutan hati beliau tidak sanggup melihat umatnya menderita, baik di dunia maupun di akhirat.
C. Rahim: Rahmat yang Memberi Keberlangsungan
*Rahim* mencakup dimensi waktu yang lebih panjang. Rahmat *Rahim* beliau memastikan bahwa amal kebaikan yang sedikit pun akan dibalas berlipat ganda, dan beliau senantiasa menjadi perantara (syafaat) bagi umatnya di akhirat kelak. Rahmat beliau tidak berhenti ketika beliau wafat; ia terus mengalir melalui sunnah dan warisan risalah yang beliau tinggalkan.
Bahkan setelah hijrah dan penaklukan Mekah, beliau menunjukkan sifat *Rahim* yang luar biasa, memberikan pengampunan massal kepada orang-orang yang selama bertahun-tahun telah menyakiti dan mengusir beliau. Ini adalah rahmat yang meluas, memadamkan api permusuhan dengan air kasih sayang.
D. Mengapa Hanya untuk Mu’minin?
Meskipun Rasulullah ﷺ adalah Rahmat bagi seluruh alam, mengapa ayat ini secara eksplisit menyebut "Bil Mu'minin Ra'ufur Rahim"? Para ulama menjelaskan bahwa rahmat beliau kepada seluruh alam semesta adalah rahmat dakwah dan keberadaan. Namun, rahmat *Ra'ufur Rahim* yang intens, yang berupa jaminan perlindungan spiritual, perhatian yang terus-menerus, dan syafaat yang paling sempurna, hanya dapat diterima secara penuh oleh mereka yang telah menerima dan mengamalkan risalah tersebut, yaitu orang-orang mukmin.
IX. Implikasi Teologis dan Spiritual Ayat
1. Kedudukan Tinggi Rasulullah ﷺ
Ayat ini adalah salah satu pujian tertinggi yang diberikan Allah kepada seorang manusia. Dengan menyandingkan sifat *Ra'ufur Rahim* milik-Nya sendiri kepada Nabi Muhammad ﷺ, Allah menegaskan kedudukan istimewa beliau. Ini bukan berarti Rasulullah ﷺ adalah Tuhan, melainkan bahwa beliau adalah manifestasi terbesar dari sifat-sifat kasih sayang Tuhan di muka bumi.
2. Penekanan pada Kemanusiaan
Ayat ini menyeimbangkan keagungan Rasul dengan penegasan kemanusiaan beliau (*min anfusikum*). Ini mengajarkan kita bahwa kenabian bukanlah misteri yang tidak terjangkau, tetapi adalah model hidup yang harus diupayakan. Kemanusiaan beliau adalah jembatan yang memungkinkan kita meneladani sifat-sifat Ilahi. Jika beliau tidak berasal dari kalangan kita, kita tidak akan pernah bisa berusaha mencapai tingkat kasih sayang dan ketulusan tersebut.
3. Fondasi Hubungan Umat dan Nabi
Ayat ini menciptakan fondasi hubungan yang kokoh antara umat dan Nabinya. Umat diyakinkan bahwa pemimpin mereka tidak pernah menginginkan kerugian bagi mereka. Keyakinan ini menumbuhkan cinta (mahabbah) yang mendalam, ketaatan yang tulus, dan kepercayaan penuh terhadap setiap ajaran dan sunnah yang beliau bawa. Ketaatan kepada beliau menjadi ketaatan yang didasari rasa syukur atas kasih sayang beliau, bukan sekadar kewajiban tanpa ruh.
Kasih sayang beliau yang multidimensi, mencakup empati (*Azizun*), dorongan untuk berbuat baik (*Harisun*), kelembutan pencegahan (*Ra'uf*), dan karunia berkelanjutan (*Rahim*), menjamin bahwa petunjuk beliau adalah petunjuk yang paling sempurna, paling praktis, dan paling berbelas kasih yang pernah ada. Setiap detail dalam syariat yang beliau sampaikan, mulai dari tata cara bersuci hingga hukum pidana, didasari oleh keinginan beliau untuk menghilangkan kesulitan dan mendatangkan kemaslahatan bagi umatnya.
Pilar utama dari keberadaan *Rasulun min anfusikum* ini adalah bahwa beliau adalah model terbaik bagi kemanusiaan. Beliau menunjukkan bagaimana manusia dapat mencapai puncak akhlak, kedermawanan, dan keadilan, sambil tetap mempertahankan kerentanan dan empati manusiawi. Ini adalah kenabian yang utuh: memiliki kekuatan spiritual dan otoritas Ilahi, namun diperkaya dengan kehangatan dan kelembutan jiwa manusia.
Otentisitas kenabian (min anfusikum) menjadi syarat mutlak bagi manifestasi empati (azizun), kerinduan (harisun), dan rahmat (ra'ufur rahim). Karena beliau merasakan apa yang kita rasakan, maka kasih sayang beliau menjadi relevan dan efektif dalam membimbing kita menuju keselamatan abadi.
X. Rincian Filosofis Sifat Ra'ufur Rahim dalam Risalah
1. Manifestasi Ra’ufur Rahim dalam Syariat
Jika kita menilik seluruh syariat Islam, kita akan menemukan bahwa sifat *Ra'ufur Rahim* menjadi landasan utama. Beberapa contoh adalah:
- Hukum Waris: Struktur hukum waris yang detail mencegah perselisihan keluarga (menghilangkan *al-anatu*), menunjukkan *Ra'uf*.
- Keringanan (Rukhsah): Izin untuk tidak berpuasa bagi yang sakit atau musafir, serta keringanan dalam shalat ketika bepergian. Ini adalah manifestasi nyata dari *Azizun alaihi ma anittum* yang diwujudkan melalui *Rahim*.
- Taubat: Pintu taubat yang selalu terbuka lebar bagi pendosa. Keengganan Rasulullah ﷺ untuk menghakimi seseorang secara permanen mencerminkan *Ra'uf* yang mencegah keputusasaan.
2. Kontras dengan Pemimpin Lain
Sifat *Harisun Alaikum* membedakan Rasulullah ﷺ dari para pemimpin politik atau spiritual yang ambisius. Hasrat beliau adalah semata-mata untuk kebaikan orang lain, tidak ada motivasi tersembunyi. Beliau berjuang untuk membawa umat dari kegelapan menuju cahaya, dari kekejaman jahiliyah menuju peradaban Islam yang penuh kasih sayang.
Bayangkan beban mental seorang pemimpin yang setiap hari merasakan kesulitan setiap pengikutnya. Ini bukan hanya empati pasif, tetapi empati yang mendorong tindakan tanpa henti. Setiap langkah, setiap sunnah, setiap nasihat yang beliau berikan adalah hasil dari gejolak hati *Azizun Alaihi* dan dorongan *Harisun Alaikum*.
3. Konsep 'Azizun sebagai Keagungan Hati
Dalam konteks modern, *Azizun alaihi ma anittum* dapat diterjemahkan sebagai krisis empati. Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa seorang pemimpin spiritual sejati harus memiliki hati yang mulia (*Aziz*) sehingga ia tidak mampu membiarkan penderitaan umatnya berlalu begitu saja. Penderitaan umat menjadi masalah utama yang harus dipecahkan oleh beliau, yang menunjukkan keutamaan *caring* di atas *commanding*.
Keagungan hati ini diperkuat oleh fakta bahwa beliau adalah *min anfusikum*. Karena beliau telah menjalani siklus kehidupan manusia, mengalami kesulitan, kehilangan, dan pengkhianatan, beliau benar-benar mengerti kesulitan yang dialami umatnya. Ini bukan kasih sayang teoretis, tetapi kasih sayang yang diuji dalam kancah kehidupan manusia sejati.
XI. Menggali Kembali Otentisitas: Rasulun Min Anfusikum
A. Penghargaan Ilahi atas Kemanusiaan
Frasa *min anfusikum* adalah penghargaan Ilahi yang menekankan pentingnya peran manusia dalam penyebaran hidayah. Allah memilih yang terbaik dari jenis manusia, bukan dari jenis makhluk lain. Ini adalah penegasan bahwa potensi kebaikan tertinggi ada dalam diri manusia yang telah disempurnakan. Rasulullah ﷺ adalah bukti bahwa makhluk yang diciptakan dari tanah mampu mencapai kedekatan tertinggi dengan Sang Pencipta.
Jika utusan itu malaikat, manusia akan selalu merasa terintimidasi dan sulit meneladani. Namun, karena beliau adalah manusia, yang makan, berjalan di pasar, menikah, dan memiliki emosi, maka ajaran beliau menjadi sangat relevan. *Min anfusikum* berarti ajaran beliau adalah ajaran yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar idealisme utopia.
B. Implikasi pada Sunnah
Seluruh Sunnah Rasulullah ﷺ adalah manifestasi praktis dari *min anfusikum* yang disempurnakan oleh *Ra'ufur Rahim*. Setiap perkataan, tindakan, dan persetujuan beliau adalah contoh konkret bagaimana seorang manusia dapat menjalani hidup yang sepenuhnya selaras dengan kehendak Ilahi, sambil tetap menjadi yang paling berempati dan paling menyayangi di antara semua manusia.
Bayangkan seorang sahabat yang sedang mengalami kesulitan finansial. Rasulullah ﷺ tidak hanya berdoa, tetapi memberikan solusi praktis, bahkan terkadang membagi apa yang beliau miliki. Ini adalah perpaduan antara empati rohani dan tindakan nyata yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang *Rasulun min anfusikum* yang bersifat *Azizun Alaihi ma Anittum*.
C. Perlindungan terhadap Ekstremisme
Ayat ini juga memberikan pelajaran penting dalam menghadapi ekstremisme. Mereka yang cenderung kaku dan keras dalam beragama sering kali mengabaikan sifat *Ra'ufur Rahim* Nabi. Ajaran Islam yang murni, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi, selalu mendahulukan keringanan, kemudahan, dan kasih sayang, sesuai dengan kepribadian beliau yang berat merasakan kesulitan umat.
Maka, setiap upaya untuk menerapkan syariat yang mengabaikan sifat *Ra'uf* dan *Rahim* ini adalah penyimpangan dari esensi risalah. Ketaatan yang sempurna harus diwarnai dengan kelembutan. Inilah yang dijamin oleh ayat 9:128; bahwa sumber ajaran kita adalah kasih sayang yang tak terbatas.
Ayat *Laqad jaakum rasulun min anfusikum* berfungsi sebagai penangkal terhadap pandangan yang meromantisasi Nabi Muhammad ﷺ hingga menghilangkan aspek kemanusiaan beliau, sekaligus berfungsi sebagai penangkal terhadap pandangan yang meremehkan keistimewaan spiritual beliau. Beliau adalah manusia, ya, tetapi manusia yang telah diangkat dan disempurnakan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Pilar-pilar karakter yang ditegaskan dalam ayat ini—otentisitas kemanusiaan, empati mendalam terhadap kesulitan, hasrat membara untuk keselamatan, dan puncak kasih sayang yang lembut—adalah blueprint abadi bagi setiap pengikut yang ingin meneladani beliau. Ayat 9:128 adalah bukan hanya deskripsi, melainkan sebuah undangan untuk merenungkan, mencintai, dan meneladani sosok yang paling dicintai oleh Allah, yang hatinya terasa berat atas segala kesulitan yang menimpa kita semua.
Kontemplasi atas ayat ini seharusnya mendorong seorang mukmin untuk tidak pernah berputus asa. Jika seorang Rasul yang mulia begitu *harisun alaikum* dan *ra'ufur rahim*, maka bagaimana mungkin kasih sayang Allah, sumber dari segala rahmat, bisa terputus? Ayat ini adalah jaminan ketenangan di tengah badai kehidupan, penegasan bahwa kita memiliki pembela dan pelindung yang tiada bandingnya di dunia dan di akhirat. Keberadaan beliau, *min anfusikum*, adalah anugerah terbesar bagi umat manusia.
Kita harus terus menerus mengingatkan diri kita akan empat dimensi utama ini. Ketika kita merasa sulit dalam menjalankan ibadah, kita ingat bahwa Rasulullah ﷺ merasakan beratnya kesulitan kita (*Azizun alaihi ma anittum*) dan beliau memberikan keringanan (*Ra'uf*). Ketika kita merasa lemah dan berdosa, kita ingat bahwa beliau sangat *Harisun Alaikum* untuk keselamatan kita dan beliau memohonkan ampunan bagi kita (*Rahim*). Siklus empat dimensi ini adalah jantung dari kasih sayang kenabian.
Penutup Surah At-Tawbah ini, meskipun berdekatan dengan ayat-ayat yang keras, menyimpulkan seluruh semangat Islam: tegakkan kebenaran dengan tegas, tetapi hati harus dipenuhi dengan kasih sayang yang lembut. Ini adalah keseimbangan sempurna antara *Jalal* (Keagungan) dan *Jamal* (Keindahan) yang diwujudkan dalam diri Rasulullah ﷺ.
Maka, tugas kita sebagai umat adalah membalas kasih sayang beliau dengan ketaatan yang tulus, mencintai beliau lebih dari diri kita sendiri, dan senantiasa berusaha meneladani empat pilar karakter yang termaktub dalam ayat mulia ini. Dengan demikian, kita berharap dapat menjadi bagian dari orang-orang mukmin yang secara eksplisit dicakup oleh rahmat *Ra'ufur Rahim* beliau.
Ayat ini adalah mercusuar, memancarkan cahaya rahmat di tengah lautan tantangan dunia. Cahaya tersebut berasal dari seorang manusia, *min anfusikum*, yang menjamin bahwa jalan menuju keselamatan adalah jalan yang penuh kasih sayang dan penuh kepedulian. Ini adalah kesimpulan yang indah dan kuat bagi surah yang dikenal akan ketegasannya, memberikan harapan dan jaminan abadi bagi setiap jiwa yang beriman.
Setiap kajian tentang kenabian yang mendalam akan selalu kembali kepada fondasi yang diletakkan oleh ayat ini: keilahian pesan yang diantar oleh kemanusiaan yang berempati. Keagungan sifat *Ra'ufur Rahim* beliau memastikan bahwa ajaran Islam bersifat universal, lestari, dan selalu relevan bagi setiap generasi manusia yang berjuang untuk mencapai kedamaian sejati.
Penting untuk dicatat bahwa kelembutan (Ra’uf) Rasulullah ﷺ tidak berarti kelemahan. Sebaliknya, kelembutan ini adalah sumber kekuatan moral yang tak tertandingi. Hanya seseorang dengan kekuatan spiritual yang luar biasa yang mampu menanggung beban penderitaan seluruh umatnya dan tetap bersemangat (Haris) untuk membimbing mereka tanpa lelah. Ini adalah model kepemimpinan yang ditawarkan Islam: kepemimpinan yang dilandasi pengorbanan dan cinta yang murni.
Dalam konteks akhir zaman, di mana umat sering kali terpecah dan dilanda kesulitan, ayat 9:128 menjadi pengingat kolektif. Kita harus kembali kepada sosok Nabi yang bersatu padu dalam empat sifat ini. Persatuan umat hanya akan terwujud jika mereka menginternalisasi sifat *Ra'ufur Rahim* dan *Azizun Alaihi* dalam interaksi mereka satu sama lain, meniru kepedulian Nabi terhadap sesama mukmin.
Oleh karena itu, ayat ini adalah seruan untuk introspeksi: apakah kita, sebagai pengikutnya, mencerminkan kasih sayang yang begitu mendalam ini dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah kesulitan sesama muslim terasa berat di hati kita? Apakah kita memiliki hasrat yang membara untuk keselamatan spiritual orang lain? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan seberapa jauh kita telah berhasil meneladani Rasulullah ﷺ yang *Ra'ufur Rahim*.
Keagungan *Laqad Jaakum Rasulun Min Anfusikum* terletak pada kemampuannya merangkum seluruh esensi kenabian dalam satu baris kalimat yang ringkas namun padat makna. Ini adalah janji bahwa bimbingan Allah datang melalui tangan yang penuh kasih, tangan yang familiar (*min anfusikum*), dan hati yang dipenuhi rahmat tanpa batas. Marilah kita jadikan ayat ini sebagai pegangan hidup, sumber inspirasi, dan jaminan keselamatan abadi.
Penjelasan yang telah disampaikan ini merupakan upaya untuk menangkap lautan makna dalam satu tetes air, menunjukkan betapa setiap kata dalam ayat suci ini memiliki bobot teologis dan spiritual yang sangat besar. Kesempurnaan karakter Rasulullah ﷺ adalah anugerah terbesar bagi kita, dan pengakuan Allah terhadap sifat-sifat tersebut adalah kehormatan tertinggi. Dan hanya kepada Allah kita kembalikan segala urusan.
Demikianlah berakhirnya kajian mendalam terhadap firman Allah SWT dalam Surah At-Tawbah ayat 128, sebuah ayat yang tidak hanya mendefinisikan seorang Nabi, tetapi juga menetapkan standar tertinggi bagi cinta, empati, dan kepemimpinan sejati. Keagungan ajaran Islam terpancar jelas melalui keagungan hati Rasulullah ﷺ.
Semua puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam, yang telah mengaruniakan kepada kita seorang Utusan dari kalangan kita sendiri, yang amat belas kasih lagi penyayang.