Keagungan kompleks kaldera Tengger dengan Gunung Bromo dan Semeru (Mahameru) yang berdiri sebagai latar belakang.
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) adalah salah satu lanskap alam paling ikonik dan kompleks di Indonesia. Meliputi wilayah seluas lebih dari 50.000 hektar di empat kabupaten (Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang), kawasan ini bukan sekadar destinasi wisata, tetapi merupakan laboratorium geologi, benteng biodiversitas unik, dan pusat kebudayaan kuno Suku Tengger.
Kombinasi antara kemegahan kaldera purba yang menampung Lautan Pasir, kerucut vulkanik aktif Gunung Bromo, bukit-bukit savana hijau, dan puncak tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru (Mahameru), menjadikannya kawasan yang memiliki nilai ekologis, spiritual, dan estetika yang tak tertandingi.
TNBTS terletak di Cincin Api Pasifik dan merupakan contoh sempurna dari proses vulkanisme berkelanjutan. Sejarah geologis kawasan ini adalah kisah tentang kehancuran masif dan penciptaan yang dramatis.
Inti dari kawasan ini adalah Kaldera Tengger, sebuah depresi vulkanik raksasa yang diperkirakan terbentuk melalui serangkaian letusan katastropik puluhan ribu tahun yang lalu. Kaldera ini berdiameter sekitar 8 hingga 10 kilometer. Para ahli geologi membagi sejarah pembentukannya menjadi beberapa fase:
Ini adalah fase pembentukan gunung api pertama yang sangat besar, dikenal sebagai Gunung Tengger Purba. Gunung ini jauh lebih tinggi dan masif dari gunung yang kita lihat hari ini. Aktivitas magma di bawahnya memuncak, menyebabkan tekanan yang tidak tertahankan.
Sekitar 40.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, letusan dahsyat (kemungkinan VEI 7 atau lebih) menyebabkan puncak Gunung Tengger Purba kolaps ke dalam dapur magma yang kosong, menghasilkan kaldera yang luas. Material piroklastik hasil letusan ini menyebar luas di Jawa Timur.
Setelah kolaps, aktivitas vulkanik tidak berhenti. Magma mulai merembes kembali dan membentuk kerucut-kerucut vulkanik baru di lantai kaldera. Kerucut-kerucut ini, yang kini kita kenal sebagai Kompleks Tengger Muda, meliputi Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Kursi, Gunung Watangan, dan Gunung Widodaren. Semua kerucut ini adalah 'anak' dari Kaldera Tengger.
Lautan Pasir adalah fenomena unik yang mengisi dasar Kaldera Tengger. Area datar ini memiliki luas sekitar 5.250 hektar dan diselimuti oleh endapan vulkanik berupa pasir dan abu halus. Dalam bahasa Jawa kuno dan Tengger, ini dikenal sebagai Segara Wedi, yang berarti "Lautan Pasir".
Karakteristik Lautan Pasir:
Gunung Semeru (3.676 meter di atas permukaan laut), yang berada di selatan kompleks Tengger, adalah gunung api tertinggi di Pulau Jawa dan merupakan gunung api tipe strato aktif. Semeru memiliki karakteristik unik yaitu erupsi vulkanik kecil yang hampir terjadi secara rutin, dikenal sebagai erupsi tipe 'Strombolian'.
Fenomena khas Semeru adalah letusan setiap 15 hingga 30 menit dari kawah aktifnya, Jonggring Saloko, yang memuntahkan kolom asap dan abu. Aktivitas rutin ini menjadi pengingat konstan akan kekuatan alam.
Meskipun berada dalam satu kawasan taman nasional, Semeru dan Bromo memiliki sistem dapur magma yang terpisah. Semeru adalah gunung api komposit yang tinggi dan terisolasi, sementara Bromo adalah kerucut post-kaldera yang lebih rendah. Semeru secara geologis lebih tua dibandingkan Bromo, tetapi keduanya mewakili dua fase vital dalam sejarah vulkanisme Jawa.
Meskipun sering digambarkan sebagai lanskap yang gersang, TNBTS adalah rumah bagi biodiversitas yang mengejutkan, terutama di zona vegetasi di lereng-lereng kaldera dan di sekitar danau-danau (ranu).
Ketinggian ekstrem di TNBTS menciptakan zonasi vegetasi yang berbeda, memengaruhi jenis flora yang mampu bertahan hidup:
Area ini didominasi oleh hutan hujan pegunungan. Spesies khasnya termasuk paku-pakuan, akasia (Acacia decurrens), dan beberapa jenis pinus yang ditanam untuk reboisasi. Di sini, kerapatan hutan masih cukup tinggi dan mendukung kehidupan satwa besar.
Ini adalah area tempat savana luas, seperti Savana Jemplang dan Lembah Teletubbies, berkembang. Dominasi flora adalah rumput-rumputan keras (Poaceae) dan pohon-pohon endemik seperti Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana). Cemara gunung sangat penting karena kemampuannya menahan angin kencang dan suhu dingin. Di lereng Semeru, zona ini adalah rumah bagi Ranu Pani dan Ranu Kumbolo.
Vegetasi semakin jarang. Tanaman harus beradaptasi dengan kondisi angin kencang, radiasi UV tinggi, dan embun upas. Spesies paling ikonik di zona ini adalah:
TNBTS berperan vital sebagai habitat bagi beberapa spesies satwa langka yang terancam punah, terutama yang tergolong dalam daftar merah IUCN. Kawasan hutan di lereng Semeru dan Tengger berfungsi sebagai koridor penting bagi pergerakan satwa liar.
Taman nasional ini adalah surga bagi pengamat burung. Terdapat lebih dari 150 spesies burung yang tercatat. Yang paling penting adalah:
Pengawasan perburuan liar (poaching) dan pencegahan kebakaran hutan adalah kunci utama dalam menjaga kelangsungan hidup populasi satwa liar di TNBTS. Keseimbangan ekosistem sangat bergantung pada keberadaan vegetasi Cemara Gunung yang sensitif terhadap api.
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tidak dapat dipisahkan dari komunitas adat yang mendiaminya, yaitu Suku Tengger. Mereka adalah keturunan langsung dari masyarakat Majapahit yang melarikan diri ke pegunungan setelah runtuhnya kerajaan Hindu-Buddha di Jawa sekitar abad ke-15. Kehidupan, budaya, dan spiritualitas mereka berpusat pada pemujaan gunung dan pelestarian alam.
Nama 'Tengger' konon berasal dari gabungan nama leluhur mitologis mereka, Roro Anteng dan Joko Seger. Mitologi ini sangat terkait dengan Kaldera Tengger itu sendiri:
Kisah Roro Anteng (putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (pemuda lokal yang gagah) menceritakan bahwa setelah menikah, mereka tidak kunjung dikaruniai keturunan. Mereka kemudian bersemedi di kawah Tengger dan memohon kepada para dewa. Para dewa mengabulkan permohonan mereka dengan syarat, anak bungsu dari 25 anak yang akan mereka miliki harus dikorbankan ke kawah gunung.
Anak bungsu, Raden Kusuma, akhirnya dikorbankan. Meskipun orang tua dan saudaranya berusaha menyelamatkannya, Raden Kusuma tetap menceburkan diri ke kawah. Dari kawah, terdengar suara gaib yang memerintahkan keturunan Tengger untuk melakukan persembahan (Yadnya) setiap tahun pada bulan Kasada sebagai bentuk syukur dan penghormatan. Inilah dasar dari upacara Yadnya Kasada yang dilaksanakan hingga kini.
Suku Tengger menganut aliran Hindu yang telah berakulturasi kuat dengan kepercayaan animisme, dinamisme, dan praktik Jawa kuno. Mereka berbeda dari Hindu Bali, meskipun sama-sama menghormati Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Gunung Bromo dianggap sebagai tempat suci (Pura Poten) dan tempat bersemayamnya Dewa Brahma (Dewa Api). Gunung Semeru, atau Mahameru, dianggap sebagai tempat tinggal para dewa dan paku bumi. Orientasi spiritual mereka selalu mengarah ke gunung, yang merupakan simbol dari kekuatan alam dan keberadaan ilahi.
Pimpinan adat dan spiritual Suku Tengger adalah Dukun Pandhita. Mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan semua upacara adat, termasuk pernikahan, kematian, dan penentuan hari baik. Dukun Pandhita menjaga tradisi lisan dan pengetahuan mengenai kalender Tengger yang unik.
Pemukiman Tengger, seperti di Desa Ngadas (Malang) atau Cemoro Lawang (Probolinggo), menunjukkan adaptasi terhadap lingkungan pegunungan yang dingin. Rumah tradisional mereka cenderung memiliki atap miring curam dan dinding tebal untuk menahan suhu rendah. Tata letak desa seringkali terpusat pada Punden (tempat pemujaan leluhur) dan Balai Desa (pusat musyawarah).
Mata pencaharian utama mereka secara turun-temurun adalah pertanian dataran tinggi, khususnya menanam sayuran seperti kentang, kol, dan bawang prei, yang sangat cocok dengan tanah vulkanik yang subur. Dalam beberapa dekade terakhir, sektor pariwisata telah menjadi sumber pendapatan penting, namun mereka tetap menjaga agar pariwisata tidak mengganggu tradisi spiritual mereka.
Yadnya Kasada adalah ritual keagamaan terpenting bagi Suku Tengger, yang menjadi daya tarik spiritual dan budaya utama TNBTS. Ritual ini diselenggarakan setiap tahun pada bulan Kasada (bulan ke-12 dalam kalender Tengger), biasanya jatuh antara bulan Juni hingga Agustus Masehi.
Ritual ini dipimpin oleh Dukun Pandhita. Tanggalnya ditentukan berdasarkan perhitungan kalender kuno Tengger. Persiapan dimulai dengan pengumpulan hasil bumi (sesaji atau *ongkek*) dari seluruh desa di lereng Tengger.
Malam harinya, seluruh umat Tengger berkumpul di Pura Poten, pura yang terletak di tengah Lautan Pasir, tepat di kaki Gunung Bromo. Doa-doa dan mantra-mantra dipanjatkan. Ini adalah momen sakral di mana batas antara dunia manusia dan dewa terasa sangat tipis.
Puncak ritual terjadi menjelang fajar. Umat Tengger akan mendaki kawah Gunung Bromo. Di bibir kawah yang berasap, mereka melemparkan sesaji (larung), yang berisi hasil bumi, ternak, uang, atau bahkan ayam hidup, sebagai persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan leluhur mereka, Raden Kusuma.
Tindakan melempar persembahan ke kawah melambangkan penyerahan dan ketaatan terhadap janji yang telah dibuat oleh leluhur mereka. Meskipun terkadang dikunjungi wisatawan yang hanya ingin mengambil gambar, makna esensial Kasada adalah tindakan pengorbanan dan syukur, bukan sekadar tontonan.
Yadnya Kasada bukan hanya ritual persembahan, tetapi merupakan wujud harmonisasi kosmis. Ritual ini berfungsi sebagai:
TNBTS menawarkan spektrum kegiatan wisata yang luas, mulai dari pendakian yang menantang hingga menikmati pemandangan alam yang menenangkan. Pengalaman paling populer adalah menyaksikan matahari terbit di atas kaldera.
Matahari terbit Bromo adalah salah satu yang paling terkenal di dunia. Sinar keemasan memancar di atas kabut yang menyelimuti Lautan Pasir, dengan siluet Gunung Bromo, Batok, dan Semeru yang berdiri kokoh di kejauhan. Beberapa titik pandang utama meliputi:
Titik pandang tertinggi dan paling populer. Terletak di ketinggian 2.770 mdpl, tempat ini menawarkan pemandangan panorama kaldera yang sempurna. Karena popularitasnya, area ini sangat ramai selama musim liburan dan akhir pekan. Pengunjung biasanya tiba pukul 03.00 pagi untuk mendapatkan posisi terbaik.
Alternatif yang sedikit lebih rendah dari Penanjakan 1, tetapi menawarkan perspektif yang sama menakjubkannya. Namanya berasal dari siluet batu yang menyerupai kepala King Kong. Kepadatan pengunjung biasanya lebih rendah di sini.
Titik pandang yang dilengkapi dengan tangga beton yang mudah diakses. Cocok bagi wisatawan yang mencari kenyamanan dan fasilitas pendukung yang memadai. Pemandangannya sedikit berbeda, lebih fokus pada kawah Bromo dan Batok.
Setelah menikmati matahari terbit, perjalanan dilanjutkan menuruni kaldera menuju Lautan Pasir.
Pengunjung harus menggunakan kendaraan 4x4 (jeep) karena medan pasir yang sulit. Jeep akan membawa Anda melintasi Segara Wedi menuju kaki Gunung Bromo. Perjalanan ini menyajikan pemandangan dataran yang luas dan sunyi, dikelilingi oleh tebing-tebing kaldera yang curam.
Akses ke bibir kawah Bromo adalah melalui jalan kaki atau menunggang kuda dari area parkir. Terdapat sekitar 250 anak tangga yang harus didaki untuk mencapai bibir kawah. Dari atas, pengunjung dapat menyaksikan asap belerang yang mengepul dan mendengar deru aktivitas vulkanik dari perut bumi. Penting untuk selalu mengikuti instruksi keselamatan karena kondisi kawah yang aktif.
Di sisi timur kaldera, terdapat hamparan padang rumput hijau yang luas, dikenal sebagai Savana Jemplang atau sering dijuluki 'Bukit Teletubbies' karena kontur bukitnya yang lembut dan hijau subur, terutama selama musim hujan. Area ini menawarkan kontras visual yang tajam dengan Lautan Pasir yang gersang, dan menjadi spot fotografi yang populer.
Pendakian Gunung Semeru adalah tantangan serius yang menarik para pendaki dari seluruh dunia. Jalur ini dikelola ketat oleh TNBTS dan membutuhkan persiapan fisik, mental, dan logistik yang matang.
Pintu masuk resmi untuk pendakian Semeru adalah melalui Pos Ranu Pani (2.100 mdpl) di Kabupaten Lumajang. Pendaki wajib mendaftar secara daring, melakukan pemeriksaan kesehatan, dan mematuhi batas kuota pendakian harian. TNBTS sangat menekankan prinsip zero waste dan keselamatan.
Jalur dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo (2.400 mdpl) adalah trek hutan yang moderat, memakan waktu sekitar 4-5 jam. Ranu Kumbolo adalah danau air tawar alami yang sangat indah, dikelilingi bukit-bukit yang diselimuti Cemara Gunung. Area ini sering dijadikan tempat berkemah pertama. Mata air di Ranu Kumbolo menjadi sumber air vital bagi pendaki.
Setelah Ranu Kumbolo, pendaki melewati 'Tanjakan Cinta' (sebuah tanjakan curam yang memiliki mitos unik tentang hubungan asmara) dan kemudian memasuki Oro-Oro Ombo, sebuah lembah luas yang didominasi oleh tanaman verbena (Verbena brasiliensis) yang terkadang berwarna ungu, menciptakan pemandangan yang spektakuler.
Kalimati (2.700 mdpl) adalah pos terakhir yang memiliki sumber air (musiman) dan menjadi lokasi berkemah utama sebelum penyerangan puncak (summit attack). Arcopodo, sedikit di atas Kalimati, adalah batas vegetasi terakhir, sering digunakan sebagai pos bayangan untuk mempersingkat perjalanan puncak.
Pendakian puncak (dari Kalimati ke Mahameru) dimulai dini hari (sekitar pukul 01.00 atau 02.00). Treknya sangat curam, ditutupi pasir vulkanik dan kerikil halus (scree), yang membuat setiap langkah terasa berat. Jarak 4 km memakan waktu 4-7 jam. Tantangannya adalah hipoksia (kekurangan oksigen) dan suhu yang sangat dingin.
Pendaki harus mencapai puncak sebelum pukul 09.00 pagi karena setelah itu, Semeru biasanya mengeluarkan asap dan gas beracun (gas belerang) yang sangat berbahaya. Batas aman pendakian ditetapkan hanya sampai Puncak Mahameru, dilarang turun ke kawah aktif Jonggring Saloko.
Sebagai kawasan konservasi dengan tekanan pariwisata yang tinggi, TNBTS menghadapi berbagai tantangan ekologis dan sosial. Pengelolaan taman nasional harus menyeimbangkan kebutuhan konservasi, kepentingan adat, dan tuntutan pariwisata.
Kebakaran menjadi ancaman tahunan, terutama selama musim kemarau panjang. Api, yang sering dipicu oleh kelalaian manusia (puntung rokok atau api unggun pendaki), dapat dengan cepat menghancurkan padang savana dan Cemara Gunung. Rehabilitasi lahan pasca-kebakaran memakan waktu bertahun-tahun.
Contoh paling nyata adalah keberadaan tanaman Verbena brasiliensis di Oro-Oro Ombo. Meskipun indah, verbena adalah spesies invasif yang mendesak flora endemik asli. Pengendalian IAS adalah pekerjaan berkelanjutan yang membutuhkan strategi khusus agar tidak merusak ekosistem asli.
Peningkatan jumlah pengunjung, terutama di Bromo dan jalur Semeru, meningkatkan volume sampah. Meskipun ada upaya 'clean-up', manajemen sampah, terutama di lokasi terpencil seperti Ranu Kumbolo, tetap menjadi isu kritis. Kebijakan "membawa turun semua sampah" ditegakkan, namun pelanggaran masih terjadi.
Manajemen TNBTS menerapkan beberapa strategi kunci untuk melindungi integritas ekologis dan budaya kawasan:
Prinsip konservasi di TNBTS adalah menjaga keseimbangan antara statusnya sebagai kawasan konservasi Kelas Dunia dan fungsinya sebagai tempat spiritual Suku Tengger. Semua aktivitas harus menjamin kelangsungan hidup ekosistem vulkanik ini untuk generasi mendatang.
Untuk memahami kompleksitas TNBTS, perlu diperhatikan ekosistem mikro yang berjuang untuk bertahan hidup di Lautan Pasir, zona yang secara geologis sangat ekstrem.
Zona Lautan Pasir, secara harfiah, adalah gurun dingin. Kekurangan nutrisi organik, porositas tanah yang tinggi (menyebabkan air cepat hilang), dan fluktuasi suhu harian yang ekstrem menuntut adaptasi luar biasa dari flora di sini. Hanya tumbuhan pionir yang sangat spesialisasi yang dapat bertahan.
Beberapa jenis rumput hanya muncul dan menyelesaikan siklus hidup mereka dalam waktu singkat selama musim hujan, memanfaatkan kelembaban sementara. Mereka memiliki sistem perakaran yang cepat dan kemampuan menyimpan biji yang tahan lama (dormansi) hingga kondisi memungkinkan.
Flora yang berada di zona kawah harus tahan terhadap endapan abu dan paparan belerang. Hal ini membatasi jenis spesies yang dapat tumbuh, biasanya hanya lumut dan beberapa jenis paku yang dapat ditemukan dekat dengan aliran air panas atau zona fumarol.
Meskipun namanya Lautan Pasir, di bawah permukaan terdapat sistem hidrologi yang kompleks. Air hujan yang meresap cepat diserap oleh material vulkanik. Di beberapa bagian, muncul rembesan air bawah tanah yang menjaga kelembaban di beberapa sudut cekungan, memungkinkan tumbuhnya padang rumput (seperti di sekitar Pura Poten).
Sistem ini juga yang memberi makan Ranu Pani dan Ranu Kumbolo, yang meskipun berada di elevasi yang tinggi, tetap menjadi danau permanen. Ranu-ranu ini memainkan peran penting dalam siklus air regional, menyediakan sumber air bagi desa-desa di lereng Tengger.
TNBTS mengalami iklim mikro yang sangat bervariasi karena perbedaan elevasi yang drastis. Fenomena paling unik terkait iklim adalah *embun upas*.
Embun upas (frost) terjadi pada puncak musim kemarau, biasanya Juli hingga September, saat suhu udara di ketinggian turun sangat drastis, seringkali di bawah 0°C. Ini terjadi karena:
Ketika suhu mencapai titik beku, embun yang menempel pada daun dan rumput (terutama di Lautan Pasir dan Ranu Kumbolo) membeku menjadi kristal es. Meskipun indah, embun upas bisa mematikan bagi tanaman pertanian sensitif milik Suku Tengger, yang menyebabkan gagal panen bagi petani kentang dan sayur.
Perubahan iklim global memengaruhi pola cuaca di TNBTS. Musim kemarau menjadi lebih panjang dan kering (meningkatkan risiko kebakaran), sementara curah hujan menjadi lebih tidak menentu. Perubahan ini secara langsung mengancam ketersediaan air di danau-danau pegunungan dan mengganggu siklus reproduksi flora dan fauna endemik, menuntut strategi adaptasi konservasi yang lebih agresif.
Mengunjungi TNBTS dapat dilakukan melalui tiga gerbang utama, masing-masing menawarkan pengalaman dan tantangan akses yang berbeda.
Ini adalah gerbang paling populer dan paling mudah diakses dari jalur utara Jawa (Surabaya/Malang via tol). Cemoro Lawang terletak persis di bibir kaldera, menawarkan pemandangan langsung ke Lautan Pasir dan Bromo.
Akses ini relatif lebih teratur dan sering digunakan oleh wisatawan yang menginap di resort yang lebih eksklusif di daerah Tosari. Jalan menuju Wonokitri sedikit lebih landai dibandingkan Cemoro Lawang.
Gerbang Tumpang (Malang) adalah jalur bagi yang ingin langsung menuju Lautan Pasir tanpa melewati Penanjakan, atau bagi mereka yang ingin memulai perjalanan ke Semeru melalui Ngadas. Ngadas adalah desa Tengger tertinggi di sisi Malang, dan sering menjadi titik awal bagi pendaki Semeru yang ingin menghindari keramaian jalur Probolinggo.
Di dalam kawasan inti kaldera, mobil pribadi dilarang beroperasi. Pengunjung wajib menggunakan Jip 4x4 berizin. Sistem ini tidak hanya untuk alasan keselamatan (medan yang berat) tetapi juga untuk memberdayakan operator lokal Suku Tengger yang menjalankan bisnis penyewaan jeep. Hal ini meminimalkan dampak lalu lintas di kawasan konservasi.
Edelweiss Jawa (Anaphalis javanica) adalah studi kasus penting mengenai konflik antara pariwisata dan konservasi di TNBTS.
Edelweiss adalah tanaman pelindung di ekosistem alpin. Di masa lalu, tanaman ini hampir punah di beberapa lokasi akibat dipetik secara liar sebagai suvenir, padahal Edelweiss merupakan tanaman yang dilindungi undang-undang.
Pemerintah TNBTS dan komunitas Tengger berkolaborasi dalam program perlindungan:
Keberhasilan konservasi Edelweiss sangat bergantung pada kesadaran etika pengunjung dan komitmen komunitas lokal untuk menjaga warisan flora mereka.
Hidup berdampingan dengan gunung api aktif seperti Semeru dan Bromo telah menumbuhkan kearifan lokal yang mendalam di kalangan Suku Tengger mengenai mitigasi bencana.
Dukun Pandhita memiliki pengetahuan tradisional tentang membaca tanda-tanda alam, seperti perilaku binatang, pola angin, dan perubahan suhu air, yang dapat mengindikasikan peningkatan aktivitas gunung api. Walaupun sistem peringatan dini modern (PVMBG) digunakan, pengetahuan tradisional tetap penting dalam pengambilan keputusan di tingkat komunitas.
Ritual tertentu, selain Kasada, juga dilakukan sebagai upaya ‘tolak bala’ atau menenangkan roh gunung agar tidak menimbulkan bencana. Ritual-ritual ini berfungsi sebagai mekanisme psikologis dan sosial untuk menghadapi ketidakpastian hidup di lereng gunung berapi.
Masyarakat Tengger umumnya memiliki kesadaran tinggi untuk tidak merusak hutan di lereng curam, karena mereka tahu hutan berfungsi sebagai penahan erosi dan banjir lahar dingin (lahar hujan) yang berasal dari Semeru atau Bromo.
Kesinambungan hidup Suku Tengger, yang tetap teguh memegang tradisi mereka di tengah modernisasi dan pariwisata, adalah bukti nyata bahwa TNBTS adalah perpaduan harmonis antara geologi yang ganas dan budaya yang resilient.
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah cerminan dari daya cipta alam yang tak terbatas dan ketahanan budaya manusia. Kawasan ini menawarkan pelajaran berharga tentang bagaimana kehidupan dapat bersemi di tengah kondisi ekstrem dan bagaimana spiritualitas dapat membentuk hubungan mendalam antara manusia dan lingkungan.
Dari embusan asap belerang Bromo yang mistis, keheningan Lautan Pasir yang tak berujung, keindahan magis Ranu Kumbolo, hingga puncak Semeru yang agung, TNBTS adalah warisan yang tak ternilai harganya. Perlindungan kawasan ini menuntut komitmen kolektif, baik dari pengelola, komunitas adat Tengger, maupun setiap pengunjung, untuk memastikan keagungan Bromo Tengger Semeru tetap lestari.
Menghormati peraturan, menjaga kebersihan, dan menghargai tradisi lokal adalah kontribusi paling sederhana namun paling signifikan yang dapat kita berikan untuk menjaga Jantung Vulkanik Jawa Timur ini.