Demam tifoid, yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica serotipe Typhi ($S.$ Typhi), tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat global, terutama di negara berkembang. Meskipun kemajuan sanitasi dan vaksinasi telah mengurangi insiden di beberapa wilayah, penyakit ini masih menyebabkan jutaan kasus dan ratusan ribu kematian setiap periode. Inti dari penatalaksanaan tifoid adalah intervensi antibiotik yang cepat dan tepat. Namun, efikasi antibiotik klasik terus terancam oleh evolusi cepat resistensi antimikroba (AMR), memaksa komunitas medis untuk terus mengevaluasi dan memodifikasi protokol terapi.
Poin Kunci: Penyakit tifoid bukan sekadar infeksi demam, melainkan penyakit sistemik yang melibatkan invasi mukosa usus, replikasi di sistem retikuloendotelial, dan penyebaran hematogen. Kegagalan diagnosis cepat dan pemilihan antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko komplikasi berat seperti perdarahan usus, perforasi, atau ensefalopati.
Memahami bagaimana $S.$ Typhi berinteraksi dengan inang adalah fundamental untuk memahami mengapa antibiotik tertentu bekerja lebih baik dibandingkan yang lain. Infeksi dimulai ketika bakteri tertelan melalui makanan atau air yang terkontaminasi.
Setelah melewati lingkungan asam lambung, $S.$ Typhi mencapai usus halus. Di sini, ia menargetkan sel-sel M (M cells) yang terletak di epitel yang melapisi Peyer’s patches—kumpulan jaringan limfoid yang kaya di ileum. Bakteri menggunakan sistem sekresi tipe III (T3SS) untuk menyuntikkan protein efektor ke dalam sel inang, memanipulasi struktur sitoskeleton aktin, dan memicu endositosis—suatu proses yang dikenal sebagai ‘ruffling’ membran.
Ilustrasi skematis bakteri $S.$ Typhi, agen penyebab demam tifoid. Adanya kapsul Vi adalah faktor virulensi kunci.
Setelah diinternalisasi, $S.$ Typhi tidak dihancurkan oleh makrofag. Sebaliknya, bakteri tersebut memanfaatkan makrofag sebagai "taksi" untuk menyebar secara sistemik. Bakteri hidup dan bereplikasi di dalam vesikel yang disebut Salmonella-containing vacuole (SCV), melindungi dirinya dari fusi lisosom yang normalnya akan membunuhnya. Makrofag yang terinfeksi ini kemudian beredar melalui pembuluh limfatik ke kelenjar getah bening mesenterika, limpa, hati, dan sumsum tulang. Periode inkubasi (sekitar 7–14 hari) terjadi selama fase replikasi tersembunyi ini.
Ketika jumlah bakteri mencapai ambang batas kritis, terjadi pelepasan bakteri ke dalam aliran darah (bakteremia), yang memicu respons peradangan sistemik: demam tinggi berkelanjutan, sakit kepala, dan malaise. Selanjutnya, $S.$ Typhi kembali ke usus melalui sekresi empedu, menginfeksi Peyer’s patches sekali lagi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan hiperplasia, nekrosis, dan ulserasi—penyebab utama perforasi dan perdarahan usus yang fatal.
Diagnosis klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik, tumpang tindih dengan penyakit demam enterik lainnya. Oleh karena itu, konfirmasi laboratoris sangat penting sebelum memulai terapi antibiotik definitif, terutama di era resistensi obat yang masif.
Kultur adalah metode diagnosis definitif. Kultur darah memiliki sensitivitas terbaik pada minggu pertama penyakit. Jika hasil kultur darah negatif, kultur sumsum tulang dianggap sebagai standar emas karena sensitivitasnya yang tinggi (90%) dan hasil yang relatif tidak dipengaruhi oleh penggunaan antibiotik sebelumnya. Kultur feses dan urin kurang sensitif tetapi penting untuk identifikasi karier kronis.
Tes Widal, yang mengukur antibodi O dan H terhadap antigen $S.$ Typhi, sering digunakan di daerah endemik karena biayanya yang rendah. Namun, Widal memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang rendah, sering memberikan hasil positif palsu (karena infeksi silang atau vaksinasi) dan hasil negatif palsu (pada fase awal penyakit). Tes cepat berbasis IgM dan IgG menjadi alternatif yang lebih cepat, tetapi tetap tidak menggantikan kebutuhan akan kultur.
Terapi antibiotik adalah satu-satunya cara efektif untuk membasmi infeksi tifoid. Sejarah pengobatan tifoid adalah cerita tentang perang melawan bakteri yang terus beradaptasi.
Pada pertengahan abad ke-20, kloramfenikol dianggap sebagai obat ajaib untuk tifoid. Sebagai bakteriostatik, ia bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri pada subunit ribosom 50S. Respons klinis cepat, biasanya dalam 48 hingga 72 jam. Namun, penggunaan luas kloramfenikol menyebabkan munculnya plasmid resistensi R, menjadikannya tidak efektif di banyak wilayah endemik pada akhir 1970-an. Selain itu, potensi efek samping seriusnya (anemia aplastik, sindrom abu-abu) membatasi penggunaannya.
Setelah kloramfenikol gagal, pilihan beralih ke kotrimoksazol (trimetoprim-sulfametoksazol) dan ampisilin. Meskipun efektif pada awalnya, resistensi terhadap kedua obat ini, sering kali dikodekan pada plasmid yang sama dengan resistensi kloramfenikol, dengan cepat menyebar. Ketiga obat ini (kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol) secara kolektif disebut sebagai antibiotik Lini Pertama Klasik.
Pada 1980-an, fluoroquinolones (FQs) seperti Ciprofloxacin dan Ofloxacin menjadi lini pertahanan baru. Obat ini bersifat bakterisidal dan memiliki penetrasi jaringan yang sangat baik, terutama ke dalam makrofag dan kantung empedu—lokasi utama persembunyian $S.$ Typhi.
FQ bekerja dengan menargetkan enzim kunci yang diperlukan untuk replikasi dan perbaikan DNA bakteri: DNA gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV. Dengan menghambat enzim-enzim ini, FQs mencegah superkoiling dan pemisahan DNA, yang mengarah pada kematian sel bakteri yang cepat. Ciprofloxacin secara khusus menjadi andalan karena bioavailabilitas oralnya yang tinggi.
Sayangnya, penggunaan FQs yang berlebihan, termasuk untuk infeksi non-tifoid, memicu munculnya penurunan sensitivitas (DTS) pada $S.$ Typhi, yang dikenal sebagai NALC (Nalidixic Acid-Resistant S. Typhi) atau lebih modern, isolat yang resisten terhadap Ciprofloxacin. Resistensi ini umumnya terjadi melalui mutasi titik pada gen $gyrA$ dan $parC$, yang mengkodekan sub-unit target enzim topoisomerase.
Ketika resistensi FQ menjadi lazim, sefalosporin generasi ketiga, khususnya Ceftriaxone (injeksi) dan Cefixime (oral), mengambil peran penting.
Ceftriaxone, antibiotik beta-laktam, bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri (peptidoglikan). Karena diberikan secara parenteral (suntikan), ini sering menjadi pilihan untuk kasus tifoid yang parah, pasien yang muntah, atau pasien dengan dugaan komplikasi seperti ensefalopati tifoid. Ceftriaxone tetap sangat efektif melawan Multidrug-Resistant (MDR) $S.$ Typhi—strain yang resisten terhadap kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol.
Cefixime adalah sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan secara oral, menjadikannya pilihan untuk pasien rawat jalan atau setelah periode terapi Ceftriaxone parenteral. Meskipun kurang potent dibandingkan Ceftriaxone, efektivitasnya melawan MDR Typhi menjadikannya pilihan penting di beberapa setting klinis.
Azithromycin adalah makrolida yang bekerja dengan menghambat sintesis protein pada ribosom 50S, mirip dengan kloramfenikol, tetapi memiliki profil keamanan yang jauh lebih baik. Perannya telah meningkat secara dramatis karena:
Azithromycin kini dianggap sebagai salah satu antibiotik lini pertama atau alternatif utama, terutama di daerah dengan prevalensi tinggi MDR dan DTS terhadap FQ.
| Kelas Obat | Contoh | Mekanisme Kunci | Status Saat Ini |
|---|---|---|---|
| Fluoroquinolones | Ciprofloxacin, Ofloxacin | Inhibitor DNA Gyrase & Topoisomerase IV | Lini Pertama/Kedua. Waspada terhadap DTS (NALC) dan resistensi tinggi. |
| Sefalosporin Gen 3 | Ceftriaxone (IV), Cefixime (Oral) | Inhibitor Sintesis Dinding Sel (Beta-Laktam) | Pilihan Utama untuk MDR Typhi, Kasus Berat, dan Pediatri. |
| Makrolida | Azithromycin | Inhibitor Sintesis Protein (Ribosom 50S) | Alternatif Utama untuk FQ-Resisten dan Pilihan Aman untuk Anak/Hamil. |
| Fenikol | Kloramfenikol | Inhibitor Sintesis Protein (Ribosom 50S) | Tidak direkomendasikan karena resistensi dan toksisitas (Anemia Aplastik). |
Ancaman terbesar bagi penatalaksanaan tifoid adalah munculnya dan penyebaran strain $S.$ Typhi yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Resistensi mengubah secara fundamental cara penyakit ini diobati dan dikelola.
MDR didefinisikan sebagai resistensi terhadap ketiga antibiotik lini pertama klasik: kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol. Strain MDR menjadi endemik di banyak bagian Asia dan Afrika. Resistensi ini umumnya dimediasi oleh plasmid, yang dapat ditransfer antar-bakteri, mempercepat penyebarannya. Munculnya MDR adalah alasan utama mengapa FQs dan Sefalosporin Gen 3 diangkat menjadi lini pertama pada dekade 1990-an.
Setelah FQs menjadi standar, tekanan selektif menyebabkan mutasi $gyrA$. Awalnya, bakteri menunjukkan DTS (Penurunan Sensitivitas) terhadap FQ, yang berarti dosis standar mungkin gagal membersihkan infeksi, meningkatkan risiko kambuh. Dalam konteks klinis, infeksi oleh strain dengan DTS seringkali memerlukan dosis FQ yang lebih tinggi atau peralihan cepat ke antibiotik alternatif seperti Azithromycin atau Ceftriaxone.
XDR $S.$ Typhi merupakan krisis kesehatan masyarakat yang berkembang pesat. Strain XDR didefinisikan sebagai resistensi terhadap lima kelas obat utama: semua obat klasik (Kloramfenikol, Ampisilin, Kotrimoksazol), Fluoroquinolones, dan Sefalosporin Generasi Ketiga. Resistensi XDR pertama kali dilaporkan secara luas dari Pakistan dan telah menyebar secara internasional. Strain ini secara efektif hanya menyisakan satu pilihan terapi oral yang andal: Azithromycin.
Pasien yang terinfeksi XDR Typhi mungkin mengalami kegagalan terapi jika diobati dengan rejimen standar. Mereka memerlukan antibiotik yang biasanya dicadangkan untuk infeksi yang sangat sulit, seperti Karbapenem (misalnya, Meropenem) atau kombinasi terapi, yang meningkatkan biaya, durasi pengobatan, dan kebutuhan rawat inap. Ancaman XDR mendorong eksplorasi kembali obat-obatan lama yang mungkin memiliki efikasi residual dan pengembangan antibiotik baru.
Konflik antibiotik dan penyebaran strain resisten (MDR/XDR), memerlukan modifikasi regimen terapi.
Pilihan antibiotik harus selalu didasarkan pada pola resistensi lokal, tingkat keparahan penyakit, usia pasien, dan riwayat paparan antibiotik sebelumnya.
Meskipun terancam resistensi, Ciprofloxacin dosis tinggi dan diperpanjang tetap menjadi pilihan untuk infeksi $S.$ Typhi yang sensitif. Dosis yang umum digunakan adalah 500 mg dua kali sehari selama 7-14 hari. Durasi yang lebih panjang seringkali diperlukan untuk memastikan eradikasi bakteri yang bersembunyi di dalam makrofag. Penting untuk diingat bahwa FQs dikontraindikasikan secara relatif pada anak-anak karena kekhawatiran tentang artropati (meskipun risiko ini mungkin lebih rendah daripada manfaatnya dalam kasus MDR yang parah).
Ceftriaxone sering digunakan pada dosis 50-75 mg/kg per hari (hingga 4 g per hari) melalui jalur intravena atau intramuskular. Karena ia adalah beta-laktam, waktu di atas konsentrasi penghambatan minimum (T>MIC) adalah penentu efikasi utamanya. Ceftriaxone adalah pilihan aman dan efektif untuk pasien pediatrik dan orang dewasa yang menderita tifoid berat, termasuk mereka dengan komplikasi neurologis (ensefalopati) atau syok septik. Lama pengobatan biasanya 10-14 hari, namun bisa lebih singkat (5-7 hari) pada kasus tidak berkomplikasi di mana $S.$ Typhi sensitif.
Azithromycin memiliki keunggulan berupa waktu paruh yang sangat panjang, memungkinkan dosis sekali sehari dan akumulasi yang signifikan di jaringan. Protokol standar sering melibatkan dosis muatan (loading dose) pada Hari 1 (misalnya, 1000 mg) diikuti dengan 500 mg per hari selama 6 hari berikutnya, total 7 hari. Untuk strain XDR, Azithromycin sering menjadi satu-satunya pilihan oral yang masih efektif. Mekanisme internalisasi ke makrofag memberikan keunggulan farmakokinetik dibandingkan banyak antibiotik lain dalam memerangi $S.$ Typhi.
Beberapa kondisi pasien memerlukan modifikasi regimen terapi standar untuk memastikan keamanan dan efikasi.
Pada anak-anak, FQs umumnya dihindari. Pilihan lini pertama adalah Ceftriaxone (intravena) untuk kasus rawat inap dan Azithromycin (oral) untuk kasus rawat jalan. Cefixime oral juga dapat digunakan, meskipun efikasinya mungkin sedikit lebih rendah dibandingkan Azithromycin. Dosis harus disesuaikan berdasarkan berat badan.
Tifoid selama kehamilan membawa risiko keguguran, kelahiran prematur, atau infeksi neonatal. Kloramfenikol dan FQs dikontraindikasikan (Kloramfenikol karena risiko sindrom abu-abu pada janin, FQs karena potensi artropati). Azithromycin dan Ceftriaxone adalah pilihan yang aman dan direkomendasikan untuk semua trimester kehamilan.
Karier kronis adalah individu yang terus mengeluarkan $S.$ Typhi melalui feses atau urin selama lebih dari periode tertentu setelah pemulihan. Karier kronis merupakan reservoir penting yang memelihara transmisi tifoid di masyarakat. Bakteri biasanya bersarang di kantung empedu.
Pengobatan karier kronis memerlukan terapi yang sangat intensif dan berjangka panjang, seringkali 4 hingga 6 minggu:
Meskipun antibiotik adalah inti pengobatan, manajemen suportif dan langkah-langkah pencegahan sangat penting untuk mengurangi mortalitas dan penyebaran penyakit.
Pasien tifoid sering mengalami dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit akibat demam tinggi, muntah, dan diare. Rehidrasi agresif dan koreksi elektrolit adalah wajib. Nutrisi yang memadai (seringkali diet rendah serat) penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada usus yang terinflamasi.
Kortikosteroid (biasanya Deksametason) tidak digunakan secara rutin, tetapi diindikasikan pada kasus tifoid yang sangat berat, terutama pada pasien dengan syok, koma, atau ensefalopati. Deksametason dosis tinggi terbukti mengurangi mortalitas pada subkelompok pasien ini, kemungkinan besar dengan menekan respons peradangan yang berlebihan yang dipicu oleh pelepasan endotoksin bakteri.
Vaksinasi adalah alat utama untuk mengendalikan tifoid di tingkat populasi, terutama karena ancaman XDR. Ada dua jenis utama vaksin yang digunakan secara luas:
Analisis farmakodinamik (bagaimana obat memengaruhi bakteri) dan farmakokinetik (bagaimana tubuh memengaruhi obat) sangat penting dalam menghadapi strain resisten.
$S.$ Typhi adalah patogen intraseluler fakultatif. Ini berarti obat harus mencapai konsentrasi terapeutik yang memadai di dalam sitoplasma makrofag tempat bakteri bersembunyi. Antibotik dengan penetrasi intraseluler yang buruk (misalnya, kebanyakan beta-laktam) mungkin kurang efektif untuk eradikasi total infeksi, meskipun mereka bisa membersihkan bakteremia.
Dalam terapi antibiotik, terdapat tiga parameter PK/PD utama yang memprediksi keberhasilan:
Pengetahuan ini mendorong penggunaan dosis FQ yang lebih tinggi atau durasi yang lebih panjang (untuk meningkatkan AUC) ketika berhadapan dengan strain $S.$ Typhi yang menunjukkan MIC sedikit lebih tinggi (DTS), sebelum sepenuhnya resisten.
Untuk memitigasi dampak resistensi, pendekatan multi-sektoral diperlukan, melampaui sekadar pemilihan antibiotik.
Pengawasan berkelanjutan (surveilans) terhadap pola resistensi lokal adalah wajib. Tanpa data yang akurat mengenai prevalensi MDR dan XDR, protokol pengobatan empiris akan cepat usang dan berpotensi gagal. Laboratorium harus secara rutin melakukan uji sensitivitas (AST) terhadap isolat $S.$ Typhi untuk memandu perubahan pedoman terapi.
Program pengelolaan antibiotik (antibiotic stewardship) bertujuan untuk memastikan bahwa antibiotik digunakan secara bijak. Dalam konteks tifoid, ini berarti:
Mengingat krisis resistensi, penelitian beralih ke alternatif novel:
Meskipun antibiotik dapat membersihkan infeksi, manajemen komplikasi menentukan kelangsungan hidup pasien.
Komplikasi yang paling umum dan seringkali paling fatal. Terjadi akibat ulserasi Peyer’s patches. Terapi antibiotik harus dilanjutkan, dan seringkali diperlukan transfusi darah serta manajemen suportif intensif. Pemilihan antibiotik tidak berubah, tetapi fokus bergeser ke stabilisasi hemodinamik.
Memerlukan intervensi bedah darurat. Jika perforasi terjadi, terapi antibiotik harus diperluas untuk mencakup flora usus lain (bakteri anaerob dan Gram-negatif) yang memasuki rongga peritoneum. Rejimen yang dianjurkan dalam kasus ini seringkali menggabungkan Ceftriaxone (untuk $S.$ Typhi) dengan Metronidazole (untuk anaerob) atau Karbapenem (jika diduga XDR atau infeksi polimikrobial berat).
Melibatkan perubahan status mental, kejang, atau koma. Ini adalah indikasi kuat untuk penggunaan Ceftriaxone intravena dan Deksametason. Penetapan antibiotik yang cepat sangat penting, karena ensefalopati tifoid memiliki angka mortalitas yang tinggi jika tidak diobati secara agresif.
Penghentian antibiotik prematur atau kegagalan untuk memantau respons dapat menyebabkan kekambuhan atau kegagalan terapi.
Pada kasus yang sensitif, demam harus mulai turun (defervescence) dalam 3 hingga 5 hari setelah memulai terapi efektif. Jika pasien tetap demam setelah 5 hari, harus dipertimbangkan kegagalan terapi, yang mungkin disebabkan oleh:
Kekambuhan (relapse) terjadi pada sekitar 5% hingga 10% pasien, biasanya 1 hingga 3 minggu setelah penghentian terapi. Kekambuhan umumnya disebabkan oleh kegagalan antibiotik untuk sepenuhnya membersihkan infeksi dari lokasi intraseluler. Episode kekambuhan biasanya lebih ringan tetapi harus diobati dengan rejimen antibiotik yang sama dengan yang digunakan untuk infeksi awal, asalkan terbukti efektif.
Antibiotik harus dilanjutkan setidaknya selama 7 hari penuh setelah pasien menjadi afebris (bebas demam) dan menunjukkan perbaikan klinis substansial. Total durasi terapi umumnya 7 hingga 14 hari, tergantung pada obat dan tingkat keparahan infeksi.
Demam tifoid terus menjadi tantangan yang dinamis. Dari era kloramfenikol hingga perang melawan XDR, terapi antibiotik telah mengalami evolusi yang konstan. Fluoroquinolones dan Azithromycin, bersama dengan Ceftriaxone, membentuk barisan pertahanan utama saat ini. Namun, keberhasilan jangka panjang dalam mengendalikan tifoid tidak hanya bergantung pada pengembangan obat baru atau modifikasi dosis, tetapi secara fundamental pada peningkatan sanitasi, akses air bersih, dan adopsi vaksin konjugat tifoid (TCV) secara massal sebagai pencegahan epidemiologis jangka panjang. Hanya dengan pendekatan terpadu—yang menggabungkan intervensi farmakologis yang cerdas dengan tindakan pencegahan kesehatan masyarakat—kita dapat berharap untuk membatasi ancaman $S.$ Typhi yang terus bermutasi.