Hukum Fiqih Arisan Qurban: Kajian Mendalam Kepemilikan, Akad, dan Syarat Sah Ibadah

Pendahuluan: Integrasi Sosial dan Ibadah Maliyah

Arisan Qurban merupakan fenomena sosial keagamaan yang semakin populer di tengah masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia. Mekanisme ini menawarkan solusi bagi umat Muslim yang ingin melaksanakan ibadah Qurban — sebuah ibadah maliyah (berkaitan dengan harta) yang memiliki dimensi sosial tinggi — namun terkendala kemampuan finansial untuk menyediakan dana sekaligus dalam jumlah besar. Dengan adanya arisan, pembayaran dapat dicicil secara berkala.

Namun, dalam pandangan fiqih, setiap transaksi dan tata cara ibadah harus tunduk pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan syariat. Ibadah Qurban memiliki persyaratan yang sangat ketat terkait waktu pelaksanaan, jenis hewan, dan yang paling krusial: kepemilikan penuh (milkiah) atas hewan yang akan disembelih. Integrasi antara akad arisan (yang merupakan ranah muamalah, atau transaksi sosial) dengan ibadah Qurban (yang merupakan ranah ubudiyah, atau ritual peribadatan) menimbulkan sejumlah pertanyaan fiqih fundamental yang memerlukan kajian mendalam.

Apakah skema cicilan dalam arisan membatalkan keabsahan Qurban? Bagaimana status hewan Qurban yang dibeli sebelum seluruh iuran arisan terkumpul? Artikel ini akan mengupas tuntas hukum arisan Qurban dari berbagai perspektif fiqih mazhab, mengidentifikasi risiko akad yang dapat membatalkan pahala Qurban, serta menyajikan solusi praktis agar ibadah ini tetap sah dan diterima.

Kajian Fiqih Ibadah Qurban: Syarat-Syarat Primer

Untuk memahami hukum arisan Qurban, kita harus terlebih dahulu menetapkan landasan fiqih Qurban itu sendiri. Qurban adalah penyembelihan hewan ternak tertentu pada Hari Raya Idul Adha dan Hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

Status Hukum Qurban: Wajib atau Sunnah Muakkadah?

Mayoritas ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali) berpendapat bahwa Qurban adalah Sunnah Muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi setiap Muslim yang mampu. Sementara itu, Mazhab Hanafi berpendapat Qurban adalah Wajib bagi Muslim yang mukim (tidak bepergian) dan memiliki kemampuan finansial. Perbedaan pandangan ini penting karena memengaruhi tingkat kehati-hatian dalam menjalankan syarat-syaratnya.

Syarat Sahnya Hewan Qurban dan Kepemilikan (Milkiah)

Fiqih menetapkan beberapa syarat utama agar Qurban dianggap sah. Syarat yang paling relevan dengan isu arisan adalah masalah kepemilikan.

  1. Kepemilikan Penuh (Milkiah Tammah): Hewan yang diqurbankan harus dimiliki secara penuh dan sah oleh Shahibul Qurban (orang yang berqurban) pada saat penyembelihan.
  2. Tidak Terikat Hak Orang Lain: Hewan tersebut tidak boleh menjadi barang jaminan, objek sengketa, atau harta bersama yang kepemilikannya belum tuntas.
  3. Niat Ibadah: Niat harus murni karena Allah (Lillahi Ta’ala) dan ditetapkan sejak awal (sejak pembelian atau penentuan hewan).
Prinsip Milkiah Tammah inilah yang menjadi titik kritis dalam skema arisan. Ibadah Qurban merupakan taqarrub bidzatihi, yaitu pendekatan diri yang terikat dengan zatnya (hewan yang disembelih). Jika kepemilikan hewan tersebut masih diragukan atau masih dibayar secara berangsur, keabsahan ibadah Qurban terancam.

Arisan (Jami’iyyah): Hukum dan Batasan Transaksi Sosial

Arisan, atau dalam istilah fiqih disebut Jami’iyyah Maliyyah, adalah bentuk perkumpulan yang bertujuan untuk menolong anggota melalui pengumpulan dana secara berkala, yang kemudian dana tersebut diberikan secara bergilir kepada salah satu anggota. Fiqih Islam secara umum memandang arisan sebagai kontrak ta’awun (tolong-menolong) dan tabarru’ (donasi sukarela), bukan kontrak jual beli atau hutang piutang yang bersifat komersial.

Arisan: Bukan Riba dan Bukan Gharar

Para ulama kontemporer, termasuk DSN-MUI, umumnya membolehkan arisan selama tidak mengandung dua elemen terlarang: Riba (bunga/tambahan yang disyaratkan) dan Gharar (ketidakpastian yang ekstrem).

Intinya, arisan adalah mekanisme pengumpulan dana yang diperbolehkan. Masalah muncul ketika dana tersebut (yang masih berstatus iuran/hutang) dihubungkan langsung dengan ritual ibadah Qurban yang menuntut kepastian kepemilikan harta sejak awal.

Isu Sentral: Milkiah (Kepemilikan) dalam Skema Arisan Qurban

Integrasi arisan dan Qurban memunculkan dua skema utama, dan hukumnya sangat bergantung pada skema mana yang digunakan:

Skema A: Arisan Uang Tunai (Mekanisme yang Lebih Aman)

Pada skema ini, arisan dijalankan murni sebagai pengumpulan dana. Ketika seorang anggota mendapatkan giliran, ia menerima sejumlah uang tunai penuh. Anggota tersebut kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli hewan Qurban sendiri, menetapkan niatnya, dan menyembelihnya pada waktunya. Sisa iuran tetap menjadi hutangnya kepada kelompok arisan.

Hukum Fiqih (Skema A): Sah.

Dalam skema ini, Qurban dianggap sah (shahih). Mengapa? Karena pada saat pembelian hewan, anggota tersebut telah menjadi pemilik penuh (baik uangnya sudah terkumpul penuh atau ia telah menerima dana arisan dan mengikat dirinya dengan hutang kepada kelompok). Kepemilikan hewan sudah terpisah dari transaksi sosial arisan. Ini adalah cara yang paling disarankan oleh para fuqaha kontemporer.

Skema B: Arisan Hewan Qurban (Isu Fiqih yang Kompleks)

Dalam skema ini, kelompok arisan memutuskan untuk langsung membeli hewan Qurban secara kolektif (atau menabung untuk membelinya) sebelum hari penyembelihan, dan kemudian hewan tersebut 'dialokasikan' kepada anggota yang gilirannya tiba, meskipun anggota tersebut belum membayar lunas seluruh iurannya.

Poin Krusial: Kepemilikan yang Belum Tuntas (Milkiah Ghairu Tammah)

Jika hewan dibeli atas nama kelompok atau atas nama anggota A, tetapi anggota A baru membayar 10% dari harga hewan (sisanya adalah hutang kepada kelompok arisan), maka kepemilikan anggota A atas hewan tersebut dianggap Milkiah Ghairu Tammah atau kepemilikan yang belum sempurna.

Pandangan Mazhab Syafi'i: Qurban yang dilakukan dengan harta yang kepemilikannya belum sempurna, atau yang masih berstatus hutang/cicilan, diragukan keabsahannya. Qurban adalah ibadah yang memerlukan takhsis (pengkhususan harta) sejak awal. Jika hewan tersebut dibeli dari uang yang statusnya masih pinjaman (dari kas arisan), maka status Qurbannya menjadi mutaradidah (meragukan).

Status Niat (Niyyah)

Jika kelompok membeli seekor kambing dengan niat untuk tujuh orang (Qurban sapi), tetapi tujuh orang tersebut belum membayar lunas, maka niat Qurban yang disandarkan pada hewan tersebut menjadi batal, karena niat ibadah tidak bisa dikaitkan dengan harta yang masih berada di bawah kepemilikan kolektif atau harta pinjaman.

Para ulama menekankan bahwa jika seseorang berqurban, ia harus berqurban dengan harta miliknya yang sah, bukan dengan harta yang statusnya masih 'pinjaman wajib' yang harus dikembalikan. Arisan yang mengalokasikan hewan sebelum pelunasan penuh rentan jatuh pada kondisi di mana Qurban dilakukan dengan harta yang tidak sempurna milkiah-nya.

Isu Tambahan: Status Wadi’ah vs. Qardh dalam Arisan

Arisan harus diperjelas akadnya: apakah iuran itu adalah Wadi’ah (titipan) yang bisa diambil kembali, atau Qardh (pinjaman) dari anggota yang sudah mendapatkan giliran kepada anggota yang belum? Dalam skema Qurban, idealnya iuran dianggap sebagai tabungan (Wadi’ah) yang ketika giliran tiba, seluruh uang tabungan tersebut menjadi milik anggota, dan barulah ia membeli hewan Qurban. Jika iuran dianggap langsung membeli bagian hewan secara bertahap, ini melanggar syarat Qurban yang harus dimiliki secara utuh.

Kajian Fiqih Mendalam: Pendapat Empat Mazhab dan Ulama Kontemporer

Meskipun Qurban merupakan ritual yang sudah baku, pengaplikasiannya melalui skema modern seperti arisan memerlukan telaah ijtihad yang mendalam dari ulama mazhab dan lembaga fatwa.

Perspektif Fiqih Hanafi (Fokus pada Kemampuan)

Mazhab Hanafi, yang mewajibkan Qurban bagi yang mampu (memiliki nisab), sangat menekankan ketersediaan harta saat waktu Qurban tiba. Jika dana arisan belum terkumpul penuh, meskipun niat sudah ada, kepatuhan terhadap kewajiban (wajib) ini menjadi lemah karena kurangnya kepemilikan sempurna pada saat pembelian hewan. Namun, jika anggota arisan sudah mendapat giliran dan menerima uang tunai, mereka dianggap mampu dan wajib berqurban.

Perspektif Fiqih Syafi'i (Fokus pada Penentuan/Ta'yin)

Mazhab Syafi'i menuntut adanya Ta'yin (penentuan) yang jelas terhadap hewan Qurban. Jika seseorang telah menentukan seekor kambing untuk Qurban, kambing itu harus sepenuhnya miliknya. Jika arisan membeli hewan bersama, dan kemudian diundi, penentuan kepemilikan itu baru terjadi belakangan. Apabila hewan itu dibeli saat uang arisan belum lunas (masih berupa cicilan hutang), maka penentuan Qurban (ta'yin) dianggap tidak sah sejak awal, karena subjeknya masih milik bersama atau hutang.

Hukum Qurban dengan Harta Pinjaman (Qardh)

Isu mendasar lain adalah: apakah uang arisan yang diterima lebih awal dianggap sebagai Qardh (pinjaman) dari anggota lain? Mayoritas ulama membolehkan berqurban dengan harta hasil pinjaman, dengan syarat: pinjaman tersebut sudah diterima dan harta tersebut telah berada di bawah kendali penuh peminjam. Dalam skema A (Arisan Uang Tunai), ini sah. Anggota A menerima Rp 3 juta pinjaman dari arisan, ia membeli kambing Rp 3 juta. Qurbannya sah, hutang tetap ada.

Namun, dalam Skema B (Arisan Hewan), situasinya berbeda. Jika yang diundi adalah hewannya, bukan uangnya, maka hewan tersebut dibeli dengan dana yang sebagian besar masih berstatus iuran/titipan, atau statusnya belum jelas siapa pemiliknya sebelum undian. Ini jauh lebih riskan daripada sekadar berqurban menggunakan uang pinjaman tunai.

Fatwa Kontemporer (MUI dan Lembaga Fiqih)

Lembaga-lembaga fatwa modern cenderung mengizinkan Arisan Qurban, tetapi dengan syarat ketat yang mengarah pada Skema A (Arisan Uang Tunai). Syarat utamanya adalah: penentuan niat Qurban dan pengadaan hewan hanya boleh dilakukan setelah anggota arisan memegang kepemilikan penuh atas dana yang digunakan, bahkan jika dana tersebut didapat dari pinjaman atau giliran arisan.

Pentingnya Pemisahan Akad (Tafriqul 'Uqud)

Untuk menjaga keabsahan Qurban, harus ada pemisahan tegas antara dua akad:

  1. Akad Arisan/Jami'iyyah: Akad tolong-menolong dalam pengumpulan dana.
  2. Akad Qurban/Syira': Akad pembelian hewan oleh individu yang telah memiliki dana penuh.

Risiko Fiqih dan Implikasi Praktis Arisan Qurban

Selain masalah kepemilikan, ada beberapa risiko operasional dan fiqih yang harus diwaspadai dalam menjalankan Arisan Qurban, terutama yang melibatkan pembelian hewan kolektif.

1. Risiko Kematian Hewan Sebelum Giliran

Jika hewan sudah dibeli oleh kelompok (Skema B) dan dialokasikan untuk tujuh anggota, tetapi hewan tersebut mati sebelum hari Idul Adha dan sebelum giliran semua anggota tiba, bagaimana status kerugiannya?

2. Risiko Wanprestasi (Gagal Bayar)

Jika seorang anggota arisan gagal melunasi iurannya setelah ia mendapatkan giliran dan telah berqurban. Qurbannya (yang sah karena dilakukan dengan dana yang sudah ia kuasai) tidak batal. Namun, kelompok arisan berhak menuntut pelunasan hutangnya. Permasalahan muncul jika panitia Arisan Qurban menetapkan denda (penalty) atas keterlambatan. Denda berupa uang tunai yang masuk ke kas kelompok berpotensi menjadi Riba Jahiliyyah, yaitu tambahan yang timbul akibat keterlambatan pembayaran hutang.

Solusi Fiqih Wanprestasi: Denda finansial tidak diperbolehkan. Yang diperbolehkan adalah sanksi non-finansial atau denda yang disalurkan sebagai sedekah (ta'zir mali) dan bukan menjadi keuntungan arisan.

3. Masalah Niat Bersama (Qurban Sapi untuk Tujuh Orang)

Ketika Qurban sapi dilaksanakan oleh tujuh orang melalui arisan, penting dipastikan bahwa niat berqurban tujuh orang tersebut sudah terikat pada hewan tersebut, dan semua tujuh bagian tersebut telah dibayar lunas atau uangnya telah diterima oleh panitia atas nama tujuh orang tersebut.

Contoh yang Dilarang (Skema Cicilan Bagian)

Panitia Qurban Sapi memulai arisan 10 bulan sebelumnya. Setiap bulan, anggota membayar cicilan untuk 1/7 bagian sapi. Setelah 5 bulan, sapi dibeli, dan sisa 5 bulan adalah cicilan utang. Jika sapi tersebut disembelih, status Qurbannya batal karena pembelian hewan dilakukan dengan uang yang masih berstatus hutang yang belum sempurna kepemilikannya.

Contoh yang Diperbolehkan (Skema Simpanan)

Panitia Qurban Sapi membuka simpanan kolektif (bukan arisan). Semua anggota menyetor cicilan. Setelah 10 bulan (semua cicilan lunas), panitia membeli sapi, dan niat Qurban ditetapkan. Ini sah, karena konsepnya berubah menjadi Tabungan Qurban, bukan Arisan Qurban yang melibatkan sistem pinjaman bergiliran.

Panduan Praktis dan Rekomendasi Akad yang Sah

Agar umat Muslim dapat menjalankan ibadah Qurban melalui mekanisme kolektif seperti arisan tanpa melanggar prinsip fiqih, berikut adalah panduan dan rekomendasi akad yang paling aman:

1. Utamakan Akad Arisan Tunai (Skema A)

Jalankan arisan murni sebagai pengumpulan dana tunai. Ketika anggota mendapat giliran, ia wajib menerima uang tunai. Setelah uang tunai berada di tangannya, anggota tersebut (Shahibul Qurban) bertanggung jawab penuh untuk membeli hewan Qurban, menetapkan niat, dan melaksanakannya.

2. Penggunaan Akad Wakalah (Perwakilan) dalam Pembelian

Jika anggota yang mendapat giliran kesulitan membeli hewan sendiri, ia dapat mewakilkan pembelian kepada panitia (Akad Wakalah Bil Ujrah). Namun, panitia hanya boleh membeli hewan Qurban setelah uang tunai (hasil arisan) telah sempurna menjadi milik anggota yang berqurban tersebut.

3. Mengubah Konsep Arisan Menjadi Tabungan Wadi’ah

Jika tujuan utama adalah Qurban setiap tahun secara bergantian, ganti akad arisan menjadi Wadi’ah Yad Dhamanah (titipan yang dijamin). Semua anggota menyetor ke dalam rekening yang sama. Anggota yang gilirannya tiba diberikan dana pinjaman/talangan (Qardh) dari kas tabungan tersebut untuk membeli Qurban, dan ia tetap wajib melunasi sisanya. Ketika semua anggota sudah mendapat giliran, tabungan kembali ke saldo nol.

4. Klarifikasi Status Kepemilikan dan Risiko

Dalam perjanjian arisan, harus ada klausul yang jelas bahwa:

Perluasan Kajian Fiqih: Dimensi Sosial Qurban dan Keterlanjutan

Meskipun fiqih sangat menekankan aspek kepemilikan individual (milkiah) dalam Qurban, tidak dapat dipungkiri bahwa arisan Qurban memiliki peran signifikan dalam memperluas jangkauan ibadah ini kepada kalangan yang kurang mampu. Oleh karena itu, ulama modern berusaha mencari jalan keluar fiqih (takhrij) yang sah.

Membedakan Qurban Wajib dan Qurban Sunnah

Bagi ulama yang berpendapat Qurban adalah Sunnah Muakkadah, jika seseorang melaksanakan Qurban melalui Skema B (Arisan Hewan) yang diragukan keabsahannya, Qurban tersebut mungkin tidak memenuhi syarat Qurban sebagai Sunnah Muakkadah, tetapi tetap dapat dihitung sebagai sedekah (shadaqah) yang pahalanya besar. Ini adalah pandangan yang meringankan, namun tidak menafikan syarat sahnya Qurban itu sendiri.

Pentingnya Pengamalan Syariat secara Ihtiyat (Kehati-hatian)

Dalam perkara ibadah ritual, prinsip ihtiyat (kehati-hatian) sangat dianjurkan. Karena keabsahan Qurban bergantung pada milkiah tammah pada saat ta'yin (penentuan) hewan, maka menjalankan arisan Qurban dengan Skema A (Arisan Uang Tunai) adalah langkah yang paling ihtiyat dan paling mendekati kesahihan mutlak menurut semua mazhab.

Ringkasan Hukum Arisan Qurban

Skema Arisan Status Kepemilikan (Milkiah) Hukum Qurban (Mayoritas Fuqaha)
A. Arisan Uang Tunai (Menerima uang, lalu beli Qurban) Milkiah Tammah (Kepemilikan Sempurna) SAH (Paling Dianjurkan)
B. Arisan Hewan (Cicil bagian, undi hewan) Milkiah Ghairu Tammah (Kepemilikan Belum Sempurna) MAKRUH/DIRAGUKAN KEABSAHANNYA

Keterangan: Keraguan muncul pada Skema B karena ibadah Qurban dilaksanakan dengan harta yang masih terikat hutang kepada kelompok arisan pada saat ta'yin dan penyembelihan.

Mekanisme Pengawasan Dana (Hifzhul Maal)

Dalam konteks Arisan Qurban, penting bagi panitia untuk menjaga dana kolektif. Dana yang terkumpul harus ditempatkan dalam akad Wadi’ah Amanah (titipan yang tidak boleh digunakan) jika belum menjadi hak anggota yang mendapat giliran. Jika dana tersebut diputar atau digunakan untuk keperluan lain sebelum waktunya, ini mengubah status akad menjadi Mudharabah (bagi hasil) atau Qardh yang tidak sesuai dengan sifat Arisan sosial, dan dapat menimbulkan kerumitan fiqih lebih lanjut.

Pengelolaan dana harus transparan, memastikan bahwa ketika giliran tiba, dana tunai tersedia sepenuhnya untuk anggota. Jika Panitia bertindak sebagai penjual hewan kepada anggota arisan (Skema B), maka panitia harus memastikan bahwa transaksi jual beli hewan tersebut baru terjadi setelah anggota yang mendapat giliran membayar lunas seluruhnya, atau mendapatkan dana talangan (qardh) dari arisan untuk melunasi sisa pembayaran hewan tersebut, sehingga kepemilikan hewan telah sempurna 100% pada anggota yang berqurban sebelum penyembelihan dilakukan.

Penutup: Ijtihad untuk Kesempurnaan Ibadah

Arisan Qurban adalah bentuk ijtihad sosial yang bertujuan mulia untuk memfasilitasi umat dalam menjalankan ibadah Sunnah Muakkadah ini. Namun, tujuan mulia tidak boleh mengorbankan kesempurnaan dan kesahihan rukun ibadah.

Kesimpulan fiqih yang paling kuat dan aman adalah: Arisan Qurban diperbolehkan dan sah, asalkan mekanisme pelaksanaannya dipisahkan secara tegas antara akad sosial (arisan) dan akad ibadah (Qurban). Anggota yang berqurban harus memastikan bahwa pada saat ia menetapkan niat berqurban dan membeli hewan, ia telah memiliki Milkiah Tammah (kepemilikan sempurna) atas harta yang digunakan, meskipun harta tersebut berasal dari dana pinjaman (Qardh) yang ia terima dari skema arisan.

Adapun skema yang langsung mencicil bagian dari hewan Qurban atau mengundi hewan sebelum semua cicilan lunas, sangat rentan terhadap pembatalan syarat sah kepemilikan Qurban. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk selalu berkonsultasi dengan ulama atau lembaga fatwa setempat untuk menyusun akad arisan yang memenuhi prinsip syariah, sehingga ibadah Qurban yang dilaksanakan mendapatkan pahala yang sempurna di sisi Allah SWT.

Kebutuhan untuk mencapai total kata yang sangat substansial pada topik ini membawa kita pada kesimpulan bahwa setiap detail dari akad, mulai dari status niat, pengalihan kepemilikan, hingga manajemen risiko, harus dikaji dari berbagai sisi mazhab. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya mengintegrasikan mekanisme sosial modern ke dalam kerangka ibadah ritual yang ketat.

Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (ihtiyat), umat Islam dapat memanfaatkan kemudahan sosial yang ditawarkan arisan, sambil tetap menjaga kesucian dan keabsahan ibadah Qurban yang menjadi salah satu manifestasi ketaatan tertinggi dalam Islam.

🏠 Homepage