Surah At-Taubah, atau yang juga dikenal sebagai Surah Bara'ah, memegang posisi yang sangat penting dalam diskursus hukum dan sejarah Islam. Diturunkan pada fase akhir periode Madinah, surah ini menetapkan banyak ketentuan terakhir mengenai hubungan antara negara Islam dengan entitas non-Muslim, terutama setelah konsolidasi kekuasaan di Jazirah Arab. Di antara ayat-ayat yang paling sering diperdebatkan dan dipelajari secara mendalam adalah ayat ke-29, yang secara spesifik membahas status Ahlul Kitab (Ahli Kitab) dan penerapan jizyah (pajak perlindungan).
Ayat ini bukan sekadar perintah militer, tetapi fondasi bagi sistem hukum internasional dan fiskal negara Islam, yang berupaya menyeimbangkan kedaulatan, keamanan, dan toleransi. Pemahaman yang utuh terhadap At-Taubah 29 memerlukan telaah mendalam terhadap konteks historis, analisis linguistik, dan interpretasi yurisprudensial dari mazhab-mazhab fiqih yang berbeda. Artikel ini bertujuan untuk membongkar setiap komponen ayat tersebut, memberikan perspektif yang kaya dari tafsir klasik hingga relevansi kontemporer.
Untuk memulai analisis, kita harus merujuk kepada teks aslinya, yang memberikan landasan bagi seluruh interpretasi hukum dan teologis.
Terjemahan literal: "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu) dari orang-orang yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (pajak perlindungan) dengan kepatuhan (tangan) sedang mereka dalam keadaan tunduk (saghīrūn)." (QS. At-Taubah [9]: 29)
Ayat 29 diturunkan pada periode yang sangat dinamis, yakni setelah Fathul Makkah (Penaklukan Makkah) dan sebelum serta selama Ekspedisi Tabuk. Setelah kekuasaan Islam tegak di Makkah dan dominasi politeisme di Jazirah Arab mulai berakhir, perhatian beralih kepada kekuatan-kekuatan regional, termasuk Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) dan entitas-entitas Kristen serta Yahudi yang berdekatan dengan perbatasan utara Jazirah Arab.
Konsolidasi Negara: Surah At-Taubah berfungsi sebagai deklarasi kedaulatan. Ayat-ayat sebelumnya (At-Taubah 1-28) secara tegas membatalkan perjanjian dengan kaum musyrikin yang melanggar janji. Ayat 29 kemudian memberikan status yang berbeda bagi Ahlul Kitab, mengakui akar agama mereka tetapi menuntut pengakuan terhadap kedaulatan negara Islam melalui pembayaran jizyah.
Hubungan dengan Tabuk: Ekspedisi Tabuk (melawan Bizantium) adalah latar belakang operasional. Ayat ini memberikan kerangka hukum untuk interaksi dengan komunitas non-Muslim, baik yang berperang (seperti Bizantium) maupun yang berada di bawah perlindungan Islam. Historisnya, ayat ini mulai diterapkan secara luas setelah Nabi Muhammad ﷺ berhasil membuat perjanjian damai dengan komunitas Yahudi dan Kristen di wilayah Utara, seperti di Ailah dan Adzruh, yang mana mereka setuju membayar jizyah sebagai imbalan atas jaminan keamanan.
Setiap frasa dalam ayat 29 membawa implikasi hukum dan teologis yang besar. Para mufassir (ahli tafsir) klasik seperti Al-Tabari, Ibn Kathir, dan Al-Qurtubi telah mengurai makna leksikalnya secara rinci.
Ayat ini secara eksplisit membatasi perintah ini kepada Ahlul Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Ini membedakan mereka dari kaum musyrikin Arab, yang dihadapkan pada pilihan masuk Islam atau diperangi (berdasarkan ayat-ayat sebelumnya dalam At-Taubah). Perlakuan khusus bagi Ahlul Kitab didasarkan pada fakta bahwa mereka memiliki dasar wahyu (kitab suci), meskipun terjadi penyimpangan di dalamnya.
Perdebatan Fiqih tentang Batasan: Terdapat perbedaan pendapat apakah jizyah dapat diperluas ke non-Ahlul Kitab seperti Majusi (Zoroaster) atau bahkan penganut agama lain (seperti Hindu atau Buddha, meskipun ini berkembang di kemudian hari).
Ayat ini mencantumkan empat alasan utama mengapa perintah ini ditujukan kepada Ahlul Kitab yang disebutkan:
Tafsir klasik menjelaskan bahwa klausa ini tidak berarti mereka ateis, karena Yahudi dan Nasrani jelas percaya pada Tuhan dan Akhirat. Namun, keimanan mereka yang dimaksud di sini adalah keimanan yang utuh, sebagaimana yang diakui oleh syariat Islam. Ibn Kathir menjelaskan bahwa iman mereka tidak benar karena mereka gagal mengakui kenabian Muhammad ﷺ dan karena mereka menyimpang dari konsep tauhid (misalnya, konsep Trinitas dalam Kristen atau klaim Uzair sebagai anak Allah dalam beberapa sekte Yahudi). Dengan menolak Rasul terakhir, iman mereka dianggap cacat menurut standar Allah.
Ini merujuk pada perbedaan syariat. Ahlul Kitab telah mengubah atau mengabaikan beberapa hukum Ilahi, seperti pengharaman babi, riba, atau minuman keras, yang seharusnya tetap berlaku dalam syariat asli mereka, atau yang telah ditetapkan secara definitif oleh Syariat Muhammad. Poin ini menekankan bahwa mereka tidak hidup sepenuhnya di bawah otoritas hukum Ilahi yang universal.
Ini adalah kesimpulan dari dua poin sebelumnya. Agama yang benar (*Dīn al-Ḥaqq*) adalah agama yang dibawa oleh Muhammad ﷺ, yang merupakan penyempurnaan dari semua risalah sebelumnya. Dengan menolak risalah ini, mereka secara de facto menolak totalitas kebenaran agama yang diwajibkan oleh Allah kepada seluruh umat manusia setelah kedatangan Nabi terakhir.
Frasa ini adalah inti hukumnya, menetapkan pembayaran jizyah sebagai akhir dari konflik militer dan syarat untuk mendapatkan perlindungan (*Dhimmah*).
Jizyah berasal dari kata *jazā'* yang berarti imbalan atau balasan. Dalam konteks fiqih, jizyah adalah sejumlah harta yang diwajibkan oleh negara Islam kepada non-Muslim (Ahlul Kitab dan yang setara) sebagai imbalan atas: (1) Perlindungan negara dari musuh luar; (2) Kebebasan menjalankan agama; (3) Pengecualian dari wajib militer. Jizyah adalah simbol pengakuan kedaulatan politik Islam.
Terdapat dua tafsir utama untuk 'an yadin':
Ini adalah frasa yang paling sensitif dan sering disalahpahami. *Saghārah* (ketundukan) tidak berarti penghinaan pribadi atau penindasan, melainkan ketundukan politik dan hukum.
Representasi Kitab dan Risalah
Pembahasan fiqih mengenai jizyah adalah salah satu subjek yang paling rinci dan paling luas dalam hukum Islam, mencakup aspek wajib, pengecualian, kadar, dan mekanisme penarikan. Kerumitan ini menunjukkan betapa seriusnya para fuqaha (ahli fiqih) dalam memastikan keadilan fiskal dan sosial.
Secara umum, kewajiban jizyah hanya dibebankan kepada:
Konsensus para ulama menetapkan bahwa kategori berikut dikecualikan dari kewajiban jizyah, menunjukkan sifat perlindungan sosial yang melekat pada sistem ini:
Pengecualian ini menegaskan bahwa jizyah bukanlah denda karena perbedaan keyakinan, melainkan kontribusi fiskal dari mereka yang mampu, sebagai ganti layanan keamanan dan pengecualian militer.
Al-Quran tidak menetapkan tarif spesifik. Penetapan kadar diserahkan kepada kebijakan negara, berdasarkan sunnah Nabi ﷺ dan praktik Khulafaur Rasyidin. Inilah titik utama perbedaan antar mazhab:
Hanafi membagi wajib pajak menjadi tiga tingkatan, mengadopsi praktik yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab:
Pembayaran dilakukan sekali setahun. Jika seseorang menjadi miskin di tengah tahun, ia dibebaskan. Jika ia masuk Islam, kewajiban jizyahnya langsung gugur.
Mazhab Maliki cenderung melihat jizyah sebagai kewajiban yang seragam, tetapi kepala negara memiliki kewenangan untuk menyesuaikannya berdasarkan kekayaan seseorang. Praktik umum di era Maliki adalah tarif seragam per individu, sering kali sekitar 4 dinar emas per tahun bagi yang kaya, atau berdasarkan kemampuan rata-rata.
Shafi'i berpendapat bahwa kadar jizyah harus seragam, yaitu 1 dinar emas (atau setara) per tahun per individu yang mampu. Mereka berpegang pada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi ﷺ menetapkan 1 dinar untuk setiap individu yang membayar jizyah. Namun, Shafi'i juga mengakui bahwa pemerintah memiliki diskresi untuk mengambil lebih jika diperlukan dan disepakati dalam perjanjian.
Hanbali cenderung mengikuti praktik Umar bin Khattab (seperti Hanafi), mengakui adanya tingkatan, tetapi juga membolehkan penentuan kadar berdasarkan perjanjian damai yang spesifik dengan komunitas tersebut.
Implikasi Fiqih: Variasi ini menunjukkan bahwa jizyah bukanlah hukuman keagamaan yang kaku, melainkan instrumen fiskal yang fleksibel, dirancang untuk mencerminkan keadilan dan kemampuan ekonomi wajib pajak, mirip dengan sistem pajak penghasilan progresif modern.
Jizyah dan Zakat adalah dua pilar fiskal utama dalam negara Islam, tetapi fungsinya berbeda secara fundamental:
Timbangan Keadilan: Hak dan Kewajiban
Penerapan At-Taubah 29 menghasilkan status hukum yang dikenal sebagai Dhimmah. Dhimmah adalah kontrak perlindungan abadi antara negara Islam dan komunitas non-Muslim.
Ketika jizyah dibayar, Ahlul Kitab mendapatkan hak-hak yang setara dengan warga Muslim dalam hal perlindungan, keamanan, dan pelayanan publik. Para fuqaha sepakat bahwa mereka memiliki hak atas:
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa setelah kontrak Dhimmah disepakati, melukai Dhimmi adalah kejahatan serius, dan Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang menyakiti seorang Dhimmi, maka ia telah menyakitiku."
Kewajiban utama Ahlul Dhimmah adalah membayar jizyah dan mematuhi hukum umum negara (misalnya, hukum pidana, ketertiban umum). Pembayaran jizyah adalah simbolisasi dari kepatuhan politik ini (seperti yang diungkapkan oleh makna wa hum ṣāghirūn).
Untuk menghindari penafsiran yang menyimpang, perluasan makna saghārah adalah krusial. Dalam konteks modern, di mana standar hak asasi manusia dan keadilan sipil menjadi fokus, penafsiran yang menempatkan jizyah sebagai instrumen penindasan harus ditolak berdasarkan korpus fiqih mayoritas.
Meskipun beberapa riwayat tafsir awal (yang sering dikutip oleh penentang Islam) menyarankan metode penarikan yang melibatkan penghinaan fisik (misalnya, membayar sambil berdiri, dipukul di leher), praktik ini ditolak oleh mayoritas ulama dan khulafaur rasyidin. Praktik yang dominan adalah keadilan dan kehormatan. Imam Ath-Thabari mencatat bahwa beberapa fuqaha bahkan berpendapat bahwa saghārah hanya berarti mereka tunduk pada hukum Islam, bukan penghinaan pribadi.
Penafsiran yang paling kuat berpusat pada kedaulatan. Non-Muslim yang membayar jizyah mengakui bahwa kekuasaan politik dan supremasi hukum dipegang oleh negara Islam. Mereka tidak memiliki kekuasaan untuk melawan atau mengubah hukum dasar negara. Ketundukan (saghārah) adalah pengakuan terhadap hegemoni politik, bukan penindasan martabat individu.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa tujuan dari jizyah adalah untuk menunjukkan bahwa mereka tunduk pada penguasa Islam dan bersedia hidup di bawah aturan Islam. Ini adalah ketundukan yang dilembagakan secara politik, bukan ejekan pribadi.
Jika jizyah berfungsi sebagai imbalan atas perlindungan, maka negara wajib menjamin martabat mereka. Melanggar kehormatan Dhimmi berarti melanggar kontrak perlindungan itu sendiri.
Dalam konteks negara-bangsa modern, pertanyaan sering muncul: Apakah jizyah masih relevan? Dan bagaimana membandingkannya dengan sistem pajak sekuler?
Jizyah adalah instrumen yang lahir dari model negara pra-modern, di mana identitas politik dan militer sangat terkait dengan identitas agama. Non-Muslim yang membayar jizyah dibebaskan dari kewajiban militer yang umumnya diwajibkan kepada Muslim.
Di banyak negara Muslim kontemporer, sistem jizyah tradisional telah dihapuskan atau diganti sepenuhnya oleh sistem pajak sipil yang seragam bagi semua warga negara, tanpa memandang agama. Ini terjadi karena:
Meskipun jizyah telah digantikan secara formal, fungsi intinya tetap relevan. Jizyah adalah biaya untuk mendapatkan perlindungan negara. Dalam konteks modern, semua pajak yang digunakan untuk mendanai keamanan, infrastruktur, dan layanan publik—yang dinikmati oleh semua warga negara, Muslim maupun non-Muslim—dapat dilihat sebagai evolusi fungsional dari jizyah. Perbedaannya adalah dalam sistem modern, semua warga negara, termasuk Muslim, membayar pajak ini.
Oleh karena itu, para ulama kontemporer berpendapat bahwa jika non-Muslim diwajibkan untuk membayar pajak umum, retribusi, atau bahkan wajib militer seperti halnya Muslim, maka tidak ada lagi dasar hukum untuk membebankan jizyah tambahan. Konsep Dhimmah berevolusi menjadi konsep Muwāṭanah (kewarganegaraan penuh).
Untuk memenuhi kebutuhan analisis mendalam, penting untuk menguraikan lebih lanjut detail-detail fiqih yang sering kali diabaikan dalam pembahasan singkat, terutama mengenai nasib orang yang menolak membayar jizyah, dan bagaimana negara memandang penarikan pajak secara kolektif.
Jika seseorang yang diwajibkan membayar jizyah menolak, fuqaha memiliki perbedaan dalam penetapan sanksi:
Ayat 29 hanya mengatur jizyah kepala (jizyah ‘ala ar-ru’us), tetapi dalam praktik Khulafaur Rasyidin, muncul pula pajak tanah non-Muslim yang disebut Kharaj. Penting untuk membedakan keduanya:
Perbedaan ini penting karena menunjukkan adanya dua sistem fiskal terpisah untuk Ahlul Dhimmah: pajak pribadi (untuk perlindungan jiwa) dan pajak properti/tanah (untuk hasil bumi).
Terdapat narasi yang luas mengenai etika penarikan. Para ahli fiqih menasihati amil (petugas pajak) untuk bertindak dengan lembut dan adil. Imam Abu Yusuf, seorang fuqaha Hanafi terkemuka dan hakim agung di masa Abbasiyah, dalam kitabnya Kitab al-Kharaj, secara tegas melarang petugas jizyah untuk berdiri di bawah sinar matahari yang menyengat atau disiksa. Ia menasihati Khalifah Harun ar-Rasyid untuk selalu mengedepankan keadilan dan kemanusiaan dalam setiap penarikan pajak, bahkan kepada non-Muslim.
Pelayanan Publik: Sebagai imbalan atas jizyah, negara juga diwajibkan untuk menyediakan dukungan sosial. Jika seorang Dhimmi menjadi terlalu tua atau cacat sehingga tidak dapat mencari nafkah, dan ia sebelumnya membayar jizyah, ia tidak hanya dibebaskan dari jizyah tetapi juga berhak menerima tunjangan dari Baitul Mal, sebagaimana dicontohkan oleh Umar bin Khattab.
Perisai: Kedaulatan dan Keadilan
Kedalaman rincian fiqih ini, yang mencakup ratusan halaman dalam literatur klasik, menegaskan bahwa penerapan At-Taubah 29 selalu dilakukan dengan prinsip diskresi, keadilan, dan pertimbangan kemampuan individu. Hal ini jauh dari gambar yang disajikan oleh pihak-pihak yang menafsirkan ayat ini secara literal dan tanpa konteks yurisprudensial yang melimpah.
Di luar kerangka hukum, beberapa mufassir dan sufi melihat ayat ini dari sudut pandang internal dan spiritual. Meskipun jizyah adalah kewajiban fisik, tujuan spiritualnya adalah untuk membebaskan hati manusia dari ketundukan selain kepada Allah.
Jihad Batin: Perintah untuk memerangi (*Qātilū*) sering diinterpretasikan secara spiritual sebagai memerangi kebodohan, egoisme, dan penolakan terhadap kebenaran universal (dīn al-ḥaqq). Dalam pandangan ini, Ahlul Kitab yang menolak kebenaran Nabi Muhammad ﷺ berada dalam kondisi spiritual yang harus "diperangi" dengan dalil dan hujah, dan ketundukan (*ṣāghirūn*) adalah ketundukan jiwa kepada kehendak Ilahi.
Meskipun tafsir ini tidak menggantikan hukum syariat, ia memberikan dimensi etis tambahan: bahwa hukum-hukum Allah, termasuk jizyah, pada akhirnya bertujuan untuk membawa stabilitas dan kebenaran, bahkan bagi mereka yang belum menerima Islam secara penuh.
Dalam sejarah kontemporer, kelompok-kelompok ekstremis sering menyalahgunakan At-Taubah 29, menafsirkannya secara kaku dan terpisah dari prinsip perlindungan yang mendasari Dhimmah. Mereka menuntut pembayaran jizyah sebagai instrumen teror atau pemerasan, sering kali tanpa menawarkan perlindungan negara atau layanan publik yang menjadi imbalan wajib jizyah.
Pentingnya Kedaulatan Negara: Ayat ini, dalam semua tafsir fiqihnya, adalah perintah yang ditujukan kepada negara yang berdaulat (Khalifah/Imam) dengan kemampuan untuk memberikan perlindungan penuh. Kelompok non-negara yang mencoba menerapkan jizyah tidak memiliki legitimasi hukum untuk melakukannya, karena mereka tidak dapat memenuhi kewajiban timbal balik untuk melindungi jiwa dan harta non-Muslim, sehingga melanggar inti kontrak Dhimmah.
Kegagalan memahami konteks politik (kewajiban negara) dan konteks fiskal (tujuan keadilan) dari jizyah telah menyebabkan penyimpangan yang menyesatkan. Hukum Islam, melalui At-Taubah 29, menggariskan sebuah sistem yang terstruktur untuk koeksistensi, bukan kekacauan atau penindasan.
At-Taubah 29 harus dilihat dalam konteks yang lebih luas dari *Siyasa Syar'iyyah* (politik syar’i), yang mengatur hubungan luar negeri dan hukum perang (*jihād*).
Para fuqaha membagi non-Muslim yang berinteraksi dengan negara Islam menjadi beberapa kategori, yang menentukan perlakuan hukum mereka:
Ayat 29 bertujuan untuk mengubah status Ahlul Harb yang merupakan Ahlul Kitab menjadi Ahlul Dhimmah melalui penarikan jizyah, yang merupakan mekanisme konversi dari konflik ke koeksistensi damai.
Jika tujuan ayat ini adalah pemaksaan agama, Islam akan mewajibkan konversi total. Namun, jizyah menawarkan opsi ketiga: hidup damai, mempertahankan agama, tetapi mengakui otoritas politik Islam. Ini adalah bukti nyata dari prinsip lā ikrāha fī d-dīn (tidak ada paksaan dalam agama) yang diintegrasikan ke dalam sistem negara.
Bahkan ketika jizyah dituntut, itu adalah pengakuan bahwa hidup dan harta benda mereka telah diamankan oleh negara, sebuah harga yang harus dibayar sebagai pengganti risiko dan kewajiban yang ditanggung oleh warga Muslim (misalnya, kewajiban zakat, wajib militer, dan risiko kehilangan jiwa dalam jihad).
Surah At-Taubah ayat 29 adalah salah satu ayat terpenting dalam fiqih kedaulatan dan hubungan internasional Islam. Ia menetapkan kerangka kerja yang terperinci dan berjenjang untuk berinteraksi dengan Ahlul Kitab, mengakui identitas mereka sambil menegaskan otoritas hukum negara Islam.
Inti dari perintah ini bukanlah penghinaan, tetapi penegasan stabilitas politik. Dengan membayar jizyah, Ahlul Kitab mendapatkan perlindungan abadi, kebebasan menjalankan agama, dan pengecualian dari kewajiban yang mengikat Muslim. Tafsir yang utuh dari ayat ini, didukung oleh praktik Khulafaur Rasyidin dan interpretasi mayoritas mazhab fiqih, menunjukkan bahwa At-Taubah 29 adalah landasan bagi toleransi terstruktur yang memungkinkan berbagai komunitas hidup berdampingan di bawah satu payung keadilan Islam.
Pemahaman kontemporer mengharuskan kita melihat ayat ini melalui lensa prinsip-prinsip universalnya: perlindungan timbal balik, keadilan fiskal, dan kedaulatan hukum. Ketika prinsip-prinsip tersebut dipenuhi melalui mekanisme kewarganegaraan modern, tujuan syariat dari At-Taubah 29 dapat dikatakan telah terpenuhi.