Amandel, atau tonsil, adalah dua bantalan jaringan limfoid yang terletak di kedua sisi belakang tenggorokan. Peran utamanya adalah sebagai garis pertahanan pertama sistem kekebalan tubuh, membantu menyaring kuman dan patogen yang masuk melalui mulut dan hidung. Namun, peran vital ini sering kali membuat amandel rentan terhadap infeksi, suatu kondisi yang dikenal sebagai tonsilitis atau radang amandel.
Ketika tonsilitis terjadi, gejalanya bisa berkisar dari rasa sakit saat menelan, demam, hingga pembengkakan kelenjar getah bening. Penanganan tonsilitis sangat bergantung pada penyebabnya. Dalam banyak kasus, tonsilitis disebabkan oleh virus, yang mana antibiotik sama sekali tidak efektif. Namun, ketika infeksi dipicu oleh bakteri—terutama Streptococcus pyogenes (Streptokokus Grup A Beta-hemolitik)—penggunaan antibiotik menjadi krusial. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa, kapan, dan bagaimana antibiotik harus digunakan untuk mengobati radang amandel yang disebabkan oleh infeksi bakteri, serta bagaimana memahami risiko resistensi.
Langkah pertama dalam penanganan tonsilitis adalah menentukan etiologi atau penyebabnya. Ini adalah pembedaan yang sangat penting karena menentukan apakah pasien membutuhkan antibiotik atau tidak.
Sebagian besar kasus radang amandel (diperkirakan mencapai 70-85% pada orang dewasa dan sedikit lebih rendah pada anak-anak) disebabkan oleh infeksi virus, seperti Rhinovirus, Adenovirus, atau Virus Epstein-Barr (EBV). Infeksi virus bersifat self-limiting, yang berarti akan sembuh dengan sendirinya dengan perawatan suportif seperti istirahat dan hidrasi. Antibiotik sama sekali tidak memiliki fungsi dalam skenario ini.
Sebaliknya, tonsilitis bakteri umumnya paling sering disebabkan oleh Streptococcus pyogenes (juga dikenal sebagai strep tenggorokan). Infeksi strep ini menuntut intervensi antibiotik yang cepat dan tepat. Kegagalan mengobati infeksi strep dapat meningkatkan risiko komplikasi serius yang tidak hanya terbatas pada tenggorokan.
Antibiotik hanya diberikan jika terdapat bukti kuat infeksi bakteri, yang biasanya dikonfirmasi melalui:
Penting untuk ditekankan bahwa memberikan antibiotik tanpa diagnosis yang jelas—misalnya, hanya karena amandel bengkak dan sakit—adalah praktik yang tidak bertanggung jawab secara medis. Hal ini berkontribusi pada masalah kesehatan global terbesar: resistensi antimikroba.
Dalam penanganan tonsilitis bakteri (khususnya yang disebabkan oleh S. pyogenes), pilihan antibiotik didasarkan pada efektivitasnya terhadap patogen tersebut, profil keamanan, dan status alergi pasien. Streptococcus pyogenes hingga saat ini masih sangat sensitif terhadap obat-obatan golongan tertentu, menjadikannya target yang relatif mudah dihancurkan asalkan pengobatan diberikan tuntas.
Penicillin dan turunannya tetap menjadi pilihan utama (first-line) untuk mengobati radang amandel Strep karena efektivitas yang terbukti, profil keamanan yang baik, biaya yang relatif rendah, dan minimnya resistensi S. pyogenes terhadap obat ini.
Penicillin VK adalah antibiotik oral klasik yang sangat efektif. Ia bekerja dengan mengganggu sintesis dinding sel bakteri, menyebabkan lisis (pecahnya) sel bakteri.
Amoxicillin adalah turunan penicillin yang memiliki spektrum yang sedikit lebih luas dan, yang paling penting, lebih baik penyerapan gastrointestinalnya (absorpsi) dibandingkan Penicillin VK. Ini sering menjadi pilihan, terutama pada anak-anak, karena rasanya yang lebih enak (tersedia dalam bentuk sirup).
Sekitar 5-10% populasi memiliki riwayat alergi terhadap penicillin. Dalam kasus alergi, atau jika terjadi kegagalan terapi (infeksi yang tidak sembuh setelah satu putaran pengobatan), dokter akan beralih ke golongan antibiotik alternatif.
Makrolida bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Mereka mengikat subunit 50S ribosom bakteri, mengganggu translokasi RNA transfer, dan mencegah pembentukan rantai protein baru.
Sefalosporin, seperti Penicillin, termasuk dalam golongan beta-laktam, namun memiliki struktur cincin yang berbeda, yang membuatnya lebih stabil terhadap beberapa enzim beta-laktamase. Mereka sering digunakan jika pasien memiliki sensitivitas ringan terhadap penicillin (non-anafilaksis).
Pengobatan tonsilitis bakteri memerlukan lebih dari sekadar memilih obat yang tepat; manajemen yang tepat terhadap dosis dan durasi adalah inti dari keberhasilan terapi dan pencegahan komplikasi jangka panjang.
Di antara semua parameter pengobatan, durasi 10 hari untuk Penicillin, Amoxicillin, atau Sefalosporin adalah yang paling kritis. Banyak pasien yang merasa lebih baik dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah memulai antibiotik, yang dapat memicu penghentian pengobatan secara prematur. Tindakan ini sangat berbahaya.
Kegagalan terapi terjadi ketika gejala tonsilitis berlanjut atau kembali setelah selesainya pengobatan antibiotik 10 hari. Penyebab kegagalan bisa multifaktorial:
Dalam kasus kegagalan, dokter mungkin beralih ke regimen antibiotik yang berbeda, seringkali menggunakan kombinasi seperti Amoxicillin/Klavulanat, atau menggunakan dosis yang lebih tinggi dari sefalosporin (misalnya Sefuroxime), atau menguji ulang bakteri untuk mengidentifikasi sensitivitasnya.
Karena golongan beta-laktam (Penicillin dan Sefalosporin) adalah lini pertahanan utama, pemahaman mendalam tentang bagaimana mereka bekerja sangat penting dalam konteks pengobatan amandel.
Semua obat dalam golongan ini memiliki inti kimia yang sama: cincin beta-laktam. Aktivitas antibakteri obat ini sepenuhnya bergantung pada integritas cincin ini. Ketika antibiotik berinteraksi dengan enzim transpeptidase bakteri (PBP), cincin beta-laktam terbuka, yang secara permanen menonaktifkan enzim tersebut.
Peptidoglikan adalah polimer raksasa yang menyediakan kekuatan struktural dan rigitasi pada dinding sel bakteri. Bakteri Gram-positif, termasuk S. pyogenes, memiliki lapisan peptidoglikan yang sangat tebal. Antibiotik beta-laktam menargetkan langkah pembentukan ikatan silang (cross-linking) dalam rantai peptidoglikan. Tanpa ikatan silang yang stabil, dinding sel menjadi rapuh. Karena S. pyogenes sangat bergantung pada dinding sel yang utuh, ia sangat rentan terhadap golongan obat ini.
Meskipun semua beta-laktam berbagi mekanisme dasar ini, modifikasi pada rantai samping molekul menentukan farmakokinetik dan spektrum aktivitasnya. Misalnya, Amoxicillin memiliki rantai samping yang memungkinkannya diserap lebih baik, sementara Penicillin V lebih cepat dihidrolisis dalam lingkungan asam lambung. Pemilihan obat yang tepat untuk tonsilitis adalah fokus pada obat yang memiliki aktivitas tinggi melawan bakteri Gram-positif dan memiliki kadar minimum penghambatan (Minimum Inhibitory Concentration/MIC) yang rendah terhadap S. pyogenes.
Walaupun S. pyogenes relatif belum mengembangkan resistensi luas terhadap penicillin, ancaman resistensi selalu nyata dalam pengobatan infeksi bakteri. Pemahaman tentang resistensi membantu dokter dan pasien menggunakan antibiotik secara lebih hati-hati.
Fenomena yang menarik adalah bahwa setelah puluhan tahun penggunaan masif, S. pyogenes hampir secara universal tetap sensitif terhadap penicillin. Ini berbeda drastis dengan bakteri lain seperti Staphylococcus aureus (MRSA) atau E. coli. Alasan utamanya adalah S. pyogenes belum berhasil mengembangkan mekanisme yang efektif untuk menghadapi penicillin:
Meskipun lini pertama aman, resistensi terhadap makrolida (Azithromycin, Clarithromycin) adalah perhatian yang berkembang. Mekanisme resistensi makrolida meliputi:
Tingkat resistensi makrolida di beberapa negara dapat mencapai 10-20% atau lebih, yang merupakan alasan kuat mengapa makrolida hanya boleh digunakan ketika penicillin tidak memungkinkan.
Dokter dan pasien memiliki peran vital dalam memerangi resistensi. Prinsip utamanya adalah ‘Stewardship Antibiotik’:
Penanganan tonsilitis bakteri dengan antibiotik memerlukan modifikasi dosis atau pilihan obat tergantung pada karakteristik pasien.
Anak-anak adalah kelompok yang paling sering menderita tonsilitis Strep. Pengobatan harus disesuaikan berdasarkan berat badan dan ketersediaan bentuk sediaan (sirup atau suspensi).
Infeksi Strep pada ibu hamil harus segera diobati untuk menghindari komplikasi maternal dan janin. Pilihan antibiotik harus yang memiliki profil keamanan kategori B menurut FDA.
Ini adalah situasi klinis yang memerlukan kewaspadaan tinggi. Tonsilitis yang disebabkan oleh Virus Epstein-Barr (mononukleosis) sering meniru gejala tonsilitis Strep. Pemberian Amoxicillin atau Ampicillin pada pasien dengan mono dapat memicu ruam kulit yang luas (non-alergi) yang memperumit diagnosis.
Oleh karena itu, jika diagnosis mono dicurigai (misalnya, ada pembengkakan kelenjar getah bening yang masif, kelelahan ekstrem, atau pembesaran limpa), dokter akan sangat berhati-hati dalam meresepkan Amoxicillin hingga diagnosis bakteri Strep dikonfirmasi dengan tes. Dalam kasus mono yang dikonfirmasi, antibiotik tidak diberikan.
Alasan utama mengapa tonsilitis Strep harus diobati dengan antibiotik adalah untuk mencegah sekuel (komplikasi) yang dapat mengancam jiwa atau menyebabkan morbiditas jangka panjang.
DRA adalah komplikasi autoimun yang terjadi beberapa minggu setelah infeksi Strep yang tidak diobati secara adekuat. Ini adalah penyakit inflamasi yang dapat memengaruhi:
Pemberian antibiotik dalam waktu 9 hari setelah onset gejala Strep hampir 100% efektif dalam mencegah DRA. Inilah alasan mendasar mengapa pengobatan 10 hari harus dipatuhi.
GNPS adalah peradangan pada glomeruli ginjal. Meskipun mekanisme persisnya berbeda dari DRA dan jarang menyebabkan kerusakan jangka panjang, ia dapat menyebabkan hematuria (darah dalam urin), proteinuria, dan edema (pembengkakan), menunjukkan kerusakan ginjal sementara. Tidak seperti DRA, pencegahan GNPS dengan pengobatan antibiotik dini belum terbukti seefektif pencegahan DRA.
Abses peritonsil (Quinsy) adalah penumpukan nanah yang menyakitkan di antara salah satu tonsil dan dinding tenggorokan. Ini adalah komplikasi lokal yang parah dari tonsilitis bakteri yang tidak tertangani. Kondisi ini memerlukan drainase bedah dan seringkali membutuhkan antibiotik intravena karena pasien biasanya tidak mampu menelan.
Jika tonsilitis akut diobati secara efektif dan tuntas, risiko pengembangan abses peritonsil berkurang drastis.
Meskipun antibiotik adalah senjata untuk melawan bakteri, ia tidak secara langsung menghilangkan rasa sakit atau demam. Perawatan suportif sangat penting untuk kenyamanan pasien selama masa pemulihan.
Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dan asetaminofen (parasetamol) adalah andalan dalam pengelolaan gejala tonsilitis:
Infeksi berat sering kali disertai demam yang meningkatkan kehilangan cairan (dehidrasi). Pasien dengan radang amandel parah mungkin enggan minum karena rasa sakit yang hebat. Namun, hidrasi yang cukup sangat krusial untuk pemulihan dan mencegah komplikasi terkait dehidrasi.
Selain itu, istirahat fisik yang memadai memungkinkan sistem kekebalan tubuh memfokuskan energinya untuk melawan infeksi. Upaya pemulihan fisik ini berjalan beriringan dengan kerja antibiotik dalam membasmi koloni bakteri.
Meskipun penicillin telah digunakan selama beberapa dekade, penelitian terus berlanjut untuk meningkatkan efektivitas pengobatan tonsilitis, terutama dalam konteks pencegahan resistensi.
Solusi jangka panjang terbaik untuk tonsilitis Strep adalah pengembangan vaksin yang efektif melawan S. pyogenes. Jika vaksin tersedia, itu akan mengurangi secara drastis insiden infeksi, yang pada gilirannya akan mengurangi penggunaan antibiotik dan risiko resistensi.
Saat ini, beberapa penelitian mencoba menemukan apakah durasi pengobatan antibiotik yang lebih pendek (misalnya, 5 hari dengan Azithromycin atau dosis tinggi Amoxicillin) sama efektifnya dengan rejimen 10 hari dalam mencegah DRA. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang menjanjikan, standar emas 10 hari tetap dipertahankan oleh banyak pedoman internasional, mengingat potensi bencana dari Demam Reumatik jika eradikasi gagal.
Meningkatnya akses dan akurasi tes diagnostik cepat (RST) dan PCR (Polymerase Chain Reaction) di klinik primer sangat penting. Semakin cepat dan akurat diagnosis bakteri Strep dikonfirmasi, semakin sedikit antibiotik yang akan diresepkan secara tidak perlu untuk kasus-kasus virus, yang merupakan langkah vital dalam stewardship antimikroba.
Untuk memperjelas pentingnya setiap pilihan obat, mari kita telaah lebih jauh parameter farmakokinetik dan farmakodinamik dari tiga antibiotik utama.
Azithromycin adalah makrolida yang sangat unik dalam hal farmakokinetiknya, yang menjelaskan rejimen 5 hari yang sering digunakan meskipun direkomendasikan 10 hari untuk eradikasi total Strep.
Setiap obat antibiotik memiliki potensi efek samping. Pasien harus diinformasikan mengenai efek samping yang umum dan kapan harus mencari bantuan medis darurat.
Ini adalah efek samping paling umum dari hampir semua antibiotik. Antibiotik tidak hanya membunuh bakteri jahat di tenggorokan, tetapi juga mengganggu mikrobiota normal di usus:
Reaksi alergi terhadap antibiotik, terutama penicillin, dapat berkisar dari ruam ringan hingga anafilaksis yang mengancam jiwa.
Riwayat alergi pasien harus selalu didokumentasikan dengan cermat sebelum resep antibiotik dikeluarkan. Jika riwayat alergi melibatkan anafilaksis, semua obat golongan beta-laktam (termasuk sefalosporin) harus dihindari.
Penghindaran penggunaan antibiotik yang berlebihan dimulai dari diagnosis yang cermat. Pengujian adalah pilar penanganan modern.
RST sangat bernilai karena dapat dilakukan di tempat perawatan dan hasilnya tersedia dalam 5-10 menit. Ini memungkinkan dokter untuk membuat keputusan 'resep atau tidak resep' dalam satu kunjungan. Jika RST positif, antibiotik diberikan. Jika negatif, tonsilitis kemungkinan besar viral, dan antibiotik dihindari.
Meskipun RST cepat, ia memiliki sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan kultur tenggorokan. Kultur melibatkan membiakkan sampel usap tenggorokan di cawan petri dan menunggu 24-48 jam. Jika RST negatif pada anak-anak (karena risiko GNPS yang lebih tinggi), banyak pedoman merekomendasikan konfirmasi melalui kultur.
Pada orang dewasa, risiko komplikasi DRA dan GNPS jauh lebih rendah, sehingga RST negatif sering dianggap cukup untuk mengesampingkan infeksi Strep, dan kultur konfirmasi sering dilewati.
Penggunaan tes diagnostik yang tepat mencegah ribuan resep antibiotik yang tidak perlu setiap harinya, menghemat biaya dan memerangi resistensi.
Meskipun artikel ini berfokus pada terapi antibiotik untuk infeksi akut, perlu dicatat bahwa antibiotik memiliki peran terbatas dalam manajemen tonsilitis kronis atau berulang.
Tonsilitis dianggap berulang jika memenuhi kriteria tertentu, seperti:
Jika infeksi berulang dan dikonfirmasi bakteri, pasien sering kali terperangkap dalam siklus pengobatan antibiotik 10 hari yang berulang.
Pada tonsilitis kronis, bakteri mungkin bersembunyi di dalam amandel atau membentuk 'biofilm'—lapisan pelindung yang membuat antibiotik kesulitan menembus dan membasmi bakteri sepenuhnya. Meskipun antibiotik akan membersihkan infeksi akut, ia gagal memberantas seluruh koloni, menyebabkan infeksi kembali saat pengobatan dihentikan.
Ketika infeksi bakteri sangat sering berulang dan mengganggu kualitas hidup (termasuk abses peritonsil berulang atau infeksi yang tidak dapat diatasi oleh terapi antibiotik), pengangkatan amandel (tonsilektomi) menjadi pilihan pengobatan definitif. Keputusan ini selalu dibuat setelah mempertimbangkan kegagalan terapi medis yang optimal dan frekuensi infeksi.
Pada dasarnya, tonsilektomi menghilangkan tempat perlindungan (niche) bagi bakteri penyebab infeksi berulang yang resisten terhadap pemberantasan total oleh antibiotik.
Untuk memastikan penggunaan antibiotik yang efektif dan aman dalam kasus radang amandel yang disebabkan oleh bakteri (Strep), protokol berikut harus diikuti secara ketat:
Pendalaman lebih lanjut tentang bagaimana antibiotik memengaruhi ekosistem mikrobiota normal tubuh akan menjelaskan mengapa penggunaan berlebihan harus dihindari, bahkan dengan obat yang efektif seperti penicillin.
Setiap kali antibiotik dikonsumsi, terjadi "pembantaian" tidak hanya pada bakteri patogen (seperti S. pyogenes) tetapi juga pada koloni bakteri baik yang hidup di usus, kulit, dan saluran pernapasan. Gangguan keseimbangan ini disebut disbiosis.
Meskipun penicillin V lebih sempit spektrumnya dan oleh karena itu menyebabkan kerusakan kolateral yang lebih sedikit daripada Amoxicillin spektrum luas, semua antibiotik menimbulkan risiko. Konsumsi antibiotik yang tidak perlu untuk tonsilitis virus tidak hanya gagal mengobati penyakit tetapi juga merusak flora normal, meningkatkan risiko resistensi pada patogen masa depan yang mungkin dihadapi pasien.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegagalan terapi penicillin kadang-kadang terkait dengan adanya bakteri komensal di tenggorokan (bukan Strep) yang memproduksi beta-laktamase. Bakteri komensal ini, meskipun tidak menyebabkan tonsilitis, dapat menghasilkan enzim yang menghancurkan penicillin, melindungi S. pyogenes yang sensitif. Dalam kasus inilah dokter mungkin beralih ke antibiotik yang kebal beta-laktamase, seperti Amoxicillin/Klavulanat, meskipun ini adalah solusi yang lebih spektrum luas dan harus dicadangkan untuk kegagalan terapi yang terbukti.
Kesimpulannya, keputusan untuk menggunakan obat antibiotik dalam penanganan radang amandel adalah keputusan medis yang kompleks dan harus didasarkan pada bukti diagnostik yang kuat. Kepatuhan terhadap dosis dan durasi adalah kunci untuk memastikan eradikasi patogen secara total, mencegah komplikasi serius, dan secara kolektif berpartisipasi dalam perang melawan resistensi antimikroba global. Pemberian antibiotik untuk tonsilitis bakteri harus selalu dipandang sebagai intervensi yang penting, terukur, dan bertanggung jawab.