Lambung, sebagai organ vital dalam sistem pencernaan, memiliki peran krusial dalam mencerna makanan melalui sekresi asam klorida dan enzim pencernaan. Keseimbangan antara faktor agresif (asam lambung dan pepsin) dan faktor defensif (lapisan mukus dan bikarbonat) sangat rentan terganggu, yang pada akhirnya memicu spektrum luas penyakit pada lambung. Gangguan ini tidak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman dan nyeri hebat, tetapi juga berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan tepat dan komprehensif. Pemahaman mendalam tentang patofisiologi, manifestasi klinis, serta strategi terapi yang tersedia adalah kunci untuk mencapai kualitas hidup yang optimal bagi penderitanya.
Lambung adalah organ muskular berbentuk 'J' yang terletak di kuadran kiri atas abdomen. Secara anatomis, lambung terbagi menjadi empat bagian utama: kardia (area masuk), fundus (bagian atas melengkung), korpus (badan utama), dan antrum/pilorus (area keluar menuju duodenum). Fungsi utama lambung melibatkan pencampuran bolus makanan dengan cairan lambung dan memecah protein sebelum makanan diteruskan sebagai kimus ke usus halus.
Integritas mukosa lambung sangat bergantung pada tiga mekanisme utama. Pertama adalah pertahanan pre-epitelial, yang terdiri dari lapisan lendir (mukus) tebal yang diperkaya dengan bikarbonat. Bikarbonat berfungsi menetralkan asam hidrogen terlarut sebelum mencapai sel epitel. Kedua, pertahanan epitelial, di mana sel epitel memiliki tight junctions yang mencegah difusi balik asam, serta kemampuan regenerasi yang cepat. Ketiga, pertahanan sub-epitelial, yang meliputi aliran darah yang adekuat untuk membawa nutrisi dan oksigen, serta menghilangkan toksin, dibantu oleh prostaglandin yang berperan penting dalam regulasi aliran darah dan sekresi mukus.
Gastritis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada lapisan mukosa lambung. Klasifikasinya sering dibagi berdasarkan onset (akut atau kronis) dan etiologi (penyebab). Pemahaman terhadap subtipe sangat penting karena penanganannya bisa sangat berbeda, terutama dalam konteks penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori.
Gastritis akut ditandai dengan permulaan tiba-tiba dan biasanya bersifat sementara. Penyebab paling umum melibatkan penggunaan obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS/NSAID), konsumsi alkohol berat, stres fisik yang masif (misalnya, luka bakar parah atau trauma), dan infeksi akut seperti yang disebabkan oleh H. pylori (walaupun seringkali bersifat kronis, fase awal infeksi dapat bermanifestasi sebagai akut). Gejala meliputi nyeri epigastrium mendadak, mual, muntah, dan terkadang perdarahan saluran cerna bagian atas, yang ditunjukkan dengan hematemesis (muntah darah) atau melena (feses hitam).
Gastritis kronis melibatkan peradangan jangka panjang dan perubahan struktur mukosa, seringkali berujung pada atrofi (penyusutan) mukosa. Tipe utama meliputi:
Diagnosis pasti memerlukan endoskopi dan biopsi untuk mengidentifikasi tingkat peradangan dan keberadaan H. pylori atau perubahan atrofi. Penatalaksanaan berfokus pada penghilangan agen penyebab. Jika disebabkan H. pylori, regimen eradikasi tripel atau kuadrupel terapi yang melibatkan inhibitor pompa proton (PPI) dan dua atau tiga antibiotik (amoksisilin, klaritromisin, metronidazol, tetrasiklin, atau bismut) harus diberikan selama 10 hingga 14 hari. Pada kasus gastritis autoimun, suplemen B12 seumur hidup diperlukan.
Penyakit tukak peptik (PUD) adalah kondisi dimana terdapat erosi mukosa yang meluas hingga ke lapisan muskularis mukosa atau lebih dalam. Tukak dapat terjadi di lambung (tukak lambung) atau di duodenum (tukak duodenum). Tukak duodenum jauh lebih umum dibandingkan tukak lambung, dengan rasio sekitar 4:1. Meskipun kedua kondisi ini berbagi etiologi yang serupa, perbedaan lokasi tukak memiliki implikasi tertentu pada profil risiko dan presentasi gejala.
H. pylori adalah agen kausatif utama, bertanggung jawab atas lebih dari 90% tukak duodenum dan 70% tukak lambung. Bakteri gram-negatif ini mampu bertahan hidup dalam lingkungan asam lambung yang ekstrem dengan menghasilkan urease, yang mengubah urea menjadi amonia, menciptakan lingkungan mikro yang netral di sekitarnya. H. pylori menyebabkan peradangan kronis yang melemahkan mekanisme pertahanan mukosa, membuat lambung rentan terhadap kerusakan oleh asam dan pepsin. Patogenesisnya kompleks; pada tukak duodenum, infeksi H. pylori sering meningkatkan sekresi gastrin, yang pada gilirannya meningkatkan sekresi asam lambung.
NSAID (seperti aspirin dan ibuprofen) adalah penyebab paling umum kedua. Obat-obatan ini merusak mukosa melalui dua mekanisme: (1) kerusakan lokal langsung melalui sifat asamnya, dan (2) kerusakan sistemik. Mekanisme sistemik adalah yang paling signifikan: NSAID menghambat enzim siklooksigenase (COX), khususnya COX-1, yang sangat penting untuk sintesis prostaglandin. Prostaglandin berperan vital dalam menjaga integritas mukosa dengan merangsang produksi mukus dan bikarbonat, serta menjaga aliran darah mukosa. Penghambatan fungsi ini membuat lambung kehilangan kemampuan perlindungan dirinya, sehingga tukak mudah terbentuk.
Walaupun terapi medis modern sangat efektif, PUD masih dapat menyebabkan komplikasi fatal:
Penanganan PUD didasarkan pada etiologi. Terapi selalu mencakup supresi asam yang agresif menggunakan PPI (dosis tinggi atau standar, dua kali sehari) untuk periode 4-8 minggu. Jika H. pylori positif, eradikasi wajib dilakukan. Penghentian total NSAID adalah hal yang krusial. Jika NSAID mutlak diperlukan (misalnya pada pasien kardiologi yang membutuhkan aspirin dosis rendah), PPI harus diberikan sebagai terapi profilaksis jangka panjang untuk mencegah rekurensi tukak.
Penyembuhan tukak memerlukan lingkungan lambung yang hipoasid (rendah asam). PPI bekerja dengan memblokade secara permanen pompa proton (H+/K+-ATPase) pada sel parietal, yang merupakan langkah akhir dalam sekresi asam. Hal ini menghasilkan supresi asam yang superior dibandingkan antagonis reseptor H2. Eradikasi H. pylori tidak hanya menyembuhkan tukak, tetapi yang lebih penting, mencegah kekambuhan di masa depan, mengurangi risiko komplikasi hingga 80-90%.
GERD adalah kondisi kronis yang ditandai dengan aliran balik (refluks) isi lambung (asam, pepsin, empedu) ke esofagus, menyebabkan gejala yang mengganggu dan/atau komplikasi. Meskipun GERD secara teknis merupakan penyakit esofagus, akar masalahnya seringkali terletak pada mekanisme pengeluaran lambung dan fungsi sfingter esofagus bawah (LES).
Penyebab utama GERD adalah kegagalan mekanisme pertahanan anti-refluks di persimpangan gastroesofageal. Faktor utama meliputi:
Gejala tipikal (klasik) GERD meliputi heartburn (sensasi terbakar di dada, sering menjalar ke leher) dan regurgitasi (asam atau makanan yang kembali ke mulut). Namun, GERD juga sering bermanifestasi dengan gejala atipikal atau ekstra-esofagus, yang sering kali sulit didiagnosis:
GERD dapat diklasifikasikan menjadi:
Ini adalah fondasi manajemen GERD dan harus selalu disarankan: meninggikan kepala saat tidur (15-20 cm), menghindari makanan pemicu (cokelat, mint, makanan berlemak, kafein, alkohol), menghindari makan 2-3 jam sebelum tidur, dan penurunan berat badan pada pasien obesitas.
PPI adalah terapi lini pertama untuk GERD erosif dan NERD. PPI diberikan dalam dosis penuh selama 8 minggu untuk penyembuhan esofagitis erosif. Pada kasus yang parah atau rekuren, terapi pemeliharaan jangka panjang dengan dosis terendah efektif sering diperlukan. Meskipun demikian, penggunaan PPI jangka panjang memerlukan pertimbangan risiko, termasuk peningkatan risiko infeksi Clostridium difficile, pneumonia, dan potensi interaksi dengan obat tertentu seperti klopidogrel. Alternatif lain termasuk antagonis reseptor H2 (untuk gejala ringan atau terapi pemeliharaan) dan agen prokinetik (untuk pasien dengan pengosongan lambung yang tertunda, seperti Domperidone atau Metoclopramide).
Untuk pasien yang tidak merespons pengobatan medis secara optimal, mengalami regurgitasi volume besar yang persisten, atau memilih untuk menghindari terapi obat jangka panjang, pembedahan dapat dipertimbangkan. Prosedur bedah standar adalah Fundoplikasi Nissen, yang melibatkan pembungkusan bagian fundus lambung di sekitar esofagus bawah untuk memperkuat LES.
Dispepsia fungsional (FD) adalah salah satu gangguan gastrointestinal fungsional yang paling umum. Hal ini didefinisikan oleh adanya gejala yang berasal dari lambung (nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, cepat kenyang, kembung) tanpa adanya penyebab organik yang teridentifikasi (seperti tukak, GERD, atau keganasan) setelah dilakukan investigasi endoskopi. Diagnosis FD adalah diagnosis eksklusi, didasarkan pada Kriteria Roma IV.
FD dibagi menjadi dua subtipe utama, meskipun tumpang tindih gejala sering terjadi:
Patogenesis FD bersifat multifaktorial dan melibatkan beberapa mekanisme, termasuk hipersensitivitas viseral (peningkatan sensitivitas terhadap peregangan lambung), keterlambatan pengosongan lambung (Gastroparesis ringan), dan faktor psikososial. Terdapat juga bukti bahwa infeksi H. pylori di masa lalu dapat memicu dispepsia yang menetap bahkan setelah eradikasi.
Penatalaksanaan dimulai dengan memastikan eradikasi H. pylori (jika ditemukan). Setelah itu, terapi ditargetkan berdasarkan subtipe:
Karena faktor psikososial berperan besar, intervensi perilaku dan terapi kognitif-perilaku (CBT) dapat sangat membantu dalam mengelola gejala kronis FD.
Kanker lambung merupakan keganasan serius, meskipun insidensinya telah menurun drastis di banyak negara maju berkat peningkatan sanitasi dan pengurangan infeksi H. pylori. Namun, di beberapa wilayah Asia Timur dan Amerika Latin, kanker lambung tetap menjadi penyebab kematian terkait kanker yang signifikan. Kanker lambung diklasifikasikan menjadi dua jenis utama: tipe kardiak (mendekati esofagus) dan non-kardiak (sisanya).
Sayangnya, kanker lambung seringkali asimtomatik pada stadium awal. Gejala biasanya muncul ketika penyakit sudah lanjut dan bersifat non-spesifik, menjadikannya sulit dideteksi dini. Gejala 'tanda bahaya' (Alarm Symptoms) yang memerlukan penyelidikan segera meliputi:
Diagnosis ditegakkan melalui endoskopi dengan biopsi multipel. Staging (penentuan penyebaran) dilakukan dengan CT scan, USG endoskopik (EUS), dan seringkali laparoskopi diagnostik.
Penatalaksanaan kanker lambung sangat bergantung pada stadium penyakit:
Selain penyakit umum di atas, lambung juga dapat menjadi sasaran kondisi yang lebih jarang namun signifikan, menuntut diagnosis banding yang luas oleh klinisi.
Gastroparesis adalah gangguan motilitas yang ditandai dengan pengosongan lambung yang tertunda tanpa adanya obstruksi mekanis. Etiologi paling umum adalah diabetes mellitus (neuropati diabetik merusak saraf vagus), tetapi bisa juga idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) atau pasca-bedah. Gejala utamanya meliputi cepat kenyang, kembung, mual, muntah makanan yang belum dicerna, dan refluks yang parah. Diagnosis ditegakkan melalui studi pengosongan lambung dengan scintigrafi.
Pengobatan berfokus pada kontrol gula darah yang ketat (pada diabetes) dan penggunaan agen prokinetik seperti Metoclopramide atau Erythromycin (meskipun seringkali hanya digunakan untuk jangka pendek karena efek samping potensial). Dalam kasus yang parah, intervensi seperti implantasi stimulator listrik lambung atau jejunostomi nutrisi mungkin diperlukan.
Ini adalah kelainan langka yang ditandai dengan hiperplasia foveolar masif dan pembesaran lipatan mukosa lambung yang khas, terutama di korpus. Kondisi ini menyebabkan hilangnya protein secara berlebihan melalui mukosa (protein-losing gastropathy), yang bermanifestasi sebagai hipoalbuminemia dan edema perifer. Penyakit Ménétrier juga dianggap sebagai kondisi prakanker. Terapi sering melibatkan penggunaan obat yang menargetkan reseptor faktor pertumbuhan (EGF/EGFR) seperti Cetuximab, yang dapat mengurangi hiperplasia.
EGE adalah gangguan langka, seringkali terkait dengan alergi, yang ditandai dengan infiltrasi sel eosinofil yang signifikan pada satu atau lebih lapisan dinding saluran cerna. Jika infiltrasi dominan di lambung, ini menyebabkan nyeri perut kronis, muntah, dan dispepsia. Diagnosis memerlukan biopsi yang menunjukkan peningkatan jumlah eosinofil. Pengobatan primer adalah kortikosteroid dan diet eliminasi alergen.
Investigasi penyakit lambung modern didasarkan pada kombinasi pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan prosedur pencitraan atau endoskopi yang canggih. Pendekatan diagnostik yang sistematis sangat krusial untuk membedakan antara gangguan fungsional, inflamasi, dan keganasan.
EGD (juga dikenal sebagai gastroskopi) adalah standar emas untuk visualisasi langsung mukosa esofagus, lambung, dan duodenum. Ini memungkinkan klinisi untuk mengidentifikasi tukak, esofagitis erosif, tumor, dan melakukan biopsi untuk analisis histopatologi, serta intervensi terapeutik (misalnya, menghentikan perdarahan). Dalam konteks gastritis dan kanker lambung, endoskopi memungkinkan pengambilan sampel untuk mencari bukti metaplasia, displasia, dan, yang terpenting, keberadaan H. pylori.
Pengujian H. pylori dibagi menjadi invasif (melalui endoskopi) dan non-invasif:
Untuk diagnosis GERD yang sulit, terutama pada pasien dengan gejala atipikal atau yang tidak responsif terhadap PPI, dilakukan pemantauan pH (atau impedansi-pH) selama 24 jam. Ini secara objektif mengukur frekuensi dan durasi episode refluks asam (pH < 4) dan refluks non-asam, menghubungkannya dengan gejala pasien.
Terapi farmakologis seringkali tidak akan mencapai efektivitas penuh tanpa modifikasi perilaku dan diet. Manajemen gaya hidup memainkan peran sentral, tidak hanya sebagai tindakan preventif tetapi juga sebagai bagian integral dari pengobatan penyakit lambung kronis.
Diet yang bijaksana dapat mengurangi frekuensi dan intensitas gejala dispepsia, GERD, dan membantu penyembuhan tukak. Strategi diet meliputi:
Stres psikologis tidak secara langsung menyebabkan tukak atau gastritis, tetapi dapat memperburuk gejala secara signifikan. Stres dapat mengubah persepsi nyeri viseral, meningkatkan motilitas usus, dan bahkan secara tidak langsung meningkatkan sekresi asam lambung pada individu tertentu. Oleh karena itu, teknik manajemen stres—seperti meditasi, yoga, atau aktivitas fisik moderat—adalah komponen penting dari penatalaksanaan holistik, terutama pada dispepsia fungsional dan GERD.
Tidur yang cukup dan teratur membantu proses regenerasi mukosa. Bagi penderita GERD, posisi tidur dengan elevasi kepala ranjang secara fisik (bukan hanya bantal tambahan) adalah intervensi yang sangat efektif untuk meminimalkan paparan asam pada esofagus selama malam hari.
Dua kebiasaan terbesar yang merusak lambung adalah merokok dan konsumsi alkohol. Merokok diketahui menghambat produksi bikarbonat, mengurangi aliran darah mukosa, melemahkan LES, dan secara drastis memperlambat penyembuhan tukak, serta meningkatkan risiko kanker. Alkohol merusak sawar mukosa dan sangat mengiritasi lapisan lambung, memicu gastritis dan tukak akut.
Intervensi medis melibatkan berbagai kelas obat yang dirancang untuk mengurangi agresivitas asam, meningkatkan pertahanan mukosa, atau memodulasi motilitas.
PPI (contoh: Omeprazole, Esomeprazole, Lansoprazole, Pantoprazole) adalah kelompok obat paling kuat untuk supresi asam. Mereka bekerja dengan ikatan kovalen yang tidak dapat diubah pada pompa proton (H+/K+-ATPase) pada sel parietal, secara efektif menghambat sekresi asam hingga 24 jam. PPI harus diminum 30-60 menit sebelum makan, karena pompa proton aktif terutama setelah stimulus makanan. Dosis dan durasi pengobatan harus disesuaikan: dosis standar untuk GERD non-erosif (4-8 minggu) dan dosis ganda untuk esofagitis berat atau Sindrom Zollinger-Ellison. Penghentian PPI harus dilakukan secara bertahap untuk menghindari fenomena 'rebound' asam.
H2RA (contoh: Ranitidine, Famotidine, Cimetidine) memblokir reseptor histamin pada sel parietal, mengurangi sekresi asam yang dirangsang oleh histamin. Meskipun tidak sekuat PPI, H2RA efektif untuk GERD ringan, nyeri episodik, dan sebagai terapi tambahan sebelum tidur untuk mengurangi sekresi asam nokturnal. Salah satu keuntungan H2RA adalah onset kerjanya yang cepat.
Digunakan terutama untuk Gastroparesis dan Dispepsia Fungsional (PDS). Obat-obatan ini meningkatkan motilitas dan koordinasi peristaltik. Contoh termasuk Metoclopramide (dopamin antagonis, berisiko tardive dyskinesia jangka panjang) dan Domperidone (dopamin antagonis perifer, risiko aritmia jantung). Pemilihan agen prokinetik harus dilakukan dengan mempertimbangkan profil risiko pasien.
Kombinasi obat ini, disesuaikan dengan etiologi dan keparahan penyakit, memungkinkan manajemen yang tepat. Namun, perhatian terhadap interaksi obat dan efek samping jangka panjang sangat penting, terutama pada pasien yang memerlukan pengobatan pemeliharaan kronis.
Memahami perjalanan alami penyakit lambung tanpa intervensi adalah penting untuk mengapresiasi nilai dari pengobatan. Komplikasi bukan hanya berupa peristiwa akut (seperti perdarahan atau perforasi), tetapi juga sequelae jangka panjang yang dapat mengubah struktur lambung secara permanen dan meningkatkan risiko keganasan.
Tukak peptik kronis, terutama tukak duodenum, menyebabkan siklus peradangan, penyembuhan, dan pembentukan jaringan parut. Jaringan parut ini, yang disebut sikatriks, dapat menyempitkan lumen pilorus, menyebabkan obstruksi lambung keluar (Gastric Outlet Obstruction/GOO). Pasien akan mengalami muntah yang tidak mengandung empedu (non-bilious vomiting), biasanya muntah makanan yang dimakan beberapa jam atau bahkan hari sebelumnya. Diagnosis dikonfirmasi dengan endoskopi (menunjukkan penyempitan yang tidak bisa dilewati) atau barium meal. Penanganan awal sering melibatkan dekompresi nasogastrik dan supresi asam agresif; jika penyempitan bersifat fibrosis permanen, intervensi endoskopik (dilatasi balon) atau bedah (piloroplasti) diperlukan.
GERD kronis yang tidak terkontrol menyebabkan kerusakan mukosa esofagus skuamosa. Sebagai respons adaptif terhadap paparan asam berulang, sel-sel skuamosa digantikan oleh sel-sel kolumnar (metaplasia intestinal) – kondisi yang disebut Esofagus Barrett (EB). EB adalah kondisi prakanker yang meningkatkan risiko adenokarsinoma esofagus (berbeda dari karsinoma sel skuamosa). Pasien dengan EB memerlukan pengawasan endoskopik rutin (surveilans) untuk mendeteksi displasia (perubahan sel abnormal) pada stadium dini, yang mungkin memerlukan ablasi radiofrekuensi endoskopik atau reseksi mukosa.
Gastritis kronis yang disebabkan oleh H. pylori atau proses autoimun dapat berujung pada atrofi lambung, di mana sel-sel penghasil asam dan faktor intrinsik hancur. Atrofi ini, terutama tipe autoimun, menyebabkan kurangnya faktor intrinsik, yang diperlukan untuk absorpsi Vitamin B12. Kekurangan B12 berakibat pada anemia megaloblastik (anemia pernisiosa) dan neuropati perifer. Manajemen atrofi lambung kronis memerlukan pemantauan endoskopik berkala karena peningkatan risiko karsinoma gaster tipe intestinal.
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan penyakit lambung terkait H. pylori adalah meningkatnya resistensi antibiotik, terutama terhadap klaritromisin dan metronidazol. Tingkat resistensi lokal kini menjadi penentu utama dalam pemilihan regimen terapi:
Eradikasi yang sukses didefinisikan sebagai tidak adanya H. pylori 4 minggu setelah selesainya terapi. Konfirmasi eradikasi harus selalu dilakukan, biasanya menggunakan Urea Breath Test atau Stool Antigen Test, karena eradikasi yang gagal meningkatkan risiko tukak berulang dan kanker.
Keseimbangan mikrobiota usus, meskipun utamanya berlokasi di kolon, juga memainkan peran dalam kesehatan lambung dan usus halus. Selama terapi eradikasi H. pylori, antibiotik merusak mikrobiota normal, sering menyebabkan efek samping gastrointestinal (seperti diare terkait antibiotik) yang dapat menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Pemberian probiotik tertentu, seperti strain Lactobacillus atau Saccharomyces boulardii, dapat mengurangi efek samping dan, dalam beberapa penelitian, sedikit meningkatkan tingkat keberhasilan eradikasi H. pylori. Selain itu, asupan prebiotik (serat yang tidak dapat dicerna yang memberi makan bakteri usus baik) membantu memelihara lingkungan pencernaan yang seimbang.
Keterlibatan pasien dalam memahami proses ini sangat penting, karena kepatuhan pasien (adherence) terhadap regimen antibiotik yang kompleks adalah faktor prediksi utama keberhasilan pengobatan. Edukasi yang baik mengenai potensi efek samping dan pentingnya menyelesaikan seluruh kursus obat sangat ditekankan.
Pencegahan penyakit lambung paling efektif dilakukan dengan membatasi paparan faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
Secara keseluruhan, kesehatan lambung adalah cerminan dari keseimbangan kompleks antara faktor internal dan eksternal. Pendekatan diagnosis dan terapi harus selalu bersifat individual, mempertimbangkan etiologi spesifik, tingkat keparahan, dan profil risiko komplikasi pada setiap pasien. Manajemen yang efektif menuntut kolaborasi erat antara dokter, ahli gizi, dan pasien itu sendiri untuk mencapai dan mempertahankan remisi gejala serta pencegahan komplikasi jangka panjang.