Al-Qur'an adalah pedoman hidup yang diturunkan untuk menjelaskan jalan lurus dan memperingatkan manusia dari kesesatan. Di antara ayat-ayat yang tegas dalam menyampaikan peringatan adalah Surah An-Nahl ayat 23. Ayat ini berbicara lugas mengenai konsekuensi bagi mereka yang menyekutukan Allah, sebuah dosa yang oleh Islam dianggap paling besar dan tidak terampuni jika dibawa mati dalam keadaan belum bertaubat.
Ayat ini merupakan penegasan dari Allah SWT terhadap para pendusta yang mengklaim beriman namun di saat yang sama mereka melakukan kesyirikan (menyekutukan Allah). Berikut adalah lafadz aslinya beserta terjemahannya:
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, mereka memberikan nama-nama (sebutan) bagi Allah (sebagai sekutu-Nya), padahal mereka sendiri mengetahui (bahwa itu dusta)."
Pesan utama dalam QS An-Nahl ayat 23 ini menghubungkan dua elemen penting dalam tauhid: **keimanan kepada Hari Akhir** dan **pengakuan terhadap keesaan Allah**. Allah SWT menegaskan bahwa hanya golongan yang tidak memiliki keyakinan teguh pada kehidupan setelah mati (akhirat) yang berani melakukan dua hal tercela: pertama, mereka membuat perumpamaan dan nama-nama palsu bagi Allah (syirik), dan kedua, mereka melakukannya padahal hati kecil mereka mengetahui bahwa apa yang mereka tuduhkan adalah kebohongan besar (iftira').
Kaitannya dengan akhirat sangat erat. Ketika seseorang tidak meyakini adanya pertanggungjawaban di hari kiamat, maka standar moral dan etika ilahiah menjadi kabur. Jika tidak ada perhitungan, mengapa harus takut melakukan kesalahan atau perbuatan dosa terbesar seperti syirik? Bagi mereka yang mendustakan akhirat, kesenangan duniawi menjadi satu-satunya tolok ukur, sehingga mereka rela mengorbankan akidah demi kepentingan sesaat.
Ayat ini menarik karena menggunakan frasa "wa humu alladheena hum muftaroon" (padahal mereka sendiri yang membuat dusta). Ini menunjukkan bahwa orang-orang musyrik pada masa itu—dan juga di masa kini—bukanlah orang bodoh. Mereka adalah orang-orang yang secara naluriah (fitrah) mengetahui bahwa hanya ada satu Pencipta yang Maha Kuasa. Namun, karena kesombongan, hawa nafsu, atau mengikuti tradisi nenek moyang tanpa berpikir kritis, mereka "memaksakan" keyakinan palsu tersebut.
Mereka tahu patung yang mereka sembah tidak dapat memberi rezeki, tidak dapat menghidupkan, dan tidak dapat membela mereka dari bahaya. Namun, mereka tetap menisbatkan sifat-sifat ilahiyah kepada makhluk ciptaan mereka sendiri. Ini adalah puncak kebodohan yang disengaja, sebab akal sehat mereka sebenarnya menolak klaim tersebut. Dalam konteks ayat ini, kebohongan tersebut adalah pengakuan internal bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah rekayasa sosial atau keyakinan yang dipaksakan, bukan kebenaran hakiki.
Peringatan dalam An-Nahl ayat 23 relevan hingga kini. Kesyirikan modern seringkali tidak berbentuk penyembahan berhala secara fisik, melainkan berbentuk pengabdian total kepada selain Allah. Ini bisa berupa obsesi harta (mammonism), tunduk pada ideologi yang bertentangan dengan kebenaran Ilahi, atau menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan tertinggi.
Keimanan kepada akhirat adalah benteng utama yang mencegah seseorang tergelincir pada syirik modern ini. Jika kita benar-benar menghitung bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Dzat yang Maha Adil, maka otomatis kita akan menjaga tauhid kita dalam segala aspek kehidupan—baik dalam ibadah ritual, muamalah, maupun dalam pemikiran dan keputusan hidup. Ayat ini mengajak kita untuk memeriksa dasar keyakinan kita: Apakah ketakutan kita pada penghakiman akhirat cukup kuat untuk menolak segala bentuk persekutuan, sekecil apapun bentuknya, terhadap Allah Yang Maha Esa?