Surat An-Naml (Semut) adalah surat ke-27 dalam Al-Qur'an yang kaya akan kisah para nabi dan penekanan pada keesaan Allah SWT. Ayat 114 hingga 116, yang menjadi fokus pembahasan kita, menyajikan sebuah penutup yang kuat mengenai pentingnya teguh pada kebenaran Ilahi dan peringatan keras bagi mereka yang menyimpang dari jalan tersebut. Ayat 114:1-3 secara spesifik mengingatkan kita tentang konsekuensi dari perbuatan buruk dan janji bagi orang-orang yang berbuat baik.
Meskipun permintaan fokus pada bagian awal ayat 114, perlu dicatat bahwa ayat-ayat ini sering dibaca bersama untuk mendapatkan konteks penuh mengenai peringatan tersebut. Berikut adalah terjemahan dari tiga ayat pertama yang relevan dalam konteks penutup surat ini (Ayat 114 hingga 116 dari surat An-Naml):
Ayat pertama (114) dimulai dengan perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk berpaling dari orang-orang musyrik yang keras kepala. Perintah ini bukanlah bentuk menyerah, melainkan sebuah bentuk strategi dakwah dan penangguhan hukuman ilahi. Kata kunci di sini adalah "hingga dia memasukkan mereka ke dalam urusan Allah". Ini berarti penangguhan diberikan sampai tiba saatnya keputusan Allah turun atas mereka, entah berupa hidayah yang mendalam atau azab yang pasti. Dalam konteks ini, berpaling menunjukkan bahwa usaha berdakwah secara paksa tidak efektif jika hati mereka tertutup. Allah SWT membiarkan mereka dalam kesesatan mereka sejenak, sambil tetap memberikan kesempatan melalui peringatan keras.
Poin penting lainnya dalam ayat ini adalah penekanan bahwa mereka tidak akan dikabarkan tentang urusan Tuhan mereka sampai saat keputusan itu tiba. Ini menegaskan bahwa pengetahuan tentang masa depan dan akhir dari urusan mereka sepenuhnya berada di tangan Allah. Manusia hanya diberi tugas untuk menyampaikan risalah, bukan memaksa penerimaan.
Ayat 115 memberikan landasan teologis yang mendasar: iman sejati tidak mungkin terwujud kecuali atas izin dan kehendak Allah. Ini menepis pandangan bahwa manusia memiliki kemampuan mutlak untuk memilih iman secara independen tanpa campur tangan atau kemudahan dari Sang Pencipta. Allah yang Maha Kuasa menggerakkan hati manusia untuk menerima kebenaran.
Konsekuensi bagi mereka yang menolak izin dan petunjuk ini sangat jelas: Allah menimpakan "ar-rijs" (kegelapan atau kekotoran batin) atas orang-orang yang tidak mau menggunakan akal sehat mereka (laa ya'qilun). Penolakan berpikir logis dan menolak kebenaran yang disampaikan melalui wahyu akan mengakibatkan hati mereka tertutup oleh kegelapan spiritual, yang merupakan azab awal sebelum azab akhirat. Mereka menolak menggunakan nikmat akal yang diberikan, sehingga pantaslah jika nikmat tersebut dicabut dalam bentuk hilangnya pemahaman.
Setelah peringatan keras, ayat 116 memberikan harapan dan kepastian bagi kaum mukminin. Ayat ini menyatakan bahwa orang-orang yang telah ditetapkan ketetapan baik dari Tuhan mereka—yaitu mereka yang termasuk dalam kehendak baik Allah untuk beriman dan beramal saleh—maka mereka adalah "ashhabul maimanah" (pemilik sisi kanan).
Dalam terminologi Al-Qur'an, golongan kanan adalah mereka yang menerima catatan amalan mereka di akhirat dari sebelah kanan, yang menandakan keselamatan dan masuk surga. Ketetapan ini bukanlah sesuatu yang dicapai semata-mata oleh usaha manusia, tetapi merupakan rahmat dan kemurahan dari Allah yang mendahului amal perbuatan baik mereka. Ini menekankan dualitas antara usaha manusia (ikhtiar) dan takdir/rahmat Allah (qadar). Kita diperintahkan untuk beramal dan berpikir, namun hasil akhirnya bergantung pada ketetapan kemuliaan dari sisi Tuhan. Dengan demikian, ayat 114-116 menutup surat An-Naml dengan penegasan mengenai kedaulatan Allah dalam memberi petunjuk, konsekuensi dari penolakan akal, dan jaminan bagi mereka yang berada dalam lingkup rahmat-Nya.