Ilustrasi simbolis ayat Al-Qur'an dan nilai-nilai kebaikan.
Surah An-Nisa, yang berarti "Para Wanita," merupakan salah satu surah Madaniyah dalam Al-Qur'an yang membahas berbagai aspek kehidupan sosial, hukum, dan spiritual umat Islam. Di dalamnya terkandung ayat-ayat yang menjadi pedoman penting, salah satunya adalah ayat ke-6. Ayat ini secara khusus menyoroti pentingnya kepercayaan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam pengelolaan harta, terutama ketika melibatkan anak yatim atau orang yang berada di bawah perwalian. Memahami makna mendalam dari QS. An-Nisa ayat 6 memberikan panduan yang sangat relevan bagi setiap Muslim dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat.
Ayat ke-6 dari Surah An-Nisa berbunyi:
"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka (dewasa dan) siap menikah, kemudian jika menurutmu mereka (sudah) cerdas (pandai mengurus harta), serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta itu) melainkan (karena) memakannya karena berhajat (membutuhkan) atau (untuk) memelihara, sesungguhnya orang yang berlebih-lebihan dalam memakannya, sesungguhnya setan itu adalah penolong bagi orang yang berlebih-lebihan."
Ayat ini menjadi instruksi langsung dari Allah SWT kepada kaum mukminin yang memiliki tanggung jawab atas harta anak yatim. Terdapat beberapa poin krusial yang dapat digarisbawahi:
Frasa "Dan ujilah anak-anak yatim itu" menekankan pentingnya proses pengujian. Ini bukan berarti anak yatim itu sendiri yang diuji, melainkan kematangan dan kemampuan mereka dalam mengelola harta benda yang menjadi hak mereka. Pengujian ini dilakukan hingga mereka mencapai usia baligh dan dianggap mampu dalam urusan harta. Ini menunjukkan bahwa Islam memberikan perhatian pada pembinaan dan pendewasaan, bukan sekadar menyerahkan harta begitu saja.
Kriteria utama untuk menyerahkan harta adalah ketika anak yatim tersebut "sudah cerdas (pandai mengurus harta)". Ini mencakup pemahaman tentang nilai harta, kemampuan membelanjakannya dengan bijak, serta ketahanan terhadap penipuan. Seorang wali tidak boleh terburu-buru menyerahkan harta jika anak asuhnya belum menunjukkan tanda-tanda kematangan finansial. Sebaliknya, jika mereka sudah mampu, maka wajib bagi wali untuk menyerahkan kembali harta yang telah dijaga itu.
Larangan yang tegas diungkapkan, "Janganlah kamu memakannya (harta itu) melainkan (karena) memakannya karena berhajat (membutuhkan) atau (untuk) memelihara". Hal ini menggarisbawahi prinsip keadilan dan amanah. Wali diperbolehkan memanfaatkan harta yatim hanya dalam batas yang sangat wajar, yaitu ketika ia benar-benar membutuhkan atau untuk memelihara harta tersebut agar tidak rusak atau hilang. Pemanfaatan yang berlebihan atau tanpa alasan yang syar'i adalah dilarang keras.
Ayat ini menutup dengan peringatan keras: "sesungguhnya orang yang berlebih-lebihan dalam memakannya, sesungguhnya setan itu adalah penolong bagi orang yang berlebih-lebihan." Keserakahan dan ketidakjujuran dalam mengelola harta anak yatim dianggap sebagai jalan yang dibukakan lebar untuk godaan dan pengaruh setan. Setan akan semakin leluasa menyesatkan orang-orang yang terjerumus dalam perbuatan dosa tersebut, menjauhkan mereka dari rahmat Allah.
Meskipun ayat ini turun pada konteks sosial masyarakat Arab di masa lalu, relevansinya tidak pernah pudar. Di era modern ini, konsep anak yatim dan pengelolaan harta warisan masih menjadi isu penting. Banyak keluarga yang menghadapi situasi kehilangan orang tua, meninggalkan anak-anak dengan aset yang perlu dikelola.
QS. An-Nisa ayat 6 menjadi pengingat bagi para wali, pengasuh, atau lembaga yang mengelola dana anak yatim untuk senantiasa menjunjung tinggi prinsip amanah dan transparansi. Kepercayaan yang diberikan harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Poin-poin yang disebutkan dalam ayat ini mengajarkan tentang pentingnya integritas, akuntabilitas, dan kehati-hatian dalam setiap transaksi finansial yang melibatkan pihak yang membutuhkan perlindungan.
Selain itu, ayat ini juga mengajarkan kita untuk terus introspeksi diri. Apakah kita termasuk orang yang lalai dalam menjaga amanah? Apakah ada dorongan keserakahan yang perlu kita lawan? Kesadaran akan hal ini akan membantu kita untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakan, memohon perlindungan dari Allah dari godaan setan, dan berusaha keras untuk menjadi pribadi yang jujur dan bertanggung jawab.
Memahami dan mengamalkan kandungan QS. An-Nisa ayat 6 adalah bentuk ibadah yang sangat bernilai di sisi Allah SWT. Dengan memelihara hak-hak anak yatim dan mengelola harta dengan jujur, kita tidak hanya menjalankan perintah agama, tetapi juga berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih adil, berempati, dan dilindungi dari kemungkaran. Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan untuk istiqamah dalam menjalankan amanah ini.