Surah An-Nisa', yang berarti "Wanita", adalah salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an. Surah ini secara khusus memberikan penekanan mendalam pada berbagai aspek kehidupan, terutama yang berkaitan dengan keluarga, hak-hak wanita, keadilan sosial, dan pengelolaan masyarakat. Ayat-ayat awal Surah An-Nisa', khususnya dari ayat 1 hingga 6, menjadi fondasi penting dalam memahami prinsip-prinsip Islam mengenai hubungan antarmanusia, tanggung jawab, dan perlindungan bagi kelompok yang rentan. Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat ini sangat krusial bagi setiap Muslim untuk menjalankan kehidupan sesuai ajaran agama.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan dari padanya (Adam) Dia menciptakan pasangannya (Hawa). Dari keduanya berkembang biak laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat pertama ini membuka Surah An-Nisa' dengan seruan universal kepada seluruh umat manusia. Penekanan utama terletak pada pengingat bahwa seluruh manusia berasal dari sumber yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Hal ini menegaskan konsep persaudaraan universal antar sesama manusia, terlepas dari perbedaan ras, suku, atau kebangsaan. Ayat ini juga memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yang manifestasinya adalah melalui menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, terutama dengan memelihara silaturahmi (hubungan kekerabatan). Allah sebagai Maha Pengawas memastikan bahwa setiap tindakan, termasuk menjaga hubungan baik atau merusaknya, akan senantiasa diperhatikan.
وَآتُوا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَىٰ أَمْوَالِكُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada (anak-anak) yatim harta mereka, janganlah kamu menukarkan yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan semacam itu adalah dosa yang besar.
Melanjutkan penekanan pada tanggung jawab sosial, ayat kedua ini secara spesifik memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan harta benda milik anak yatim kepada mereka ketika telah mencapai usia dewasa. Ayat ini melarang keras untuk mencampuradukkan harta anak yatim dengan harta sendiri, apalagi memanfaatkannya secara zalim. Tindakan mengambil harta anak yatim dianggap sebagai dosa besar yang tidak dapat ditoleransi. Ini menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan perlindungan dan kesejahteraan anak-anak yang kehilangan orang tua mereka, serta menuntut kejujuran dan keadilan dalam pengelolaan harta mereka.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan, maka nikahilah seorang saja, atau budak-budak (perempuan) yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat aniaya.
Ayat ketiga ini membahas mengenai masalah perkawinan, khususnya terkait dengan poligami. Ayat ini memberikan izin untuk berpoligami hingga empat orang istri, namun dengan syarat yang sangat tegas: yaitu mampu berlaku adil di antara mereka. Jika dikhawatirkan tidak mampu berlaku adil, maka disarankan untuk menikahi satu orang saja. Penekanan pada keadilan ('adl) di sini mencakup semua aspek, baik materiil maupun emosional. Jika tidak mampu berlaku adil bahkan dengan satu istri sekalipun, maka alternatifnya adalah memiliki budak perempuan (dalam konteks hukum Islam terdahulu) atau tetap membujang. Ayat ini menegaskan bahwa keadilan adalah syarat mutlak dalam pernikahan, dan ketidakadilan adalah sesuatu yang harus dihindari.
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نُفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Dan berikanlah mahar kepada wanita (sebagai pemberian) yang disukai karena Allah, melainkan jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu, tidak mengapa kamu memakannya (dengan enak dan halal).
Selanjutnya, ayat keempat memerintahkan suami untuk memberikan mahar (maskawin) kepada istrinya sebagai pemberian yang tulus karena Allah. Mahar adalah hak perempuan yang wajib diberikan oleh suami sebagai tanda keseriusan dalam pernikahan. Namun, ayat ini juga memberikan keringanan, yaitu jika sang istri dengan kerelaan hatinya menyerahkan sebagian atau seluruh maharnya kepada suami, maka suami diperbolehkan untuk menerimanya. Hal ini menekankan pentingnya kerelaan dan keikhlasan dalam urusan mahar, bukan paksaan atau pemaksaan.
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (yang berada dalam jagaan) kamu yang dijadikan Allah pokok untuk kelangsungan hidupmu, tetapi berilah mereka belanja dari (harta) itu dan pakaikanlah mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Ayat kelima ini memberikan instruksi mengenai pengelolaan harta yang berkaitan dengan orang-orang yang dianggap belum cakap mengelolanya sendiri, seperti anak-anak yang belum dewasa atau orang yang memiliki kelainan akal. Ayat ini melarang memberikan langsung harta yang merupakan penopang kehidupan (baik harta milik sendiri maupun harta anak yatim yang dikelola) kepada mereka yang belum mampu menggunakannya secara bijak. Sebaliknya, diperintahkan untuk memberikan nafkah, pakaian, dan perkataan yang baik kepada mereka. Hal ini menunjukkan keseimbangan antara perlindungan harta dan pemenuhan hak serta kebutuhan individu.
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَدَبَبًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
Dan ujilah (keadaan) anak-anak yatim itu sampai mereka siap kawin. Kemudian jika menurutmu mereka telah cerdas (dewasa) dan mampu mengurus harta mereka, maka serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaknya dia menjaga diri (tidak memakan harta anak yatim), dan barang siapa miskin, maka boleh baginya makan harta anak yatim menurut cara yang patut. Apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu mengadakan saksi (saksi) atas mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (perhitungan).
Ayat keenam ini melengkapi instruksi mengenai harta anak yatim. Ayat ini memerintahkan untuk menguji kemampuan anak yatim dalam mengelola harta mereka hingga mereka mencapai usia baligh (dewasa) dan dianggap mampu mengurusnya. Ketika mereka terbukti cerdas dan cakap, barulah harta mereka diserahkan sepenuhnya. Ayat ini juga menegaskan kembali larangan memakan harta yatim secara berlebihan atau terburu-buru sebelum mereka dewasa. Bagi pemelihara yang berkecukupan, dianjurkan untuk tidak memakan harta yatim sama sekali. Namun, bagi yang fakir, diperbolehkan memakannya secukupnya dengan cara yang ma'ruf (patut dan sesuai). Terakhir, saat menyerahkan harta tersebut, disarankan untuk menghadirkan saksi sebagai bentuk pertanggungjawaban. Ayat ini menutup dengan firman Allah bahwa Dia Maha Cukup sebagai Pengawas segala urusan.
Secara keseluruhan, Surah An-Nisa' ayat 1-6 memberikan panduan komprehensif mengenai pentingnya keimanan, hubungan persaudaraan, keadilan dalam keluarga, perlindungan terhadap yang lemah, dan tanggung jawab dalam pengelolaan harta. Ayat-ayat ini menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan saling menjaga. Memahami dan mengamalkan makna di balik ayat-ayat ini adalah sebuah keniscayaan bagi setiap Muslim yang ingin menjalankan kehidupannya sesuai dengan tuntunan Ilahi.