Larangan Pernikahan Haram QS. An-Nisa' Ayat 22
Visualisasi sederhana mengenai larangan pernikahan haram dalam Islam.

QS An-Nisa Ayat 22: Penjelasan Lengkap Mengenai Larangan Pernikahan dengan Mahram

Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta, tetapi juga memberikan panduan komprehensif mengenai tatanan kehidupan sosial, termasuk dalam hal keluarga dan pernikahan. Salah satu ayat yang secara tegas mengatur larangan pernikahan adalah Surah An-Nisa ayat 22. Ayat ini memuat daftar perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki, yang dikenal sebagai mahram. Pemahaman mendalam mengenai ayat ini sangat krusial untuk menjaga kesucian institusi pernikahan dan mencegah terjadinya hubungan yang dilarang dalam syariat Islam.

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

"Dan janganlah kamu kawini perempuan yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah, dan amat buruklah jalannya."

Pokok Larangan dalam Ayat

Inti dari Surah An-Nisa ayat 22 adalah larangan keras bagi seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang sebelumnya telah dinikahi oleh ayahnya. Konsep ini merujuk pada larangan menikahi ibu tiri, nenek tiri dari pihak ayah maupun ibu, dan seterusnya. Larangan ini bersifat mutlak, kecuali jika ada kondisi khusus yang disebutkan dalam ayat, yaitu "kecuali yang telah terjadi pada masa lampau". Para ulama menafsirkan frasa ini sebagai peristiwa yang terjadi sebelum Islam datang (masa jahiliyah) di mana praktik semacam itu masih ada. Namun, bagi umat Islam yang datang setelah periode tersebut, larangan ini berlaku secara pasti.

Allah SWT menegaskan bahwa perbuatan menikahi wanita yang telah dinikahi ayah adalah "fāḥishah" (perbuatan keji) dan "maqt" (dibenci Allah). Frasa "amāthul maqt" menunjukkan betapa dibencinya perbuatan tersebut, tidak hanya oleh manusia tetapi yang terpenting oleh Allah SWT. Lebih lanjut, disebutkan bahwa jalan tersebut adalah "sā'a sabīlan" (seburuk-buruk jalan), menyiratkan bahwa praktik ini membawa dampak negatif yang luas, merusak tatanan sosial, dan menjauhkan pelakunya dari rahmat Allah.

Kontekstualisasi dan Dampak Larangan

Larangan ini memiliki beberapa tujuan mendasar. Pertama, menjaga nasab (keturunan). Pernikahan dengan ibu tiri dapat menimbulkan kebingungan mengenai garis keturunan dan hubungan kekeluargaan. Kedua, menjaga kehormatan keluarga. Dalam banyak budaya, termasuk budaya Arab pra-Islam, menikahi ibu tiri dianggap sebagai aib besar dan merusak struktur keluarga. Ketiga, mencegah konflik internal dalam keluarga. Keberadaan ibu tiri sebagai istri baru ayahnya dapat menimbulkan ketegangan dan persaingan yang tidak sehat.

Ayat ini merupakan bagian dari serangkaian ayat dalam Surah An-Nisa yang mengatur berbagai aspek pernikahan dan keluarga. Ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya menjelaskan secara rinci siapa saja perempuan yang haram dinikahi, baik karena hubungan nasab (seperti ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi), hubungan semenda (seperti mertua, ibu tiri), maupun hubungan persusuan. Keseluruhan pengaturan ini bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah, di mana setiap anggota keluarga merasa aman, terhormat, dan terlindungi.

Perluasan Makna dan Hikmah

Meskipun ayat ini secara spesifik menyebutkan larangan menikahi wanita yang telah dinikahi ayah, para ulama juga merujuk ayat ini sebagai dasar penetapan mahram lainnya yang memiliki kedudukan serupa. Konsep mahram adalah orang-orang yang haram dinikahi karena hubungan darah, pernikahan, atau persusuan. Daftar lengkap mahram yang haram dinikahi dijelaskan lebih lanjut dalam ayat-ayat lain dalam Surah An-Nisa (ayat 23).

Hikmah di balik larangan ini sangatlah mendalam. Ini menunjukkan perhatian Islam terhadap pembentukan unit keluarga yang kokoh dan harmonis. Dengan menetapkan batasan-batasan yang jelas mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh dinikahi, Islam berusaha mencegah terjadinya kekacauan moral dan sosial. Institusi pernikahan dijaga kesuciannya agar menjadi tempat yang aman bagi pembentukan generasi penerus yang saleh dan berkualitas. Larangan ini bukan sekadar aturan hukum, melainkan juga pelajaran moral yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menjaga martabat diri, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan ajaran ilahi. Pemahaman dan pengamalan QS. An-Nisa ayat 22 ini menjadi pilar penting dalam mewujudkan keluarga Islami yang dirahmati Allah.

🏠 Homepage