Al-Qur'an Al-Karim merupakan kitab suci umat Islam yang berisi petunjuk, pedoman, dan hukum bagi seluruh aspek kehidupan. Di dalamnya terdapat ribuan ayat yang mengandung hikmah dan kebijaksanaan mendalam. Salah satu surat yang sering menjadi rujukan dalam berbagai kajian adalah Surat An-Nisa', yang berarti "Wanita". Surat ini memiliki banyak ayat yang mengatur hubungan antarmanusia, hak-hak, dan kewajiban. Dalam artikel ini, kita akan mendalami makna serta relevansi dari QS An Nisa ayat 4 dan 59, dua ayat yang menawarkan prinsip-prinsip penting dalam tatanan sosial dan kepemimpinan.
Ayat keempat dari Surat An-Nisa' secara spesifik membahas mengenai pemberian mahar atau maskawin kepada para wanita oleh suami mereka. Ayat ini sangat fundamental dalam pembentukan rumah tangga dan menunjukkan perhatian Islam terhadap hak-hak wanita, bahkan sejak awal pernikahan.
“Dan berikanlah kepada para wanita (calon) mahar mereka sebagai suatu karunia dari Allah. Tetapi jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) itu sebagai suatu yang sedap lagi baik.”
Dari ayat ini, kita dapat menarik beberapa poin penting. Pertama, mahar adalah hak mutlak wanita yang diberikan oleh suami, bukan sebagai ganti dari tubuhnya, melainkan sebagai bentuk penghormatan dan wujud kesungguhan suami untuk menikmatinya. Kata "nithlah" (نِحْلَةً) sendiri menyiratkan pemberian yang tulus, sukarela, dan sebagai anugerah. Kedua, ayat ini menegaskan bahwa mahar harus diberikan secara penuh. Namun, ada fleksibilitas yang diberikan: jika sang istri dengan ikhlas memberikan sebagian atau seluruh maharnya kembali kepada suami, maka suami berhak menerimanya dengan senang hati. Ini menunjukkan adanya musyawarah dan keikhlasan dalam hubungan suami istri, di mana hak ekonomi istri juga dihargai, namun keputusan untuk memberikannya kembali tetap berada pada kerelaan sang istri.
Berpindah ke ayat kelima puluh sembilan dari surat yang sama, kita akan menemukan ajaran mengenai ketaatan kepada Allah, Rasul, dan para pemimpin di kalangan umat Islam. Ayat ini sangat krusial dalam konteks kepemimpinan dan penyelesaian perselisihan.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ayat ini memerintahkan tiga tingkatan ketaatan. Tingkat pertama adalah ketaatan mutlak kepada Allah SWT. Ini adalah fondasi dari segala ketaatan. Tingkat kedua adalah ketaatan kepada Rasulullah SAW, yang ajarannya bersumber dari Allah dan menjadi penjelas Al-Qur'an. Tingkat ketiga adalah ketaatan kepada "ulil amri" atau para pemimpin dari kalangan umat Islam. Siapa yang dimaksud dengan ulil amri adalah para penguasa, pemerintah, para ahli hukum, dan tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan untuk mengatur urusan umat.
Poin krusial lainnya dalam ayat ini adalah instruksi mengenai penyelesaian perselisihan. Ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu urusan, perintahnya adalah untuk mengembalikannya kepada Allah (melalui Al-Qur'an) dan Rasul (melalui Sunnah). Ini berarti bahwa setiap perselisihan harus diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam. Jika suatu keputusan atau kebijakan bertentangan dengan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia tidak dapat diterima, meskipun berasal dari ulil amri. Hal ini menegaskan bahwa kekuasaan tidaklah mutlak tanpa batasan, dan batasan tertinggi adalah wahyu Allah SWT. Frasa "dzalika khairun wa ahsanu ta'wila" (itu lebih baik dan lebih baik akibatnya) menekankan betapa pentingnya mengacu pada sumber ilahi dalam setiap urusan, karena itulah jalan yang paling benar dan akan membawa kebaikan di dunia dan akhirat.
Kedua ayat ini, meskipun turun pada masa yang berbeda dalam sejarah Islam, tetap sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan kita saat ini. QS An Nisa ayat 4 mengajarkan tentang penghargaan terhadap hak-hak perempuan, termasuk hak ekonomi dalam pernikahan, yang merupakan nilai universal yang diakui dalam masyarakat yang adil. Memahami dan mengamalkan ayat ini dapat membantu menciptakan hubungan rumah tangga yang harmonis dan saling menghormati.
Sementara itu, QS An Nisa ayat 59 memberikan panduan berharga mengenai sistem pemerintahan dan kepemimpinan dalam Islam. Di era demokrasi dan globalisasi ini, ayat ini mengingatkan pentingnya memiliki pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, ayat ini juga mengajarkan pentingnya musyawarah dan bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat dengan merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam yang otentik. Ini menjadi landasan bagi setiap muslim untuk bersikap kritis terhadap kebijakan yang ada dan memastikan bahwa setiap keputusan senantiasa selaras dengan prinsip-prinsip kebenaran ilahi.
Kajian mendalam terhadap QS An Nisa ayat 4 dan 59 bukan hanya sekadar membaca teks, tetapi bagaimana mengintegrasikan makna dan hikmahnya dalam setiap aspek kehidupan kita. Mulai dari interaksi personal dalam keluarga hingga partisipasi dalam masyarakat yang lebih luas, ajaran dalam kedua ayat ini memberikan kerangka moral dan etika yang kokoh, menuntun umat Islam untuk senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah SWT. Memahami dan mengamalkan kedua ayat ini secara konsisten akan membawa keberkahan dan kebaikan yang berlipat ganda bagi individu maupun masyarakat.