Mandat Ilahi untuk Bertindak: Kajian Tuntas QS At-Taubah 105

Pengantar: Ayat Fundamental tentang Amal dan Pengawasan

Dalam peta navigasi spiritual yang dibentangkan Al-Qur'an, terdapat beberapa ayat yang berfungsi sebagai kompas moral dan etika kerja yang tak tergoyahkan. Salah satunya adalah Surah At-Taubah ayat ke-105. Ayat ini bukan sekadar kalimat penenang atau ancaman, melainkan sebuah deklarasi universal tentang sifat hakiki dari tindakan manusia dan mekanisme pengawasan kosmik yang melingkupinya. Ia mengikat erat antara kehendak bebas manusia untuk bertindak dan akuntabilitas mutlak di hadapan Sang Pencipta. Konteks historis ayat ini berkaitan dengan golongan yang bertaubat setelah sebelumnya bersikap lalai atau munafik, namun pesan intinya melampaui konteks temporal tersebut, menjadikannya prinsip abadi bagi setiap mukmin yang menjalani hidup di bawah naungan kesadaran Ilahi.

“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)

Ayat ini memuat empat pilar utama yang harus dipahami secara holistik: Perintah untuk Berbuat (*I'malu*), Sistem Pengawasan Tripartit (Allah, Rasul, Mukminun), Pengembalian kepada Sang Maha Mengetahui (Alimul Ghaibi was Syahadah), dan Puncak Akuntabilitas (Pemberitaan Hasil Perbuatan). Pemahaman mendalam terhadap empat pilar ini adalah kunci untuk membentuk etos kerja, mentalitas, dan integritas seorang mukmin sejati. Inilah yang membedakan tindakan yang sekadar rutinitas duniawi dengan tindakan yang diangkat ke level ibadah, karena setiap tarikan napas dan gerakan memiliki saksi, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dari pandangan mata manusia.

I. Tafsir Struktural: Membedah Perintah ‘Bekerjalah’ (I’malu)

Kata kunci pertama dalam ayat ini adalah ‘Bekerjalah’ (*I’malu*). Ini adalah bentuk perintah tegas (fi'il amr) yang menghapus segala bentuk pasifitas, kemalasan, atau fatalisme yang salah kaprah. Islam, melalui ayat ini, secara eksplisit menolak sikap menunggu tanpa usaha. Perintah ini mencakup spektrum luas kegiatan, mulai dari ibadah ritual murni (shalat, puasa) hingga pekerjaan sosial, ekonomi, dan intelektual. Tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan akhirat; keduanya harus dijalankan dengan kualitas tertinggi (Ihsan).

1. Keharusan Dinamisme dan Produktivitas

Perintah *I’malu* merupakan injeksi semangat dinamisme. Hidup adalah arena ujian, dan ujian ini diukur melalui kualitas tindakan. Ayat ini menempatkan aksi di atas retorika. Sebuah iman tanpa amal adalah cacat, dan amal yang tidak didasari iman tidak memiliki nilai abadi. Dalam konteks ekonomi dan sosial, ayat ini menantang umat untuk menjadi produsen, inovator, dan kontributor utama bagi peradaban. Kemiskinan intelektual atau finansial sering kali berakar pada kegagalan memenuhi panggilan *I’malu* ini.

Dinamika perintah ini juga menyiratkan bahwa amal harus bersifat berkelanjutan. Bukan sekadar sesekali melakukan kebaikan, tetapi menjadikannya sebagai gaya hidup, sebuah mekanisme yang terintegrasi dalam diri seorang hamba. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara konsisten, meskipun sedikit. Konsistensi inilah yang menjamin bahwa ‘pekerjaan’ yang dilihat oleh tiga saksi utama—Allah, Rasul, dan Mukminin—adalah pekerjaan yang berintegritas tinggi dan terstruktur.

I'MALU Ilustrasi 1: Perintah untuk Bertindak dan Produktivitas

2. Amal yang Menciptakan Nilai

Amal dalam perspektif 9:105 harus dipahami sebagai tindakan yang menghasilkan nilai, baik nilai transenden (pahala) maupun nilai imanen (manfaat sosial). Ilmu yang dipelajari harus diamalkan, harta yang dimiliki harus diinvestasikan untuk kebaikan, dan posisi kekuasaan harus digunakan untuk menegakkan keadilan. Ketika amal dilakukan dengan kesadaran bahwa ia sedang diawasi, kualitasnya akan otomatis meningkat. Seorang pekerja yang menyadari bosnya sedang mengawasinya akan bekerja lebih teliti, apalagi jika ia sadar bahwa Pengawasnya adalah Allah SWT, Zat yang Maha Sempurna dan Maha Mengetahui. Ini adalah landasan teologis bagi konsep *total quality management* (TQM) dalam Islam.

Dalam konteks sosial, pekerjaan yang dituntut adalah pekerjaan yang meninggalkan jejak kebaikan. Ini adalah panggilan bagi para profesional, guru, insinyur, dan pemimpin. Setiap proyek, setiap kurikulum, setiap kebijakan, adalah amal yang akan dilihat dan pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Yang Mengetahui segala rahasia. Dengan demikian, kualitas amal bukan hanya soal kuantitas, tetapi keikhlasan dan dampak positif yang ditimbulkannya pada komunitas dan lingkungan sekitar.

II. Sistem Pengawasan Tripartit: Tiga Saksi Universal

Bagian terpenting dari ayat ini adalah penegasan adanya tiga entitas yang menjadi saksi terhadap setiap pekerjaan manusia: Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Ini menciptakan lapisan akuntabilitas ganda: vertikal (Ilahi) dan horizontal (sosial), memastikan bahwa tidak ada amal yang luput atau tersembunyi sepenuhnya.

1. Pengawasan Vertikal Mutlak: Allah SWT (Fasayarallahu 'Amalakum)

Allah adalah Saksi Utama, Maha Melihat (*Al-Bashir*), Maha Mendengar (*As-Sami’*), dan Maha Mengetahui (*Al-Alim*). Pengawasan-Nya tidak terbatas pada tindakan fisik, tetapi juga mencakup niat yang paling tersembunyi di dalam hati. Ini adalah dimensi *Muraqabah* (kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi). Mengetahui bahwa Allah melihat amal kita, terutama amal yang dilakukan secara rahasia, adalah fondasi keikhlasan. Kualitas amal di hadapan Allah tidak ditentukan oleh pujian manusia, tetapi oleh kemurnian niat dan kesesuaiannya dengan syariat.

Konsep ini harus diulang dan dipahami mendalam: Penglihatan Allah terhadap amal kita bersifat kekal, sempurna, dan menyeluruh. Ia melihat bukan hanya apa yang kita lakukan, tetapi mengapa kita melakukannya, bagaimana kita melakukannya, dan apa efek jangka panjang dari perbuatan tersebut. Kesadaran ini adalah penghalang terbesar terhadap kemunafikan dan korupsi. Ketika seorang pemimpin mengetahui bahwa setiap keputusan rahasia yang ia ambil disaksikan oleh Dzat Yang Maha Adil, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk berbuat lurus, terlepas dari pengawasan bawahan atau media. Inilah pilar tauhid yang menggerakkan etos kerja Ilahiah.

2. Pengawasan Kenabian: Rasul-Nya (Wa Rasuluhu)

Penyebutan Rasulullah SAW sebagai saksi memiliki makna teologis yang kompleks. Walaupun beliau telah wafat secara fisik, amal umatnya tetap diperlihatkan kepada beliau. Hadis-hadis sahih menguatkan bahwa amal perbuatan umat dipertunjukkan kepada Nabi. Hal ini berfungsi sebagai motivator moral: bagaimana mungkin seorang mukmin berani melakukan perbuatan maksiat atau lalai jika ia tahu bahwa amal buruknya akan menyedihkan panutan utamanya, yaitu Rasulullah SAW?

Dimensi pengawasan Rasul juga berarti amal kita harus sejalan dengan sunnah dan ajaran yang beliau bawa. Nabi Muhammad SAW adalah model tindakan (uswatun hasanah). Amal yang 'dilihat' oleh Rasul adalah amal yang sesuai dengan standar kenabian, baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah. Ini adalah filter pertama bagi inovasi (bid'ah) dalam agama dan penyimpangan dalam moralitas.

Saksi kenabian ini juga melengkapi dimensi spiritual: beliau tidak hanya melihat amal, tetapi juga menjadi pemberi syafaat. Jadi, ketika kita beramal, kita berupaya melakukan yang terbaik agar amal itu layak mendapatkan persaksian positif di hadapan Allah, dan kemudian menjadi alasan bagi Rasulullah untuk memohonkan ampunan dan keberkahan bagi kita. Ini menambah bobot spiritual yang luar biasa pada setiap tindakan rutin kita.

3. Pengawasan Horizontal: Orang-Orang Mukmin (Wal Mu'minun)

Penyebutan ‘orang-orang mukmin’ (komunitas) sebagai saksi menegaskan pentingnya aspek sosial dan keterbukaan dalam beramal. Meskipun Islam menganjurkan keikhlasan dalam beramal rahasia, QS 9:105 juga mendorong amal kebaikan yang bersifat kolektif dan publik. Pengawasan oleh komunitas memastikan adanya mekanisme *amar ma'ruf nahi munkar* (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).

Ketika kita beramal di tengah masyarakat, kita harus bertanggung jawab atas dampaknya. Jika seorang pemimpin berbuat zalim, tindakannya akan dilihat oleh rakyat. Jika seorang pedagang berlaku curang, kecurangannya akan disaksikan oleh pelanggan. Persaksian kolektif ini berfungsi sebagai sistem *check and balance* internal dalam masyarakat Muslim. Ini mendorong transparansi, integritas publik, dan membangun reputasi yang baik, yang dalam terminologi Islam disebut *syuhada'un nas* (saksi-saksi manusia). Meskipun persaksian manusia tidak sekuat persaksian Ilahi, ia adalah faktor penentu dalam kehidupan sosial dan dapat mempengaruhi hisab akhirat.

Ilustrasi 2: Arsitektur Pengawasan Tripartit

III. Akuntabilitas Puncak: Kembali kepada Alimul Ghaibi was Syahadah

Ayat ini tidak berhenti pada pengawasan, tetapi mengarah pada klimaks spiritual dan eksistensial: pengembalian (*turadduna*) kepada Allah, Sang Maha Mengetahui yang Ghaib dan yang Nyata. Kalimat ini memberikan perspektif waktu yang sempurna terhadap seluruh kehidupan manusia; semua pekerjaan di dunia hanyalah fase sementara yang hasilnya akan dianalisis di fase berikutnya.

1. Makna Filosofis dari Pengembalian

Pengembalian kepada *Alimul Ghaibi was Syahadah* (Yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan yang Nyata) adalah inti dari konsep akuntabilitas Islam. Ghaib adalah segala sesuatu yang tersembunyi, yang tidak tertangkap indera manusia: niat hati, pikiran, bisikan jiwa, sejarah yang terlupakan. Syahadah adalah segala yang tampak: tindakan fisik, ucapan, hasil karya. Allah mengetahui keduanya secara sempurna, tanpa batas, dan tanpa kekurangan.

Konsep ini menyelesaikan dilema keadilan. Dalam kehidupan dunia, banyak kezaliman tersembunyi, banyak kebaikan tidak tercatat, dan banyak niat mulia disalahpahami. Namun, di Hari Pengembalian, semua lapisan kebohongan, ketidaktahuan, dan prasangka akan dikupas habis. Hakimnya adalah Dzat yang tidak butuh bukti eksternal, karena Dia adalah sumber pengetahuan itu sendiri. Inilah janji keadilan mutlak yang menjadi penopang moralitas transendental. Tanpa keyakinan terhadap *Alimul Ghaibi was Syahadah*, etika manusia hanya akan menjadi relatif dan kondisional.

Kesadaran akan ‘Pengembalian’ ini harus menjadi generator utama energi positif. Jika kita beramal, kita tahu bahwa hasilnya bukan hanya yang kita tuai di dunia, tetapi yang paling utama adalah presentasi amal di hadapan Allah. Ia menuntut kualitas prima, bukan hanya penampilan.

2. Pemberitaan Hasil (Fa Yunabbi’ukum)

Puncaknya adalah “lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (*fa yunabbi’ukum bima kuntum ta’malun*). Ini adalah momen hisab (penghitungan). Pemberitaan ini bukan hanya pengumuman, tetapi pembukaan catatan (Kitab) yang memuat detail tak terhingga.

Pemberitaan ini bersifat personal dan mendalam. Setiap individu akan melihat seluruh catatan hidupnya secara utuh. Ini adalah pengadilan diri sendiri di mana argumen akan runtuh di hadapan kebenaran hakiki. Ayat ini menegaskan bahwa keadilan Ilahi tidak bersifat umum, melainkan sangat spesifik, sesuai dengan kadar usaha, keikhlasan, dan dampak dari setiap perbuatan yang telah dilakukan. Bahkan perbuatan sekecil apa pun, seperti yang ditegaskan dalam QS Az-Zalzalah: 7-8, akan diperlihatkan. Oleh karena itu, *I’malu* yang diperintahkan di awal ayat harus dilaksanakan dengan keseriusan maksimal, karena hasil laporannya akan disampaikan oleh Sang Maha Mengetahui itu sendiri.

Konsep ‘diberitakan’ juga mengandung unsur pendidikan. Pemberitaan ini bukan hanya hukuman atau ganjaran, tetapi revelasi kebenaran. Manusia akan mengerti secara sempurna rantai kausalitas di balik setiap pilihannya, mengapa ia berhak mendapat ganjaran X atau sanksi Y. Kesadaran inilah yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab penuh atas takdir yang ia ciptakan melalui kehendak bebasnya.

IV. Etos Kerja dan Ihsan: Aplikasi Moral QS 9:105

Implikasi praktis dari QS At-Taubah 105 merangkul seluruh aspek kehidupan, mulai dari hubungan personal hingga manajemen negara. Ayat ini adalah landasan teologis bagi konsep *Ihsan*, yaitu beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. *Ihsan* adalah kualitas yang dituntut dalam perintah *I’malu*.

1. Ihsan sebagai Kualitas Kerja

Ketika seorang mukmin bekerja dengan kesadaran penuh terhadap pengawasan Allah, Rasul, dan Komunitas, otomatis ia akan mencapai level *Ihsan* dalam pekerjaannya. *Ihsan* menuntut profesionalisme tertinggi, ketelitian, dan integritas yang tidak mudah digoyahkan oleh iming-iming materi sesaat. Seorang dokter yang mengobati pasien, seorang guru yang mendidik murid, atau seorang insinyur yang membangun jembatan, semuanya melaksanakan amanah dalam kerangka *Ihsan*. Mereka bekerja dengan standar kualitas Ilahiah, bukan sekadar standar minimum manusia.

Kualitas *Ihsan* ini sangat penting dalam menghadapi tantangan dunia modern, di mana etika seringkali dikorbankan demi efisiensi dan keuntungan. Ayat 105 mengingatkan bahwa keuntungan sejati adalah amal yang diterima oleh Sang Hakim, bukan akumulasi kekayaan yang cepat berlalu.

2. Muraqabah dan Manajemen Diri

Muraqabah, atau kesadaran pengawasan, yang lahir dari ayat ini, adalah alat manajemen diri yang paling ampuh. Ia mendorong introspeksi berkelanjutan (*muhasabah*) bahkan sebelum pengembalian terakhir terjadi. Seorang mukmin yang menerapkan 9:105 akan terus-menerus bertanya: “Apakah amal yang sedang aku lakukan ini layak dilihat oleh Allah? Apakah niatku murni? Apakah aku telah menunaikan hak-hak yang menyaksikan amal ini?”

Latihan Muraqabah mencegah munculnya fenomena *amal riya'* (pamer) atau *sum'ah* (mencari popularitas). Meskipun Mukminin melihat amal kita, motivasi utama harus tetap pada pengawasan Ilahi. Apabila kita hanya berbuat baik di depan umum, kita gagal dalam pengawasan Allah; jika kita berbuat buruk secara rahasia, kita juga gagal. Hanya keikhlasan total di bawah naungan *Alimul Ghaibi was Syahadah* yang akan menyelamatkan seorang hamba dari jerat kemunafikan.

Ilustrasi 3: Mata Pengawasan Ilahi (Muraqabah)

V. Interkoneksi Amal, Niat, dan Konsekuensi Historis

QS At-Taubah 105 tidak hanya berbicara tentang amal individu, tetapi juga implikasi kolektifnya. Amal suatu umat, baik atau buruk, pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan dan menghasilkan konsekuensi historis di dunia ini sebelum hisab akhirat.

1. Niat sebagai Energi Inti Amal

Karena Allah adalah *Alimul Ghaibi*, maka niat yang tersembunyi jauh di dalam hati menjadi penentu utama kualitas amal. Sebuah amal yang besar secara fisik tetapi kosong secara niat (hanya demi pujian) akan gugur di hadapan Dzat yang melihat yang ghaib. Sebaliknya, niat yang tulus (ikhlas) untuk berkhidmat kepada Allah dapat mengangkat amal yang sederhana menjadi sangat bernilai.

Tafsir para ulama menekankan bahwa ketika ayat ini menyebutkan ‘pekerjaanmu’ (*‘amalakum*), ia mencakup keseluruhan paket tindakan, niat, dan upaya yang menyertainya. Seorang mukmin harus senantiasa memelihara niatnya agar tetap murni. Ini adalah perjuangan batin terbesar (jihadun nafs) yang harus dilakukan setiap saat. Niat adalah bahan bakar, dan jika bahan bakar itu tercemar, seluruh mesin amal akan rusak meskipun terlihat mulus di luar. Ini adalah pelajaran krusial dari *fa yunabbi’ukum*. Pemberitaan Allah di akhirat akan mengungkapkan niat sejati, dan tidak ada yang bisa menyanggahnya.

2. Kontinuitas Pengawasan dan Penulisan Amal

Ayat 105 berhubungan erat dengan doktrin malaikat pencatat amal (*Raqib* dan *Atid*). Sistem pengawasan Ilahi yang disebutkan dalam ayat ini diimplementasikan melalui mekanisme penulisan yang detail dan tak terputus. Setiap detak jantung, setiap bisikan, setiap tindakan, terekam dalam ‘kitab’ yang akan dibuka kelak. Kesadaran bahwa malaikat-malaikat ini mencatat tanpa pernah lalai atau keliru menegaskan urgensi konsistensi dalam *Ihsan*.

Bagi seorang mukmin, ini berarti tidak ada istilah ‘libur’ dari pertanggungjawaban. Istirahat dalam arti fisik mungkin ada, tetapi kesadaran Muraqabah harus terus menyala. Seorang hamba yang sejati tidak hanya beramal saat dilihat manusia, tetapi juga saat sendirian di kamar, di saat kegelapan malam, atau di balik pintu tertutup. Karena di tempat paling tersembunyi pun, ia masih berada di bawah pengawasan Tripartit, terutama pengawasan *Alimul Ghaibi*.

3. Penerapan dalam Integritas Publik dan Kepemimpinan

Dalam konteks kepemimpinan dan birokrasi, QS At-Taubah 105 adalah piagam anti-korupsi yang paling kuat. Korupsi adalah perbuatan yang mengandalkan keghaiban—berharap kejahatan yang dilakukan secara rahasia tidak terungkap (*ghaib* dari pengawasan manusia). Namun, ayat ini menghancurkan ilusi tersebut. Setiap suap, setiap penyalahgunaan wewenang, setiap tindakan nepotisme, semuanya disaksikan oleh Allah, Rasul, dan pada akhirnya, akan dilihat dan dirasakan dampaknya oleh mukminin.

Pemimpin yang sejati adalah mereka yang menerapkan *I’malu* dengan integritas, karena mereka menyadari bahwa posisi kekuasaan hanyalah jembatan menuju Pengembalian. Akuntabilitas di dunia (oleh mukminin) harus selalu diingat, tetapi akuntabilitas akhir (oleh Allah) adalah motivasi tertinggi untuk keadilan dan transparansi. Kegagalan memahami ayat ini dalam konteks kepemimpinan adalah akar dari kehancuran moral suatu bangsa.

VI. Melampaui Batas: QS 9:105 dalam Spektrum Kehidupan Global

Untuk memenuhi mandat ayat ini secara menyeluruh, kita harus mengaplikasikannya tidak hanya pada ibadah formal, tetapi pada peran kita sebagai Khalifah di bumi. Ini menuntut aktivisme positif dalam segala bidang.

1. Amal dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Perintah *I’malu* mencakup pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seorang ilmuwan Muslim yang bekerja di laboratorium harus menyadari bahwa penelitiannya adalah amal yang dilihat Allah. Apakah ia mencari kebenaran dengan jujur? Apakah penemuannya membawa manfaat atau mudarat? Etika penelitian, kejujuran data, dan tujuan akhir ilmuwan tersebut adalah bagian dari amal yang akan dilihat.

Dalam era digital, di mana informasi dan data menjadi aset terbesar, amal juga mencakup penggunaan media sosial, penyebaran berita, dan kontribusi digital. Setiap unggahan, komentar, atau postingan adalah amal yang disaksikan. Fenomena *cyberbullying* atau penyebaran hoaks adalah contoh amal buruk yang dilakukan di bawah pengawasan *Alimul Ghaibi*. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan bahwa layar digital dan anonimitas internet tidak dapat menyembunyikan pekerjaan kita dari Tiga Saksi.

2. Amal dalam Keberlanjutan Lingkungan

Kekhalifahan di bumi menuntut perlindungan terhadap lingkungan. Merusak alam, membuang limbah sembarangan, atau mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan adalah amal buruk yang akan dipertanggungjawabkan. Lingkungan adalah salah satu manifestasi ayat Allah di alam semesta. *I’malu* dalam konteks ekologi berarti bekerja untuk menjaga keseimbangan, membersihkan, dan mengelola sumber daya dengan bijak, karena Allah akan melihat bagaimana kita memperlakukan amanah bumi ini. Kerusakan lingkungan yang kita ciptakan adalah ‘pekerjaan’ yang akan diberitakan kepada kita kelak.

3. Peningkatan Kualitas Diri dan Akhlak

Amal yang paling mendasar adalah penyempurnaan akhlak. Berjuang melawan hawa nafsu, menahan amarah, bersabar, dan berlaku adil adalah ‘pekerjaan’ spiritual yang paling berat dan seringkali paling tersembunyi (ghaib) dari pandangan manusia. Ayat 105 memastikan bahwa perjuangan batin ini pun tidak akan sia-sia. Ketaatan dalam kesendirian, pengorbanan yang tidak diketahui orang lain, dan upaya tulus untuk membersihkan hati adalah amal Ghaib yang nilainya sangat tinggi di hadapan Allah.

Oleh karena itu, ketika kita diperintahkan untuk bekerja, itu adalah perintah untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, secara lahiriah maupun batiniah. Ini adalah panggilan untuk evolusi spiritual yang konstan.

VII. Studi Komparatif: Memperkuat Konsep Hisab Universal

Kekuatan QS 9:105 terletak pada kesinambungannya dengan prinsip akuntabilitas yang ditegaskan di banyak ayat lain. Ayat ini adalah sintesis yang menghubungkan konsep iman, usaha, dan pengadilan akhir.

1. Keterkaitan dengan Nilai Zarrah (Az-Zalzalah)

QS Az-Zalzalah (99: 7-8) menyatakan: “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihatnya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihatnya pula.” At-Taubah 105 menjelaskan mekanisme yang memungkinkan hal ini terjadi: mekanisme pengawasan yang sempurna oleh Allah sebagai *Alimul Ghaibi was Syahadah*. Bagaimana mungkin amal seberat zarrah dapat dilihat? Jawabannya adalah karena Dzat yang melihatnya adalah Dzat yang tidak pernah lalai atau terlewat sedikit pun. Konsep zarrah ini semakin menegaskan bahwa tidak ada tindakan, sekecil apa pun dampaknya, yang luput dari rekaman dan pengadilan.

Kesadaran akan ‘zarrah’ dan ‘pengawasan tripartit’ adalah dua sisi mata uang yang sama. Jika 9:105 adalah perintah untuk aktif, 99:7-8 adalah jaminan bahwa setiap keaktifan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Ini memberikan makna mendalam pada konsep keadilan, di mana kebaikan kecil yang dilakukan seorang ibu di rumah tangganya, yang tidak dilihat oleh mukminin, tetap memiliki bobot yang sempurna di hadapan Allah.

2. Kontras dengan Harapan yang Palsu

Ayat 105 juga berfungsi sebagai penawar bagi mereka yang beramal dengan harapan palsu. Sebagian manusia mungkin beramal hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi, atau sekadar menghindari kritik sosial. Mereka mengabaikan pengawasan Ilahi. Ayat ini menegaskan bahwa pada Hari Kiamat, harapan-harapan palsu ini akan sirna. Hanya amal yang ditujukan kepada *Alimul Ghaibi* lah yang akan bertahan.

Ketika Allah memberitakan amal kita, itu adalah realitas yang tidak dapat dinegosiasikan. Tidak ada kesempatan untuk menyuap saksi, tidak ada kesempatan untuk berbohong, dan tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan bukti, karena Kitab catatan itu sempurna dan saksi utamanya adalah Allah sendiri. Ini memaksakan kejujuran spiritual yang radikal pada setiap mukmin.

VIII. Merajut Konteks Kemanusiaan: Sikap terhadap Amal Orang Lain

Selain implikasi individual, adanya 'Mukminin' sebagai saksi memiliki implikasi kolektif yang mendalam, terutama dalam hal bagaimana kita memandang dan menyikapi amal saudara seiman kita.

1. Menghindari Penghakiman dan Prasangka

Meskipun mukminin bertindak sebagai saksi, peran ini dibatasi oleh kemampuan manusia yang hanya melihat yang ‘nyata’ (*syahadah*). Mukmin tidak melihat yang ‘ghaib’ (niat hati). Oleh karena itu, peran saksi ini tidak boleh disalahgunakan untuk menghakimi niat orang lain secara berlebihan atau untuk memata-matai. Tugas mukmin adalah memberi nasihat, menegur jika melihat kemungkaran yang nyata, dan mendorong kebaikan, bukan menjadi hakim atas keikhlasan hati seseorang.

Kita didorong untuk berprasangka baik (*husnuzzan*) terhadap amal orang lain, karena kita tahu bahwa niat mereka hanya diketahui sepenuhnya oleh Allah. Penghakiman akhir hanya milik *Alimul Ghaibi was Syahadah*. Ini mengajarkan kerendahan hati dalam interaksi sosial. Kita harus fokus memperbaiki amal kita sendiri, sambil membantu masyarakat melalui pengawasan yang sehat dan konstruktif.

2. Tanggung Jawab Kolektif (Fardhu Kifayah)

Amal yang dilihat oleh mukminin sering kali berbentuk *Fardhu Kifayah* (kewajiban kolektif), seperti mendirikan lembaga pendidikan, menyediakan fasilitas kesehatan, atau mempertahankan keamanan negara. Kegagalan komunitas untuk melaksanakan fardhu kifayah ini akan menjadi amal buruk kolektif yang dilihat oleh semua saksi. Ayat 105 adalah seruan untuk partisipasi aktif dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab. Setiap individu, sesuai kapasitasnya, wajib berkontribusi agar pekerjaan kolektif umat Islam menjadi pekerjaan yang luhur dan diridhai.

Jika suatu umat menyaksikan ketidakadilan atau kemiskinan merajalela dan tidak ada yang bergerak untuk mengatasinya, maka 'pekerjaan' (atau ketidak-pekerjaan) mereka akan dilihat oleh Allah dan Rasul-Nya. Akuntabilitas ini bersifat menyeluruh, mencakup apa yang kita lakukan dan apa yang kita biarkan terjadi.

Ilustrasi 4: Timbangan Akuntabilitas (Mizanul Amal)

IX. Mendalami Aspek Psikologis: Mengubah Rasa Takut Menjadi Harapan

Ayat 105, meskipun mengandung elemen peringatan yang keras (tentang hisab), juga dipenuhi dengan harapan dan kasih sayang Ilahi. Kesadaran akan pengawasan seharusnya tidak melumpuhkan, tetapi memotivasi.

1. Transisi dari 'Raja' (Harapan) dan 'Khauf' (Takut)

Ayat ini menjaga keseimbangan sempurna antara *khauf* (takut akan hisab yang ketat dari *Alimul Ghaibi*) dan *raja* (harapan akan rahmat Allah yang menerima amal shalih). Rasa takut memunculkan kehati-hatian dalam beramal dan menghindari maksiat. Harapan memicu energi untuk terus berbuat baik, bahkan ketika amal itu terasa kecil atau tidak dihargai manusia.

Seorang mukmin yang bekerja di bawah naungan QS 9:105 tidak pernah putus asa meskipun ia jatuh dalam kesalahan, karena ia tahu pintu taubat selalu terbuka. Taubat sendiri adalah bentuk ‘pekerjaan’ yang sangat bernilai di mata Allah. Pengawasan-Nya yang sempurna bukan berarti Allah menunggu kita berbuat salah; sebaliknya, itu adalah kesempatan bagi-Nya untuk melihat dan mencatat usaha tulus kita untuk kembali kepada-Nya.

2. Amal di Tengah Kepastian

Kepastian bahwa kita akan dikembalikan dan diberitakan amal kita seharusnya memberikan ketenangan batin. Jika kita telah bekerja keras, jujur, dan ikhlas (sesuai perintah *I’malu*), maka kita tidak perlu khawatir dengan penilaian manusia yang seringkali bias dan dangkal. Fokus kita beralih dari mencari pengakuan fana menjadi mencari keridaan Abadi.

Inilah keindahan spiritual yang dihasilkan oleh ayat ini: Ia membebaskan kita dari perbudakan opini publik dan menuntun kita pada kemerdekaan sejati, yaitu perbudakan hanya kepada Allah. Bekerjalah, karena pekerjaanmu dilihat, dihargai, dan dihitung secara sempurna oleh Dzat yang tidak pernah menzalimi. Ini adalah jaminan terbaik atas investasi waktu dan energi kita di dunia ini.

Penutup: Panggilan Abadi untuk Aksi Berintegritas

Surah At-Taubah ayat 105 adalah salah satu pilar teologis yang mengukuhkan falsafah hidup seorang mukmin: hidup adalah aksi yang berkelanjutan di bawah pengawasan Ilahi. Perintah “Bekerjalah!” adalah perintah untuk mengisi setiap ruang waktu dan setiap peran sosial dengan integritas dan *Ihsan*.

Ayat ini mengajarkan bahwa medan pertempuran terbesar bukanlah di luar, melainkan di dalam diri—perjuangan melawan kemalasan, kemunafikan, dan niat yang tercemar. Dengan tiga saksi yang konstan—Allah yang Maha Melihat Segala yang Ghaib, Rasulullah sebagai teladan amal, dan Mukminin sebagai cermin sosial—tidak ada ruang bagi kelalaian. Setiap gerakan, setiap diam, adalah bagian dari narasi yang akan disajikan secara rinci di hadapan *Alimul Ghaibi was Syahadah*.

Maka, mari kita sambut seruan ‘I’malu’ ini dengan kesungguhan hati. Jadikan setiap pekerjaan, sekecil apa pun, sebagai persembahan terbaik yang kita miliki. Karena di ujung perjalanan ini, kita akan berdiri di hadapan Sang Maha Mengetahui, dan Dia akan memberitakan kepada kita hasil dari semua yang telah kita kerjakan, menegakkan keadilan mutlak yang dijanjikan-Nya. Kesadaran ini adalah bekal terpenting untuk menapaki jalan kebenaran dan kesuksesan abadi.

🏠 Homepage