Surah At-Taubah, surah ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki karakter unik yang berbeda dari surah-surah Madaniyah lainnya. Ia dikenal sebagai surah yang tegas, diturunkan pada periode kritis di Madinah, terutama setelah Perang Tabuk. Surah ini secara keras mengkritik kemunafikan (nifaq), menetapkan batasan-batasan perjanjian, dan membedakan secara tegas antara kaum mukminin sejati dengan mereka yang hanya mengaku beriman.
Ayat-ayat sebelumnya dalam surah ini, khususnya ayat 17, telah menyoroti isu krusial: siapa yang berhak mengelola dan menjaga kesucian rumah-rumah Allah. Ayat 17 menegaskan bahwa orang-orang musyrik tidak berhak memakmurkan masjid, karena mereka bersaksi atas kekafiran diri mereka sendiri. Ayat 18 hadir sebagai jawaban dan kontras yang jelas, memberikan kriteria positif yang mutlak harus dimiliki oleh individu yang layak disebut sebagai 'pelayan' atau 'pemakmur' masjid Allah. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang batu dan semen, tetapi tentang kualitas spiritual yang menyertai setiap bentuk pemakmuran.
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَن يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Terjemahan: "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka mereka itulah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk." (Q.S. At-Taubah [9]:18)
Kandungan ayat ini mengandung lima pilar utama yang tak terpisahkan. Kelima pilar ini berfungsi sebagai saringan ilahi untuk menentukan otentisitas keimanan seseorang dalam konteks pelayanan keagamaan. Tanpa salah satu pilar ini, klaim atas pemakmuran masjid dianggap cacat dan tidak sempurna di hadapan syariat.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita harus memulai dengan mengurai istilah-istilah kunci dalam ayat ini, terutama kata 'Innamaa', 'Ya'muru', dan 'Masajid'.
Kata 'Innamaa' dalam bahasa Arab adalah alat penegasan (adât al-hasr) yang berfungsi membatasi dan mengkhususkan. Penggunaan kata ini di awal ayat memberikan makna eksklusivitas, seolah-olah Allah berfirman: “Hanya dan hanya orang-orang dengan kriteria ini lah yang berhak memakmurkan masjid.” Ini menafikan hak orang-orang di luar kriteria tersebut, menggarisbawahi urgensi kualitas spiritual di atas sekadar kemampuan material.
Kata Ya'muru (memakmurkan) berasal dari akar kata 'Amara (عَمَرَ), yang memiliki cakupan makna yang sangat luas. Para ulama tafsir sepakat bahwa 'pemakmuran' mencakup dua dimensi fundamental yang harus berjalan beriringan:
Ini merujuk pada aspek material dan fisik, yaitu: membangun, merenovasi, membersihkan, merawat, dan memastikan infrastruktur masjid selalu siap digunakan. Pembangunan fisik adalah manifestasi lahiriah dari kecintaan terhadap rumah Allah. Namun, tafsir klasik seperti yang disampaikan oleh Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa pemakmuran fisik saja tidak cukup; ini hanyalah media, bukan tujuan akhir.
Dalam konteks kontemporer, Imarah Hissiyah juga mencakup penggunaan teknologi yang memudahkan kegiatan masjid, seperti sistem suara yang baik, aksesibilitas bagi semua jamaah (termasuk penyandang disabilitas), dan pengelolaan aset secara transparan.
Ini adalah jantung dari ayat ini. Pemakmuran spiritual adalah mengisi masjid dengan aktivitas ibadah, zikir, pengajaran ilmu (halaqah), dan pelayanan sosial. Masjid yang secara fisik megah namun sepi dari jamaah dan kegiatan ilmu adalah masjid yang secara makna tidak makmur. Imam At-Tabari, dalam tafsirnya, sangat menekankan bahwa pemakmuran sejati adalah mengisi masjid dengan shalat, ketaatan, dan menghindari maksiat di dalamnya. Makna inilah yang dikaitkan langsung dengan empat kriteria spiritual berikutnya.
Keseimbangan antara Imarah Hissiyah dan Ma’nawiyah adalah kunci. Seseorang yang membangun masjid (Hissiyah) tetapi tidak shalat di dalamnya atau tidak memiliki keimanan (Ma’nawiyah) tidaklah tergolong sebagai pemakmur sejati menurut kriteria ayat ini.
Ayat ini menggunakan bentuk jamak, Masajid (masjid-masjid), bukan bentuk tunggal. Penggunaan bentuk jamak ini mengisyaratkan bahwa kewajiban memakmurkan tidak terbatas pada satu masjid tertentu, seperti Masjidil Haram, tetapi berlaku umum untuk semua rumah ibadah yang didirikan untuk menyembah Allah semata di muka bumi. Ini menekankan tanggung jawab kolektif umat Islam terhadap keberlangsungan semua tempat sujud.
Ilustrasi: Kualitas pemakmuran masjid yang berpijak pada fondasi keimanan yang kokoh.
Ayat 18 menyusun kriteria pemakmuran masjid dalam urutan yang logis dan hierarkis, dimulai dari akidah mendasar hingga puncak integritas spiritual. Keempat kriteria ini adalah bukti nyata bahwa amalan fisik (pemakmuran) tidak dapat diterima tanpa kemurnian niat dan keabsahan akidah.
Ini adalah fondasi dari seluruh bangunan amal. Iman kepada Allah mencakup pengakuan terhadap Rububiyah (ketuhanan), Uluhiyah (hak disembah), dan Asma wa Sifat (nama dan sifat) Allah tanpa syirik. Ketika hati telah mantap dengan tauhid yang murni, maka semua tindakan ibadah, termasuk memakmurkan masjid, akan dilakukan semata-mata karena mencari ridha-Nya.
Iman kepada Hari Akhir (Yaumil Akhir) secara spesifik disebutkan untuk memberikan motivasi sejati di balik amal. Seseorang yang percaya bahwa ia akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya di hadapan Allah akan memastikan bahwa pemakmuran masjid yang ia lakukan tidak didasarkan pada riya' (pamer) atau mencari pujian manusia, melainkan untuk mendapatkan pahala abadi. Keyakinan akan adanya balasan memurnikan niat, memisahkan mukmin sejati dari munafik yang hanya beramal di mata publik.
Para mufassirin menjelaskan bahwa iman kepada Hari Akhir adalah penangkal terhadap korupsi dan penyalahgunaan dana masjid, karena pelakunya yakin bahwa penghakiman terakhir bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Kualitas akidah ini haruslah menjadi syarat pertama bagi setiap pengurus atau donatur masjid.
Setelah fondasi akidah (Iman), datanglah tiang ibadah (Shalat). Salat disebutkan sebagai prasyarat kedua, menandakan posisi sentralnya dalam Islam. Kata yang digunakan adalah Aqâma (mendirikan), bukan sekadar ‘Adâ (melakukan). Mendirikan salat mencakup:
Bagaimana mungkin seseorang mengklaim memakmurkan masjid, jika ia sendiri jarang atau bahkan tidak pernah sujud di dalamnya? Kehadiran fisik dan spiritualnya dalam salat berjamaah adalah validasi dari upaya pemakmurannya yang lain. Shalat di sini berfungsi sebagai meteran ketaatan yang kasat mata.
Salat juga mengajarkan kedisiplinan waktu dan kepatuhan mutlak. Kualitas kedisiplinan ini sangat penting dalam manajemen masjid. Pengurus masjid yang disiplin dalam salat cenderung disiplin pula dalam pengelolaan aset dan jadwal kegiatan, mencerminkan ketertiban yang dikehendaki oleh syariat.
Pilar ketiga adalah Zakat. Zakat, sebagai ibadah harta, menyimbolkan pengakuan seorang hamba atas hak Allah dalam kekayaannya dan kepeduliannya terhadap dimensi sosial umat. Ini adalah transisi dari ibadah pribadi (Shalat) menuju ibadah sosial-ekonomi (Zakat).
Penyebutan Zakat dalam konteks pemakmuran masjid memiliki beberapa implikasi penting:
Kriteria Zakat mengajarkan bahwa memakmurkan masjid bukan hanya tugas arsitek atau kontraktor, tetapi tugas orang yang terikat pada hukum Allah terkait harta, yang mampu menyeimbangkan antara spiritualitas dan ekonomi.
Kriteria terakhir adalah puncak dari integritas spiritual, yaitu keutamaan tidak takut (khashyah) kepada siapapun selain kepada Allah. Kata khashyah sering diartikan sebagai rasa takut yang disertai dengan pengetahuan dan pengagungan, berbeda dengan khauf (rasa takut biasa).
Dalam konteks Surah At-Taubah yang membahas perang ideologi dan politik dengan kaum munafik dan musyrikin, kriteria ini sangat vital. Pemakmur masjid adalah penjaga kebenaran. Mereka harus memiliki keberanian untuk menegakkan syiar Allah, berdakwah, dan memerintahkan yang ma'ruf serta mencegah yang munkar, tanpa gentar terhadap tekanan penguasa zalim, ancaman sosial, atau cemoohan masyarakat.
Jika seorang pengurus masjid takut kepada selain Allah, ia mungkin akan berkompromi dengan prinsip-prinsip syariat demi kepentingan duniawi, seperti mengubah fungsi masjid, membiarkan kemaksiatan, atau mendiamkan kebatilan. Oleh karena itu, integritas tanpa rasa takut ini adalah jaminan bahwa masjid akan tetap murni sebagai rumah ibadah dan pusat dakwah yang independen, bebas dari intervensi yang menyesatkan.
Ayat ini ditutup dengan janji: "Maka mereka itulah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (min al-muhtadiin)." Kata fa'asaa (فَعَسَىٰ) yang diterjemahkan sebagai 'diharapkan' atau 'mudah-mudahan' dalam konteks kalamullah (firman Allah) seringkali bermakna pasti.
Menurut banyak ahli tafsir, khususnya dalam Al-Qur'an, ketika kata 'Asaa digunakan oleh Allah, ia membawa arti penegasan atau kepastian, bukan sekadar harapan yang fifty-fifty. Artinya, barang siapa yang memenuhi kelima kriteria (Iman, Shalat, Zakat, Khashyah, dan Imarah), maka ia pasti termasuk golongan yang mendapat petunjuk sempurna dari Allah.
Petunjuk (hidayah) yang dimaksud di sini bukanlah petunjuk umum (hidayah al-irsyad), melainkan petunjuk taufik (hidayah at-taufik), yaitu kemampuan dan kemudahan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan hingga akhir hayat, serta petunjuk menuju surga (hidayah ilal-jannah).
Penggunaan kata 'diharapkan' oleh Allah adalah sebuah bentuk targhib (motivasi) sekaligus tarhib (peringatan) bagi hamba-Nya. Hal ini bertujuan agar mukmin tidak merasa ujub (bangga diri) atas amalnya. Meskipun mereka telah memenuhi semua syarat, mereka tetap harus bergantung pada rahmat Allah, mengajarkan kerendahan hati bahwa hasil akhir dari amal mereka tetaplah bergantung pada penerimaan Allah.
Petunjuk sempurna hanya diberikan kepada mereka yang membuktikan keimanan mereka melalui amal yang memiliki dampak ganda: vertikal (Shalat, Iman) dan horizontal (Zakat, Imarah). Pemakmuran masjid bukan hanya hasil dari hidayah, tetapi juga sarana untuk terus mendapatkan hidayah. Masjid adalah poros spiritual umat; dengan memelihara poros ini, seorang mukmin memastikan dirinya tetap berada di jalur yang lurus.
Di era globalisasi dan kompleksitas sosial modern, makna pemakmuran masjid harus diinterpretasikan secara luas tanpa mengurangi esensi syar'i-nya. Masjid harus bertransformasi menjadi pusat peradaban, bukan sekadar ruang sujud sementara.
Imarah Ma’nawiyah kontemporer menuntut masjid menjadi pusat pembelajaran ilmu agama dan ilmu umum yang bermanfaat. Hal ini sejalan dengan tradisi Islam klasik di mana masjid-masjid besar seperti Al-Azhar atau Cordoba berfungsi sebagai universitas. Program-program masjid harus mencakup:
Kriteria Zakat dalam ayat 18 harus mendorong pengurus masjid untuk berperan aktif dalam masalah ekonomi umat. Masjid modern harus memiliki Lembaga Amil Zakat atau setidaknya unit pengumpul dan penyalur sedekah yang terpercaya. Fungsi ini memastikan bahwa masjid tidak hanya menerima, tetapi juga memberi kepada masyarakat di sekitarnya, merealisasikan dimensi sosial dari pemakmuran.
Masjid harus menjadi tempat yang ramah bagi semua kalangan—kaum tua, muda, kaya, miskin, bahkan non-Muslim yang ingin belajar tentang Islam. Pemakmuran modern adalah tentang menciptakan lingkungan yang inklusif, menghilangkan sekat-sekat sosial, dan menumbuhkan rasa persaudaraan (ukhuwah).
Peran mediasi sengketa, konseling keluarga, dan kegiatan gotong royong sosial adalah manifestasi dari semangat Imarah Ma’nawiyah. Dengan cara ini, masjid menjadi tempat berlindung, rujukan, dan pemersatu, sesuai dengan visi Islam sebagai rahmatan lil 'alamin.
Ayat Q.S. At-Taubah 18 adalah sebuah kurikulum pembentukan karakter. Kelima elemen yang disebutkan tidak bisa berdiri sendiri; mereka saling menguatkan dan memvalidasi satu sama lain. Keberadaan kelima elemen ini secara simultan melahirkan sosok mukmin yang paripurna.
Iman kepada Allah dan Hari Akhir adalah motor yang menghasilkan energi amal. Tanpa keyakinan teguh, Shalat akan menjadi gerakan tanpa ruh, Zakat menjadi pajak sosial, dan pemakmuran masjid hanya menjadi proyek prestise. Iman memastikan bahwa semua aktivitas tersebut diarahkan kepada Allah.
Kedua ibadah ini adalah manifestasi praktis (tahqiq al-iman). Keduanya sering disandingkan dalam Al-Qur'an (seperti dalam ayat ini) untuk menunjukkan bahwa keimanan adalah pernyataan hati, sedangkan Shalat dan Zakat adalah tindakan fisik dan material yang membenarkan pernyataan tersebut. Seseorang tidak bisa mengklaim iman sejati tanpa komitmen pada kedua pilar ini, dan komitmen tersebut harus terlihat dalam upaya pemakmuran masjid.
Sifat "tidak takut kecuali kepada Allah" berfungsi sebagai filter moral dan spiritual yang melindungi seluruh sistem. Jika seseorang takut pada manusia atau kehilangan harta, maka ia akan mengorbankan Shalat, menyembunyikan Zakat, atau menyalahgunakan Imarah masjid demi kepentingan pihak tertentu. Khashyah memastikan bahwa pelayan masjid selalu bertindak lurus dan jujur, sesuai dengan standar ilahi, bahkan di tengah kesulitan atau bahaya.
Pemimpin atau pengurus masjid yang telah memenuhi tiga kriteria pertama (Iman, Shalat, Zakat), namun gagal dalam kriteria keempat (Khashyah), akan rentan terhadap tekanan politik atau finansial. Mereka mungkin memanfaatkan mimbar masjid untuk kepentingan sesaat, atau membiarkan penyimpangan syariat terjadi karena takut kehilangan jabatan atau sokongan dana. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa integritas tanpa rasa takut adalah ciri utama mereka yang berhak memegang amanah rumah Allah.
QS At-Taubah 18 mengajarkan bahwa kualitas sebuah peradaban Islam dapat diukur dari seberapa baik masjid-masjidnya dimakmurkan, baik secara fisik maupun spiritual, dan seberapa tulus serta tulus karakter para pemakmurnya. Ini adalah cetak biru untuk menciptakan masyarakat yang tercerahkan (al-muhtadiin).
Ayat ini menuntut keseimbangan total: keseimbangan antara akidah dan syariat, antara ritual dan moral, antara ibadah individu dan tanggung jawab sosial, serta antara pembangunan fisik dan pembangunan spiritual. Pemakmuran masjid adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan kontribusi dari setiap elemen masyarakat.
Di masa kini, seringkali terjadi fokus yang berlebihan pada pembangunan kubah dan menara yang megah (Hissiyah), namun melupakan substansi (Ma’nawiyah), seperti kualitas ibadah jamaah atau program pendidikan. Ayat 18 menjadi pengingat tegas bahwa yang pertama dan terpenting adalah kualitas iman dan ketaatan pelakunya, karena tanpa itu, bangunan termegah sekalipun hanyalah monumen kosong yang gagal menghasilkan hidayah.
Ketika pemakmur masjid adalah orang-orang yang jujur, taat shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kecuali kepada Allah), maka masjid akan memancarkan energi positif. Energi ini akan menstabilkan masyarakat di sekitarnya, menekan angka kejahatan, meningkatkan kepedulian sosial, dan memberikan solusi spiritual atas masalah-masalah kontemporer.
Para pemakmur sejati tidak hanya memperbaiki atap yang bocor, tetapi juga hati yang retak. Mereka tidak hanya mengumpulkan infak, tetapi juga membangun karakter anak-anak muda. Mereka memahami bahwa memakmurkan rumah Allah adalah amanah untuk memakmurkan umat manusia, dimulai dari pusat peribadatan tersebut.
Singkatnya, QS At-Taubah 18 adalah manifestasi dari visi Ilahi untuk manajemen rumah ibadah. Ia menetapkan bahwa kepemimpinan dan pelayanan di masjid bukanlah hak istimewa yang didapat berdasarkan kekayaan atau status sosial, melainkan penghargaan yang diperoleh melalui integritas spiritual dan ketaatan yang tak tergoyahkan kepada Allah SWT. Mereka yang memenuhi syarat ini akan menjadi mercusuar petunjuk (al-muhtadiin) bagi seluruh alam.
Penyebutan Zakat dalam konteks Imarah memicu diskusi fiqih yang intensif di kalangan para ulama. Secara umum, Zakat mal (harta) memiliki delapan asnaf (golongan penerima) yang telah ditetapkan secara jelas dalam Q.S. At-Taubah ayat 60. Masjid (pembangunan atau pemakmuran) secara langsung tidak termasuk dalam delapan asnaf tersebut. Oleh karena itu, dana Zakat secara eksplisit tidak boleh digunakan untuk pembangunan fisik masjid.
Lalu, mengapa ayat 18 menjadikan penunaian Zakat sebagai kriteria utama bagi pemakmur masjid? Jawabannya terletak pada dimensi moral dan spiritual. Kriteria ini menekankan bahwa pemakmur masjid haruslah orang yang telah membersihkan hartanya (dengan Zakat) dan memiliki komitmen terhadap kewajiban sosial. Mereka yang memenuhi kriteria Zakat adalah orang-orang yang memiliki kualitas spiritual untuk memberikan infak dan sedekah dari harta yang suci untuk keperluan masjid.
Adanya Zakat dalam kriteria ini mengindikasikan bahwa seorang pemakmur haruslah mampu membedakan antara sumber dana, memastikan bahwa Imarah Hissiyah (pembangunan) dibiayai oleh infak, wakaf, dan sedekah, sementara ia sendiri telah menunaikan Zakatnya untuk membantu fakir miskin. Dengan demikian, masjid berfungsi sebagai pusat yang mendorong pemisahan dan pengelolaan dana syariah yang benar, bukan mencampurkannya.
Sejumlah ulama, khususnya dari kalangan Hanafi, berpendapat bahwa dalam kondisi darurat atau ketika masjid berfungsi sebagai pusat pelayanan yang sangat vital, boleh saja menggunakan Zakat untuk tujuan yang terkait tidak langsung, namun pendapat mayoritas (Jumhur Ulama) tetap memegang teguh larangan menggunakan Zakat untuk konstruksi fisik. Ketaatan terhadap hukum Zakat inilah yang menjadi ujian kejujuran seorang pemakmur.
Imarah Ma’nawiyah memerlukan ijtihad yang berkelanjutan untuk menyesuaikan program masjid dengan kebutuhan zaman. Di tengah tantangan radikalisme, ateisme, dan disorientasi moral, pemakmur masjid harus berani berinovasi (dengan tetap berpegang pada syariat) agar masjid tetap relevan:
Kriteria "Lam Yakhsya Illallah" (tidak takut kecuali kepada Allah) sangat relevan di sini. Para pengurus harus berani menentang narasi-narasi yang merusak akidah atau moral, meskipun narasi tersebut populer atau didukung oleh kekuatan tertentu. Mereka harus berani mempertahankan kemurnian tauhid dan ajaran Islam yang moderat, menjauhkan masjid dari kepentingan politik praktis yang memecah belah umat.
Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa ayat ini diturunkan untuk menafikan klaim orang-orang musyrik yang merasa berhak mengurus Ka’bah. Beliau menegaskan bahwa Imarah Hissiyah tidak ada nilainya tanpa Imarah Ma’nawiyah, yang intinya adalah Tauhid (Iman kepada Allah dan Hari Akhir). Menurutnya, semua amal yang muncul dari kekafiran adalah batil, bahkan jika itu adalah pembangunan suci.
Imam Al-Qurtubi fokus pada hukum-hukum fiqih yang muncul dari ayat ini, termasuk kewajiban menjaga kebersihan dan kesucian masjid. Beliau juga mencatat bahwa ketaatan terhadap rukun Islam (Shalat dan Zakat) adalah bukti konkret dari Iman, yang pada akhirnya membenarkan hak seseorang untuk berpartisipasi dalam Imarah.
Dalam tafsir kontemporer, Sayyid Qutb melihat ayat ini dalam konteks perjuangan ideologis. Beliau menafsirkan 'Lam Yakhsya Illallah' sebagai syarat mutlak bagi para pejuang dakwah. Masjid harus menjadi pusat pergerakan yang berani melawan kezaliman dan menolak sistem jahiliyah tanpa rasa takut, hanya berharap petunjuk dari Allah (Al-Muhtadiin).
Kesatuan pandangan para ulama ini menunjukkan bahwa QS At-Taubah 18 bukanlah sekadar deskripsi, melainkan sebuah preskripsi: resep ilahi untuk menghasilkan pemimpin dan pelayan masjid yang memiliki kualifikasi spiritual, ritual, sosial, dan keberanian yang sempurna.
QS At-Taubah ayat 18 adalah sebuah pernyataan teologis dan sosiologis yang mendalam mengenai hakikat ibadah dan kepemimpinan dalam Islam. Ayat ini mengajarkan bahwa memakmurkan masjid adalah ibadah yang menggabungkan akidah murni (Iman), ibadah ritual (Shalat), tanggung jawab sosial (Zakat), kerja keras fisik (Imarah Hissiyah), dan integritas tanpa cela (Lam Yakhsya Illallah).
Hanya dengan menyatukan kelima elemen ini secara harmonis, seorang hamba dapat berharap untuk meraih predikat tertinggi yang dijanjikan, yaitu termasuk golongan orang-orang yang senantiasa mendapat petunjuk (Al-Muhtadiin). Petunjuk ini adalah bekal terpenting seorang mukmin, yang memastikan bahwa setiap langkahnya, baik di dalam maupun di luar masjid, selalu selaras dengan kehendak dan ridha Allah SWT.
Masjid bukanlah akhir dari perjalanan seorang mukmin, melainkan titik awal dan pusat perbekalan. Sebagaimana seorang pelaut membutuhkan mercusuar untuk kembali ke pelabuhan, umat membutuhkan masjid yang dimakmurkan oleh hamba-hamba Allah yang tulus dan berani, agar mereka tidak tersesat dalam lautan fitnah dunia. Inilah janji abadi yang termaktub dalam firman Allah SWT.